5
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1
Perkerasan Jalan
Perancangan konstruksi perkerasan jalan mutlak diperhitungkan dalam
perencanaan sistem jaringan jalan. Tingginya biaya yang dikeluarkan untuk
membangun jalan sangat mempengaruhi keputusan dalam merencanakan sistem
jaringan jalan. Hal ini pula turut mempengaruhi pemilihan jenis konstruksi
perkerasan jalan yang akan digunakan.
Salah satu jenis konstruksi perkerasan jalan adalah konstruksi perkerasan
lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan
pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban
lalu lintas ke tanah dasar. Berbeda dengan konstruksi perkerasan kaku (rigid
pavement) yang menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat.
Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau
tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.
Jika diperhitungkan dari segi biaya pembangunannya, jalan yang dibangun
dengan konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement) membutuhkan dana jauh
lebih sedikit dibandingkan dengan jalan yang dibangun dengan konstruksi
perkerasan kaku (rigid pavement). Namun program pemeliharaannya relatif lebih
minim dibandingkan bila jalan dibangun dengan konstruksi perkerasan lentur
(flexible pavement).
Dalam merencanakan struktur perkerasan jalan, beban dan volume lalu lintas
yang akan menggunakan jalan tersebut selama umur rencana menjadi acuan utama
dalam perhitungan struktur perkerasannya. Struktur perkerasan berfungsi untuk
  
6
menerima dan menyebarkan beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang
berarti pada konstruksi jalan tersebut.
2.1.1 Jenis Kerusakan Perkerasan Jalan dan Metoda Perbaikan Kerusakannya
Jalan dikatakan mampu memberi rasa aman
dan nyaman bagi para
penggunanya jika memenuhi dua kriteria utama, yaitu : 
a.
Kriteria berlalu lintas
Dipandang dari segi kenyamanan dan keamanan pengguna jalan, konstruksi
perkerasan perlu memenuhi syarat-syarat berikut ini :
Permukaan yang rata, tidak berlubang, tidak melendut, dan tidak
bergelombang.
Permukaan cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat beban
yang bekerja di atasnya.
Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban dan
permukaan jalan sehingga tidak mudah selip.
Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika kena sinar matahari
b.
Kriteria kekuatan atau struktural perkerasan jalan
Dipandang dari kemampuan memikul dan menyebarkan beban, jalan harus
memenuhi syarat-syarat berikut ini :
Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban atau muatan lalu
lintas ke tanah dasar.
Kedap terhadap air, sehingga air tidak mudah meresap ke lapisan di bawahnya.
Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya
dapat cepat dialirkan
  
7
Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan deformasi
yang berarti.
Penanganan konstruksi perkerasan yang berupa pemeliharaan, penunjang,
peningkatan, ataupun rehabilitas dapat dilakukan dengan baik setelah kerusakan-
kerusakan yang timbul pada perkerasan tersebut dievaluasi penyebab dan akibatnya.
Kerusakan pada konstruksi perkerasan jalan dapat disebabkan oleh :
Lalu lintas diperhitungkan berdasarkan peningkatan beban dan repetisi beban
Air, yang dapat berasal dari air hujan dan sistem drainase jalan yang tidak baik
Material konstruksi perkerasan, sifat material dan sistem pengolahan bahan
yang tidak baik
Iklim, Indonesia beriklim tropis dimana suhu udara dan curah hujan umumnya
tinggi
Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, akibat sistem pelaksanaan yang kurang
baik, atau sifat tanah dasarnya yang memang kurang baik
Proses pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik
Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul tidak disebabkan oleh satu faktor
saja, tetapi merupakan gabungan penyebab yang saling kait  mengait. Sebagai
contoh, retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan
dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke
lapis bawahnya yang melemahkan ikatan antara aspal dan agregat, hal ini dapat
menimbulkan lubang-lubang
disamping melemahkan daya dukung lapisan di
bawahnya.
Dalam mengevaluasi kerusakan jalan perlu ditentukan :
-
Jenis kerusakan (distress type) dan penyebabnya
-
Tingkat kerusakan (distress severity)
  
8
-
Jumlah kerusakan (distress amount)
Sehingga dapat ditentukan jenis penanganan yang paling sesuai.
Menurut Manual Pemeliharaan Jalan Nomor 03/MN/B/1983 yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, kerusakan jalan dapat dibedakan atas :
a.
Retak (cracking)
b.
Distorsi (distortion)
c.
Cacat permukaan (disintegration)
d.
Pengausan (polished aggregate)
e.
Kegemukan (bleeding atau flushing)
f.
Penurunan pada bekas penanaman utilitas
a.
Retak (Cracking) dan Penanganannya
Retak yang terjadi pada lapisan permukaan jalan dapat dibedakan atas:
Retak halus atau retak garis (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama
dengan 3 mm, penyebabnya adalah bahan perkerasan yang kurang baik, tanah
dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil. Retak
halus dapat meresapkan air ke dalam lapis permukaan. Retak halus dapat
berkembang menjadi retak kulit buaya jika tidak ditangani sebagaimana
mestinya.
Retak kulit buaya (alligator crack), memiliki lebar celah lebih besar atau sama
dengan 3 mm. saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil
yang menyerupai kulit buaya. Penyebabnya adalah bahan perkerasan yang
kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di
bawah lapis permukaan kurang stabil atau bahan lapis pondasi dalam keadaan
jenuh air (air tanah naik). Retak kulit buaya jika tidak diperbaiki dapat diresapi
  
9
air sehingga lama kelamaan terlpas butir-butirnya sehingga menyebabkan
lubang.
Retak pinggir (edge crack) yaitu retak memanjang jalan, dengan atau tanpa
cabang yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu jalan. Penyebabnya
adalah tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase kurang baik, terjadi
penyusutan tanah, atau terjadinya settlement
di bawah daerah tersebut. Akar
tanaman tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya retak
pinggir. Di lokasi retak, air meresap yang dapat semakin merusak lapisan
permukaan. 
Retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint crack) yaitu retak
memnajang yang umumnya terjadi pada sambungan bahu jalan dengan
perkerasan. Retak dapat disebabkan oleh kondisi drainase di bawah bahu jalan
lebih buruk dari pada di bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan,
penyusutan material bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk atau
kendaraan berat di bahu jalan
Retak sambungan jalan (lane joint crack) yaitu retak memanjang yang terjadi
pada sambungan 2 jalur lalu lintas. Penyebabnya yaitu tidak baiknya ikatan
sambungan kedua jalur.
Retak sambungan pelebaran jalan (widening crack), adalah retak memanjang
yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan
pelebaran. Penyebabnya ialah perbedaan daya dukung di bawah bagian
perlebaran dan bagian jalan lama atau dapat juga disebabkan oleh ikatan
sambungan tidak baik
Retak refleksi (reflection crack) yaitu retak memanjang, melintang, diagonal,
atau membentuk kotak. Terjadi pada lapis tambahan (overlay) yang
  
10
menggambarkan pola retakan di bawanya. Retak refleksi dapat terjadi jika
retak pada perkerasaan lama tidak diperbaiki secara baik sebelum perkerasan
overlay dilakukan
Retak susut (shrinkage cracks) yaitu retak yang saling bersambungan
membentuk kotak-kotak besar dengan sudut tajam. Penyebabnya ialah
perubahan volume pada lapisan permukaan yang memakai aspal dengan
penetrasi rendah, atau perubahan volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar
Retak selip (slippage cracks) yaitu retak yang bentuknya melengkung sepertu
bulan sabit. Penyebabnya ialah kurang baiknya ikatan antara lapisan
permukaan dan lapis di bawahnya. Kurang baiknya ikatan dapat disebabkan
oleh adanya debu, minyak, air, atau benda nonadhesif lainnya, atau akibat tidak
diberinya tack coat sebagai bahan pengikat di antara kedua lapisan.
Pada umumnya perbaikan kerusakan jenis retak dilakukan dengan mengisi
celah retak dengan campuran pasir dan aspal. Bila retak telah meluas dan kondisinya
cukup parah maka dilakukan pembongkaran lapisan yang retak tersebut untuk
kemudian diganti dengan lapisan yang lebih baik.
b.
Distorsi (Distortion) dan Penanganannya
Distorsi adalah perubahan bentuk yang dapat terjadi akibat lemahnya tanah
dasar, pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadinya tambahan
pemadatan akibat beban lalu lintas.
Distorsi (distortion) dapat dibedakan atas :
Alur (ruts), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan.
Penyebabnya ialah lapis perkerasan yang kurang pada, dengan demikian terjadi
tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda.
  
