8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Kerangka Teori
2.1.1
Definisi Pajak
Pembangunan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung secara terus
menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasi tujuan tersebut perlu
memperhatikan masalah pada pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk
mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau Negara dalam pembiayaan
pembangunan yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri
berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi
kepentingan bersama. Apabila membahas pengertian pajak, diantaranya pengertian
pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2011:1), “Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. 
Pajak menurut Pasal 1 UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan adalah:
“Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
  
9
Jadi, Pajak merupakan hak prerogatif pemerintah, iuran wajib yang dipungut
oleh pemerintah dari masyarakat (Wajib Pajak) untuk menutupi 
pengeluaran rutin
negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung
berdasarkan undang-undang.
Maka, Sri Pudyatmoko (2009:7) menyimpulkan bahwa unsur yang melekat
dalam definisi pajak, yaitu: 
1.
Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 
2.
Pemungutan Pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari
sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor Negara (pemungut
pajak / administrator pajak). 
3.
Pemungut Pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun pembangunan. 
4.
Tidak dapat ditunjukan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh
pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak.
5.
Selain Fungsi budgeter
(anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara /
Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan
penyelanggaraan pemerintah, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan
sosial (fungsi mengatur / regulatif).  
2.1.2
Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
  
10
pendapatan negara
untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi
menurut Ilyas dan Burton (2010:11), yaitu:
1.
Fungsi Budgetair
Fungsi budgetair adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yakni untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai undang-undang yang
berlaku pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara,
baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Apabila ada sisa
(surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi
pemerintah. Fungsi ini juga tercermin dalam asas efficiency atau asas financial,
yaitu menekankan pada pemasukan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran
yang sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaran perpajakan. Namun, rumusan
ini dianggap terlalu berlebihan karena mengumpulkan uang “sebanyak-
banyaknya” ke kas Negara tanpa memperhatikan undang-undang perpajakan
yang berlaku dapat menimbulkan berbagai ekses.
Bahasa yang lebih tepat untuk fungsi budgetair
ini adalah suatu fungsi
dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukan dana secara optimal
ke kas Negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku.
2.
Fungsi Regulerend
Fungsi Regulerend
disebut juga fungsi tambahan,
dimana pajak-pajak
tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
yang letaknya diluar bidang keuangan, yang terkait dalam aspek kehidupan
sosial, kehidupan masyarakat dan pelaksanaan pemerintahan guna menciptakan
kesejahteraan rakyat atau penduduknya. Disebut sebagai fungsi tambahan karena
fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak, yakni fungsi
  
11
budgetair. Fungsi regulerend ini menyatakan pajak-pajak tersebut akan
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang lepatknya
diluar bidang keuangan.
3.
Fungsi Demokrasi 
Fungsi demokrasi merupakan suatu fungsi yang merupakan salah satu wujud
sistem gotong royong termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi
kemaslahatan manusia.
4.
Fungsi Distribusi 
Fungsi distribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan
sosial ekonomi dalam kehidupan dan keadilan masyarakat. Hal ini dapat terlihat
misalnya dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar
kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih
kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih sedikit.  
2.1.3
Kelompok Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga)
menurut Mardiasmo (2011:5), yaitu pengelompokan menurut golongannya, menurut
sifatnya dan menurut lembaga pemungutannya
1.
Menurut golongannya 
a.
Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak
Penghasilan 
b.
Pajak Tidak Langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai 
  
12
2.
Menurut sifatnya 
a.
Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya
dalam  arti memperhatikan keadaan dalam diri wajib pajak. Contoh: Pajak
penghasilan 
b.
Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 
3.
Menurut lembaga pemungutnya 
a.
Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pmerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea
Materai. 
b.
Pajak Daerah, yaitu Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. 
i.
Pajak Propinsi, contoh: Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Kendaraan
Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaran Bermotor. 
ii.
Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak
Hiburan.
2.1.4
Tarif Pajak
Tarif pajak adalah dasar pengenaan besarnya pajak yang dikenakan kepada
Wajib Pajak yang dinyatakan dalam persentase. Mardiasmo (2011:9) membedakan
tarif pajak menjadi 4 macam, yaitu:
1.   Tarif Proporsional
Tarif Proporsional adalah tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun
  
13
jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional
terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
(PPN).
2.   Tarif Progresif
Tarif
Progresif
adalah
tarif
pajak
dengan
persentase
semakin besar,
bila
dasar
pengetahuan pajaknya semakin besar. Contoh : Pajak Penghasilan.
3. Tarif Degresif 
Tarif Degresif adalah tarif pajak dengan
persentase semakin kecil, bila dasar
pengenaan
pajaknya
bertambah
besar.
Tarif
Degresif
ini
tidak
dipakai
dalam
sistem perpajakan Indonesia.
4.   Tarif Tetap 
Tarif tetap adalah
tarif
berupa
jumlah
yang
tetap
(sama)
terhadap
berapapun
jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh :
Bea Materai.
2.1.5
Sistem Pemungutan Pajak 
Siti resmi (2009:11) menyatakan bahwa dalam memungut pajak dikenal
beberapa sistem pemungutan pajak yaitu:
1.
Official Assessment System  
Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan kepada Fiskus
untuk
menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pepajakan yang berlaku. Dalam sistem ini,
inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di
tangan Fiskus. Contoh : Pajak Bumi dan Bangunan.
  
