11
BAB 2
LANDASAN TEORI
     Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis alasan fujoshi
menyukai genre yaoi. Bab ini akan menguraikan teori-
teori maupun pendapat ahli mengenai permasalahan dalam penelitian ini.
2.1. Yaoi dan Boys Love
     Dalam membahas fujoshi, kita tidak bisa lepas dari industri hiburan Jepang baik
berupa manga, doujinshi, ataupun anime
dan lainnya yang membawakan tema
homoerotisme.
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan sedikit mengenai pengertian
genre yaoi
dan boys love.
Menurut Sugiura boys love
merupakan karya dengan
tema percintaan antara dua pria dan yaoi adalah karya parodi dari satu karya anime
atau anime parody (ani-paro). 
     Kutipan:
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
?????????????????????????????????
????(Sugiura, 2006:8)
     Terjemahan:
Yaoi
dan boys love, meskipun keduanya adalah manga
atau novel yang
mengangkat percintaan dan seks sesama pria, cerita parodi maupun alternatif dari
anime
yang populer merupakan yaoi, sedangkan manga
maupun novel original
disebut dengan boys love.
  
12
     Akan tetapi keduanya tidak hanya terbatas pada anime, manga, ataupun doujinshi
saja. Saat ini keduanya telah melebarkan sayapnya ke media-media lain seperti novel,
drama cd, game maupun live action.
     Namun pada umumnya, para penggemar genre homoerotisme di industri hiburan
Jepang dan para orang awam hanya mengenal genre ini dengan istilah yaoi. Hal ini
dikarenakan pada awal ketika genre ini lahir, tidak ada istilah
yang tepat untuk
mengategorikan genre ini. Sakakibara yang merupakan pengarang yaoi dan doujinshi
menjelaskan bahwa alasan istilah yaoi
digunakan karena penerbit-penerbit pada
tahun 1990-an tidak menemukan istilah genre komersil yang tepat untuk merujuk ke
genre percintaan homoseksualitas ini secara menyeluruh. Bila dimasukkan pada
genre tanbi, hal ini tidak sesuai karena genre tanbi
merujuk pada karya yang
mementingkan nilai aestetis dibanding alur cerita yang logis seperti karya Mishima
Yukio atau Tanizaki Jun’ichiro, sedangkan pada saat itu karya dengan tema
homoerotisme tidak semuanya berkisar pada pria dengan ciri androgini. Begitu juga
bila disebut dengan istilah “June”
hanya karena June
yang merupakan majalah
komersial pertama mengenai genre ini tidak lagi menerbitkan genre ini secara
ekslusif. Karena itulah perusahaan-perusahaan penerbit yang baru muncul tersebut
menggunakan istilah boys love untuk merujuk karya dengan tema percintaan antara
pria yang mereka jual.
     Karya yang dibuat oleh dan untuk wanita ini dikukuhkan secara umum menjadi
yaoi oleh Nakajima Azusa dalam bukunya yang berjudul Tanatosu no Kodomotachi
(??????????Anak-anak Thanatos). Pada buku tersebut Nakajima
menggunakan istilah yaoi
untuk menaungi genre ini secara keseluruhan. Hal ini bisa
dilihat pada kalimat ”Naze hito wa yaou no ka?????????????di mana
  
