17
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Perpajakan dan Aspek Internasional Terhadap Pajak Indonesia
2.1.1 Pengertian Pajak Secara Teori
Pengertian pajak berdasarkan UU KUP no 28 Tahun 2007 adalah,
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Selain menurut UU,
beberapa ahli juga memberikan definisinya sendiri
mengenai pajak antara lain (Diaz Priantara, 2012) :
Menurut Dr. NJ. Feldman dalam buku De Over Heidmiddelen Van Indonesia,
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada
pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa
adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran umum.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro SH di dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Hukum Pajak
diungkapkan bahwa pajak adalah peralihan
kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang
yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan (tegenprestatie)
yang secara langsung dapat ditunjukan, yang digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum dan sebagai alat pendorong, penghambat, atau pencegah
untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara.
  
18
Menurut Prof. Dr. MJH Smeets dalam bukunya De Economiche Betekenis
der Belastingen menjelaskan bahwa pajak adalah prestasi kepada pemerintah
yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa
adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual,
maksudnya untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri yang melekat pada pajak adalah :
1.
Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena keabsahannya telah diatur dalam
undang-undang
2.
Dalam pembayaran pajak tidak didapatkan kontra prestasi langsung.
3.
Pajak diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran negara.
2.1.2. Fungsi Pajak
Pajak bagi negara tidak hanya berguna secara meteriil saja namun juga
memiliki fungsi lain. Fungsi pajak antara lain (Waluyo, 2011):
a.
Fungsi anggaran (budgetair)
Fungsi ini merupakan fungsi utama dari pajak yaitu untuk mengalirkan dana
masuk ke dalam kas negara seoptimal mungkin sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. 
b.
Fungsi mengatur (regulernd)
Fungsi mengatur ini digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu
dari pemerintah di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak
sebagai fungsi regulernd
adalah pajak atas barang mewah. Semakin mewah
suatu barang maka pajak yang dikenakan akan semakin tinggi. Hal ini
  
19
dimaksudkan agar masyarakat tidak berlomba-lomba membeli barang mewah.
Selain itu pajak ekspor 0%, dimaksudkan untuk mendorong hasil produksi
dalam negeri untuk terus dijual ke pasar internasional.
c.
Fungsi pemerataan (distribution)
Pajak yang dipungut dari rakyat akan didistribusikan secara merata ke segala
sektor pembangunan dan wilayah di Indonesia. Hal tersebut bertujuan agar
bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat di Indonesia. 
d.
Fungsi demokrasi
Peraturan perpajakan disusun oleh para wakil rakyat di DPR, adapun hal
tersebut sebagai bentuk bahwa pajak merupakan suatu bentuk demokrasi
rakyat
Indonesia. Di samping itu, pajak memiliki prinsip dari rakyat untuk
rakyat. Prinsip tersebut berarti bahwa rakyat Indonesia
sepakat untuk
membayar pajak demi kepentingan bangsa Indonesia juga.
2.1.3. Asas Pemungutan Pajak
Terdapat tiga aspek pemungutan pajak yaitu (Diaz Priantara, 2012) :
1.
Asas domisili atau tempat tinggal
Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh
penghasilan WP yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah
teritorialnya. Penghasilan yang dikenakan pajak adalah seluruh penghasilan
WP baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri (worldwide income).
Asas ini adalah asas yang digunakan di Indonesia dalam UU PPh yang
berlaku.
  
20
2.
Asas sumber
Menurut asas ini, negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
berasal dari wilayah teritorialnya tanpa melihat darimana WP berasal. Dalam
halnya Indonesia, segala penghasilan yang diterima atau diperoleh di
Indonesia akan dikenakan PPH. Asas ini digunakan pada PPH pasal 26, WP
Luar Negeri yang menerima penghasilan di Indonesia akan dikenakan pajak.
3.
Asas kebangsaan
Asas
ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dilihat berdasarkan status
kewarganegaraan WP. Besarnya pajak akan sesuai dengan kewarganegaan
WP tersebut.
2.1.4.  Peran Pajak
Indonesia sebagai negara berkembang kini sangat bergantung pada pajak.
Pajak dijadikan sebagai pilar utama untuk menopang pembangunan dan pembiayaan
negara. “Tujuan utama kebijakan fiskal adalah mewujudkan pemanfaatan sumber
daya yang terbatas (budget constrait) untuk mendorong tercapainya sasaran-sasaran
pembangunan secara optimal.” (Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2012)
  
21
Gambar 2.1. Grafik Perkembangan Penerimaan Perpajakan Negara 2007-2012
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa penghasilan negara dari pajak terus
mengalami peningkatan. Pendapatan dari sektor pajak yang terus meningkat tersebut
tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam rangka ekstensifikasi dan intensifikasi
perpajakan Indonesia. Ekstensifikasi adalah menjaring wajib pajak yang belum
terdaftar dan objek pajak yang belum dipajaki. Sedangkan intensifikasi adalah
optimalisasi pemajakan atas objek pajak yang belum sepenuhnya dipajaki. Kedua
upaya tersebut dilakukan pemerintah dalam bentuk sensus pajak nasional, yang
dilakukan di tahun 2011-2012. 
Sumber : Departemen Keuangan Indonesia
Gambar 2.2. Grafik Kontribusi Pendapatan Perpajakan Negara 2007-2012 
  