14
2.
Self Assessment System 
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada
Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan
melaporkan sendiri besarnya hutang pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak yang
aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang
terhutang seseorang, kecuali Wajib Pajak melanggar ketentuan yang berlaku.
Contoh
:
Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak
Penjualan atas Barang mewah (PPN. BM).
3.   Withholding System  
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak
ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terhutang. Pihak
ketiga yang telah ditentukan tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkannya
kepada fiskus pada sistem ini fiskus dan wajib pajak tidak aktif. Fiskus hanya
bertugas mengawasi saja pelaksaan pemotongan atau pemungutan yang
dilakukan oleh pihak ketiga.
2.1.6
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak 
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan hak dan kewajiban Wajib Pajak dibedakan sebagai
berikut:
1.
Hak-hak Wajib Pajak 
a.
Mengajukan surat keberatan dan surat banding. 
b.
Menerima tanda bukti pemasukan Surat Pemberitahuan (SPT).
c.
Menerima pembetulan SPT yang telah dimasukkan.
d.
Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT. 
  
15
e.
Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak. 
f.
Mengajukan permohonan penghitungan pajak yang dikenakan dalam surat
ketetapan pajak. 
g.
Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak. 
h.
Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta
pembetulan surat ketetapan pajak yang salah. 
i.
Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya. 
j.
Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak. 
k.
Mengajukan keberatan dan banding.
2.
Kewajiban Wajib Pajak 
a.
Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 
b.
Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP). 
c.
Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar. 
d.
Mengisi dengan benar SPT dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan
Pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan.
e.
Menyelenggarakan pembukuan / pencatatan. 
f.
Jika diperiksa wajib: 
-
Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek pajak yang terutang pajak. 
-
Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
  
16
g.
Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
serta keterangan
yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban
untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan ditiadakan oleh
permintaan keperluan pemeriksaan.
2.1.7
Subjek dan Objek Pajak Penghasilan
Berdasarkan ketentuan dalam Pajak Penghasilan, yang disebut Wajib Pajak
itu adalah orang pribadi atau badan yang memenuhi definisi sebagai subjek pajak dan
menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan kata
lain dua unsur harus dipenuhi untuk menjadi Wajib Pajak, yaitu Subjek Pajak dan
Objek Pajak.
1.
Subjek Pajak Penghasilan 
Mardiasmo (2011:135) menyatakan pajak penghasilan dikenakan
terhadap subjek pajak atas penghasilan yang di terima atau diperolehnya dalam
Tahun Pajak. Subjek Pajak Penghasilan meliputi orang pribadi, warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, badan, dan
Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Berdasarkan lokasi geografisnya, Subjek Pajak terdiri dari: 
a.
Subjek Pajak Dalam Negeri 
Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila
telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi
PenghasilanTidak Kena Pajak. Subjek Pajak Badan dalam negeri menjadi
Wajib Pajak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek
Pajak Luar Negeri baik Orang Pribadi maupun Badan sekaligus menjadi
Wajib Pajak karena menerima dan atau memperoleh penghasilan yang
  
17
bersumber dari Indonesia atau menerima dan atau memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
b.
Subjek Pajak Luar Negeri 
Subjek Pajak Luar Negeri adalah Orang Pribadi atau Badan yang
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun
tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut
adalah subjek pajak luar negeri.
2.
Objek Pajak Penghasilan 
Menurut Mardiasmo (2011:139) Yang menjadi Objek Pajak Penghasilan
adalah penghasilan. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 yang tercantum
dalam pasal 4 ayat (1) menyebutkan: “Penghasilan adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia, yang dapat di pakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan atau bentuk apapun”.
2.1.8 
Surat Setoran Pajak (SSP)
1.
Pengertian Surat Setoran Pajak 
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan
Keempat
atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa Surat Setoran Pajak (SSP) adalah
bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan
dengan
  
18
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Negara
melalui tempat pembayaran yag ditunjuk oleh Menteri Keuangan (melalui
Kantor Pos dan Bank Persepsi).  
Surat Setoran Pajak (SSP) dibuat dalam rangkap 5 (lima) yang
didistribusikan sebagai berikut: 
a.
Lembar pertama untuk arsip Wajib Pajak; 
b.
Lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN); 
c.
Lembar ketiga untuk dilaporkan oleh Wajib Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP); 
d.
Lembar keempat untuk Kantor Penerimaan Pembayaran; 
e.
Lembar kelima untuk Wajib Pungut atau pihak lain. 
2.
Fungsi Surat Setoran Pajak (SSP) 
Surat Setoran Pajak (SSP) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak
apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang
berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.
2.1.9
Kepatuhan Wajib Pajak
1.
Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak 
Pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) adalah Wajib Pajak
mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban haknya sesuai dengan aturan
yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama,
peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun
administrasi. 
  