13
pada kalimat ini terdapat kata yaou
(???)
yang merupakan perubahan dari kata
benda yaoi
menjadi kata kerja oleh Nakajima sendiri
(Mizoguchi, 2008:56).
Pernyataan beliau memengang pengaruh yang besar karena posisi beliau sebagai
salah satu pengarang besar yaoi dengan nama alias Kurimoto Kaoru.
     Yaoi sendiri merupakan singkatan dari yama nashi, ochi nashi, imi nashi (????
?????????) yang berarti tidak ada klimaks, tidak ada penyelesaian, tidak
ada arti. Istilah ini sendiri dibuat oleh para penggemar yang membuat doujinshi
berjudul Rappori: Yaoi
Tokushuu Gou
(Rappori: Special Yaoi
Issue) pada tahun
1979. Meskipun sering ditemukan pernyataan bahwa yaoi
dibuat oleh para wanita
untuk konsumsi wanita, saat ini juga terdapat pengarang pria yang berkontribusi pada
genre ini.
     Pada cerita yaoi
yang mengisahkan dua pria sebagai sepasang kekasih maupun
bertindak sebagai sepasang kekasih, sebagaimana halnya pasangan homoseksual
peran kedua karakter tersebut dibedakan sebagaimana pada hubungan homoseksual.
Pada yaoi, peran ini disebut dengan istilah seme
(??) dan uke
(??). Sugiura
menjelaskan bahwa karakter seme
adalah karakter yang bertindak sebagai pria dan
karakter uke
adalah karakter yang
bertindak sebagai wanita dalam hubungan
homoseksual di yaoi. Juga adanya stereotype di mana karakter seme
haruslah pria
yang macho
dan gagah sementara karakter uke
merupakan karakter yang feminim
baik sifat maupun fisik meskipun karakter uke tersebut adalah seorang pria. Namun
seiring perkembangan zaman, konsep ini mulai bergeser di mana para pengarang
genre yaoi
mulai menunjukkan realisme dalam karya mereka namun tetap menjaga
konsep bishounen (???, pria tampan/cantik) tanpa melangkah ke arah bara, genre
yang memang dikhususkan untuk kalangan gay dan bukan wanita.
  
14
     Hubungan seme-uke ini sebenarnya sudah berlangsung di masyarakat dunia sejak
zaman dahulu
sebelum akhirnya homophobia
diperkenalkan oleh kaum Eropa
melalui ekspidisi yang dilakukan mereka. Contohnya saja pada komunitas
masyarakat Yunani Kuno, tidaklah aneh apabila seorang pria mengangkat seorang
pemuda sebagai pasangannya. Hanya saja terdapat aturan bahwa pria haruslah
menjadi panutan dan pelindung dari pemuda yang dia angkat. Jelas bahwa sang pria
adalah orang yang lebih berkuasa, berumur, dan berwibawa dibanding pemuda yang
diangkat menjadi pasangan. Yamila Abraham
(2008:50)
juga memberikan contoh
hubungan seme-uke
ini pada tradisi
warok
dan gemblak
di mana
warok
yang
berstatus tinggi di masyarakat dapat “mempersunting” gemblak yang adalah pemuda
dan hal ini dianggap sebagai suatu kehormatan.
Meskipun warok
telah menikah
dengan wanita, dia masih dapat menempatkan gemblak sebagai pasangan uke-nya.
Sekali lagi kita dapat melihat adanya stereotip hubungan seme-uke, namun perlu
diperjelas lagi seiring perkembangan zaman, pandangan bagaimana seme dan uke itu
pun berubah.
2.2. Fenomena Fujoshi
     Pengertian dari fujoshi
menurut Sugiura adalah wanita yang menggemari genre
yaoi. Seorang fujoshi bisa dikategorikan sebagai seorang otaku, namun seorang otaku
wanita belum tentu adalah seorang penggemar genre yaoi.
Kutipan:
?????????????????????????????????
????????????????????????????????
(2006:8)
  
