19
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori dan Literatur
2.1.1
Agency Theory
Agency theory (teori keagenan) diperkenalkan oleh Jensen dan Meckling pada
tahun 1976 dan merupakan dasar untuk memahami tata kelola perusahaan (corporate
governance).
Teori
keagenan
(agency
theory)
menjelaskan
perbedaan
kepentingan
antara
pemegang
saham
(principal)
dan
manajemen
(agent),
serta
hubungan
kontraktual
antara
pihak
yang
mendelegasikan
pengambilan
keputusan
tertentu
dengan
pihak
yang
menerima
pendelegasian
tersebut
(Alijoyo
dan
Zaini,
2004:6).
Perbedaan kepentingan
antara
pemilik
dan
manajemen dapat
memicu konflik
yang
menimbulkan biaya keagenan. Konflik ini timbul akibat keinginan manajemen untuk
melakukan
tindakan
yang
menguntungkan,
tetapi
dapat
mengorbankan
kepentingan
pemegang saham untuk memperoleh return dari kegiatan investasi yang dilakukan.
Eisenhardt
(1989)
yang
dikutip
Kenniady
(2011),
menjelaskan
tiga
asumsi
dasar sifat manusia yang dapat menimbulkan konflik, yaitu:
1.
Manusia umumnya mementingkan diri sendiri (self interest).
2.
Manusia
memiliki daya
pikir
yang terbatas
mengenai
persepsi
masa
mendatang
(bounded rationality).
3.
Manusia selalu menghindari resiko (risk averse).
Hal
inilah
yang
menyebabkan
timbulnya
agency
conflict
karena
manajemen
dan
pemegang
saham
cenderung
mengutamakan
tujuan
dan
kepentingan
sendiri
tanpa
memikirkan pemangku kepentingan
lainnya.
Selain
itu,
agency
conflict juga
dipicu
oleh beberapa permasalahan berikut: (Widiarno, 2012)
|
20
1. Moral Hazard
Manajemen cenderung menempatkan investasi yang lebih menguntungkan dirinya
dibandingkan perusahaan.
2. Earning Retention
Manajemen cenderung mempertahankan pendapatan perusahaan pada
titik stabil,
sedangkan
pemilik
modal
lebih
mementingkan
distribusi
kas
yang
lebih
tinggi
melalui peluang investasi.
3. Risk Aversion
Manajemen
lebih
memilih
posisi
aman
untuk
dirinya
sendiri
dalam
membuat
kebijakan investasi.
4. Time Horizon
Cash
flow
perusahaan
merupakan
fokus
manajemen
selama
mereka
bertugas
mengontrol dan mengawasi kinerja perusahaan.
Manajemen
dan
pemegang
saham
memiliki
posisi,
fungsi,
kepentingan,
dan
latar
belakang
yang
berbeda.
Perbedaan
kepentingan
antara
pemegang
saham
sebagai
pemilik dan manajemen sebagai pengelola dapat menimbulkan agency conflict dalam
perusahaan.
Manajer
lebih
memahami
informasi
internal
dan
prospek
perusahaan,
sehingga
manajer
memiliki
kewajiban
untuk
mengkomunikasikan
kondisi
perusahaan kepada pemilik
modal
melalui
pengungkapan
informasi
akuntansi.
Hal
ini
menyebabkan
interpretasi
atas
informasi
akuntansi
yang
diungkapkan
dalam
laporan
keuangan
menjadi
tidak
seimbang
antara
manajemen
sebagai
penyedia
informasi dan
pemegang saham
sebagai pengguna
informasi.
Informasi
yang
tidak
seimbang
ini disebut
juga
dengan
asimetri
informasi
(information
asymmetry)
yang
secara umum terbagi menjadi dua (Scott, 2009), yaitu:
|
21
1. Adverse Selection
Adverse
selection
merupakan
keadaan
pada
saat
pemegang
saham
tidak
mengetahui
kebijakan
yang diambil
oleh
manajemen
untuk
perusahaan di
masa
kini
maupun
masa mendatang. Adverse
selection terjadi ketika manajer
memiliki
kemampuan
untuk
memanfaatkan
informasi
yang
dimiliki,
membiaskan,
dan
membatasi
informasi
yang
diberikan
kepada
investor.
Sehingga,
hal
ini
akan
membuat investor meragukan kualitas perusahaan.
2. Moral Hazard
Moral
Hazard
timbul
karena adanya
pemisahan
kepemilikan dan kontrol
dalam
perusahaan,
sehingga beberapa
pihak
tidak dapat
mengamati perilaku
dari
pihak
lainnya.
Akibatnya,
pemegang
saham
dan
kreditur
sulit
mengawasi
perilaku
manajer yang mungkin telah lalai dalam menjalankan tugasnya.
Selain agency theory, stewardship theory juga menjadi dasar pemahaman atas
pentingnya corporate governance. Menurut Etty Murwaningsari (2009), stewardship
theory mengasumsikan bahwa pada dasarnya
manusia dapat dipercaya, bertanggung
jawab,
dan
merupakan
individu
yang
berintegritas.
Sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
teori
ini
memandang
manajemen
sebagai pihak
yang
dapat
dipercaya
dalam
menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh para pemegang saham.
Salah
satu
cara
untuk
membatasi
perilaku
oportunistik
manajemen
dan
menghindari
timbulnya
agency
conflict
adalah
dengan
menerapkan
corporate
governance.
Kesenjangan
hubungan
antara
manajemen
dan pemegang saham dapat
diatasi
dengan
menerapkan
Good
Corporate
Governance
(GCG)
yang
berperan
penting
dalam
menumbuhkan
kembali
kepercayaan
pemegang
saham
terhadap
perusahaan.
|
22
2.1.2
Corporate Governance
Kata
governance
dalam
bahasa
latin
memiliki
arti
mengarahkan,
sedangkan
dalam
bahasa
Perancis
gubernance
berarti
pengendalian
(Kenniady,
2012).