19
Sedangkan menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:138) mengatakan bahwa
kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu
keadaan di mana Wajib
Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya. Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu sikap taat dari Wajib Pajak untuk
melaksanakan seluruh kewajiban dan memenuhi hak perpajakannya sesuai
dengan aturan yang berlaku.
Dalam administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa
tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela (voluntary compliance).
Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung dari self assessment system
dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya
dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak
tersebut. 
Kepatuhan sukarela (voluntary compliance) sebagai fondasi dari self
assessment system dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan
secara efektif. Elemen-elemen kunci tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Program pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak. 
b.
Prosedur yang sederhana dan memudahkan Wajib Pajak. 
c.
Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif. 
Pemantauan penegakan hukum pajak secara tegas dan adil.
2. Jenis-jenis Kepatuhan Wajib Pajak 
a.
Kepatuhan Formal (Administratif)
  
20
adalah kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan
Undang-undang perpajakan yang berlaku. 
Contoh : melaporkan SPT
tahunannya tepat waktu.
b.
Kepatuhan Material (Teknis)
adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif (hakekat)
memenuhi semua material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-
undang perpajakan.  Contoh : Wajib Pajak mengisi SPT tahunannya dengan
jujur, lengkap dan benar.
3. Kriteria Wajib Pajak Patuh
Dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang kriteria
Wajib Pajak patuh adalah sebagai berikut : 
1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT Tahunan dalam dua tahun terakhir.
2. Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari
3 masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut.
3.
SPT Masa yang terlambat disampaikan tidak lewat dari batas waktu
penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya.
4.
Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk menunda pembayaran pajak. 
5.
Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang 
perpajakan dalam waktu 10 tahun. 
6.
Laporan Keuangannya harus diaudit oleh Akuntan Publik atau Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan dengan pendapat wajar dengan
pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian tersebut tidak
mempengaruhi laba fiskal. Jika tidak di audit oleh Akuntan Publik, maka
  
21
Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis paling lambat tiga bulan
sebelum tahun buku berakhir. 
Penetapan Wajib Pajak patuh berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun.
Wajib Pajak patuh juga dapat dicabut surat penetapannya oleh Kepala KPP
setempat karena lalai dalam kewajiban perpajakannya. 
2.1.10  Surat Pemberitahuan
Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan dan pelaporannya merupakan kewajiban setiap Wajib Pajak yang
telah memiliki NPWP sebagaimana Pasal 3 ayat 1 UU Ketentuan Umum
Perpajakan Nomor 16 tahun 2009.
Menurut Erly Suandi (2011:157) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah
surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau
harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. 
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan
penghitungan jumlah Wajib Pajak yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang:
  
22
a.
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri
dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu)
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; 
b.
Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; 
c.
Harta dan kewajiban; 
d.
Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa
Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: 
a.
Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b.
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri
oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu
Masa
Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan pajak yang
dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
  
23
Secara garis besar Surat Pemberitahuan (SPT) dibedakan menjadi dua, yaitu: 
a.
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu
Masa Pajak. 
b.
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk
suatu Pajak atau Bagian Tahun Pajak. 
Surat Pemberitahuan (SPT) meliputi: 
a.
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan;
b. 
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa yang terdiri dari: 
-
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan; 
-
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan 
-
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Bagi Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai. 
Batas waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan menurut Erly Suandy
(2011:164) adalah: 
a.
Untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan, paling lama 20
(dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Khusus untuk Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling
lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
b.
Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak;
atau 
c.
Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. 
  