22
Dari grafik diatas dapat dilihat pajak penghasilan non migas memegang peran
paling besar dalam pendapatan negara dari sektor pajak. Pendapatan PPh nonmigas
meningkat rata-rata 16,5 %
per tahun pada periode  tahun 2007—2011. Pendapatan
PPh nonmigas tersebut terutama bersumber dari pendapatan PPh Pasal 25/29 Badan
dan PPh Pasal 21 yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata 43,3 % dan
19,5 %. Pendapatan PPh Pasal 25/29 Badan meningkat rata-rata 17,6 % per tahun,
sedangkan pendapatan PPh Pasal 21 meningkat rata-rata 14,1 % per tahun. Walaupun
sektor ini merupakan pemberi asupan pendapatan terbesar bagi pemerintah, sektor ini
juga yang paling rentan sebagai tempat penghindaran pajak. (Departemen Keuangan
Republik Indonesia, 2013)
2.1.5. Pajak Penghasilan dan Aspek Internasional yang Terkandung di
Dalamnya
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan atau
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima WP baik dari dalam maupun luar
negeri. Pajak penghasilan dipungut berdasarkan pada Undang-undang No 36 Tahun
2008. Undang-undang tersebut merupakan pembaharuan terakhir setelah sebelumnya
merupakan Undang-undang  No 7 Tahun 1983.
2.1.5.1. Subjek Pajak
Subjek pajak adalah orang atau badan atau pihak yang dikenakan pajak. Pajak
penghasilan yang dikenakan kepada subjek pajak adalah pajak atas penghasilan yang
diperolehnya pada suatu tahun pajak tertentu. Pengertian subjek pajak meliputi:
  
23
1.
Orang Pribadi
Orang Pribadi (OP) adalah individu yang bertempat tinggal atau berada di
dalam wilayah Indonesia maupun luar Indonesia, OP dalam negeri dikenakan
pajak bila penghasilannya telah melebihi Penghasilan Kena Pajak.
2.
Warisan yang belum terbagi
Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan sebelum dibagikan
kepada pihak yang berhak memilikinya. Warisan yang belum terbagi ini
merupakan subjek pajak pengganti menggantikan pihak yang berhak (ahli
waris).
3.
Badan
Berdasarkan UU No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Subjek pajak badan dalam negeri
menjadi wajib pajak sejak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
4.
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang berada di
Indonesia kurang dari 183 hari dalam 12 bulan atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan
  
24
usahanya di Indonesia. Kewajiban perpajakan untuk BUT disamakan dengan
subjek pajak dalam negeri.
Berdasarkan lokasi geografisnya, subjek pajak dibagi menjadi subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri.
a.
Subjek pajak dalam negeri
Subjek pajak dalam negeri antara lain:
1.
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia lebih dari 183 hari (bisa diakumulasikan) dalam jangka waktu
12 bulan atau orang pribadi yang selama satu tahun pajak penuh berada
di Indonesia atau berniatan untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2.
Badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia, terkecuali
beberapa unit tertentu yang diatur oleh UU.
3.
Warisan yang belum terbagi.
Warisan yang masih merupakan suatu
kesatuan dan masih belum dibagikan kepada ahli warisnya.
b.
Subjek pajak luar negeri
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari dan badan yang tidak
didirikan dan berkedudukan di Indonesia tetapi :
a.
Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap.
b.
Menerima penghasilan dari Indonesia di luar dari penghasilan BUT.
Subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia akan
dikenakan pajak dengan cara pemotongan. Besar tarif pemotongan PPh
adalah 20% dari jumlah bruto. Penghasilan yang diperoleh baik dari usaha
maupun dari modal, keduanya akan mendapat perlakuan sama dalam
  
25
pemotongan pajaknya. Penghasilan yang dikenakan pajak antara lain
(Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, 2011):
1.
Dividen
2.
Bunga, termasuk premium, dikonto, dan imbalan yang sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
3.
Royalti, sewa dan penghasilan
4.
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan
5.
Hadiah dan penghargaan
6.
Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
7.
Premi swap dan transaksi lindung lainnya
8.
Keuntungan karena pembebasan utang
Selain dari penghasilan di atas, pemotongan penghasilan akan dilakukan sebesar
20% dari jumlah neto atas :
1.
Keuntungan dari penjualan harta di Indonesia
2.
Premi asuransi yang dibayar perusahaan asuransi luar negeri.
2.1.5.2. Objek Pajak
Berdasarkan UU PPh no 36 Tahun 2008,
yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a.
penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
  
26
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini
b.
hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan 
c.
laba usaha 
d.
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1.
keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
2.
keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya
3.
keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan
usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apa pun 
4.
keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
5.
keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan
  