11
Perbaikan dapat dilakukan dengan memberi lapisan tambahan dari lapis
permukaan yang sesuai.
Keriting (corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Penyebabnya ialah
rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasalh dari terlalu tingginya kadar
aspal, terlalu banyaknya mempergunakan agregat halus, agregat berbentuk
bulat dan berpermukaan licin, atau aspal yang dipergunakan mempunya
penetrasi yang tinggi. Keriting dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum
perkerasan mantap (untuk perkerasan yang menggunakan aspal cair).
Sungkur (shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, di tempat
kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikangan tajam.
Amblas (grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas
dapat terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat
meresap ke dalam lapisan perkerasan yang akhirnya menimbulkan lubang.
Penyebab amblas adalah beban kendaraan yang melebihi apa yang
direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian
perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement.
Jembul (upheavel) terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi
akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif
Pada umumnya perbaikan kerusakan jenis distorsi dilakukan dengan cara
membongkar bagian yang rusak dan melapisnya kembali.
c.
Cacat permukaan (Disintegration)
Yang termasuk dalam cacat permukaan ini adalah :
Lubang (potholes) berbentuk serupa
mangkuk, memiliki ukuran bervariasi dari
kecil sampai besar yang mampu menampung dan meresapkan air ke dalam
lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.
  
12
Pelepasan butir (raveling), memiliki akibat yang sama dengan yang terjadi
pada jalan berlubang. Perbaikan dilakukan dengan memberikan lapisan
tambahan di atas lapisan yang mengalami pelepasan butir setelah lapisan
tersebut dibersihkan dan dikeringkan.
Pengelupasan lapisan permukaan (stripping), dapat disebabkan oleh kurangnya
ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya, atau terlalu tipisnya
permukaan. Perbaikan dilakukan dengan cara diratakan kemudian dipadatkan
dengan lapisan baru.
d.
Pangausan (Polished Aggregate)
Pengausan menyebabklan permukaan jalan licin yang membahayakan
kendaraan. Penyebabnya adalah karena agregat berasal dari material yang tidak
tanah aus terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk
bulat dan licin, tidak berbentuk cubical.
e.
Kegemukan (Bleeding or Flushing)
Penyebab kegemukan (bleeding) ialah pemakaian kada aspal yang tinggi pada
campuran aspal yang mengakibatkan permukaan jalan menjadi licin,
khususnya pada temperatur tinggi aspal menjadi lunak dan menimbulkan jejak
roda. Perbaikan dilakukan dengan mengangkat lapis aspal dan kemudian
memberi lapisan penutup atau menaburkan agregat panas yang kemudian
dipadatkan.
f.
Penurunan Pada Bekas Penanaman Utilitas (Utility Cut Depression)
Penurunan lapisan perkerasan ini terjadi akibat pemadatan yang tidak
memenuhi syarat setelah dilakukannya penanaman utilitas. Perbaikan
dilakukan dengan membongkar kembali dan mengganti dengan lapisan yang
sesuai.
  
13
2.2
Metoda Pengukuran Kerusakan Jalan
Kualitas jalan yang ada maupun yang akan dibangun harus sesuai dengan
standard dan ketentuan yang berlaku. Untuk mengetahui tingkat kerataan permukaan
jalan dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan berbagai cara atau metoda
yang telah direkomendasikan oleh Bina Marga maupun AASHTO.
Sebelum merencanakan metoda
pemeliharaan yang akan dilakukan, perlu
dilakukan terlebih dahulu survey kondisi permukaan. Survey ini bertujuan untuk
mengevaluasi kinerja (pavement evaluation) perkerasan jalan yang diamati. Terdapat
dua jenis survey untuk mengetahui kondisi permukaan, yaitu :
1.
Survey secara visual
Survey secara visual atau visual inspection dilakukan dengan pengamatan mata
surveyor untuk mengukur kondisi permukaan jalan yang karenanya data yang
dikumpulkan menjadi sangat subjektif sehingga tingkat keakurasiannya rendah.
Survey secara visual meliputi :
Penilaian kondisi dari lapisan permukaan, apakah
masih baik, kritis, atau
rusak.
Penilaian kenyamanan kendaraan dengan menggunakan jenis kendaraan
tertentu. Penilaian dikelompokkan menjadi nyaman, kurang nyaman, tidak
nyaman.
Penilaian bobot kerusakan yang terjadi, baik kualitas maupun kuantitas.
Penilaian dilakukan terhadap retak (crack), lubang (pothole), alur (rutting),
pelepasan butir (raveling), pengelupasan lapis permukaan (stripping),
keriting (corrugation), amblas (depression), bleeding, sungkur (shoving),
dan jembul (upheaval).
  
14
2.
Survey dengan bantuan alat
Metode pengukuran kerataan permukaan jalan yang dikenal pada umumnya
antara lain metoda
NAASRRA
(SNI 03-34260-1994). Metoda
lain yang dapat
digunakan untuk pengukuran dan analisis kerataan perkerasan Rolling Straight
Edge, Slope Profilometer (AASHO Road Test).
CHLOE Profilometer, dan
Roughometer.
Alat ini dipasangkan pada sumbu belakang roda kendaraan
penguji. Prinsip dasar alat ini ialah mengukur jumlah gerakan vertikal sumbu
belakang pada kecepatan tertentu. Ukuran jumlah gerakan vertikal pada jarak
tertentu tersebut dinyatakan dalam indek kerataan permukaan (International
Roughness Index) dalam satuan meter per kilometer. Survey dengan bantuan
alat lainnya juga dapat dilakukan dengan teknologi laser beam
yang secara
otomatis
dapat memonitor jenis kerusakan jalan seperti retak (crack), alur
(rutting), lubang (pothole). 
2.3
Kinerja Perkerasan Jalan (Pavement Performance)
Kinerja perkerasan meliputi struktural (structural performance) maupun
fungsional (fungsional performance). Kinerja perkerasan secara struktural meliputi
keamanan atau kekuatan perkerasan, sedangkan kinerja perkerasan secara fungsional
dinyatakan dengan Indek Permukaan (IP) atau Present Serviceability Index (PSI) dan
Indeks Kondisi Jalan atau Road Condition Index (RCI).
2.3.1
Present Serviceability Index
Indeks Permukaan (IP) atau Present Serviceability Index
(PSI)
merupakan
konsep hubungan antara opini penilaian pengguna jalan dengan hasil pengukuran
ketidakrataan (roughness), kerusakan retak, tambalan, dan kedalaman alur. PSI
  
15
diformulasikan dari penilaian terhadap kelompok ruas perkerasan yang dinilai oleh
suatu grup penilai yang memberi nilai berdasarkan skala antara 0 sampai 5 yang
mengindikasikan nilai sangat jelek – sangat bagus.
Hal tersebut kemudian dikembangkan
pada AASHTO Road Test yang
mengkorelasikan penilaian secara subjektif dan penilaian objektif dengan
pengukuran ketidakrataan (roughness), kerusakan retak, tambalan, dan kedalaman
alur yang dinyatakan dalam bentuk persamaan.
2
5
,
0
10
)
(RD
38
,
1
)
(C
01
,
0
)
1
(
log
9
,
1
03
,
5
P
SV
PSI
………........….(2.1)
Dimana :
PSI
= Present Serviceability Index
SV
= Slope Variance
C
= Panjang retak 
P
= Luas Tambalan
RD
= Kedalaman alur
Kemudian persamaan ini dikembangkan dengan variasi penggunaan alat
pengukur roughness sehingga konstanta persamaan regresi berubah, sehingga
persamaan dengan menggunakan alat Bump Integrator menjadi : (Yoder & Witczak,
1975)
2
5
,
0
)
(RD
26
,
0
)
(C
004
,
0
)
hom
(Roug
015
,
0
78
,
4
P
eter
PSI
……....(2.2)
Roughometer adalah besaran index berdasarkan alat Bump Integrator, dimana
kalibrasi Bump Integrator dengan IRI telah dilakukan pada saat program kerjasama
antara TRRL dengan Pusjatan Bandung sekitar tahun 1990 (Djoko Widajat, dkk,
1990). Persamaan IRI dengan alat Bump Integrator menjadi :
944
,
0
0027BI
,
0
IRI
……………………………............………..……......(2.3)
  
16
Keterangan :
IRI dalam m/km dan BI dalam mm/km
0593
,
1
96IRI
,
525
BI
(mm/km) atau .……….......…….............………….…(2.4)
0593
,
1
1568IRI
,
33
BI
(in/mile) ...………………………..............................(2.5)
Sehingga persamaan PSI untuk perkerasan lentur menjadi :
2
5
,
0
0593
,
1
)
(RD
26
,
0
)
(C
004
,
0
)
96IRI
,
525
(
015
,
0
78
,
4
P
PSI
…....…(2.6)
Menurut Al-Omari dan Darter (1992) nilai PSI disederhanakan sebagai fungsi
dari International Roughness Index (IRI), bahwa kerusakan retak, tambalan dan alur
dipandang sudah diwakili oleh IRI. Hubungan antara nilai PSI dan IRI sebagai
berikut:
)
26
,
0
(
5
IRI
e
PSI
.……………..............……..…………...…..…..………(2.7)
Dimana :
PSI
= Present serviceability Index atau Indeks Permukaan
IRI
= International Roughness Index
Nilai PSI bervariasi dari angka 0-5, masing-masing
angka menunjukan kinerja
fungsional perkerasan, sebagai berikut :
Tabel 2.1 Indeks Permukaan
No
PSI
Kinerja Perkerasan
1
4-5
Sangat baik
2
3-4
Baik
3
2-3
Cukup
4
1-2
Kurang
5
0-1
Sangat kurang
Sumber : Sukirman, 1992
Pada saat perkerasan dibuka struktur perkerasan mempunyai nilai PSI besar
yang berarti nilai kerataan masih baik dan kerusakan belum terjadi. Besarnya nilai
PSI ini akan menurun seiring dengan terjadinya kerusakaan akibat beban kendaraan.
  