Dalam
ilmu
manajemen,
kata
ini
kemudian
diadaptasi
menjadi
corporate
governance
yang
berarti
mengarahkan
dan
mengendalikan
kegiatan
dalam
perusahaan, yang kini umumnya kita sebut sebagai tata kelola perusahaan.
2.1.2.1 Definisi Corporate Governance
Corporate
Governance
(CG)
pertama
kali
diperkenalkan
oleh
Cadbury
Committee
pada
tahun
1992.
Definisi
corporate
governance
menurut
Cadbury
Committee
yang
dikutip
oleh Susanto
(2012),
yaitu
A set
of
rules that
define
the
relationship between shareholder, managers, creditors, the government, employees,
and
other
internal
and
external
stakeholders
in
respect
to
their
rights
and
responsibilities.
Definisi CG dari Cadbury Committee tersebut diterjemahkan oleh Forum For
Corporate
Governance
Indonesia
(FCGI)
sebagai
peraturan
yang
mengatur
hubungan
antara
pemegang
saham,
pengurus
perusahaan,
kreditor,
pemerintah,
karyawan, serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka.
Menurut
Achmad
Daniri
dalam
bukunya
yang
berjudul
Konsep
dan
Penerapan GCG (2005:8), dikemukakan bahwa GCG adalah:
Suatu
pola
hubungan,
sistem,
dan
proses
yang
digunakan
oleh
organ
perusahaan (Direksi,
Dewan Komisaris, Rapat Umum Pemegang Saham)
guna
memberikan
nilai
tambah kepada pemegang
saham
secara
berkesinambungan
dalam
jangka panjang, dengan
tetap
memperhatikan
kepentingan stakeholder
lainnya,
berlandaskan
peraturan
perundang-undangan
dan
norma
yang
berlaku.
|
23
Berdasarkan beberapa definisi
yang ada, dapat disimpulkan bahwa corporate
governance merupakan suatu sistem
yang dibuat untuk membangun
hubungan
yang
baik
dan
transparan
antara
pihak-pihak
terkait
yang
memiliki
kepentingan
dalam
perusahaan. Kebijakan ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan nilai tambah bagi
pemegang saham dan para stakeholder.
2.1.2.2 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Prinsip prinsip GCG yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Badan
Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011, meliputi:
1.
Transparansi
(transparency),
yaitu
keterbukaan
dalam
melaksanakan
proses
pengambilan
keputusan
dan
keterbukaan
dalam
mengungkapkan
informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
2.
Akuntabilitas
(accountability),
yaitu
kejelasan
fungsi,
pelaksanaan
dan
pertanggung
jawaban
organ
sehingga
pengelolaan
perusahaan
terlaksana
secara efektif.
3.
Pertanggung
jawaban
(responsibility),
yaitu
kesesuaian
di
dalam
pengelolaan
perusahaan
terhadap
peraturan
perundang-undangan
dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
4.
Kemandirian
(independency),
yaitu
keadaan di
mana perusahaan dikelola
secara
profesional
tanpa benturan
kepentingan
dan
pengaruh/tekanan
dari
pihak
manapun
yang
tidak
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan
dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5.
Kewajaran
(fairness),
yaitu
keadilan
dan
kesetaraan
di
dalam
memenuhi
hak-hak
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
yang
timbul
berdasarkan
perjanjian dan peraturan perundang-undangan.
Prinsipprinsip
good
corporate
governance
yang
banyak
dijadikan
acuan
internasional
dibuat
oleh
Organisation
For
Economic
Co-operation
and
Development
(OECD)
pada
tahun
2004.
Prinsip-prinsip
OECD
tersebut
meliputi
enam prinsip pokok sebagai berikut:
1.
Menjamin
Kerangka
Dasar
Tata
Kelola
Perusahaan
yang
Efektif
(Ensuring
the
basis for an Effective Corporate Governance Framework)
|
24
Kerangka
corporate
governance
mendorong
transparansi
dan
efisiensi
pasar
sesuai
dengan
peraturan
yang ditetapkan
oleh
regulator dan
memisahkan
fungsi
serta
tanggung
jawab
otoritas-otoritas
yang
memiliki
fungsi
pengaturan,
pengawasan,
dan
penegakan
hukum
untuk
menciptakan
tata
kelola
perusahaan
yang efektif.
2. Perlindungan
Terhadap
Hak-hak
Para
Pemegang
Saham
(The
Rights
of
Shareholders)
Prinsip ini mengatur
mengenai
hak-hak pemegang saham dan
fungsi kepemilikan
saham.
Hak-hak
pemegang
saham
dapat
meliputi
adanya
jaminan
kepemilikan
saham
yang sah, hak memperoleh
informasi yang relevan, dapat memberikan
hak
suara
dalam
RUPS
(Rapat
Umum
Pemegang
Saham),
memilih
dan
mengganti
dewan,
dapat
mengalihkan
saham,
dan
memperoleh
hak
atas
keuntungan
perusahaan.
3. Perlakuan
yang
Sama
terhadap
Pemegang
Saham
(The
Equitable
Treatment
of
Shareholders)
Pasar modal
harus dapat
melindungi investor dari perlakuan
yang merugikan dari
manajer,
dewan
komisaris,
dewan
direksi,
atau
pemegang
saham
utama
perusahaan.
Semua
pemegang
saham
baik
mayoritas,
minoritas,
ataupun
pemegang
saham
asing
akan
diperlakukan
secara
sama
dan
memperoleh
kesempatan yang sama dalam kompensasi atas pelanggaran yang dilakukan.