27
e.
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
f.
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang
g.
dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi
h.
royalti atau imbalan atas penggunaan hak
i.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j.
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
k.
keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
l.
keuntungan selisih kurs mata uang asing
m.
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
n.
premi asuransi
o.
iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
p.
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak
q.
penghasilan dari usaha berbasis syariah
r.
rimbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan dan
s.
surplus Bank Indonesia
  
28
2.1.5.3.Tarif Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak dan tarif pajak untuk Wajib Pajak Dalam
Negeri Orang Pribadi merupakan tolak ukur dalam menghitung besarnya pajak yang
akan dibayarkan Wajib Pajak Orang Pribadi. Besar lapisan penghasilan kena pajak
dapat berubah sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan Menteri Keuangan. Saat ini
tarif yang berlaku adalah tarif berdasarkan Pasal 17 ayat 1, UU No. 36 tahun 2008
tentang perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Lapisan penghasilan kena pajak dan tarif yang berlaku sekarang adalah : 
Tabel 2.1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak dan Tarif Pajak
Penghasilan Kena Pajak
Tarif
Penghasilan 0 - Rp 50.000.000 
5%
Penghasilan Rp 50.000.001  - Rp 250.000.000 
15%
Penghasilan Rp 250.000.001  - Rp 500.000.000 
25%
Penghasilan di atas Rp 500.000.000 
30%
Sumber : PKF Worldwide Tax guide 2012
Selain Wajib Pajak Orang Pribadi, ada juga tarif pajak untuk Wajib Pajak
Dalam Negeri Badan adalah sebesar 25%. Tarif tersebut berlaku sejak Januari 2010.
Sebelumnya tarif pajak badan adalah 28%. Penghasilan lain yang dikenakan pajak di
Indonesia adalah penghasilan atas pasive income
seperti bunga, dividen, royalti dan
hadiah yaitu sebesar 15 % atas nilai bruto penghasilan. Selain itu ada juga
penghasilan yang dikenakan PPh final 4(2) yaitu penghasilan pengalihan harta
berupa tanah/bangunan, konstruksi, real estate
ataupun dari sewa atas tanah atau
bangunan, bunga atas tabungan dan deposito, hadiah undian, dan transaksi saham
serta sekuritas lainnya.
  
29
Bagi wajib pajak luar negeri, besaran tarif pajak diatur di dalam tax treaty
Indonesia dengan negara-negara luar. Berikut merupakan data tarif witholding tax
yang tercakup di dalam tax treaty :
  
   
Tabel 2.2. Witholding Tax Indonesia dan Negara Mitra P3B
Sumber : PKF Worldwide Tax guide 2012
Dari tabel tersebut dapat dijelaskan dari point a) tarif 7.5% atas royalti dari
jasa managemen
sedangkan tarif 10% atas penggunaan penggunaan ataupun hak
untuk menggunakan alat-alat perlengkapan industri, perdagangan atau ilmu
pengetahuan, atau untuk informasi mengenai pengalaman di bidang industri,
perdagangan atau ilmu pengetahuan serta tarif 15% atas atas penggunaan, atau hak
untuk menggunakan setiap hak cipta kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah
termasuk film, sinematografi, paten, merek dagang, pola atau model, perencanaan,
resep, atau cara pengolahan yang dirahasiakan.
Pada point b), tarif sebesar tidak lebih dari 15% dapat dipungut oleh negara
sumber, dengan syarat
yang menerima penghasilan bunga merupakan benar-benar
beneficial owner.
 
Dividen (%)
Bunga (%)
Royalti (%)
Australia
15
10
15
Belgia
10
10
10
Canada
10
10
10
China
10
10
10
Denmark
10
10
0
France
10
10/15 (b)
10
Germany
10
0
7,5/10/15 (a)
Hongkong
5/10 (d)
10
5
Indonesia
 
 
 
Jepang
10
10
10
Korea
10
10
15
Netherlands
10
10
10
Singapore
10/15 (c)
10
15
Swiss
10
10
10
UK
10
10
15
US
10
10
10
  
30
Pada point c) tarif sebesar 10% atas bunga yang dibayarkan oleh bank, lembaga
keuangan atau oleh suatu perusahaan yang kegiatannya terutama dijalankan dalam
bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan, pembuatan
barang, industri, pengangkutan, proyek perumahan murah, pariwisata dan prasarana,
dan dibayarkan kepada suatu bank atau perusahaan lainnya.
Dan yang terakhir, point d) tarif pajak sebesar 5% bila kepemilikan saham atas
perusahaan yang berdiri di Hongkong sebesar minimal 25%.
2.2. Perpajakan Internasional
Globalisasi yang semakin berkembang saat ini membuat koneksi semakin luas
bagi para pelaku ekonomi Indonesia. Globalisasi memunculkan semakin banyaknya
perusahaan multinasional di dunia dan transaksi internasional dari dan ke Indonesia.
Dalam konteks perpajakkan, segala transaksi yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional ini tentulah memiliki peluang memiliki kewajiban untuk membayarkan
pajaknya. Pada umumnya pemungutan pajak akan dilakukan oleh negara dimana
perusahaan multinasional tersebut melakukan kegiatan usaha atau mendapatkan
keuntungan. Di sisi lain, begitu luasnya ruang ekonomi global menimbulkan begitu
banyak ruang-ruang abu-abu yang bisa dijadikan sarana untuk melarikan kekayaan
demi untuk menghindari pajak. 
Begitu peliknya permasalahan perpajakan, mendorong pemerintah negara
untuk mendesign peraturan pajak internasional. Tujuan penyusunan peraturan pajak
internasional antara lain:
1.
Memperoleh keadilan atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi
lintas batas negara.
2.
Meningkatkan persaingan ekonomi domestik.
  