17
2.3.2
International Roughness Index
IRI merupakan parameter kekasaran yang dihitung dari jumlah kumulatif naik-
turunnya permukaan arah profil memanjang dibagi dengan jarak atau panjang
permukaan yang diukur. IRI dinyatakan dalam satuan meter per kilometer (m/km).
Indikator kinerja fungsional jalan lainnya yaitu Road Condition Index (RCI).
Road Condition Index (RCI) adalah skala tingkat kenyamanan atau kinerja jalan
yang dapat diperoleh dengan alat roughometer maupun secara visual. Dari alat
roughometer
dapat diperoleh nilai International Roughness Index
(IRI), yang
kemudian dikonversi untuk mendapat nilai RCI. Korelasi antara RCI dengan IRI
diformulasikan baik dinyatakan dalam persamaan 2.8 maupun gambar 2.1
)
0501
,
0
(
10
220920
,
1
IRI
Exp
RCI
…...……..….......….............……...(2.8)
      Sumber : Sukirman, 1992
Gambar 2.1 Korelasi antara Nilai IRI dan Nilai RCI
Dari grafik maupun persamaan hubungan antara nilai IRI dengan RCI dapat
diketahui kondisi permukaan secara visual. Tabel 2.2 menjelaskan hubungan antara
nilai IRI dengan RCI berdasarkan kondisi permukaan jalan secara visual.
  
18
Tabel 2.2 Kondisi Permukaan Secara Visual dan Nilai RCI
RCI
Kondisi Permukaan Jalan Secara Visual
8
-
10
Sangat rata dan teratur
7
-
8
Sangat baik, umumnya rata
6
-
7
Baik
5
-
6
Cukup, sedikit sekali atau tidak ada lubang , tetapi
permukaan jalan tidak rata
4 - 5
Jelek, kadang-kadang ada lubang, permukaan jalan tidak
rata 
3
-
4
Rusak, bergelombang, banyak lubang
2
-
3
Rusak berat, banyak lubang, dan seluruh daerah perkerasan
hancur
1
-
2
Tidak dapat dilalui, kecuali dengan Jeep
Sumber : Sukirman, 1992
2.4
Parameter Perencanaan Perkerasan
Dalam perencanaan jalan baru atau lapis tambah membutuhkan beberapa
parameter dalam perencanaannya, parameter yang digunakan dalam metoda SNI
1973-1989-F sebenarnya hampir sama dengan yang digunakan pada metoda
AASHTO 1993 yang dimodifikasi sedikit sesuai dengan kondisi lingkungan dan
iklim di Indonesia.
Beberapa parameter perencanaan yang dibutuhkan pada metoda SNI 1732-
1989-F seperti beban lalu lintas, daya dukung tanah dasar, faktor regional,
pertumbuhan lalu lintas, faktor distribusi lajur, koefisien distribusi kendaraan, indeks
permukaan
dan koefisien kekuatan relatif. Sedangkan pada AASTHO 1993
parameter perencanaan yang dibutuhkan seperti beban lalu lintas, daya dukung tanah
dasar, pertumbuhan lalu lintas, faktor umur rencana, reliabilitas,
faktor distribusi
lajur, koefisien distribusi kendaraan, koefisien drainase, indeks permukaan
dan
koefisien kekuatan relatif.
  
19
2.4.1
Beban Lalu Lintas
Dengan mengetahui secara tepat tingkat kemampuan suatu jalan dalam
menerima suatu beban lalu lintas, maka tebal lapisan perkerasan jalan dapat
ditentukan dan umur rencana perkerasan tersebut akan sesuai dengan yang
direncanakan. Beban berulang atau repetition load merupakan beban yang diterima
struktur
perkerasan dari roda-roda kendaraan yang melintasi jalan raya secara
dinamis selama umur rencana. Besar beban yang diterima bergantung dari berat
kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang kontak antara roda dan kendaraan serta
kecepatan dari kendaraan itu sendiri. Hal ini akan memberi suatu nilai kerusakan
pada perkerasan akibat muatan sumbu roda yang melintas setiap kali pada ruas jalan.
Berat kendaraan dibebankan ke perkerasan melalui kendaraan yang terletak
di ujung-ujung sumbu kendaraan. Masing-masing kendaraan mempunyai konfigurasi
sumbu yang berbeda-beda. Sumbu depan dapat merupakan sumbu tunggal roda,
sedangkan sumbu belakang dapat merupakan sumbu tunggal, ganda, maupun tripel.
Berat kendaraan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1.
Fungsi jalan
Kendaraan berat yang memakai jalan arteri umumnya memuat muatan yang
lebih berat dibandingkan dengan jalan pada medan datar.
2.
Keadaan medan
Jalan yang mendaki mengakibatkan truk tidak mungkin memuat beban yang
lebih berat jika dibandingkan dengan jalan pada medan datar.
3.
Aktivitas ekonomi di daerah yang bersangkutan
Jenis dan beban yang diangkut oleh kendaraan berat sangat tergantung dari
jenis kegiatan yang ada di daerah tersebut, truk di daerah industri
  
20
mengangkut beban yang berbeda jenis dan beratnya dengan di daerah
perkebunan.
4.
Perkembangan daerah
Beban yang diangkut kendaraan dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan daerah di sekitar lokasi jalan.
Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh beban lalu lintas tidaklah sama
antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini mengharuskan suatu standar yang
bisa mewakili semua jenis kendaraan, sehingga semua beban yang diterima oleh
struktur perkerasan jalan dapat disamakan ke dalam beban standar. Beban standar ini
digunakan sebagai batasan maksimum yang diijinkan untuk suatu kendaraan.
Beban yang sering digunakan sebagai batasan maksimum yang diijinkan
untuk suatu kendaraan adalah beban gandar maksumum. Beban standar ini diambil
sebesar 18.000 pounds (8.16 ton) pada sumbu standar tunggal. Diambilnya angka ini
karena daya pengrusak yang ditimbulkan beban gandar terhadap struktur perkerasan
adalah bernilai satu.
2.4.2
Daya Dukung Tanah Dasar
Daya tahan konstruksi perkerasan tak lepas dari sifat tanah dasar karena
secara keseluruhan perkerasan jalan berada di atas tanah dasar. Tanah dasar yang
baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi itu
sendiri atau di dekatnya, yang telah dipadatkan sampai dengan tingkat kepadatan
tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta berkemampuan
mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun terhadap
perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat.
  
21
Sifat masing-masing jenis tanah tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air,
kondisi lingkungan. Tanah dengan tingkat kepadatan yang tinggi mengalami
perubahan volume yang kecil jika terjadi perubahan kadar air dan mempunyai daya
dukung yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanah yang sejenis yang tingkat
kepadatannya lebih rendah.
Daya dukung tanah dasar (subgrade) pada perencanaan perkerasan lentur
dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio). CBR pertama kali
diperkenalkan oleh California Division Of Highways pada tahun 1928. Orang yang
banyak mempopulerkan metode ini adalah O.J.Porter. Harga CBR itu sendiri
dinyatakan dalam persen. Harga CBR tanah dasar yaitu nilai yang menyatakan
kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang
mempunyai nilai CBR 100% dalam memikul beban lalu lintas. Terdapat beberapa
parameter penunjuk daya dukung tanah dasar yang paling umum digunakan di
Indonesia. Harga CBR dapat dinyatakan atas harga CBR laboratorium dan harga
CBR lapangan. Hubungan antara daya dukung tanah dasar (DDT) dengan CBR
dapat menggunakan rumus : 
DDT
  = 4,3 log CBR + 1,7……............……………………..……...….(2.9)
Pada persamaan AASHTO menggunakan Modulus Resilien (MR
) sebagai
parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan. Korelasi CBR dengan
Modulus resilien (MR) adalah sebagai berikut :
MR (psi) = 1500 x CBR ………..........................……….........…….(2.10)
2.4.3
Faktor Regional
Faktor regional berguna untuk memperhatikan kondisi jalan yang berbeda
antara jalan yang satu dengan jalan yang lain. Faktor regional mencakup
  