15
Terjemahan:
Fujoshi, dilihat dari arti luas merujuk pada keseluruhan otaku wanita, dan pada
arti sempitnya merujuk pada wanita yang menyukai novel maupun manga
yang
mengangkat cerita percintaan dan seks sesama pria.
     Fujoshi
sendiri secara penulisan tidak menggunakan kanji ???sebagaimana
biasanya akan otomatis keluar bila diketik pada komputer. Fujoshi ini ditulis menjadi
???. Keduanya memiliki perbedaan makna yang jauh sekali, di mana kanji
pertama ???merujuk pada wanita sedangkan kanji berikutnya
???
menggunakan kanji ???
(??) yang berarti “busuk”.
Hal ini dijelaskan oleh
Galbraith
karena kesenangan mereka akan hubungan percintaan yang tidak
seharusnya.
Kutipan:
Fujoshi are rotten because they are enthusiastic about yaoi, a genre of fan-
produced fiction and art, usually manga, that places established male characters
from commercial anime, manga, and video games into unintended romantic
relationships....
Terjemahan:
Fujoshi dianggap busuk karena rasa antusias mereka terhadap yaoi, genre yang
dihasilkan oleh fans berupa cerita fiksi dan gambar, biasanya manga, yang
membawa tokoh-tokoh pria dari anime, manga, dan video game
komersil ke
hubungan percintaan yang tidak seharusnya... (Galbraith, 2011:212) 
     Berbeda dengan penggemar pria dunia anime manga, otaku
wanita yang
jumlahnya tidak kalah dari otaku pria tidak begitu menarik perhatian masyarakat. Hal
ini dikarenakan adanya stereotype masyarakat mengenai otaku itu sendiri. Contohnya
seperti bagaimana penampilan awal tokoh utama Densha Otoko, Yamada Tsuyoshi.
Kemeja biasa dan celana berpola serta rambut yang dibiarkan memanjang,
  
16
sebagaimana pandangan umum bagaimana penampilan seorang otaku. Sugiura juga
menjelaskan adanya label di mana otaku wanita itu adalah wanita yang overweight
dan mengenakan pakaian bermerek Pink House. Namun sebenarnya para penggemar
wanita ini membawa diri mereka sebagaimana wanita pada umumnya. Sugiura
berargumen begitu pula konsumen genre yaoi
memperhatikan penampilan mereka
untuk mendapatkan pekerjaan demi membeli barang-barang yaoi (2006:24).
     Selain penampilan fujoshi
yang tidak berbeda dengan wanita biasa, para fujoshi
ini memegang pendirian bahwa imajinasi mereka cukup di kepala saja. Contohnya,
seorang fujoshi
melihat dua siswa berteman baik di kereta akan berpikiran kalau
keduanya tidak mungkin hanya teman biasa saja. Secara tidak sadar para wanita ini
akan mengategorikan para pria yang menjadi ‘sasaran’
imajinasi mereka ini menjadi
uke
ataupun seme
dan membuat skenario di kepala mereka. Namun hal ini hanya
berlangsung di kepala fujoshi
ini saja. Mereka hanya akan bercerita mengenai apa
yang mereka
imajinasikan dan rasa moe
yang mereka tangkap
ke sesama teman
dengan minat yang sama saja.
Moe yang dimaksud adalah perasaan yang bergejolak
dan perasaan senang yang muncul ketika melihat sesuatu yang disenangi. Bila pada
otaku
pria perasaan ini muncul ketika melihat karakter wanita, maka pada otaku
wanita perasaan ini muncul ketika melihat karakter pria (Sugiura, 2006:11).
     Sugiura juga menjelaskan adanya pandangan mengenai alasan fujoshi menyukai
yaoi secara umum oleh Nakamura dan Mori. Mereka menganggap para fujoshi
ini
memendam rasa cemburu terhadap pria. Para wanita yang menggemari genre yaoi ini
memendam rasa misogyny (kebencian terhadap wanita). Kebencian ini menjadi dasar
para fujoshi menyukai genre yaoi yang tidak memiliki tokoh utama wanita. Karena
adanya rasa benci ini para fujoshi
menjadikan yaoi
sebagai alat untuk menyangkal
diri mereka sebagai wanita. Namun menurut Sugiura, hal ini merupakan sebuah
  
17
kesalahpamahan yang ada dalam masyarakat. Menurutnya, pandangan bahwa wanita
ingin menjadi pria merupakan logika yang disodorkan oleh pria. Berbeda dengan
otaku
pria, menurut Sugiura otaku
wanita memiliki cara berpikir yang disebut
betsuhara (??). Pemikiran ini merupakan pemikiran di mana imajinasi atau kibou
(??, harapan) tidak dapat dijadikan realita (2006:98).
     Bersamaan dengan meluasnya popularitas anime
dan manga
ke seluruh dunia,
begitu pula dengan yaoi
dan penggemarnya.
Beberapa negara seperti Amerika
Serikat yang memiliki jenis cerita dengan tema yang sama yaitu slash, para fujoshi di
negara tersebut telah memiliki fanbase
tersendiri bahkan mengadakan konvensi
tersendiri layaknya komiket (comic market) di Jepang. Beberapa negara yang tidak
menerima tema homoerotisme ini, terutama daerah Asia,
hanya dapat menikmati
genre ini secara “diam-diam”
di balik bayangan masyarakat. Namun hal ini tidak
menghalangi para penggemar wanita (dan penggemar pria) menikmati maupun
menghasilkan karya baru baik karya original maupun doujinshi ataupun novel yang
kebanyakan mereka unggah ke situs-situs seni maupun blog seperti pixiv, livejournal,
maupun tumblr.
2.3. Teori Fans
     Teori fans secara garis besar membahas mengenai fans. Para fans ini berhubungan
dengan fandom yang meliputi berbagai bidang yang menarik minat orang, mulai dari
musik, olahraga, animasi hingga fashion. Fiske menerangkan fandom sebagai berikut.
  
18
Kutipan:
Fandom...selects from the repertoire of mass-produced and mass-distributed
entertainment certain performers, narratives or genres and takes them into the
culture of a self-selected fraction of people. They are then reworked into an
intensely pleasurable, intensely signifying popular culture that is both similar to,
yet significantly different from, the culture of more ‘normal’
popular
audiences. ...[Fandom] is...associated with the cultural tastes of subordinated
formations of the people, particularly those disempowered by any combination of
gender, age, class and race.
Terjemahan:
Fandom...dipilih dari berbagai hiburan yang diproduksi dan didistribusi secara
besar-besaran, baik pemain, narasi, ataupun genre tertentu, dan membawa hal
tersebut ke budaya yang dipilih sendiri oleh sekelompok orang. Mereka kemudian
mereka ulang hal tersebut menjadi kepuasan tersendiri, menandakan budaya
populer yang sama dengan, namun berbeda dari, budaya dari penonton
‘normal’. ...[Fandom]... diasosiasikan dengan selera budaya dari orang-orang
dengan formasi yang tersubordinasi, terutama mereka yang dibatasi oleh berbagai
kombinasi seperti gender, umur, kelas, dan ras (Sandvoss, 2005:7).
     Dari pengertian di atas Sandvoss dalam bukunya Fans: The Mirror of
Consumption menjelaskan bahwa fandom
membawa kepuasan tersendiri pada fans
yang menjadi bagian dari fandom
tersebut.
Fans
yang dimaksud disini juga bukan
fans yang biasa menyebut diri mereka penggemar, namun fans
yang terus menerus
‘mengunjungi’
objek fandom
mereka secara terus-menerus.
Fans
yang dimaksud
mengubah hal populer yang menjadi hiburan bagi mereka menjadi alat pemenuhan
kepuasan mereka. Tindakan ini dihubungkan dengan golongan yang mengalami
opresi ataupun pembatasan.
Pengaruh dari tekanan sosial fans
ini mempengaruhi
mereka untuk mencari tempat pelarian sesaat, menjadikan hiburan tersebut sebagai
sarana fantasi mereka, bahkan menjadikannya sebagai alat perlawanan. Selain itu,
fandom
juga menjadi sarana refleksi diri fans
dan juga sebagai perpanjangan dari
identitas fans tersebut (2005:9,10).
  