31
3.
Memberikan kenyamanan hukum bagi para investor.
Terdapat dua dimensi dalam perpajakan internasional suatu negara :
1.
Pemajakan atas Wajib Pajak Dalam Negeri atas penghasilan yang berasal dari
luar negeri.
2.
Pemajakan atas Wajib Pajak Luar Negeri atas penghasilan yang berasal dari
dalam negeri.
Dua dimensi pajak internasional seperti yang telah disebutkan diatas, tentulah
melibatkan sedikitnya dua negara. Dua negara, dua ketentuan hukum yang berbeda,
dua kepentingan yang berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut tentulah memunculkan
konflik dalam pajak internasional. Faktor-faktor penghubung dalam konflik antara
yuridiksi pemajakan disebabkan oleh (Surahmat, 2007) :
1.
Konflik antara
asas domisili dan asas sumber. Hal ini terjadi bila sebuah
negara domisili mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima WP di
negara lain dimana negara lain telah mengenakan pajak atas penghasilan
tersebut karena diperoleh di negaranya. Dalam hal ini terjadi konflik antara
world wide income principle dengan teritorial income principle.
2.
Konflik karena perbedaan definisi “penduduk”. Orang pribadi atau badan
dikenakan pajak di dua negara karena definisi penduduk yang ada di dua
negara tersebut. Wajib Pajak tersebut dianggap berdomisili di negaranya oleh
kedua negara.
3.
Konflik karena perbedaan definisi tentang “sumber penghasilan”. Pengenaan
pajak berganda dapat terjadi bila dua negara mengklaim penghasilan yang
sama dari seorang WP yang bersumber dari negara mereka.
  
32
Pada dasarnya, penghasilan yang mengalir dari satu negara ke negara lain
harus dikenakan pajak. Negara yang mengenakan pajak bisa negara tempat
penghasilan berasal ataupun negara tempat penghasilan diterima. Untuk mencegah
seorang WP membayar pajak untuk penghasilan yang sama dua kali maka
dibentuklah suatu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). 
Di sisi yang berlawanan dari adanya pengenaan pajak berganda, tidak sedikit
Orang Pribadi atau badan yang berusaha untuk tidak dikenakan pajak sama sekali
atau berusaha membayar pajak sesedikit mungkin. Terdapat beberapa cara untuk
melakukan penghindaran pajak, namun yang akan dibahas di dalam penelitian ini
adalah jenis penghindaran yang dilakukan di negara tax haven.
2.2.1.
Negara Tax Haven
2.2.1.1.
Pengertian Negara Tax Haven Berdasarkan Undang-Undang di
Indonesia
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau
special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan
istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan
saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Pernyataan tersebut dikutip dari UU PPh terbaru, yaitu UU PPh No. 36 tahun
2008 pasal 18 (3c). Berdasarkan kutipan tersebut,  tax haven dideskripsikan sebagai 
negara yang memberikan perlindungan pajak.
Penentuan suatu negara sebagai tax haven
dapat dilakukan dengan dua
metode, yang pertama dengan pembuatan list negara tax haven
dan yang kedua
dengan menentukan kriteria tax haven. Indonesia dulunya menggunakan metode
yang pertama dan memiliki list tax haven. List tersebut tertuang dalam Keputusan
  
33
Menteri Keuangan No. 650/KMK.04/1994. Dalam KMK ini disebutkan 32 negara
yang dikategorikan
sebagai tax haven. KMK ini tidak membahas apapun mengenai
tax haven, namun memberikan lampiran mengenai list dari negara yang dianggap tax
haven. Negara tax haven antara lain :
1.
Argentina
2.
Bahama 
3.
Bahrain
4.
Balize
5.
Bermuda
6.
British Isle 
7.
British Virgin Island
8.
Cayman Island
9.
Channel Island Greensey
10. Channel Island Jersey
11. Cook Island 
12. El salvador
13. Estonia 
14. Hongkong
15. Liechtenstein 
16. Lithuania 
17. Macau
18. Mauritius
19. Mexico
20. Nederland Antiles
21. Nikaragua
  