22
permeabilitas tanah, kondisi drainase yang ada, kondisi persimpangan yang ramai,
pertimbangan teknis dari perenrcana seperti ketinggian muka air tanah, perbedaan
kecepatan akibat adanya hambatan-hambatan tertentu, bentuk
alinyemen (keadaan
medan) serta persentase kendaraan berat dan kendaraan yang berhenti, sedangkan
iklim mencakup curah hujan rata-rata pertahun. Kondisi lingkungan setempat sangat
mempengaruhi lapisan perkerasan jalan dan tanah dasar antara lain :
1.
Berpengaruh terhadap sifat teknis konstruksi perkerasan dan sifat komponen
material lapisan perkerasan.
2.
Pelapukan bahan material.
3.
Mempengaruhi penurunan tingkat kenyamanan dari perkerasan jalan.
Pengaruh perubahan musim, perbedaan temperatur kerusakan-kerusakan
akibat lelahnya bahan, sifat material yang digunakan dapat juga mempengaruhi umur
pelayanan jalan.
Rumus:
100%........(2.11)
Kendaraan
Jumlah
Berat
Kendaraan
Jumlah
Berat
Kendaraan
Persentase
Setelah itu dapat dilanjutkan dengan melihat tabel dibawah ini:
Tabel 2.3 Faktor Regional (FR)
Kelandaian I (<
6%)
Kelandaian II (6 -
10%)
Kelandaian III >
10%)
% kendaraan
berat
%  kendaraan
berat
% kendaraan
berat
= 30%
> 30%
= 30%
> 30%
= 30%
> 30%
Iklim I <
900mm/th
0,5
1,0 - 1,5
1,0
1,5 - 2,0
1,5
2,0 - 2,5
Iklim I >
900mm/th
1,5
2,0 - 2,5
2,0
2,5 - 3,0
2,5
3,0 - 3,5
Catatan: Pada bagian tertetu jalan, seperti persimpangan, pemberhentian atau tikungan
tajam   (jari-jari 30 m) FR ditambah 0,5, Pada daerah raw, FR ditambah 1,0
Sumber : SNI 1732-1989-F
  
23
2.4.4
Pertumbuhan Lalu Lintas (i %)
Yang dimaksud dengan pertumbuhan lalu lintas adalah pertambahan atau
perkembangan lalu lintas dari tahun ke tahun selama umur rencana. Faktor yang
mempengaruhi besarnya pertumbuhan lalu lintas adalah :
1.
Perkembangan daerah tersebut
2.
Bertambahnya kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
3.
Naiknya keinginan untuk memiliki kendaraan pribadi.
Faktor pertumbuhan lalu lintas dinyatakan dalam persen/tahun (%/thn).
2.4.5
Faktor Umur Rencana
Umur rencana adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak jalan tersebut
mulai dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk
diberi lapis permukaan baru. Faktor umur rencana merupakan variable dalam umur
rencana dan faktor pertumbuhan lalu lintas yang dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
i
i
N
UR
1
1
………………..…..............…...........………………….(2.12)
Dimana :
=
faktor pertumbuhan lalu lintas yang sudah disesuaikan dengan
perkembangan lalu lintas. 
UR
umur rencana
i
=
faktor pertumbuhan lalu lintas.
2.4.6
Reliabilitas
Reliabilitas adalah kemungkinan (probability) jenis kerusakan tertentu atau
kombinasi jenis kerusakan pada struktur perkerasan akan tetap lebih rendah dalam
  
24
rentang waktu yang diijinkan dalam umur rencana. Konsep reliabilitas merupakan
upaya untuk menyertakan derajat kepastian (degree of certainty) ke dalam proses
perencanaan untuk menjamin bermacam-macam alternatif
perencanaan akan
bertahan selama selang waktu yang direncanakan (umur rencana). Faktor
perencanaan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu lintas
dan karenanya memberikan tingkat reliabilitas (R) dimana seksi perkerasan akan
bertahan selama selang waktu yang direncanakan. Pada umumnya, dengan
meningkatnya volume lalu lintas dan kesukaran untuk mengalihkan lalu lintas, resiko
tidak memperlihatkan kinerja yang diharapkan harus ditekan. Hal ini dapat diatasi
dengan memilih tingkat reliabilitas yang lebih tinggi. Tabel 2.4
memperlihatkan
rekomendasi tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi jalan. Perlu
dicatat bahwa tingkat reliabilitas yang tinggi menunjukkan jalan yang melayani lalu
lintas paling banyak, sedangkan tingkat yang paling rendah 50% menunjukkan jalan
lokal.
Tabel 2.4
Rekomendasi Tingkat Reliability
Untuk Bermacam-macam Klasifikasi
Jalan
Klasifikasi Jalan
Rekomendasi Tingkat Reliabilitas
Perkotaan
Antar Kota
Bebas Hambatan
85-99,99
80-99,99
Arteri
80-99
75-95
Kolektor
80-95
75-95
Lokal
50-80
50-80
Sumber : AASHTO 1993
Reliabilitas kinerja perencanaan dikontrol dengan faktor reliabilitas (FR)
yang dikalikan dengan perkiraan lalu lintas (W
18
) selama umur rencana untuk
memperoleh prediksi kinerja (W
18
). Untuk tingkat reliabilitas (R) yang diberikan,
  
25
reliabilitas faktor merupakan fungsi dari deviasi standar keseluruhan (overall
standard deviation, So) yang memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu
lintas dan perkiraan kinerja untuk W
18
yang diberikan. Dalam persamaan desain
perkerasan lentur, level of reliability (R) diakomodasi dengan parameter
penyimpangan normal standar (standard normal deviate, ZR). Tabel 2.5
memperlihatkan nilai ZR
untuk level of reliability tertentu. Penerapan konsep
reliabilitas harus memperhatikan langkah-langkah berikut ini :
1.
Definisikan klasifikasi fungsional jalan dan tentukan apakah merupakan
jalan perkotaan atau jalan antar kota.
2.
Pilih tingkat reliabilitas dari rentang yang diberikan pada tabel 2.14
3.
Deviasi standar (So) harus dipilih yang mewakili kondisi setempat.
Rentang nilai So adalah 0,40 – 0,50
Tabel 2.5
Nilai Penyimpangan Normal Standar (Standar Normal Deviate) Untuk
Tingkat Reliabilitas Tertentu
Reliabilitas, R (%)
Standar Normal Deviate, ZR
50
0,000
60
-253
70
-524
75
-674
80
-841
85
-1,037
90
-1,282
91
-1,340
92
-1,405
93
-1,476
94
-1,555
95
-1,645
96
-1,751
97
-1,881
98
-2,054
99
-2,327
99,9
-3,090
99,99
-3,750
Sumber : AASHTO 1993
  
26
2.4.7
Jumlah lajur
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya,
yang menampung lalu lintas terbesar (lajur dengan volume tertinggi). Umumnya
lajur rencana adalah salah satu lajur dari jalan raya dua lajur atau tepi dari jalan raya
yang berlajur banyak. Persentase kendaraan pada jalur rencana dapat juga diperoleh
dengan melakukan survey volume lalu lintas. Jika jalan tidak memiliki tanda batas
lajur, maka ditentukan dari lebar perkerasan menurut tabel 2.6
Tabel 2.6 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan
Lebar Perkerasan
Jumlah Lajur (n)
L < 4,50 m
1 jalur
4,50 m
= L < 8,00 m
2 jalur
8,00 m
= L < 11,25 m
3 jalur
11,25 m
= L < 15,00 m
4 jalur
15,00 m
= L < 18,75 m
5 jalur
18,75 m
= L < 22,00 m
6 jalur
Sumber : AASHTO 1993
Tabel 2.7 Faktor Distribusi Lajur (D
L
)
Jumlah lajur per arah
% beban gandar standar dalam lajur rencana
1
100
2
80 – 100
3
60 – 80
4
50 – 75
Sumber : AASHTO 1993
2.4.8
Koefisien Distribusi Kendaraan
Koefisien distribusi kendaraan
untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat
pada jalur rencana ditentukan menurut tabel 2.8.
  
27
Tabel 2.8 Koefisien Distribusi Kendaraan
Jumlah
Jalur
Kendaraan Ringan
Kendaraan Berat
1 arah
2 arah
1 arah
2 arah
1 Jalur
1,00
1,00
1,00
1,00
2 Jalur
0,60
0,50
0,70
0,50
3 Jalur
0,40
0,40
0,50
0,475
4 Jalur
-
0,30
-
0,45
5 Jalur
-
0,25
-
0,425
6 Jalur
-
0,20
-
0,40
Sumber : SNI 1732-1989-F
2.4.9
Koefisien Drainase
Faktor
yang digunakan untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif
sebagai fungsi yang menyatakan seberapa baiknya struktur perkerasan dapat
mengatasi pengaruh negatif masuknya
air ke dalam struktur perkerasan. Tabel 2.9
memperlihatkan definisi umum mengenai kualitas drainase.
Tabel 2.9 Defini Kualitas Air
Kualitas Drainase
Air Hilang Dalam
Baik sekali
2 jam
Baik
1 hari
Sedang
1 minggu
Jelek
1 bulan
Jelek sekali
air tidak akan mengalir
Sumber : AASHTO 1993
Faktor untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini adalah koefisien
drainase (m) dan disertakan ke dalam persamaan Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif (a) dan ketebalan (D). Tabel 2.10
memperlihatkan nilai koefisien drainase (m) yang merupakan fungsi dari  kualitas
drainase dan persen waktu selama setahun struktur perkerasan akan dipengaruhi oleh
kadar air yang mendekati jenuh.
  