4. Peran Stakeholders dalam
Tata Kelola
Perusahaan
(The
Role
of
Stakeholders
in
Corporate Governance)
Peran Stakeholders dalam corporate governance mencakup hak-hak
stakeholders
yang
didasarkan
pada
ketentuan
hukum
melalui
perjanjian
mutual
yang
|
25
mendorong
kerja
sama
antara
perusahaan
dengan
stakeholders
agar
tercipta
kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan pertumbuhan kondisi keuangan
perusahaan.
5.
Pengungkapan dan Transparansi (Disclosure and Transparency)
Informasi
yang ada dalam perusahaan
harus terbuka, tepat
waktu, jelas, dan dapat
dibandingkan
dari
segi
keuangan,
pengelolaan
perusahaan,
serta
kepemilikan
perusahaan.
6.
Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi (The Responsibility of the Board)
Penerapan
corporate
governance
menjamin
adanya
pemantauan
efektif
yang
dilakukan oleh dewan dan akuntabilitas dewan komisaris atas kinerja manajemen
dalam pengelolaan perusahaan maupun terhadap pemegang saham.
2.1.2.3 Manfaat Good Corporate Governance
Tata kelola
perusahaan
yang baik
dapat
mengurangi
konflik
dan
perbedaan
kepentingan antara pemegang saham dan manajer (Roodposhti dan Chashmi, 2011).
Hal
ini
disebabkan
karena
penerapan
corporate
governance
yang baik,
tidak
hanya
melindungi
kepentingan
investor,
tetapi
juga
memberikan
manfaat dan keuntungan
bagi perusahaan dan pihak lain yang mempunyai hubungan dengan perusahaan.
Manfaat penerapan GCG menurut Tris Sudarto selaku Direktur Keuangan PT
Kliring Berjangka Indonesia (Persero) dalam acara Accounting Series ke enam
yang
diselenggarakan oleh Universitas Al-Azhar Indonesia, yaitu:
1.
Informasi yang disampaikan kepada stakeholders dapat dijadikan gambaran
dalam
pengambilan
keputusan,
contohnya
keputusan
untuk
berinvestasi
dalam perusahaan tersebut.
2.
Perusahaan
dapat
dengan
mudah
memperoleh
akses
permodalan,
seperti
contohnya dapat diperoleh modal dari pasar modal sehingga cost of funding
menjadi lebih murah.
|
26
3.
Membantu
dalam
setiap
pengambilan
keputusan,
baik
yang
bersifat
ekonomis maupun strategis.
4.
Meningkatkan keyakinan terhadap stakeholders.
5.
Apabila
direksi
dan
komisaris
dalam
menjalankan
tugasnya
sudah
sesuai
dengan prinsip GCG, jika suatu hari terjadi kesalahan, direksi dan komisaris
tidak akan dituntut sepanjang direksi dan komisaris tidak berbuat curang.
Manfaat
lain
yang
diperoleh dari penerapan
GCG
adalah
minimalisasi
biaya
modal
(cost of
capital)
perusahaan
yang
dapat
memperkuat
kinerja
keuangan perusahaan.
Selain itu, tata kelola perusahaan yang baik akan menciptakan paradigma positif atas
nilai
perusahaan
bagi
kreditur
dan
investor karena
meningkatkan
produktivitas
dan
efisiensi usaha perusahaan.
2.1.3
Wajibnya Penerapan Good Corporate Governance
Wajibnya
penerapan GCG ditetapkan oleh peraturan menteri negara Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) nomor PER-01/MBU/2011
yang di otorisasi pada
tanggal 1 Agustus 2011. Wajibnya penerapan GCG bagi perusahaan BUMN dilatar
belakangi oleh adanya pembaharuan hukum di bidang perseroan terbatas dan badan
usaha milik negara, serta memperhatikan perkembangan dunia usaha yang semakin
dinamis dan kompetitif. Dalam pasal 4 peraturan menteri negara BUMN nomor
PER-01/MBU/2011
dinyatakan bahwa, tujuan diwajibkannya penerapan prinsip
GCG pada perusahaan BUMN adalah untuk meningkatkan daya saing BUMN,
mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, efektif dan efisien, pengambilan
keputusan yang seusai dengan nilai moral dan peraturan perundang-undangan,
meningkatkan perekonomian nasional, serta meningkatkan perkembangan investasi
nasional.
|
27
2.1.4
Mekanisme Penerapan Corporate Governance
Mekanisme
corporate
governance
merupakan prosedur
dan
hubungan
yang
jelas antara pihak
yang mengambil keputusan dengan pihak yang
melakukan kontrol
atau
pengawasan
terhadap
keputusan.
Chen
et
al.
(2009)
menyatakan
bahwa
mekanisme corporate governance yang efektif dapat
memperluas
tingkat kebebasan
perusahaan
untuk
mengambil
keputusan
yang tepat
waktu
dan dapat
meningkatkan
nilai perusahaan.
Mekanisme
corporate
governance
dibagi
menjadi
mekanisme
internal
dan
eksternal
(Babatunde
dan
Olaniran,
2009).
Mekanisme
internal
melibatkan
kerja
sama
antara
pemegang
saham,
dewan
komisaris,
dan
manajemen
yang
nantinya
dapat
menyeimbangkan
kekuatan
tiga
pihak
tersebut.
Mekanisme
eksternal
terdiri
dari
peraturan
dan
hukum
terkait
perlindungan
pemegang
saham,
konsumen,
karyawan, badan, praktik akuntansi, dan audit internal.
2.1.4.1 Corporate Governance Perception Index (CGPI)
CGPI
merupakan
pemeringkatan
GCG
berdasarkan
riset
yang
dirancang
untuk mendorong perusahaan dalam
meningkatkan kualitas penerapan GCG
melalui
perbaikan
yang
berkesinambungan
dengan
melaksanakan
evaluasi
dan
melakukan
studi
banding (www.iicg.org). CGPI didapatkan dari penilaian
Indonesian Institute
for
Corporate
Governance (IICG)
yang
bekerja sama dengan
majalah
SWA
sejak
tahun
2001.