34
22. Panama
23. Paraguay
24. Peru
25. Qatar
26. St.Lucia
27. SaudiArabia
28. Uruguay
29. Venezuela
30. Vanuatu
31. Yunani
32. Zambia
Untuk saat ini, KMK tersebut telah dicabut dan digantikan dengan PMK
Nomor 256/PMK.04/2008. Sama halnya dengan KMK sebelumnya, dalam PMK ini
tidak dibahas mengenai tax haven, bahkan daftar tax haven
tidak lagi ada dalam
lampiran. Saat ini Indonesia memilih untuk menggunakan metode yang kedua yaitu
dengan penentuan kriteria negara tax haven dibanding dengan pembuatan list negara
tax haven. Keberadaan list negara tax haven
walaupun memberikan keputusan
mutlak mengenai negara mana saja yang merupakan tax haven, tetapi keberadaannya
juga dianggap memberi pengaruh buruk bagi hubungan diplomatik antara Indonesia
dengan negara tax haven
karena dengan menetapkan mereka sebagai negara tax
haven seolah Indonesia “memblacklist” mereka.
Saat ini Indonesia lebih memilih menggunakan kriteria sebagai sarana
menentukan negara tax haven bagi Indonesia. Penggunaan metode kriteria walaupun
kurang memberi kuputusan yang pasti mengenai negara mana saja yang dianggap tax
  
35
haven, tetapi dianggap lebih aman bagi hubungan diplomatik bagi kedua negara.
Kriteria tersebut tertuang dalam SE Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993.
Berdasarkan SE tersebut, kriteria tax haven adalah:
1. Negara yang tidak memungut pajak
2. Memungut pajak lebih rendah dari pada Indonesia.
Kriteria yang lebih detail mengenai tax haven
terdapat di PER-34/PJ/2010
tentang Petunjuk Pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
Kriteria tax haven country yaitu: 
a.
Negara yang mengenakan tarif pajak rendah atau negara yang tidak mengenakan
PPh  atau 
b.
Negara yang menerapkan kebijakan kerahasiaan bank dan tidak melakukan
pertukaran informasi. 
1.
Negara yang mengenakan tarif rendah adalah negara yang mengenakan tarif
pajak atas penghasilan lebih rendah 50% dari tarif badan di Indonesia. (untuk
tahun 2009 lebih rendah dari 14% dan untuk tahun 2010 lebih rendah dari
12,5%) 
2.
Negara yang menerapkan kebijakan kerahasiaan bank dan tidak melakukan
pertukaran informasi adalah negara atau jurisdiksi yang berdasarkan
perundang-undangannya melarang pemberian informasi nasabahnya, 
2.2.1.2. Pengertian Negara Tax Haven secara Internasional
Pada saat ini, para pelaku ekonomi di pasar global menganggap OECD
sebagai patokan utama dalam menentukan kebijakan. Organization for Economic
Cooperation and Development
(OECD) merupakan organisasi internasional
  
36
beranggotakan 30 negara maju yang bertugas membantu negara anggotanya dalam
menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan tata pemerintahan dalam ekonomi global.
Indonesia memang bukan merupakan anggota OECD , namun secara global pendapat
yang dikeluarkan OECD yang lebih maju dan berkembang dijadikan dasar berfikir
negara-negara berkembang anggota UN Model. 
Negara-negara OECD sangat sadar akan bahaya dari tax haven country,
bahkan menurut Sekretaris Jenderal OECD Jose Angel Gurria, jumlah uang yang
disembunyikan oleh perseorangan dan korporasi di negara atau wilayah
tax havens
untuk menghindari pajak atau menghindar dari ketidakstabilan politik berkisar antara
USD 5-7 triliun
(Husein, 2009). Berlandaskan kesadaran akan masalah yang
ditimbulkan negara tax haven, anggota OECD secara berkala melakukan pertemuan
dan mengumumkan laporan perkembangan negara tax haven
Menurut OECD, negara yang disebut Tax Haven Country adalah negara yang
memenuhi minimal satu saja dari kriteria ini (OECD, 2009)  :
1.
Tidak memungut pajak atau memungut pajak dengan nominal tertentu saja
(bukan presentase).
2.
Tidak ada atau tidak efektifnya mekanisme pertukaran informasi.
3.
Tidak adanya transparansi dalam administrasi perpajakan, atau
4.
Tidak adanya suatu kegiatan yang memiliki substansi ekonomi.
Laporan terbaru dari OECD menjelaskan mengenai implementasi
International Agreed Standard on Exchange of Information for Tax Purposes. Dalam
laporan tersebut dibahas mengenai pembagian negara di dunia menjadi empat
  