28
Tabel 2.10
Koefisien drainase (m) untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif
material untreated base dan subbase pada perkerasan lentur
Kualitas Drainase
Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar air
yang mendekati jenuh
< 1%
1 - 5%
5 - 25%
> 25%
Baik sekali
1,40 - 1,35
1,35 - 1,30
1,30 - 1,20
1,2
Baik
1,35 - 1,25
1,25 - 1,15
1,15 - 1,00
1
Sedang
1,25 - 1,15
1,15 - 1,05
1,00 - 0,80
0,8
Jelek
1,15 - 1,05
1,05 - 0,80
0,80 - 0,60
0,6
Jelek sekali
1,05 - 0,95
0,80 - 0,75
0,60 - 0,40
0,4
Sumber : AASHTO 1993
2.4.10
Indeks Permukaan Awal (IPo)
Indeks permukaan adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan
nilai daripada kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan yang berkaitan
dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Dalam menentukan indeks
permukaan awal rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis permukaan jalan
(kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana. Adapun beberapa
nilai IPo seperti tabel 2.11.
Tabel 2.11 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)
Jenis Lapis
Permukaan
IPo
Roughness (mm/km)
Laston
= 4
= 1000
3,9 - 3,5
> 1000
Lasbutag
3,9 - 3,5
= 2000
3,4 - 3,0
> 2000
HRA
3,9 - 3,5
= 2000
3,4 - 3,0
> 2000
Burda
3,9 - 3,5
< 2000
Burtu
3,4 - 3,0
< 2001
Lapen
3,4 - 3,0
= 3000
2,9 - 2,5
> 3000
Latasbum
2,9 - 2,5
-
Buras
2,9 - 2,5
-
Latasir
2,9 - 2,5
-
Jalan Tanah
= 2,4
-
Jalan Kerikil
= 2,4
-
Sumber : SNI 1732-1989-F
  
29
2.4.11
Indeks Permukaan Akhir (IPt)
Dalam menentukan indeks permukaan akhir umur rencana perlu
dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen
rencana (LER), berdasarkan tabel 2.12.
Tabel 2.12 Indeks Permukaan Akhir (IPt)
Lintas Ekivalen
Rencana
Klasifikasi Jalan
Lokal
Kolektor
Arteri
Tol
< 10
1 - 1,50
1,50
1,50 - 2
-
10 - 100
1,50
1,50 - 2
2
-
100 - 1000
1,50 - 2
2
2 - 2,50
-
>1000
-
2 - 2,5
2,50
2,50
Sumber : SNI 1732-1989-F
2.4.12
Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien kekuatan relatif (a) diperoleh berdasarkan jenis lapisan perkerasan
yang digunakan. Pemilihan jenis lapisan perkerasan ditentukan dari :
1.
Material yang tersedia
2.
Dana awal yang tersedia
3.
Tenaga kerja dan peralatan yang tersedia
4.
Fungsi jalan
Besarnya koefisien kekuatan relatif ditentukan oleh tabel 2.13.
  
30
Tabel 2.13 Koefisien Kekuatan Relatif
Koefisien
Kekuatan Relatif
Kekuatan Bahan
Jenis Bahan
a1
a
2
a3
MS
(kg)
KT
(Kg/cm²)
CBR
(%)
0,40
-
-
744
-
-
Laston
0,35
-
-
590
-
-
0,32
-
-
454
-
-
0,30
-
-
340
-
-
0,35
-
-
744
-
-
Lasbutag
0,31
-
-
590
-
-
0,28
-
-
454
-
-
0,26
-
-
340
-
-
0,30
-
-
340
-
-
HRA
0,26
-
-
340
-
-
Aspal Macadam
0,25
-
-
-
-
-
Lapen (mekanis)
0,20
-
-
-
-
-
Lapen (manual)
-
0,28
-
590
-
-
-
0,26
-
454
-
-
Laston Atas
-
0,24
-
340
-
-
-
0,23
-
-
-
-
Lapen (mekanis)
-
0,19
-
-
-
-
Lapen (manual)
-
0,15
-
-
22
-
Stabilisasi tanah dengan semen
-
0,13
-
-
18
-
-
0,15
-
-
22
-
Stabilisasi tanah dengan kapur
-
0,13
-
-
18
-
-
0,14
-
-
-
100
Batu pecah (kelas A)
-
0,13
-
-
-
80
Batu pecah (kelas B)
-
0,12
-
-
-
60
Batu pecah (kelas C)
-
-
0,13
-
-
70
Sirtu/pitrun (kelas A)
-
-
0,12
-
-
50
Sirtu/pitrun (kelas B)
-
-
0,11
-
-
30
Sirtu/pitrun (kelas C)
-
-
0,10
-
-
20
Tanah/lempung berpasir
Sumber : SNI 1732-1989-F
2.4.13
Kategori Kendaraan
Survey volume lalu lintas yang dipakai untuk acuan oleh Direktorat Jenderal
Bina Marga mengkategorikan 12 kendaraan termasuk kendaraan tidak bermotor (non
motorized). Sebelumnya, survey pencacahan lalu lintas dengan cara manual
  
31
perhitungan lalu lintas tersebut mengkategorikan menjadi 8 kelas (Ditjen Bina
Marga Pd-T-19-2004). Tabel 2.14
membedakan beberapa kategori kendaraan
tersebut. Untuk perencanaan perkerasan jalan digunakan 12
klasifikasi kendaraan.
Untuk perencanaan geometrik digunakan hanya 5 kelas kendaraan (MKJI, 1997).
Tabel 2.14 Kategori Jenis Kendaraan
IRMS, BM
BM 1992
MKJI 1997
1
Sepeda motor, skuter,
kendaraan roda tiga
1
Sepeda motor, skuter,
kendaraan roda tiga
1
Sepeda motor (MC),
kendaraan bermotor
roda dua dan roda tiga
2
Sedan, jeep, station
wagon
2
Sedan, jeep, station
wagon
2
Kendaraan Ringan (LV)
: Mobil penumpang,
opelet, pickup, bis kecil,
truk kecil
3
Opelet, kombi, dan mini
bus
3
Opelet, kombi, dan
mini bus
4
Pikup, mikro truk, dan
mobil hantaran
4
Pikup, mikro truk, dan
mobil hantaran
5a
Bus kecil
5
Bus
3
Kendaraan Berat (LHV)
: bis, truk 2 As
5b
Bus besar
6a
Truk ringan 2 As
6
Truk 2 As
6b
Truk sedang 2 As
7a
Truk 3 As
7
Truk 3 As atau lebih
dan Gandengan
4
HGV : truk 3 As, dan
truk gandengan
7b
Truk gandeng
7c
Truk semi trailer
8
Kendaraan tidak
bermotor
8
Kendaraan tidak
bermotor
5
Kendaraan tidak
bermotor (UM)
Sumber : International Road Management System, Bina Marga, Manual Kapasitas Jalan Indonesia
Tabel 2.15 Parameter Perhitungan SNI 1732-1989-F dan AASHTO 1993
No.
Parameter
SNI
AASHTO
1
Lintas Harian Rata-rata
2
Pertumbuhan Lalu Lintas
3
Koefisien Distribusi Kendaraan
4
Beban Lalu Lintas
5
Daya Dukung Tanah Dasar
6
Faktor Regional
7
Reliabilitas
8
Indeks Permukaan
9
Koefisien Kekuatan Relatif
Sumber : Hasil Analisis
  
32
2.5
Metoda SNI 1732-1989-F
Penetuan tebal perkerasan lentur jalan didasarkan pada buku Petunjuk
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Metode Analisa Komponen SNI
1732-1989-F.
Data lalu lintas harian rata-rata dapat diperoleh dengan cara:
k
tertinggi
kendaraan
Jumlah
LHR
………...........…................……….…(2.13)
Dimana:
k = 0,09
a.
Lintas harian rata-rata awal
Rumus:
kendaraan
Volume
i)
(1
LHR
n
rencana
umur
awal
…….............................…...(2.14)
Dimana:
i = Angka pertumbuhan lalu lintas pada masa pelaksanaan
 
n = Masa pelaksanaan
b.
Lintas harian rata-rata akhir
Rumus:
kendaraan
Volume
i)
(1
LHR
n
rencana
umur
akhir
..............……(2.15)
Dimana:
i = Angka pertumbuhan lalu lintas pada masa operasional 
 
n = Masa operasional jalan
c.
Koefisien distribusi untuk masing-masing kendaraan
Berdasarkan Daftar II SNI-1732-1989-F tentang “TATA CARA
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA
DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN”, nilai koefisien masing-
masing kendaraan dapat dilihat dari tabel 2.8
  
33
d.
Angka ekivalen masing-masing kendaraan
Berdasarkan Daftar III SNI-1732-1989-F tentang “TATA CARA
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA
DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN”, nilai ekivalen masing-
masing kendaraan dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 2.16 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu
Angka Ekivalen
Kg
Lb
Sumbu
Tunggal
Sumbu
Ganda
1000
2205
0,0002
-
2000
4409
0,0036
0,0003
3000
6614
0,0183
0,0016
4000
8818
0,0577
0,0050
5000
11023
0,1410
0,0121
6000
13228
0,2933
0,0251
7000
15432
0,5415
0,0466
8000
17637
0,9328
0,0794
8160
18000
1,0000
0,0860
9000
19841
1,4798
0,1273
10000
22046
2,2555
0,1940
11000
24251
3,3022
0,2840
12000
26455
4,6770
0,4022
13000
28660
6,4419
0,5540
14000
39864
8,6447
0,7452
15000
33069
11,4184
0,9820
16000
35276
14,7815
12,712
Sumber : SNI 1732-1989-F
e.
Lintas ekivalen permulaan (LEP)
Rumus:
)
E
c
LHR
(
LEP
rencana
umur
awal
...............……........…….……(2.16)
Dimana:
c = Koefisien distribusi masing-masing kendaraan
 
E = Angka ekivalen untuk masing-masing kendaraan
f.
Lintas ekivalen akhir (LEA)
Rumus:
)
E
c
LHR
(
LEA
rencana
umur
akhir
….........…...................……...(2.17)
  
34
Dimana:
c = Koefisien distribusi masing-masing kendaraan
 
E = Angka ekivalen untuk masing-masing kendaraan
g.
Lintas ekivalen tengah (LET)
Rumus:
2
LEA
LEP
LET
…..................................................................…....….(2.18)
h.
Faktor penyesuaian
Rumus:
     
10
UR
FP
…...………............................………………..…...…..……...(2.19)
Dimana:
UR = Umur Rencana/masa operasional jalan
i.
Lintas ekivalen rencana (LER)
Rumus:
      
FP
LET
LER
….……........…...............................................………(2.20)
j.
Analisa daya dukung tanah
Untuk menentukan nilai daya dukung tanah dasar, digunakan persamaan 2.9
pada subbab 2.3.2 berdasarkan SNI-1732-1989-F tentang “TATA CARA
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA
DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN”.
k.
Analisa tebal perkerasan lentur
Faktor regional
Rumus:
100%................
Kendaraan
Jumlah
Berat
Kendaraan
Jumlah
Berat
Kendaraan
Persentase
............................................................................................................(2.21)
Setelah itu dapat dilanjutkan dengan melihat tabel dibawah ini:
  
35
Tabel 2.17 Faktor Regional (FR)
Kelandaian I (<
6%)
Kelandaian II (6 -
10%)
Kelandaian III (>
10%)
% kendaraan
berat
%  kendaraan
berat
% kendaraan
berat
= 30%
> 30%
= 30%
> 30%
= 30%
> 30%
Iklim I <
900mm/th
0,5
1,0 -
1,5
1,0
1,5 - 2,0
1,5
2,0 - 2,5
Iklim I >
900mm/th
1,5
2,0 -
2,5
2,0
2,5 - 3,0
2,5
3,0 - 3,5
Catatan:
Pada bagian tertetu jalan, seperti persimpangan, pemberhentian atau
tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah 0,5, Pada daerah rawa, FR ditambah 1,0
Sumber : SNI 1732-1989-F
Indeks permukaan
Dalam menentukan indeks permukaan awal umur rencana (IPo) perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta
kekokohan) pada awal umur rencana. Besarnya nilai indeks permukaan
pada awal umur rencana dapat dilihat pada tabel 2.11.
Indeks permukaan akhir
Untuk menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana, perlu
dipertimbangkan faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas 
ekivalen rencana (LER). Adapun kisaran nilai indeks tersebut dapat
dilihat pada tabel 2.12.
Indeks tebal perkerasan
Adalah suatu angka yang berhubungan dengan penentuan tebal
perkerasan. Penentuan nilai indeks tebal perkerasan dapat dihitung
dengan menggunakan pesamaan berikut ini :
  
36
)
0
,
3
(DDT
372
,
0
1
54
,
2
1094
4
,
0
5
,
1
2
,
4
2
,
0
1
54
,
2
36
,
9
3650
10
19
,
5
10
10
10
FR
Log
ITP
PSI
Log
ITP
Log
LER
Log
………………..............……………………………………....…......(2.22)
Dimana :
LER
= Lintas Ekivalen Rencana
3650
= Jumlah hari dalam 10 tahun
ITP
= Indeks Tebal Perkerasan
DDT
= Daya Dukung Tanah Dasar
?PSI
= Perbedaan Serviceability Index di awal dan akhir umur
rencana
FR
= Faktor Regional
Koefisien kekuatan relatif
Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya
sebagai lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah
ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dengan
aspal), kuat tekan (untuk bahan yang diperkuat dengan semen atau kapur)
atau CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah). Jika alat Marshall Test
tidak tersedia, bahan beraspal bias diukur dengan cara lain seperti Hveem
Test, Hubbard Field, dan Smith Triaxial. Besarnya keofisien kekuatan
relatif dapat dilihat pada tabel 2.13.
Susunan lapisan perkerasan
Dalam menentukan tebal lapisan perkerasan, dipergunakan persamaan
ini:
  
37
Rumus: 
3
3
2
2
1
1
D
a
D
a
D
a
ITP
.............….................……..….……..(2.23)
Dimana:
ITP
= Indeks Tebal Perkerasan
a1
=
koefisien kekuatan relatif lapis permukaan
a2
= koefisien kekuatan relatif lapis pondasi atas
a3
=
koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah
D1
= tebal lapis permukaan
D2
= tebal lapis pondasi atas
D3
= tebal lapis pondasi bawah
Berikut adalah batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan:
1.
Lapis permukaan
Tabel 2.18 Batas Tebal Minimum Lapis Permukaan
ITP
Tebal
Minimum
(cm)
Bahan
< 3,00
5
Lapis pelindung : (Buras / Burtu / Burda)
3,00 - 6,70
5
Lapen / Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
6,71 - 7,49
7,5
Lapen / Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
7,50 - 9,99
7,75
Lasbutag, Laston
= 10,00
10
Laston
Sumber : SNI 1732-1989-F
  
38
2.
Lapis pondasi 
Tabel 2.19 Batas Tebal Minimum Lapis Pondasi
ITP
Tebal
Minimum
(cm)
Bahan
< 3,00
15
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur
3,00 - 7,49
20*
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur
10
Laston Atas
7,50 - 9,99
20
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur, pondasi macadam
15
Laston Atas
10 - 12,14
20
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston
Atas
= 12,25
25
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston
Atas
*) Batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah
digunakan material butir kasar
Sumber : SNI 1732-1989-F
3.
Lapis pondasi bawah
Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah
10 cm.
2.5.1
Perencanaan Tebal Lapis Tambah/Overlay
Diberikan pada jalan yang telah/menjelang habis masa pelayanannya dimana
kondisi permukaan jalan telah mencapai indeks permukaan akhir (IP) yang
diharapkan.
Adapun maksud dan tujuan overlay :
1.
Mengembalikan (meningkatkan) kemampuan/kekuatan struktural.
2.
Kualitas permukaan
-
Kemampuan menahan gesekan roda (skin resistance)
-
Tingkat kekedapan terhadap air
-
Tingkat kecepatannya mengalirkan air
  
39
-
Tingkat keamanan dan kenyamanan
a.
Perancangan Tebal Pelapisan Tambahan 
Prosedur perencanaan tebal overlay
menggunakan metode analisa
komponen
Langkah-langkah perencanaannya :
-
Perlu dilakukan survey penilaian terhadap kondisi perkerasan
jalan
lama (existing pavement), yang meliputi lapis permukaan, lapis
pondasi atas, dan lapis pondasi bawah.
-
Tentukan LHR pada awal dan akhir umur rencana
-
Hitung LEP, LEA, LET, dan LER
-
Tentukan nilai ITPR
dengan menggunakan persamaaan 2.22
-
Tentukan nilai ITP
sisa
dari jalan yang akan diberi lapis tambah dengan
menggunakan persamaan 2.24
i
i
i
sisa
D
a
K
ITP
...............................................................(2.24)
Keterangan :
= kondisi Lapisan
= koefisien kekuatan relatif
= tebal lapisan
i
= nomor yang menunjukkan lapisan
-
Tetapkan tebal lapisan tambahan (D
ol
)
sisa
R
ITP
ITP
ITP
……………..……..............................…...(2.25)
Keterangan : 
ITP
= selisih dari ITPR dan ITP
sisa
ITPR
= ITP diperlukan sampai akhir umur rencana
ITP
sisa
= ITP yang ada
  
40
ol
ol
a
D
ITP
…………………..........................…….....……(2.26)
Keterangan :
D
ol
= tebal lapisan tambahan
a
ol
= koefisien kekuatan relatif lapisan tambah
2.6
Metoda AASHTO 1993
Metode ASSHTO 1993 merupakan salah satu metode perencanaan untuk
tebal perkerasan jalan yang sering digunakan. Metode ini telah dipakai secara umum
diseluruh dunia untuk perencanaan serta diadopsi sebagai standar perencanaan di
berbagai negara. Metode ASSHTO 1993 pada dasarnya adalah metode perencanaan
yang didasarkan pada metode empiris dengan menggunakan beberapa parameter
yang dibutuhkan dalam perencanaan diantaranya :
a.
Structural Number (SN)
b.
Lalu Lintas
c.
Reliability
d.
Faktor Lingkungan
e.
Serviceability
a.
Structural Number (SN)
Structural Number (SN) merupakan fungsi dari ketebalan lapisan dan
koefisien relatif lapisan (layer coefficients). Persamaan untuk Structural
Number adalah sebagai berikut :
3
3
3
2
2
2
1
1
m
D
a
m
D
a
D
a
SN
……..............………..…....……………..(2.27)
Dimana :
SN
= nilai Structural Number
a1, a2, a3
= koefisien relatif masing-masing lapisan
D1, D2, D
3
= tebal masing-masing lapisan perkerasan
  