CGPI
berupa
skor
(index)
dengan
kisaran
nilai
0% -
100%.
Skor
ini
berupa
persentase
yang
dihasilkan
dari
penilaian
terhadap
pelaksanaan
GCG
pada
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Penilaian praktik GCG dilakukan dengan
metode total skor
tertimbang (total
weighted score)
dan
teknik check
and
balance
(Rebecca, 2012).
Metode
total
skor
|
![]() 28
tertimbang
digunakan untuk
mengevaluasi
tingkat
penerapan
corporate
governance
(CG) pada
masing-masing
perusahaan.
Teknik check
and
balance digunakan
untuk
menghindari
unsur
subjektivitas
dalam
mengevaluasi
praktek
CG
pada
masing-
masing
perusahaan.
Hasil
penilaian
tersebut
kemudian
diinterpretasikan
dalam
kriteria seperti yang dijabarkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kriteria Penilaian Praktek Good Corporate Governance
Persentase Nilai
Kategori Peringkat
Kesimpulan
85-100%
Sangat Terpercaya
Perusahaan
telah
menerapkan
dan
mematuhi
standar
penerapan
GCG
yang
ditetapkan pemerintah dengan baik.
70-84%
Terpercaya
Perusahaan
telah
memenuhi
lebih
dari
persyaratan
peraturan
minimum
dan
kurang
dari
standar
umum
yang
ditetapkan,
namun
menunjukkan
komitmen
positif
terhadap
praktik
good
corporate governance.
55-69%
Cukup Terpercaya
Perusahaan
telah
memenuhi
persyaratan
peraturan
minimum
dan
belum
menunjukkan
komitmen
yang
cukup
terhadap
praktik
good
corporate
governance.
Sumber: www.iicg.org - Profil CGPI tahun 2012 (Hasil Olahan Penulis)
Manfaat CGPI dalam Profile CGPI 2012 (www.iicg.org), antara lain:
1.
Penataan organisasi perusahaan
yang
belum sesuai
dan
belum
mendukung
terwujudnya GCG.
2.
Peningkatan kesadaran dan komitmen bersama dari
internal perusahaan dan
stakeholder terhadap penerapan GCG.
3.
Pemetaan masalah-masalah strategis dalam praktik GCG.
4.
Alternatif perbaikan indikator atau standar mutu pencapaian kualitas GCG.
|
29
2.1.4.2 Struktur Kepemilikan
Struktur
kepemilikan
merupakan
persentase
saham
yang
dimiliki
oleh
pemegang saham internal maupun eksternal yang menunjukkan besarnya kontrol dan
kepentingan
pemilik
dalam
perusahaan.
Struktur
kepemilikan
digunakan
untuk
menunjukkan bahwa
variabel
penting
dalam
struktur
modal
tidak
hanya
ditentukan
oleh
utang
dan
ekuitas,
tetapi
dipengaruhi
pula
oleh
kepemilikan
manajerial
dan
institusional.
Struktur
kepemilikan
akan
memberikan
motivasi
yang
berbeda
dalam
memonitor kinerja perusahaan,
manajemen, dan dewan direksi. Menurut
Jensen dan
Meckling
(1976),
struktur kepemilikan
mendasari penerapan corporate governance
yang dapat meminimalisasi masalah yang timbul dalam hubungan keagenan.
2.1.4.2.1 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan
manajerial
adalah
proporsi
pemegang
saham
dari
manajemen
yang
aktif
dalam
pengambilan
keputusan,
seperti
direksi,
manajer,
karyawan,
dan
perangkat
internal perusahaan. Kepemilikan
manajerial memiliki peran yang penting
dalam
menyelaraskan
perbedaan
kepentingan
antara
manajemen
dengan
pemegang
saham
dan
pemangku
kepentingan
lainnya.
Menurut
Jensen
dan
Meckling
(1976),
kepemilikan saham oleh manajemen yang
rendah dapat menyebabkan
meningkatnya
perilaku
opportunistic
manajer
dalam perusahaan. Sebaliknya, semakin besar porsi
kepemilikan
manajerial
suatu
perusahaan,
maka
manajemen
akan
berupaya
lebih
untuk
memenuhi
kepentingan
pemegang
saham
dan
juga
dirinya
sendiri
sebagai
bagian dari pemegang saham.
Siallagan dan Machfoedz
(2006)
yang
dikutip
oleh
Kenniady
(2011)
menemukan
bahwa
hubungan
kepemilikan
manajerial
dengan
kinerja
perusahaan,
digambarkan sebagai berikut:
|
![]() 30
Tabel 2.2 Hubungan Kepemilikan Manajerial dengan Kinerja Perusahaan
Level
Hubungan Kepemilikan
0-5%
Non Linear
5-25%
Negatif
25-50%
Positif
>50%
Negatif
Kepemilikan
manajerial
akan
mempengaruhi
cara
manajemen
dalam
menjalankan
kegiatan perusahaan atau pengambilan kebijakan
perusahaan
yang bermanfaat bagi
tercapainya
tujuan
perusahaan.
Sehingga,
kepemilikan
manajerial
akan
mampu
menurunkan
konflik
antara
manajemen
dengan
pemegang
saham.
Pernyataan
ini
didukung
oleh penelitian
Ali
et
al.
(2008)
yang
menemukan bahwa
konflik
antara
manajer
dan
pemegang
saham
mengalami
penurunan
apabila
kepemilikan
saham
yang dimiliki oleh manajemen mengalami peningkatan dalam perusahaan.
2.1.4.2.2 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan
institusional
merupakan
kepemilikan
saham
perusahaan
yang
dimiliki
oleh pemerintah, perusahaan
investasi,
bank,
perusahaan
asuransi,
institusi
luar
negeri, dan
institusi
lainnya (Juniarti
dan
Sentosa,
2009).
Tingkat
kepemilikan
institusional
dapat
mempengaruhi
besarnya
pengawasan
dalam
operasional
perusahaan yang menyebabkan optimalisasi nilai perusahaan. Hal ini dibuktikan oleh
Wening
(2009)
yang
dikutip
Kenniady
(2011)
dalam
penelitiannya
yang
menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan oleh
institusi keuangan, maka akan
memperbesar kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan.
Penelitian
Barnae
dan
Rubin
(2006)
menyatakan
bahwa
kepemilikan
institusional
pada
tingkat
yang
tinggi
akan
memperbesar
kekuatan
suara
dalam
mengoptimalkan
nilai
perusahaan.
Kepemilikan
institusional
dalam
perusahaan
penting
untuk
meningkatkan
pengawasan
yang
lebih
optimal
terhadap
manajemen
|
31
dalam mengelola perusahaan. Sehingga, manajemen dapat
menerapkan GCG dengan
baik
dan
menjamin
kelangsungan
hidup
perusahaan,
serta
menunjukkan
tanggung
jawab terhadap stakeholder.
Proporsi
kepemilikan
institusional
yang
dominan
dalam
perusahaan
akan
menjadi
lebih
penting
karena
dapat
digunakan
untuk
menyelaraskan
kepentingan
manajemen
dengan
pemegang
saham
(Solomon
dan
Solomon,
2004).
Manfaat
kepemilikan
institusional
juga
terlihat
melalui
penelitian Cornett
et
al.
(2006)
yang
membuktikan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh investor institusional
dapat
membatasi
perilaku
manajemen
dan
mendorong
fokus
manajemen
terhadap
kinerja perusahaan.
2.1.4.3 Kualitas Audit
Kualitas audit memiliki peranan penting dalam penyajian informasi keuangan
yang
akurat
dan
transparan.
Oleh
karena
itu,
semakin
tinggi
integritas
Kantor
Akuntan Publik (KAP),
maka semakin
tinggi tingkat kepercayaan pengguna
laporan
keuangan
atas
laporan
keuangan
yang
telah
di
audit
tersebut.
Hal
ini
tentu
akan
mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan investasi.
Francis dan Yu (2009) membuktikan bahwa kualitas audit pada KAP big four
memiliki kualitas audit yang
lebih
tinggi. KAP yang
tergolong dalam big four yaitu
Price
waterhouse Coopers (PwC), Ernst & Young (EY), Deloitte, dan KPMG. KAP
big four dinilai memiliki kualitas audit
yang lebih tinggi dibandingkan dengan KAP
non big four dikarenakan pengalaman dan pelatihan dalam KAP big four yang lebih
baik.
Fernando
et
al.
(2010)
menyatakan
bahwa
spesialisasi
auditor
merupakan
strategi diferensiasi
yang
bertujuan
untuk
menyediakan
auditor
dengan keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan.
|
32
2.1.5
Biaya Ekuitas
Biaya ekuitas
adalah suatu rate tertentu
yang harus dicapai oleh
perusahaan
dalam
memenuhi
imbalan
yang
diharapkan
oleh
para
pemegang
saham
biasa
atas
dana
yang
telah
ditanamkan
pada
perusahaan
tersebut
sesuai
dengan
risiko
yang
diterimanya (Bodie, Kane, dan Marcus, 2009). Tamara (2012)
membuktikan bahwa
biaya ekuitas dapat diturunkan dengan pengungkapan informasi keuangan yang lebih
luas.
Sementara
itu,
pengungkapan
informasi
yang
lebih
baik
dapat
mengurangi
asimetri informasi. Penurunan asimetri informasi dapat menarik minat investor untuk
berinvestasi
di
perusahaan
tersebut,
karena
nilai
perusahaan
terlihat
jelas
melalui
laporan keuangannya.
Perhitungan
biaya
ekuitas
umumnya
dilakukan
dengan
menggunakan
Capital
Asset
Pricing Model
(CAPM). CAPM adalah
model
yang
menggambarkan
hubungan antara
risiko
dengan
tingkat
pengembalian
yang diharapkan
(Tjiptono D.
Dan Hendy M.F., 2009:204). CAPM
merupakan salah satu
model untuk menghitung
tingkat
pengembalian
yang
diharapkan
oleh
para
investor.
Model
ini
memperhitungkan
risiko
sistematis
atau
risiko
pasar
yang
sering
kali
disimbolkan
dengan
beta
(ß)
pada
industri
keuangan.
Selain
itu,
model
CAPM
juga
memperhitungkan
hasil
yang
diharapkan
dari
pasar
dan
nilai
pengembalian
yang
bebas
risiko.
Pendekatan
ini
bertujuan
untuk
menunjukkan
bagaimana
pasar
harus
menetapkan harga yang aman dan sesuai dengan tingkat resiko investor.
CAPM dikembangkan pertama kali pada tahun 1960 oleh William F. Sharpe
yang mendefinisikan CAPM sebagai berikut: A Model based on the proposition that
any
stocks
required
rate
of
return
is
equal
to the
risk
free
of
return
plus
a
risk
premium,when
risk
reflect
diversification.
Persamaan
umum
dari
CAPM
digambarkan sebagai berikut:
|
![]() 33
=
Keterangan:
E(R
i
)
:
hasil yang diharapkan dari CAPM atau tingkat pengembalian harapan
R
f
:
tingkat pengembalian bebas risiko yang berasal dari BI rate atau suku bunga
deposito
ß
i
:
sensitivitas dari pengembalian aset yang diharapkan
E(R
m
)
:
tingkat
pengembalian
yang
diharapkan
dari
pasar
dengan
data
yang
diperoleh dari pergerakan harga saham IHSG
Beta
(ß
i
)
yang
digunakan
dalam
persamaan
diatas
didefinisikan
sebagai
ukuran
resiko
relatif
yang
mencerminkan
resiko
relatif
saham
individual
terhadap
portofolio
pasar
saham
secara
keseluruhan
(Tandelilin,
2010:522).