37
kelompok, adapun salah satu dasar pembagiannya adalah banyaknya perjanjian yang
dibuat mengenai pertukaran informasi mengenai masalah perpajakan. (Husein, 2009)
1.
Negara yang sudah menerapkan standar itu secara substansial (40 negara).
2.
Tax havens countries
yang sudah sepakat untuk menerapkan standar
internasional, tetapi secara substansial belum menerapkannya (34 negara).
3.
Financial center
lain yang sepakat untuk menerapkan standar internasional
tersebut, tetapi belum menerapkannya secara substansial (8 negara). 
4.
Negara-negara yang belum memberikan komitmen untuk menerapkan standar
tersebut (4 negara).
2.3. Upaya Tax Avoidance
Setiap perusahaan yang berorientasi pada laba pasti akan berusaha melakukan
segala tingkat efisiensi biaya untuk mendongkrak tingkat laba, salah satunya cara
efisiensi adalah peningkatan pajak. Di masa kini, usaha peningkatan efisiensi pajak
didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan globalisasi yang memudahkan
setiap perusahaan untuk terus mengembangkan bisnisnya dan tentu saja juga
mengembangkan metode efisiensi biayanya. Di sisi lain, setiap negara memiliki
yuridiksi perpajakan yang berbeda-beda, adanya perbedaan akan memberikan ruang
bagi Wajib Pajak, terutama multinational company untuk melakukan penghindaran
pajak berupa pembukaan offshore company
oleh multinational company
yang
negaranya mengenakan tarif pajak yang tinggi ke negara yang tarifnya rendah atau
nol sama sekali. Keuntungan perusahaan akan dialihkan ke perusahaan cabang dalam
rangka penghindaran pajak. Kini, penghindaran pajak tidak lagi dilakukan dalam
skala kecil atau sempit tetapi meluas hingga menjadi skala internasional dengan
menggunakan negara tax haven.
  
38
Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi :
1.
Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).
Penghindaran pajak jenis ini dianggap legal di mata hukum, sering disebut
sebagai aggressive tax planing.
2.
Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
Penghindaran pajak jenis ini tentunya, dianggap ilegal di mata hukum, sering
disebut sebagai defensive tax planing.
Menurut Rolf Eicke, upaya untuk meminimalkan beban pajak sebagai berikut (Eicke,
2008) :
1.
Secara Legal
a.
Tax planning
Elemen : bentuk pemilihan antara pengurang pajak dan insentif pajak.
Konsekuensi : manfaat pajak yang diperoleh dari transaksi yang
mempunyai substansi bisnis.
b.
Tax avoidance
Elemen : bersifat semu (tidak mempunyai substansi bisnis), dengan
memanfaatkan kelemahan dari peraturan pajak yang tidak sesuai
dengan maksud dan tujuan dari peraturan perpajakan tersebut dengan
tujuan mendapatkan manfaat pajak.
Konsekuensi : tidak diperkenankan otoritas pajak
2.
Secara ilegal
a.
Tax evasion
Elemen : tidak memasukkan SPT atau memasukkan SPT dengan tidak
benar, tidak melakukan pembayaran pajak yang terutang, tidak
  
39
menyetorkan pajak yang dipungut, melanggar peraturan perpajakan,
melakukan tindak pencucian uang atas pajak yang digelapkan.
Konsekuensi : denda yang sangat tinggi.
b.
Tax fraud
Pada dasarnya, prinsip tax fraud
sama dengan tax evasion. Jenis
penghindaran ini diterapkan di Swiss.
Elemen : melakukan penyelundupan pajak, melakukan penipuan
dengan cara sengaja untuk mendapatkan keuntungan pajak.
Konsekuensi : denda yang sangat tinggi dan hukuman pidana berupa
penjara.
Dalam penelitian ini, penghindaran yang akan dibahas lebih lanjut adalah tax
avoidance. Menurut OECD, tax avoidance
adalah suatu rencana yang disusun
pembayar pajak yang ditujukan untuk mengurangi kewajibannya dalam membayar
pajak dimana rencana tersebut sepenuhnya legal namun sebenarnya berkontradiksi
dengan maksud dan tujuan dibuatnya ketentuan hukum tersebut. Ketentuan hukum
yang dibuat oleh otoritas hukum tiap negara terkadang diartikan atau ditafsirkan lain
oleh penggunanya. Bahkan terkadang para pengguna cenderung berusaha mencari
celah untuk menyalahartikan ketentuan hukum demi untuk kepentingannya sendiri
(Rohatgi, 2007).
Tax avoidance
adalah tax planning
yang tidak menguntungkan pemerintah
bahkan cenderung merugikan pemerintah. Tax avoidance
memang tidak bisa
dikatakan ilegal secara hukum, namun terasa kurang adil bila dilihat dari perspektif
pemerintah yang menjadikan pajak sebagai sumber penghasilan.
  
40
2.3.1.
Media Meminimalkan Beban Pajak yang dilakukan di Negara Tax
Haven
Pada dasarnya, penghindaran pajak ke negara tax haven
dilakukan dengan
membentuk perusahaan afiliasi di negara tax haven. Menurut Undang-Undang No 8
Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, syarat suatu perusahaan dikatakan berafiliasi
adalah jika adanya:
a.
hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota
direksi atau dewan komisaris yang sama
b.
hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik langsung maupun tidak langsung,
mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut
c.
hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun
tidak langsung oleh Pihak yang sama atau
d.
hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.
Bentuk afiliasi yang bisa dijadikan media tax avoidance antara lain:
a.
Holding Company
Holding company atau perusahaan induk adalah suatu badan yang memiliki
kewenangan untuk  mengontrol perusahaan lain yang berstatus sebagai anak
perusahaannya. Holding company berfungsi untuk merencanakan,
mengkoordinasikan, mengkonsolidasikan, mengembangkan, serta
mengendalikan dengan tujuan untuk mengoptimalkan kinerja perusahaan secara
keseluruhan, termasuk anak perusahaan dan juga afiliasi-afiliasinya. 
Dari segi perpajakan, international holding company sangat membantu dalam
tax planning. Menurut Roy Rohatgi dalam bukunya Basic International
Taxation, “Holding company use helps to reduce the pre-tax profits of operating
  
41
subsidiaries abroad through deductible expenses and to minimise the witholding
taxes on the post-tax profits through tax treaties (Rohatgi, 2007).
Holding company
memiliki atau menguasai secara langsung perusahaan
anaknya (subsidiary).
Berikut ini merupakan ilustrasi antara holding company
dan
subsidiary
dalam praktek tax avoidance. Holding company, B Pte. Ltd. 
memiliki sebagian atau seluruh saham dari PT. C.
Gambar 2.3. Skema Holding Company
b.
Intermediary Company
Intermediary adalah suatu anak perusahaan yang berperan sebagai perusahaan
perantara yang nantinya akan menjadi holding company bagi perusahaan lainnya.
Intermediary
memiliki peran ganda, menjadi subsidiary
dan holding company
dalam waktu yang sama. 
Dalam praktek tax avoidance, intermediary
didirikan oleh holding company
di tax haven country dengan tujuan untuk menjembatani hubungan kepemilikian
antara induk  dan anaknya, yang pada umumnya keduanya berkedudukan bukan
di negara yang bertarif pajak rendah. Terdapat tiga skema intermediary company,
antara lain:
1.
Penanaman modal dari Indonesia ke luar negeri melalui intermediary
company. Dalam skema ini, PT. C yang berkedudukan di Indonesia ingin
  
42
memiliki entitas anak di luar negeri, namun dengan menimbang segala
keuntungan yang mungkin bisa didapat melalui tax haven, seperti
tax treaty
antara negara tujuan dan negara tax haven, rendahnya tarif pajak di negara tax
haven,
dan
bank
secrecy, PT. C terlebih dahulu membuka B Pte. Ltd. di
negara tax haven, dan kemudian melalui B Pte. Ltd.,
PT. C akan memiliki
kontrol atas A Corp. sebagai holding company tidak langsung dari A Corp.
Gambar 2.4. Skema Intermediary Company Indonesia-THC-Luar Negeri
2.
Penanaman modal dari dan ke dalam negeri melalui intermediary company.
Dalam skema ini, sebuah perusahaan Indonesia yang ingin membuka anak
perusahaan di Indonesia juga menyadari besarnya pajak di Indonesia. Untuk
menghindarinya, PT. A membuka entitas anak bernama B Pte. Ltd. di negara
tax haven. Pada akhirnya B Pte. Ltd akan berperan sebagai perantara transaksi
antara PT. A dan entitas anak lain di Indonesia yaitu PT. C.
  
43
Gambar 2.5. Skema Intermediary Company Indonesia-THC- Indonesia
3.
Penanaman Modal Asing (PMA) ke dalam negeri melalui intermediary
company.
Skema ini hanya dapat digunakan atas investasi asing yang akan masuk ke
Indonesia. Investor asing yang menyadari cukup tingginya tarif pajak
penghasilan yang ada di Indonesia akan membentuk entitas anak di negara tax
haven guna mengurangi beban pajak yang mungkin akan muncul bila
langsung berinvestasi di Indonesia.
Gambar 2.6. Skema Intermediary Company Luar Negeri -THC- Indonesia
  
44
c.
Subsidiary Company
Subsidiary company
adalah entitas anak yang sahamnya dimiliki sebagian atau
seluruhnya oleh induk perusahaan. Dengan besarnya kepemilikian tersebut
berarti entitas induk memiliki andil untuk control
dan pengambilan keputusan
dalam perusahaan.
Gambar 2.7. Skema Subsidiary Company
2.3.2. Metode Tax Avoidance yang Dilakukan di Negara Tax Haven
a. Transfer Pricing
Menurut Gunadi, transfer pricing
adalah jumlah harga atas
penyerahan barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis finansial maupun bisnis
lainnya. (Gunadi, 2007)
Menurut Mohammad Zain, harga transfer merupakan harga yang
diperhitungkan untuk mengendalian manajemen atas transfer barang dan
jasa antar-pusat pertanggungjawaban laba atau biaya, termasuk determinasi
harga untuk barang, imbalan atas jasa, tingkat bunga pinjaman, beban atas
persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang. (Zain, 2007)
Menurut PER-43 /PJ/2010, transfer pricing
berarti penentuan harga
dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
  