19
2.3.1. Fungsi Fandom sebagai Resistensi Kekuasaan
     Fiske menyatakan bahwa fandom memberikan kepuasan kepada fans dengan sifat
subversif yang dimilikinya. Sifat subversif ini merupakan sifat yang menciptakan
makna pengalaman sosial menurut masing-masing individu dan menghasilkan
kepuasan dari menghindari nilai-nilai sosial yang ditanamkan oleh blok yang
berkuasa. Para fans
merupakan kalangan yang tidak memiliki kekuatan dan alih-alih
membuat produk mereka sendiri, mereka mengubah makna yang ditanamkan oleh
blok yang berkuasa. Hasil dari sifat subvert fandom ini menjadi taman karnival bagi
para fans
dan menyediakan kepuasan dan tempat pelarian di mana peraturan dari
blok yang berkuasa tidak berlaku. 
     Meskipun dalam hal gender fandom
tidak memihak gender manapun, banyak
fandom
yang didominasi oleh pria, terutama
di fandom
komik maupun di fandom
olahraga di mana pria mendominasi sebesar 90% (Sandvoss, 2005:16). Namun para
wanita yang menjadi minoritas pada fandom
tersebut juga menikmati fandom
yang
didominasi pria tersebut. Kungkungan dan tuntutan masyarakat patriarki terhadap
para fans wanita ini menciptakan dan mendapat kepuasan dari fandom yang mereka
ikuti. Dell dalam Sandvoss mengambil contoh fandom
olahraga wrestling di mana
para fans wanita menuntut untuk menonton acara gulat di televisi setidaknya 2-3 kali
dan secara terbuka mengagumi parade dua pria. Hal ini melangkaui peran yang
ditetapkan untuk mereka, sebagai seorang wanita dan ibu. Dell menjelaskan bahwa
dengan tindakan sebagai fans
ini, wanita membuat ruang sementara di mana mereka
dapat menggantikan peran yang normatif, penurut, dan penyayang yang
dituntut
kepada mereka dengan peran seksualitass yang asertif dan memuaskan diri sendiri
(2005:17). 
  
20
     Contoh lainnya adalah adanya cerita slash
yang merupakan cerita yang
mengandung hubungan
homoerotisme antara dua karakter pria. Sandvoss
menjelaskan pendapat Fiske mengenai fandom di mana fandom
merupakan bentuk
resistensi produktif oleh kalangan bawah, slash
merupakan dari pemikiran wanita
yang merupakan fans dari popular culture – yang dicontohkan dengan dua karakter
protagonis pria yang membawa nilai patriarkal
di mana para fans
wanita ini
merumuskannya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.
Melalui cerita
slash
ini para wanita berhasil menembus masuk ke genre lainnya yang sebelumnya
didominasi oleh para pria, seperti science fiction
melalui cerita slash pada fandom
Star Trek. 
2.3.2. Fungsi Fandom sebagai Refleksi dan Ektensi Diri Fans
     Selain sebagai alat resistensi kekuasaan, fandom
juga menyajikan kepuasan
narsisme di mana fandom
yang merefleksikan diri fans
dalam hasil fandom
yang
dikonsumsi secara tidak sadar. Fandom menjadi alat penyalur fantasi dari para fans-
nya, baik fantasi di bawah sadar yang dapat diverbalisasikan melalui proses terapi
dan juga fantasi sadar yang disalurkan melalui skenario “kalau”
atau melamun.
Fantasi yang dialami oleh para fans
ini merupakan proyeksi dan introyeksi diri fans
tersebut. Klein menyatakan teori psikoanalisis yang berbeda dari teori Freud. Klein
menjelaskan hubungan antara anak praoedipal dengan objek relasi pertamanya, yaitu
ibu dan tubuh sang ibu. Sama seperti Freud, Klein menjelaskan bahwa bayi yang
baru lahir masih tidak memiliki kesadaran
ego
(kesadaran akan diri sendiri yang
biasanya ditampilkan ke masyarakat) sehingga mereka berada di kondisi omnipotent
di mana tidak ada subjek asing dan semuanya diasumsikan berada di bawah kuasa si
  