Beta
bernilai
1
menunjukkan harga saham bergerak
mengikuti pasar, beta lebih dari 1
menunjukkan
harga
saham
yang
fluktuatif/volatil,
sedangkan
beta
kurang
dari
1
berarti
harga
saham tidak berfluktuatif seiring dengan kondisi pasar (Fakhruddin, 2008).
Penelitian
ini
menghitung beta dengan
mengaplikasikan
fungsi
slope
dalam
microsoft excel. Fungsi slope memasukkan perhitungan tingkat pengembalian aktual
berdasarkan
harga
saham
perusahaan
dan
tingkat
pengembalian
dengan
dasar
pergerakan harga IHSG.
Gambar 2.1 Grafik Security Market Line (SML)
|
34
Grafik
tersebut
menggambarkan
hubungan
antara
beta
dengan
tingkat
pengembalian
aset.
Beta
merupakan
suatu
ukuran
angka
koefisien
yang
menggambarkan
sensitivitas
respon
suatu
saham
terhadap
pasar
dengan
tingkat
pengembalian
bebas
risiko
(Tjiptono
D.
dan
Hendy
M.F.,
2009:204).
Berdasarkan
model CAPM, ada beberapa elemen penting
yang menggambarkan hubungan antara
risiko dan return, diantaranya adalah:
1.
Saham adalah aset yang berisiko, karena tingkat imbal hasilnya berfluktuasi.
2.
Ukuran statistik yang digunakan untuk mengukur risiko adalah standar deviasi.
3.
Risiko saham dapat dibagi menjadi dua, yaitu risiko perusahaan dan risiko pasar.
4.
Risiko
perusahaan
dapat
timbul
karena
faktor
internal
(bisnis
perusahaan)
dan
faktor eksternal (ekonomi makro).
5.
Diversifikasi portofolio hanya menghilangkan risiko perusahaan dan bukan risiko
pasar.
Hanya
risiko
pasarlah
yang
merupakan risiko relevan
bagi
investor
yang
rasional dan berdiversifikasi dengan baik.
6.
Beta
mengukur
tingkat
sensitivitas
pergerakan
saham
individual
terhadap
pergerakan harga pasar.
2.1.6
Actual Return
Tingkat
pengembalian
aktual
(actual
return)
merupakan
suatu
nilai
yang
didapatkan
dari
aktivitas
investasi dan
kegiatan
bisnis.
Biasanya sebelum
membuat
keputusan
investasi, seseorang
akan
melakukan perhitungan
expected
return
untuk
menentukan
batas
tingkat
pengembalian
yang
diharapkan
dengan
hasil perhitungan
yang
nantinya
akan
dibandingkan
dengan
actual
return
yang
terjadi.
Risiko
yang
memungkinkan timbulnya tingkat pengembalian aktual
yang berbeda dengan tingkat
pengembalian yang diharapkan, antara lain: (Husnan, 2003:50)
|
![]() 35
a.
Risiko
sistematis
(systematic
risk)
atau
risiko
pasar
(general
risk)
merupakan
risiko
yang
tidak
dapat
dihilangkan
dengan
melakukan
diversifikasi,
berkaitan
dengan
faktor
makroekonomi
yang
mempengaruhi
pasar.
Faktor-faktor
tersebut
meliputi, tingkat bunga, kurs, inflasi dan kebijakan pemerintah.
b.
Risiko tidak sistematis (unsystematic risk) atau
risiko perusahaan (risiko spesifik)
yaitu risiko yang dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, karena hanya
ada dalam satu perusahaan atau industri tertentu.
Secara
umum,
tingkat
pengembalian
aktual
dapat
dihitung
dengan
rumus
berikut:
Keterangan:
R
it
:
Tingkat pengembalian saham i pada waktu ts
Pi
t
:
Harga saham i pada waktu t
Pi
t-1
:
Harga saham t pada waktu t-1
Tingkat
pengembalian
aktual
dapat
dihitung
dengan
membandingkan
selisih
harga
yang
dibuka
pada
awal
hari
transaksi
dengan harga penutupan pada
hari
yang
lalu,
kemudian
selisih
tersebut
dibandingkan
dengan
harga
pada
saat
penutupan
di
hari
sebelumnya.
2.1.7
Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
BUMN
merupakan
salah
satu
pelaku
kegiatan
ekonomi
yang
penting
di
dalam
perekonomian
nasional
yang
bersama-sama
dengan
pelaku
ekonomi
swasta
dan koperasi menjadi bentuk dari demokrasi ekonomi yang akan terus dikembangkan
secara bertahap dan berkelanjutan. Kementerian
BUMN lahir dari transformasi unit
|
![]() 36
kerja Eselon II Departemen Keuangan
(1973-1993) yang berubah menjadi
unit kerja
Eselon
I
(1993-1998
dan
2000-2001)
dan
kini
unit
kerja
tersebut
dikenal
dengan
nama BUMN (www.bumn.go.id).
BUMN
didasari
oleh
beberapa
kebijakan
yang
tertuang
dalam
undang-
undang.
Dasar kebijakan pembinaan BUMN digambarkan seperti pada
gambar 2.2 (
Gambar 2.2 Dasar Kebijakan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara
Bentuk
BUMN
terdiri
dari
Perusahaan
Perseroan
(PERSERO)
dan
Perusahaan Umum
(PERUM).
Persero adalah
BUMN berbentuk perseroan
terbatas
yang paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dengan
tujuan
utama
untuk
mencapai
keuntungan.
Perum
adalah
BUMN
yang
seluruh
modalnya
dimiliki
negara
dan
tidak
terbagi
atas
saham.
Perum
bertujuan
untuk
|
37
menyediakan barang atau jasa bermutu tinggi dan
mengejar keuntungan berdasarkan
prinsip pengelolaan perusahaan.
Tugas pokok dan fungsi kementerian BUMN berdasarkan Per-05/MBU/2010,
yaitu:
Tugas :
Sesuai
dengan
Peraturan
Presiden
Nomor
47
Tahun
2009
tentang
Pembentukan
dan
Organisasi
Kementerian
Negara,
tugas
Kementerian
BUMN
adalah
membidangi
urusan
Pemerintahan
di
bidang
pembinaan
badan
usaha
milik
negara
dalam pemerintahan
untuk
membantu
Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Fungsi :
Dalam
melaksanakan
tugasnya, kementerian
BUMN
menyelenggarakan
beberapa fungsi berikut:
a.
Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pembinaan badan
usaha
milik negara;
b.
Koordinasi
dan
sinkronisasi
pelaksanaan
kebijakan
di
bidang
pembinaan badan usaha milik negara;
c.
Pengelolaan
barang
milik/kekayaan
negara
yang
menjadi
tanggung
jawab Kementerian BUMN; dan
d.
Pengawasan
atas
pelaksanaan
tugas
di
lingkungan
Kementerian
BUMN.
2.2
Kerangka Pemikiran
Penelitian
ini
dikembangkan
dari
penelitian
Yulissa Rebecca (2012)
dengan
menggabungkan
gagasan
dari
penelitian
Byun
et
al.
(2008),
Siswardika
Susanto
(2012),
Shah
dan
Butt
(2009),
serta
Regalli
dan
Soana
(2012).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menguji
pengaruh
dari
komponen
corporate
governance
terhadap
|
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() 38
besarnya
nilai
biaya
ekuitas
pada
perusahaan
di
Indonesia
yang
diwakili
oleh
perusahaan BUMN
yang telah go public, dengan periode analisis tahun 2009-2012.
Berikut
adalah
gambaran kerangka
pemikiran
yang
menjadi landasan dilakukannya
penelitian ini.
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Faktor Eksternal
Faktor Internal
Variabel Kontrol
Variabel Independen
Variabel Independen
Variabel Dependen
Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor:
PER-01/MBU/2011
Good Corporate Governance
Analisis Sebelum
Diwajibkan
(2009-2010)
Analisis Sesudah
Diwajibkan
(2011-2012)
Periode
Waktu
Corporate Governance
Perception Index
Kualitas
Audit
Kepemilikan
Institusional
Kepemilikan
Manajerial
Biaya Ekuitas
|
![]() 39
2.3
Model Penelitian
Model
penelitian
yang
digunakan
terdiri dari variabel dependen, variabel
independen, dan variabel kontrol. Penelitian ini menggunakan biaya ekuitas sebagai
variabel dependen, sementara variabel
independen
yang
digunakan
meliputi
penilaian
internal
perusahaan
secara
keseluruhan
yang
diwakili
oleh
corporate
governance index, struktur kepemilikan perusahaan, dan kualitas audit yang
menilai
akurasi penyajian
informasi keuangan perusahaan. Variabel kontrol dalam penelitian
ini adalah periode waktu yang timbul karena adanya perbedaan waktu sebelum dan
sesudah GCG diwajibkan oleh pemerintah.
Berikut adalah gambaran model
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.
Gambar 2.4 Model Penelitian
2.4
Perumusan Hipotesis
2.4.1
Perbedaan Nilai Biaya Ekuitas Sebelum dan Sesudah Diwajibkannya
Penerapan GCG
Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Badan
Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 yang mewajibkan penerapan GCG
|
40
pada peruahaan BUMN. Kebijakan ini tentu akan memberikan dampak yang positif
bagi perusahaan BUMN seperti penurunan biaya ekuitas, jika GCG memang benar-
benar diterapkan dengan baik.
GCG merupakan salah satu komponen penting yang dapat meningkatkan
kualitas perusahaan melalui transparansi informasi keuangan yang berdampak pada
penurunan biaya ekuitas perusahaan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Byun et al.
(2008) yang menemukan bahwa corporate governance dapat menurunkan asimetri
informasi dan masalah keagenan antara pemegang saham dan manajemen. Dengan
demikian, corporate governance yang diterapkan dengan baik akan mampu menarik
minat investor dengan menurunkan biaya ekuitas. Penelitian Brown dan Caylor
(2006) juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG
akan mengalami peningkatan kinerja perusahaan secara signifikan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dihasilkan hipotesis berikut:
H
a
1:
Adanya penurunan nilai biaya ekuitas yang signifikan setelah
diwajibkannya penerapan Good Corporate Governance.
2.4.2
Pengaruh Corporate Governance Perception Index Terhadap Biaya
Ekuitas
CGPI merupakan suatu index dalam bentuk persentase yang nilainya
didapatkan dari penilaian atas pelaksanaan GCG dalam suatu perusahaan. Besar
index
CGPI dapat mewakili kualitas perusahaan yang mempengaruhi nilai biaya
ekuitas suatu perusahaan. Penelitian dari Rebecca (2012) menunjukkan bahwa CGPI
berpengaruh negatif signifikan
terhadap biaya ekuitas dan biaya utang. Hasil
penelitian Rebecca sesuai dengan penelitian Byun et al. (2008) yang menggunakan
hasil survei dari Korea Corporate Governance Service (KCGS) untuk mengevaluasi
|
41
penerapan corporate governance pada perusahaan-perusahaan di Korea Selatan.
Byun et al. menemukan bahwa
praktik corporate governance memiliki hubungan
negatif dengan biaya ekuitas dan perlindungan terhadap hak pemegang saham.