45
Berdasarkan ketiga pengertian tersebut, transfer pricing adalah kesepakatan
bersama dalam penetapan harga dalam transaksi antara perusahaan yang
memiliki hubungan istimewa, baik di dalam satu grup yang sama ataupun
tidak. Biasanya skema transfer pricing yang terjadi adalah membeli barang
dengan harga murah, biasanya dari perusahaan lain di negara dengan tarif
pajak tinggi dan kemudian menjual kembali dengan harga tinggi di negara
tax haven sehingga laba tidak dikenakan pajak secara besar.
b. Treaty Shopping
Di dalam suatu tax treaty, yang diperkenankan menikmati perjanjian
dan fasilitas
yang ada di dalamnya hanyalah negara yang bersangkutan.
Seringkali, Wajib Pajak yang bukan resident dari negara yang bersangkutan
mencari cara tertentu untuk ikut menikmati tax treaty yang ada. Salah satu
caranya dengan membentuk conduit company
di salah satu negara tujuan
atau asal investasi.
Bentuk penghindaran pajak seperti ini dianggap ilegal, karena
dianggap tidak memiliki tujuan yang baik dan tentu saja sangat merugikan
entitas perpajakan negara yang bersangkutan.
Biasanya skema ini terindikasi dari
adanya penggunaan conduit
company
di negara tax haven
sebagai sarana menampung penghasilan dari
negara lain, kemudian tidak ada kegiatan bisnis apapun selain untuk
menerima fasilitas tax treaty yang ada, dan yang terakhir tidak adanya
kekuatan pajak yang kuat dan berpengaruh di negara dimana conduit
company didirikan.
  
46
c. Thin Capitalization
Skema ini merupakan praktek membiayai cabang atau anak
perusahaan lebih besar dengan
utang berbunga dari perusahaan yang
memiliki hubungan istimewa dibanding dengan modal saham. Hal ini dapat
terjadi karena ketentuan perpajakan pembayaran bunga dari WPDN ke
WPLN dapat dibiayakan. Jadi, bila WPLN yang merupakan pemegang
saham meminjamkan uang kepada perusahaan afiliasinya yang adalah
WPDN dari negara tertentu, maka bisa saja terjadi, dasar pengenaan pajak di
negara tersebut berkurang akibat adanya biaya bunga yang berlebihan
kepada pemegang saham.
d. Controlled Foreign Corporation
Controlled Foreign Corporation/Company merupakan perusahaan
terkendali yang dimiliki Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara
yang mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali
(tax haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda
pengakuan penghasilan dalam rangka tax avoidance.
Pendapatan yang berasal dari luar negeri biasanya akan dikenakan
pajak setelah di-accrued atau diterima sebagai pendapatan di negara domisili.
Namun ada suatu cara untuk menghindari pengenaan pajak atas dividen
yang berasal dari luar negeri di negara domisili, yaitu dengan mengalihkan
pendapatan ke intermediary company (controlled foreign corporation-CFC)
yang terdapat di negara tax haven
dan kemudian menunda pengumuman
pembagian dividen. Dan Wajib Pajak Dalam Negeri tidak menuntut haknya
  
47
sama sekali karena memang itu merupakan modus tax avoidance
terselubung.
Suatu CFC didirikan sebagai “artificial share ownership structure”
atau menggunakan perusahaan maya (dikenal sebagai conduit company,
letter box company, special purpose vehicle).
Biasanya, perusahaan
tidak memiliki kegiatan bisnis sama sekali di CFC, berbeda dengan transfer
pricing biasa yang kedua perusahaannya memiliki kegiatan bisnis. Selain itu
penghindaran pajak biasanya dilakukan atas
passive income
seperti bunga,
dividen dan royalti karena penghasilan tersebut paling mudah untuk
dialihkan ke CFC. Pengalihan penghasilan tersebut pastinya akan
mengurangi penghasilan kena pajak di negara sumber dan domisili karena
telah dipindahkan ke negara dimana CFC berdiri.
2.4. Kebijakan Anti Tax Avoidance
Dalam menghadapi skema tax avoidance yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan
skema lainnya yang mungkin merupakan pengembangan dari skema yang ada, pada
umumnya otoritas pajak suatu negara akan mengupayakan upaya pencegahan tax
avoidance. Upaya yang dilakukan adalah upaya secara legal yaitu dengan
membentuk ketentuan perundang-undangan perpajakan seperti
(Septiadi &
Darussalam, 2013) :
a.
Specific Anti Avoidance Rule/ SAAR
SAAR  merupakan ketentuan pencegahan tax avoidance yang bersifat khusus
yaitu atas transaksi seperti transfer pricing, treaty shopping, thin
capitalization, dan controlled foreign company. 
  
48
b.
General Anti Avoidance Rule/GAAR
GAAR merupakan  peraturan yang dibuat untuk mencegah transaksi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak semata – mata untuk tujuan penghindaran pajak
atau transaksi yang tidak memiliki substansi bisnis. Selain itu, tujuan
dibuatnya ketentuan
yang bersifat umum ini adalah untuk
mengantisipasi
praktik penghindaran pajak yang belum diatur secara mendetail dalam
ketentuan
yang bersifat khusus dan/atau untuk menangkal
skema
tax
avoidance yang pada
saat dibuatnya peraturan belum dikenal.
Pentingnya
keberadaan GAAR saat ini juga didukung oleh begitu berkembangnya
teknologi dan bisnis secara global yang memungkinkan munculnya loophole
dalam peraturan perpajakan.