21
anak. Benda asing seperti payudara ibu dianggap sebagai bentuk kepuasan dari
asuhan. Namun tubuh sang ibu yang merupakan benda asing yang berada di luar
kuasa sang anak kemudian memunculkan rasa takut dan insting akan kematian
(Sandvoss, 2005:70).
     Klein kemudian menjelaskan untuk mengatasi rasa takut ini, anak kemudian
berusaha menghilangkan unsur rasa takut yang muncul dari lingkungan sekitarnya,
dalam hal ini payudara sang ibu. Di sini payudara ibu mengandung dua makna,
sebagai penghasil kepuasan  dan objek untuk mengasuh dan juga perwujudan insting
kematian. Makna dualisme yang dikandung ini menunjuk pada situasi paranoid-
schizoid. Situasi ini diperoleh dari proses proyeksi, di mana perasaan ‘jelek’ di dalam
diri disalurkan ke objek asing, dan proses introyeksi, di mana sang anak menyerap
aspek ‘bagus’ dari objek asing ke dirinya. Proyeksi dan introyeksi ini merujuk pada
psikologi fans, di mana mereka secara tidak sadar melihat diri mereka sendiri pada
objek fandom
mereka. Stacey menjelaskan bahwa aspek yang dilihat oleh para fans
dalam objek fandom mereka berkisar sekitar objek yang ‘bagus’ (Sandvoss, 2005:80-
81). Dengan kata lain, para fans
memproyeksikan apa yang mereka lihat sebagai
dimensi dan kualitas yang baik dari diri mereka.
     
Sandvoss menyatakan fandom
sebagai bentuk refleksi diri narsistik antara fans
dan objek dari fandomnya (Sandvoss, 2005:98). Berdasarkan pemahaman McLuhan
pada mitos Narcissus yang mati tenggelam ketika melihat bayangannya di sungai,
Sandvoss menjelaskan bahwa manusia terpesona pada
semua bentuk ekstensi diri
mereka
pada materi selain diri mereka. Para fans menunjukkan ketertarikan pada
segala bentuk ekstensi diri mereka.
Dari sini Sandvoss menjelaskan bahwa fans
berusaha untuk mengambil kontrol atas
objek fandom
mereka, yang secara tidak
sadar merupakan refleksi dari fans
itu sendiri, melalui proses proyeksi dan
  
22
introproyeksi. Para fans memiliki mekanisme feedback (servomechanism) yang dapat
mengendalikan fandom dan juga sebagai refleksi diri para fans. Apabila obyek yang
digemari atau fandom tersebut memiliki nilai yang tidak diharapkan, mereka akan
mengubahnya sesuai dengan nilai yang mereka percayai.
2.4. Teori Feminisme
     Feminisme secara garis besar merujuk pada emansipasi wanita. Hannam (2007:4)
menyusun definisi feminisme menjadi:
     1. Pengakuan akan kesenjangan kekuatan di antara gender di mana wanita
merupakan bawahan pria,
     2. Kepercayaan di mana kondisi wanita telah disusun secara sosial dan karena itu
bisa diubah,
     3. Penekanan akan otonomi wanita.
     Gerakan yang berawal dari Eropa ini dibagi oleh Tong menjadi feminisme liberal,
feminisme radikal, feminisme marxist dan sosialis, feminisme
psikoanalisik,
feminisme multikultur, ekofeminisme, dan feminisme posmodern. Pada penelitian ini
akan lebih menekankan pada feminisme liberal.
     Feminisme liberal menjelaskan bahwa subordinasi wanita disebabkan oleh adat
dan hukum yang menghalangi wanita untuk menjelajahi potensialnya sebagai
manusia. Publik memegang pandangan di mana pria lebih superior dibandingkan
wanita dalam hal intelejensi dan fisik sehingga cenderung mendiskriminasikan
wanita baik dalam hal pendidikan, ekonomi, politik, maupun psikologis. Masyarakat
  
23
ini dikenal menganut nilai-nilai patriarki. Engels mendefinisikan patriarki sebagai
bentuk keluarga yang ciri utamanya adalah dipimpin oleh pria. Namun menurut para
feminis, patriarki merujuk pada kodrat wanita yang subordinatif. Millet menyatakan
bahwa patriarki merujuk pada dominasi pria terhadap wanita, juga dominasi terhadap
pria yang muda oleh pria yang lebih tua (Murray, 1995:6).
     Feminisme liberal mengejar masyarakat impian yang adil dan simpatik di mana
kebebasan berkembang penuh.
Mereka menekankan perlunya pembebasan wanita
dari peran gender yang dipaksakan pada wanita, di mana dengan stereotip yang ada
pada masyarakat para wanita diposisikan pada posisi yang rendah. Mill dan Taylor
dalam Tong menyatakan bahwa untuk mencapai
keadilan dan kesetaraan gender,
masyarakat harus memberikan hak dan kesempatan baik secara ekonomi, politik,
maupun kebebasan seksual (2009:16).
Feminisme liberal dalam memperjuangkan
kesetaraan wanita dan pria ini mendorong agar masyarakat berusaha mencapai sifat
androgini. Sifat androgini ini merupakan perpaduan dari sifat positif maskulin dan
sifat positif feminim dalam satu individu. Paham ini percaya bila sifat androgini ini
dicapai maka kesetaraan antara pria dan wanita pun dapat dicapai (Tong, 2009:32).
     Sistem patriarki ini juga tercermin pada manga Jepang terutama genre yang
ditujukan bagi kalangan pria (shounen manga). Posisi wanita di manga sebelum
munculnya yaoi
merujuk pada sistem patriarki ini, sebagai bawahan pria. Hal ini
dapat dilihat pada pola cerita shounen manga
yang rata-rata berkisar pada karakter
utama pria yang mengincar posisi tertinggi dan karakter wanita sebagai karakter
tambahan bergantung kepada karakter pria ini.
Terlebih lagi pada manga
genre
erotisme, Takamatsu mengatakan bahwa wanita menjadi objek dari pria pada cerita
heteroseksual tersebut. Dari sini
muncul ketidakpuasan wanita pada peran yang
disodorkan pada mereka oleh sistem patriarki Jepang. Genre yaoi pun dimunculkan
  
24
sebagai bentuk ketidakpuasan tersebut, sebagai langkah pembebasan seksualitas
wanita yang dikekang realita dan nilai masyarakat (Isola, 2008:89).
     Pandangan yaoi sebagai langkah feminisme juga diutarakan oleh novelis yaoi
Kurimoto Kaoru yang menyatakan adanya tekanan nilai patriarki dalam kebebasan di
masyarakat. Di mana wanita terus-menerus diklasifikasikan berdasarkan bagaimana
penampilan mereka, bagaimana mereka memenuhi tuntutan masyarakat terhadap
fungsi gendernya, bagaimana mereka mereka mengatur keadaan di rumah, dan
sebagainya. Karena adanya tekanan dari ekspektasi patriarki terhadap wanita inilah
para wanita mulai memandang yaoi
sebagai tempat di mana mereka bebas dari
pandangan pria maupun masyarakat. Di mana dalam yaoi eksistensi para wanita yang
terus-menerus menjadi objek tidak ada (Hori, 2013, para 6). Pandangan ini
dikukuhkan oleh Takemiya Keiko yang menyatakan yaoi sebagai langkah awal dari
feminisme Jepang (Thorn, 2004:179). 
2.4.1. Konsep Penis Envy oleh Freud
     Dalam pembicaraan mengenai feminisme liberal, Tong juga mengungkapkan
istilah penis envy yang dialami wanita dalam teori psikoanalisis gender Freud. Dalam
teorinya, Freud memandang wanita mengalami ‘kekurangan’ karena tidak memiliki
alat genital yang sama dengan pria. Untuk mengkompensasi kekurangan yang
mereka alami ini, para wanita harus menjalankan fungsi reproduksi mereka, untuk
menghasilkan bayi (Tong, 2009:131). Pernyataan ini menuai protes dan kritik
terutama dari para feminis. Menurut para feminis, konsep
penis envy
ini lebih
menitikberatkan anatomi wanita yang berbeda dari pria daripada kesenjangan hak
  
25
sosial ekonomi dan status yang dimiliki pria sebagai penyebab ketidakpuasan wanita
terhadap masyarakat patriarki (Tong, 2009:131).