41
m2, m3
 
= koefisien drainase pondasi dan pondasi bawah
b.
Lalu Lintas
Prosedur perencanaan untuk parameter lalu lintas didasarkan pada kumulatif
beban gandar standar ekivalen (Cumulative Equivalent Standart Axel, CESA).
Perhitungan untuk CESA ini didasarkan pada konversi lalu lintas yang lewat
terhadap beban gandar standar 8,16 ton
dan mempertimbangkan umur
rencana, volume lalu lintas, faktor distribusi lajur, serta faktor bangkitan lalu
lintas (growth factor).
c.
Reliability
Dalam proses perencanaan perkerasan terdapat beberapa ketidaktentuan
(uncertainties). Konsep reabilitas merupakan upaya untuk menyertakan
derajat kepastian (degree of certainty) ke dalam proses perencanaan untuk
menjamin bermacam-macam alternative perencanaan akan bertahan selama
selang waktu yang direncanakan (umur rencana). Tingkat reliability ini yang
digunakan tergantung pada volume lalu lintas, maupun klasifikasi jalan yang
direncanakan. Secara garis besar pengaplikasian konsep reliability
adalah
sebagai berikut :
a.
Penentuan klasifikasi ruas jalan yang akan direncanakan menjadi hal
pertama yang harus dilakukan. Klasifikasi ini mencakup apakah jalan
tersebut adalah jalan dalam kota (urban) atau jalan antar kota (rural).
b.
Menetukan tingkat reliability
yang dibutuhkan dengan menggunakan
tabel yang ada pada metode perencanaan AASHTO 1993. Semakin tinggi
tingkat reliability yang dipilih, maka semakin tebal lapisan perkerasan
yang dibutuhkan.
  
42
c.
Satu nilai standar deviasi (So)
harus dipilih. Nilai ini mewakili dari
kondisi-kondisi lokal yang ada. Nilai tipikal untuk perkerasan lentur
adalah 0,40 - 0,50.
d.
Faktor Lingkungan
Diantara faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah cuaca atau iklim dan
kembang susut tanah dasar. Sedangkan pengaruh jangka panjang akibat
temperature dan kelembaban pada penurunan serviceability
belum
dipertimbangkan.
e.
Serviceability
Serviceability merupakan
tingkat pelayanan yang diberikan oleh sistem
perkerasan yang kemudian dirasakan oleh pengguna jalan. Nilai
serviceability ini diberikan dalam beberapa tingkatan antara lain :
a.
Untuk perkerasan yang baru dibuka (open traffic), nilai serviceability ini
diberikan sebesar 4,0 –
4,2. Nilai ini dalam terminologi perkerasan
diberikan sebagai nilai initial serviceability (Po).
b.
Untuk perkerasan yang harus dilakukan perbaikan pelayanannya, nilai
serviceability
ini diberikan sebesar 2,0. Nilai ini dalam terminologi
perkerasan diberikan sebagai nilai terminal serviceability (Pt).
c.
Untuk perkerasan yang sudah rusak dan tidak bisa dilewati, maka nilai
serviceability ini akan diberikan sebesar 1,5. Nilai ini diberikan dalam
terminologi failure serviceability (Pf).
2.6.1
Persamaan AASHTO 1993
Dari hasil percobaan jalan AASHO untuk berbagai macam variasi kondisi
dan jenis perkerasan, maka disusunlah metode perencanaan AASHO yang kemudian
  
43
berubah menjadi AASHTO. Dasar perencanaan metode AASHTO 1972, AASHTO
1986, hingga yang terbaru yaitu AASHTO 1993, adalah persamaan berikut ini :
07
,
8
log
32
,
2
1
1094
40
,
0
5
,
1
2
,
4
log
20
,
0
)
1
(SN
log
36
,
9
log
10
10
10
18
10
19
,
5
Mr
SN
PSI
So
Z
W
R
..…………………………………..........................…………………....…......…(2.28)
Dimana :
W
18
= kumulatif beban gandar standar
ZR
= Standar Normal Deviate
So
= Combined Standard Error dari prediksi lalu lintas dan kinerja
SN
= Structural Number
?PSI
= Perbedaan Serviceability Index di awal dan akhir umur rencana
Mr
= Modulus Resilien (psi)
2.6.2
Langkah-langkah Perencanaan dengan Metode AASHTO 1993
Langkah-langkah perencanaan dengan metode AASHTO 1993 yaitu sebagai
berikut :
a.
Menentukan lalu lintas rencana yang akan diakomodasi di dalam
perencanaan tebal perkerasan. Lalu lintas rencana ini jumlahnya tergantung
dari komposisi lalu lintas, volume lalu lintas yang lewat, beban aktual yang
lewat, serta faktor bangkitan lalu lintas serta jumlah lajur yang direncanakan.
Semua parameter tersebut akan dikonversikan menjadi kumulatif beban
gandar standar ekivalen atau Cumulative Equivalent Standart Axle (CESA).
b.
Menghitung CBR tanah dasar yang mewakili ruas jalan tersebut.
Pengambilan data CBR biasanya dilakukan setiap jarak 100 meter. Dari nilai
  
44
CBR representative tersebut kemudian diprediksi modulus elastisitas
(resilien) tanah dasar dengan persamaan berikut :
Mr = 1500 CBR (psi)…………………………………......................…..(2.29)
Dimana :
CBR
= nilai CBR representative (%)
Mr
= Modulus resilien tanah dasar (psi)
c.
Menentukan
besaran-besaran fungsional dari sistem perkerasan jalan yang
ada seperti Initial Present Serviceability Index (Po), Terminal Serviceability
Index (Pt), Failure Serviceability Index (Pf). Masing-masing besaran ini
nilainya tergantung dari klasifikasi jalan yang akan direncanakan.
d.
Menentukan reliability dan standard normal deviate. Keduanya ditentukan
berdasarkan beberapa asumsi antara lain tipe perkerasan dan klasifikasi jalan.
e.
Menggunakan data lalu lintas, modulus elastisitas tanah dasar serta besaran-
besaran fungsional Po, Pt, dan Pf serta reliability dan standar deviate untuk
mendapatkan nilai Structural Number
yang dibutuhkan untuk
mengakomodasi lalu lintas rencana. Selain menggunakan rumus AASHTO
tersebut dapat juga digunakan grafik-grafik AASHTO.
f.
Menentukan bahan pembentuk lapisan perkerasan. Masing-masing bahan
pembentuk memiliki koefisien lapisan berbeda.
g.
Menggunakan koefisien masing-masing lapisan
tersebut untuk mendapatkan
tebal masing-masing lapisan perkerasan dengan persamaan 2.15.
  
45
Tabel 2.20 Ketebalan Minimum Lapisan Perkerasan
Lalu Lintas
Tebal Minimum (cm)
Aspal Beton
Pondasi Atas
Kurang dari 50.000
1,0 (atau perbaikan permukaan)
4
50.001-150.000
2,0
4
150.001-500.000
2,5
4
500.001-2.000.000
3,0
6
2.000.001-7.000.000
3,5
6
7.000.001
4,0
6
Sumber : AASHTO 1993
2.6.3
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Perencanaan tebal lapis tambah dengan menggunakan metode AASHTO.
Adapun langkah perhitungannya, antara lain :
1.
Tentukan Structural Number Original (SN
o
)
Structural Number Original (SN
o
) dihitung berdasarkan kekuatan relatif
bahan, tebal
lapis perkerasan yang terpasang dengan
menggunakan
persamaan 2.26.
2.
Tentukan Structural Number Effektif (SN
eff
)
a.
Analisa Lalu lintas
-
Hitung Kumulatif ESAL pada saat ini atau Past Cumulative 18-kip ESAL in
Design Lane (N
p
)
L
D
P
D
D
E
LHR
N
…........................................……......…..…(2.30)
Dimana :
LHR
= Lintas Harian Rata-rata
E
= Ekivalen Faktor
D
D
= Faktor Distribusi Arah 
D
L
= Faktor Distribusi Lajur
-
Hitung Kumulatif ESAL pada akhir umur rencana atau Future Cumulative
18-kip ESAL in Design Lane over the Design Period (N
f
)
  
46
TGF
D
D
E
LHR
N
L
D
f
……………...........................…......(2.31)
Dimana : TGF = Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas
b.
Hitung Umur Sisa
Untuk menentukan umur sisa terlebih dahulu hitung jumlah lalu lintas aktual
(N
p
) dan jumlah lalu lintas pada akhir umur rencana (N
1.5
) dimana kedua
jumlah lalu lintas ini dinyatakan dalam 18-Kips ESAL. Nilai umur sisa
dinyatakan dalam persentase dari jumlah lalu lintas pada saat terjadi
kerusakan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung umur sisa atau
Remaining Life sebagai berikut :
5
.
1
1
100
N
N
RL
P
……………..……………..........................…..…(2.32)
Dimana :
RL
= Remaining Life atau Umur Sisa (%)
N
p
= jumlah lalu lintas aktual
N
1.5
= jumlah lalu lintas akhir umur rencana
Untuk jalan arteri nilai N
1.5
digunakan N
2.5
dimana IPt = 2.5
adalah perkerasan pada kondisi kritis.
Setelah menentukan umur sisa, maka dengan menggunakan gambar 2.2 untuk
mendapatkan nilai faktor kondisi (CF), sehingga dapat menentukan kapasitas
struktur yang ada saat ini dengan persamaan :
SN
eff
= CF × SN
O
……………………........................…..……….......…(2.33)
Dimana :
SN
eff
= Kapasitas Struktur pada saat ini
CF
= Faktor Kondisi (CF min = 0,5)
SN
O
= Kapasitas Struktur awal rencana
  
47
Sumber AASHTO 1993
Gambar 2.2 Hubungan Faktor Kondisi dengan Umur Sisa
3.
Tentukan Structural Number in Future (SN
f
)
Untuk menentukan struktural number in future
dapat di tentukan dengan
menggunakan nomogram dan grafik atau dengan menggunakan persamaan
2.26 dengan trial and error hingga didapat nilai W
18
sama dengan nilai future
design ESALs (N
f
)
4.
Perencanaan Tebal Overlay 
Perhitungan tebal lapis tambah dengan menggunakan persamaan :
ol
eff
f
ol
ol
a
SN
SN
a
SN
Dol
………………..…....................…...…......(2.34)
Dimana :
D
ol
 
= Tebal Overlay rencana 
SN
ol 
= Structural Number Overlay yang disyaratkan
SN
f
= Structural Number in Future
SN
eff
= Structural Number Effective
a
ol
= Koefisien Material Untuk Overlay
  
48
2.7
Biaya
Definisi biaya menurut Standar Akutansi Keuangan (1999:12) adalah
penurunan manfaat ekonomi selama satu periode akutansi dalam bentuk arus keluar
atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan
ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.
The Commite on Cost Concepts and Standards of The American Accounting
Association memberikan definisi Cost sebagai berikut : “Cost is foregoing measured
in monetary terms incurred or potentially to be incurred to achive o specific
objective”, yang berarti biaya merupakan pengeluaran-pengeluaran yang diukur
secara terus menerus dalam uang atau yang potensial harus dikeluarkan untuk
mencapai suatu tujuan.
Jadi, menurut beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa biaya 
merupakan kas atau nilai ekuivalen kas yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan guna untuk memberikan suatu
manfaat yaitu peningkatan laba.
2.8
Penelitian Yang Berhubungan Dengan Tugas Akhir
a.
Nama
: Ferdian, T., Prasasya, A., Subagio, B. S., Hendarto, S. 
Tahun
: 2008
Judul
:Analisis Struktur Perkerasan Lentur Menggunakan Program
Everseries dan
Metoda AASHTO 1993
Studi Kasus : Jalan Tol
Jakarta-Cikampek
Tujuan Penelitian : untuk menganalisa struktur perkerasan jalan tol Jakarta-
Cikampek.
  
49
Dalam salah satu kesimpulan penelitiannya menyebutkan
dengan
membandingkan Kumulatif ESAL Rencana dan Aktual selama periode 1998-
2008, terdapat suatu perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya.
Nilai Kumulatif ESAL Aktual lebih besar dibandingkan Kumulatif ESAL
rencana. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi faktor pertumbuhan 7,5% tidak
sesuai dengan tingkat pertumbuhan aktual yang terjadi. Dalam hal ini nilai
Kumulatif ESAL Aktual lebih dapat menggambarkan kondisi struktur
perkerasan akibat beban kendaraan , sehingga nilai Kumulatif ESAL Aktual
dianggap yang lebih menentukan dalam perencanaan tebal overlay
dibandingkan Kumulatif ESAL Rencana.
b.
Nama
: Wahid Ahmad 
Tahun
: 2009
Judul
:
Perencanaan Pelapisan Tambah Pada Perkerasan Kaku Berdasarkan
Metoda Bina Marga dan AASHTO (Study Literatur)
Tujuan Penelitian : Membahas Pelapisan Tambah
Pada Perkerasan Kaku
Dengan Menggunakan Metoda Bina Marga 2002
dan AASHTO 1993,
Menghitung Tebal Lapis Tambah Dengan Pemisah dan Tebal Lapis Tambah
Langsung Dengan Menggunakan Metoda Bina Marga
dan AASHTO 1993
dan Membandingkan Hasil Yang Diperoleh Dari Kedua Metoda Tersebut.
Dalam salah satu kesimpulan penelitiannya menyebutkan tebal lapis tambah
yang diperoleh dengan menggunakan metoda Bina Marga 2002 untuk desain
overlay
pada pelapisan tambah langsung lebih besar jika dibandingkan
dengan menggunakan metoda AASHTO 1993, sedangkan tebal lapis tambah
yang diperoleh dengan menggunakan metoda Bina Marga 2002 untuk desain
  
50
overlay pada pelapisan tambah dengan pemisah lebih kecil jika dibandingkan
dengan menggunakan metoda AASHTO 1993.
c.
Nama
: Makmur Sairung 
Tahun
: 2011
Judul
:
Penerapan Metode AASHTO Pada Perencanaan Perkerasan Jalan
Poros Maros-Pangkep
Tujuan Penelitian : Untuk Membandingkan Tebal Perkerasan dengan
Menggunakan Metode Bina Marga.
Dalam salah satu kesimpulan penelitiannya menyebutkan Perhitungan
dengan metode AASHTO menghasilkan nilai lapisan pondasi bawah = 20
cm, sedangkan metode Bina Marga menghasilkan hasil pondasi bawah = 27
cm. 
d.
Nama
: Care, F.R.A.M., Subagio, B.S., Rahman, H., Kusumawati, A
Tahun
: 2012
Judul
:
Evaluasi Kondisi Struktural Perkerasan Lentur Menggunakan
Metoda AASHTO 1993 Studi Kasus : Ciasem-Pamanukan (Pantura)
Tujuan Penelitian : Mengevaluasi kinerja struktural perkerasan lentur
menggunakan metode non-destructive
lewat evaluasi struktural dengan alat
FWD menggunakan metoda AASHTO 1993.
Dalam salah satu kesimpulan penelitiannya menyebutkan pada jalur cepat
untuk kedua arah ketebalan overlay rata-rata yang dibutuhkan cukup besar
yaitu ± 21 cm dimana hal ini disebabkan oleh nilai SN
f
yang besar
yang
dibutuhkan pada tahun 2014
akibat nilai kumulatif ESAL yang tinggi
  
51
sehingga pada ruas ini kemungkinan diperlukan suatu penanganan khusus,
sedangkan pada jalur lambat ketebalan overlay rata-rata
yang dibutuhkan
tidak terlalu besar yaitu ± 11 cm dimana hal ini disebabkan oleh  nilai SN
f
yang lebih kecil
yang dibutuhkan pada tahun 2014 akibat nilai kumulatif
ESAL yang lebih rendah.
e.
Nama
: Andika, R.P., Subagio, B.S., Hariadi, E.S., Sulaksono, S.W. 
Tahun
: 2012
Judul
: Analisis Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur Menggunakan
Metode AASHTO 1993 dan Program ELMOD 6 
Tujuan Penelitian : Melakukan kajian perbandingan tebal lapis tambah
(overlay)
perkerasan lentur dengan metode AASHTO 1993 dan Program ELMOD 6.
Dalam salah satu kesimpulan penelitiannya menyebutkan tebal lapis tambah
hasil analisis dari metode AASHTO 1993 adalah hampir sama dengan tebal
lapis tambah hasil perhitungan dari Program ELMOD 6 untuk asumsi
struktur 5 lapis. Hal ini menunjukkan tingkat ketelitian perhitungan yang
sejalan dengan meningkatnya jumlah lapisan.
  
52
2.8.1
Roadmap Penelitian
Tabel 2.21 Roadmap Penelitian
No.
Deskripsi Penelitian
Penelitian
a
b
c
d
e
Penelitian ini
1
Metoda
 
AASHTO 1993
 
b
SNI 1732-1989-F
 
 
 
 
 
c
Bina Marga 
 
 
 
 
2
Program
 
a
ELMOD 6
 
 
 
 
 
 
b
Everseries
 
 
 
 
 
3
Analisis
 
a
Volume Lalu Lintas
 
b
Faktor Truk
 
c
Kumulatif ESAL
 
d
Lintas Ekivalen Rencana
 
 
 
 
e
Faktor Regional
 
 
 
 
f
Umur Sisa
 
g
Tebal Lapis Tambah
 
h
Biaya
 
 
 
 
 
4
Studi Parameter
 
 
 
 
 
Sumber : 
a. Ferdian, T. Dkk, b. Wahid Ahmad, c. Makmur Sairung, d. Care, F.R.A.M. Dkk,
e. Andika, R.P. Dkk