Lembaga yang mengukur indeks coporate governance di setiap negara
berbeda-beda. Regalli dan Soana (2012) meneliti pengaruh corporate governance
index dengan menggunakan
Gompers Index yang terbukti memberikan pengaruh
yang berbanding terbalik dengan biaya ekuitas, atau dengan kata lain Gompers Index
yang tinggi akan menurunkan biaya ekuitas. Sementara itu, Derwall et al. (2007)
menguji
kualitas coporate governance
di Amerika dengan menggunakan
Governance Metrics International
(GMI). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
perusahaan dengan kualitas corporate governance yang baik akan memiliki biaya
ekuitas yang rendah.
Berdasarkan pertimbangan atas beberapa hasil penelitian diatas, maka
dihasilkan hipotesis berikut:
H
a
2:
Corporate governance perception index berpengaruh negatif signifikan
terhadap biaya ekuitas.
2.4.3
Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Biaya Ekuitas
Kepemilikan manajerial diartikan sebagai proporsi pemegang saham dari
pihak manajemen yang aktif dalam pengambilan keputusan perusahaan (Diyah dan
Widanar, 2009). Kepemilikan saham manajerial dapat menyatukan kepentingan
antara manajer dan pemegang saham, sehingga manajer ikut memperoleh langsung
manfaat dari keputusan yang diambil dan menanggung konsekuensi dari
pengambilan keputusan yang salah. Jumlah kepemilikan saham manajerial pada
perusahaan di Indonesia relatif masih sangat kecil, terutama dalam perusahaan
|
42
BUMN yang dominan sahamnya dimiliki oleh institusi pemerintah. Namun,
minimnya kepemilikan manajerial dalam beberapa perusahaan di Indonesia tetap
akan memberikan pengaruh bagi kualitas suatu perusahaan, karena manajemen
memegang banyak peranan penting dalam perusahaan, seperti pengelolaan
operasional, pengambilan keputusan, penyajian laporan keuangan, dan memonitor
tercapainya tujuan perusahaan. Hal ini menjadikan kepemilikan manajerial sebagai
salah satu tolak ukur penilai kualitas GCG dalam suatu perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Shah dan Butt (2009) menunjukkan bahwa
kepemilikan manajerial dapat menurunkan biaya ekuitas perusahaan secara tidak
signifikan. Di Indonesia penelitian yang melihat pengaruh kepemilikan manajerial
terhadap biaya ekuitas cukup jarang ditemukan, namun Aprina (2012) menunjukkan
bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perusahaan yang mempengaruhi penilaian biaya ekuitas suatu perusahaan.
Berdasarkan paparan diatas, maka dihasilkan hipotesis berikut:
H
a
3:
Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap biaya
ekuitas.
2.4.4
Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Biaya Ekuitas
Kepemilikan institusional merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja perusahaan karena dapat meningkatkan tingkat pengawasan
yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen (Wening, 2009 dalam Kenniady,
2011). Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan pentingnya
kepemilikan institusional dalam mencapai GCG, namun pengaruh kepemilikan
institusional ditemukan tidak banyak berpengaruh terhadap biaya ekuitas. Hal ini
diyakini berbeda dengan perusahaan BUMN yang 51% kepemilikan sahamnya
|
43
dipegang oleh institusi pemerintah yang dinilai lebih menjamin kualitas perusahaan.
Sehingga penelitian ini akan membuktikan efektivitas pengaruh kepemilikan
institusional dalam perusahaan BUMN terhadap penurunan biaya ekuitas perusahaan
yang dinilai penting bagi investor.
Penelitian Regalli dan Soana (2012) serta Ashbaugh et al. (2004) menemukan
bahwa proporsi investasi institusional yang besar dapat memperbesar biaya ekuitas
suatu perusahaan. Rebecca (2012) juga membuktikan bahwa kepemilikan
institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya ekuitas, tetapi berpengaruh
negatif signifikan terhadap biaya utang. Namun, penelitian Collins dan Huang (2010)
mampu membuktikan bahwa kepemilikan institusional berdampak negatif terhadap
biaya ekuitas perusahaan.
Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian terdahulu, maka dihasilkan
hipotesis berikut:
H
a
4:
Kepemilikan institusional berpengaruh negatif signifikan
terhadap
biaya ekuitas.
2.4.5
Pengaruh Kualitas Audit Terhadap Biaya Ekuitas
Kualitas audit merupakan salah satu komponen yang menentukan kualitas
dan akurasi informasi suatu laporan keuangan. Laporan keuangan yang transparan,
akurat, dan reliable diyakini akan mampu menurunkan asimetri informasi yang
berdampak pada penurunan biaya ekuitas. Sehingga, diperlukan komite auditor
independen yang terpercaya seperti yang masuk dalam kategori KAP big four.
Komite audit yang masuk dalam big four memiliki kualitas audit yang lebih baik
karena memiliki pemahaman lebih atas proses penyusunan laporan keuangan,
|
44
sehingga risiko informasi yang dimiliki oleh investor akan berkurang dan required
rate of return akan lebih rendah (Susanto, 2012).
Hasil penelitian Khurana dan Raman (2004) menunjukkan pengaruh dari
kualitas audit terhadap kredibilitas suatu laporan keuangan yang menyebabkan
penurunan biaya ekuitas. Pentingnya kualitas audit yang dihasilkan oleh komite audit
terbaik didukung oleh penelitian Ashbaugh, Collins, dan La Fond (2004) yang
menemukan bahwa perusahaan yang memiliki komite audit independen yang lebih
baik akan mempunyai biaya ekuitas yang lebih rendah.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas, maka dihasilkan hipotesis
berikut:
H
a
5:
Kualitas audit berpengaruh negatif signifikan terhadap biaya ekuitas.
|