24
Menurut Erly Suandy (2011:166) Wajib Pajak dapat memperpanjang
jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana
dimaksud untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan dengan cara menyampaikan Pemberitahuan
Perpanjangan SPT Tahunan. Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan
dibuat secara tertulis dan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP),
sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri: 
a.
Penghitungan sementara pajak terutang dalam satu Tahun Pajak  
yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
b.
Laporan keuangan sementara; dan 
c.
Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran
pajak yang terutang. 
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan wajib ditandatangani oleh
Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak. Dalam hal Pemberitahuan
Perpanjangan SPT
Tahunan ditandatangani oleh Kuasa Wajib Pajak,
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan harus dilampiri dengan Surat
Kuasa Khusus. 
Menurut Erly Suandy (2011:166) apabila Surat Pemberitahuan tidak
disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau batas waktu
perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan, dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar: 
a.
Rp. 500.000,-
(lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai, 
b.
Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa
lainnya, 
  
25
c.
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, 
d.
Rp. 100.000,-
(seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.  
Wajib Pajak Tertentu yang dikecualikan dari menyampaikan SPT atau yang
sering di sebut Wajib Pajak Non Efektif (KMK NO.535/KMK.04/2000)
adalah sebagai berikut:
a.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilan netonya tidak melebihi
jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak, tidak wajib menyampaikan
SPT Tahunan Pajak Penghasilan maupun SPT Masa Pajak
Penghasilan Pasal 25.
b.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau
melakukan pekerjaan bebas, tidak
wajib menyampaikan SPT Masa
Pajak Penghasilan Pasal 25.
c.
Joint Operation tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT
Tahunan dan SPT Masa Pajak Penghasilan
Pasal 25 (S-
d.
Representative office tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan maupun SPT Masal Pajak Penghasilan Pasal 25 karena 
tidak termasuk sebagai subjek pajak.
Dalam kasus ini Penulis membandingkan antara Wajib Pajak Efektif
dengan jumlah Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang masuk ke KPP
Pratama Jakarta Tanah Abang Satu, serta membandingkan jumlah Surat
  
26
Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang masuk ke KPP Pratama Jakarta Tanah
Abang Satu dengan Wajib Pajak yang terlambat Lapor SPT.
2.1.11 Surat Ketetapan Pajak
Menurut Pasal 1
angka 14 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 ,
Surat Ketetapan Pajak didefinisikan sebagai:
-
Surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ata
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapa
Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
-
Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak kewenanga
mengeluarkan surat ketetapan pajak, dilimpahkan kepada KPP.
-
Surat ketetapan pajak timbul berdasarkan hasil pemeriksaan .
Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP) hanya terbatas kepada
Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian
Surat Pemberitahuan (SPT) atau karena ditemukannya data fisik yang tidak
dilaporkan oleh Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan setelah
proses pemeriksaan selesai dilakukan dan belum dilakukan penyidikan. Surat
Ketetapan Pajak (SKP) memiliki fungsi, yaitu sebagai:
1. Koreksi atas jumlah pajak terhutang menurut SPT Wajib Pajak; 
2. Sarana untuk mengenakan sanksi; 
3. Sarana untuk menagih pajak; 
4. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar; 
5. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terhutang. 
  
27
Surat Ketetapan Pajak terdiri atas enam macam, yaitu Surat Tagihan
Pajak (STP), surat keterangan berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN),
dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). 
2.1.12
Surat Tagihan Pajak
Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat yang diterbitkan untuk
melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau
denda. Surat Tagihan Pajak diatur dalam Pasal 14 UU No.6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009. Surat Tagihan Pajak dapat diterbitkan
dalam hal-hal sebagai berikut: 
1.
Apabila Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar; 
2.
Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
3.
Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda
dan/atau bunga;
4.
Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP); 
5.
Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, tetapi membuat Faktur Pajak; 
  
28
6.
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak
membuat atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak
mengisi selengkapya Faktur Pajak.
Penerbitan Surat Tagihan Pajak akan ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun
pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
Dalam kasus ini Penulis membandingkan antara Surat Ketetapan
Pajak (SKP) yang diterbitkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang telah
dibayar serta membandingkan Surat Tagihan Pajak (STP) yang diterbitkan
dengan Surat Tagihan Pajak (STP) yang telah dibayar.
2.1.13
Surat Teguran
Langkah awal dalam tindakan penagihan adalah penerbitan Surat
Teguran. Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Surat Teguran, Surat
Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh
Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk
melunasi utang pajaknya.
Surat Teguran atau dapat juga disebut Surat Peringatan atau surat lain
yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau
memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Langkah ini diambil sebagai peringatan agar penanggung pajak
segera
  
29
melunasi utang pajaknya untuk menghindari dilakukannya tindakan
penagihan. Surat Teguran juga dimaksudkan agar Penanggung Pajak
mempunyai kesempatan sampai dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari,
sebelum dilakukan upaya paksa dengan diterbitkannya Surat Paksa. Dalam
ketentuan Pasal 27 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun
2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Perpajakan
Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 diatur bahwa dalam hal Wajib Pajak
tidak melunasi jumlah pajak yang masih dibayar dalam jangka waktu yang
telah ditentukan, pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan
terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran.
Berdasarkan Undang-undang Pasal 3 ayat 5(A) mengenai Ketentuan
Umum Perpajakan, “Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
batas waktu
perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran.