7
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1.
Rerangka Teori dan Literatur
2.1.1.
Pajak Umum
2.1.1.1. Pengertian Pajak
 
Pajak merupakan sebuah sumber pendapatan negara yang cukup
penting, terutama juga di indonesia. Pajak juga sangat berperan penting dalam
perkembangan di sebuah negara, biasa digunakan untuk pembangunan
negara, anggaran belanja negara.
Ada beberapa definisi Pajak menurut berbagai ahli dan sumber :
Menurut Undang-Undang no 28 Tahun 2007 :
“ Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” (Indonesia,
2007 : 1-2)
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH (Mardiasmo,2009:01) :
“ Pajak itu sendiri adalah
iuran rakyat kepada kas Negara yang berdasarkan 
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.”
2.1.1.2. Pungutan Lain Selain Pajak
Di samping pajak, ada beberapa pungutan lain yang serupa dengan
pajak tetapi mempunyai perlakuan dan sifat yang berbeda dengan pajak, yang
dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Pungutan tersebut antara lain :
  
8
a.
Bea materai, yaitu pungutan yang dikenakan atas dokumen dengan
menggunakan benda materai ataupun benda lain.
b.
Bea masuk dan Bea keluar. Bea masuk adalah pungutan atas barang-
barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean berdasarkan harga/nilai
barang itu berdasarkan tarif yang sudah ditentukan. Bea keluar adalah
pungutan yang dilakukan atas barang yang dikeluarkan dari daerah
pabean berdasarkan tarif yang sudah ditentukan bagi masing-masing
golongan barang.
c.
Cukai, yaitu pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang
sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu. Contoh :
tembakau, gula, bensin, minuman keras, dan lain-lain.
d.
Restribusi, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa
atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata
kepada pembayar. Contoh : parkir, pasar, jalan tol, dan lain-lain.
e.
Iuran, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau
fasilitas yang diberikan pemerintah secara langsung dan
nyata kepada
kelompok atau golongan pembayar.
f.
Pungutan lain yang sah/legal berupa sumbangan wajib.
2.1.1.3. Unsur Pajak
 
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak bahwa dapat
ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur pajak, antara lain :
1.
Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang, Asas ini sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan
“pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dalam undang-undang.”
  
9
2.
Tidak mendapatkan jasa timbal balik yang dapat ditunjukkan secara
langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor
akan melalui jalan yang sama kualtasnya dengan orang yang tidak
membayar pajak kendaraan bermotor.
3.
Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintaha dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun pembangunan.
4.
Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila
wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
5.
Selain fungsi budgetair
(anggaran)
yaitu fungsi mengisi Kas
Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan
ekonomi
dan sosial (fungsi mengatur/regulatif)
2.1.1.4. Fungsi Pajak
Pajak mempunyai beberapa fungsi yang penting, yaitu :
1.
Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak
berfungsi untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan
tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak.
Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja
pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk
dalam hal pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan
  
10
pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran
rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan
sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat
dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
2.
Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui
kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka
menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,
diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka
melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea
masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3.
Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga
sehingga
inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain
dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan
pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4.
Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk
membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk
membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja,
yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
  
11
2.1.1.5. Pengelompokkan Pajak
Pajak dapat dikelompokkan beberapa kriteria adalah sebagai berikut :
a.
Pajak menurut Golongan 
1.
Pajak Langsung yaitu pajak yang dimaksudkan untuk dipikul sendiri
oleh yang membayarnya. Jadi, pajak jenis ini tidak bisa dilimpahkan
atau digeser kepada pihak lain.
Contoh : Pajak Penghasilan 
2.
Pajak Tidak Langsung yaitu pajak yang dimaksudkan dapat
dilimpahkan atau dibebankan oleh yang membayar kepada pihak lain .
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, Pajak jenis ini bisa dilimpahkan atau digeserkan oleh penjual
kepada pembeli.
b.
Pajak Menurut Sifat
1.
Pajak Subyektif (Pajak yang bersifat Perorangan) yaitu pajak yang
dalam pengenaannya memperhatikan keadaan atau kondisi pribadi
wajib pajak (status kawin atau tidak kawin, mempunyai tanggung
keluarga atau tidak).
Contoh : Pajak Penghasilan, kondisi WP (Wajib Pajak) akan
mempengaruhi dalam hal Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) nya.
2.
Pajak Obyektif (Pajak yang bersifat Kebendaan) yaitu pajak yang
dalam pengenaannya hanya memperhatikan sifat obyek pajaknya saja,
tanpa memperhatikan keadaan atau kondisi diri wajib pajak.
Contoh : Bea Materai, yang dipungut apabila obyek pajak telah ada
dan memenuhi syarat sebagai suatu dokumen yang dikenakan pajak
tanpa melihat kondisi dari wajib pajak.
  
12
c.
Pajak menurut Lembaga Pemungutnya
1.
Pajak Pusat (Pajak Negara) yaitu pajak yang wewenang
pemungutannya ada ditangan pemerintah pusat  dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara
Contoh : PPh , PPn, PPnBM, PBB
2.
Pajak Daerah yaitu pajak yang wewenang pemungutannya ada di
pemerintah daerah dan digunakan untuk kepentingan pembiayaan
rumah tangga pemerintah daerah tersebut.
Pajak Daerah terdiri dari :
-
Pajak Propinsi yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah
Tingkat I (Propinsi), misalnya Pajak Kendaraan Bermotor dan
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
-
Pajak Kabupaten/Kota
yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), misalnya Pajak Hotel, Pajak
Restoran dan Pajak Hiburan.
2.1.1.6. Tata Cara Pemungutan Pajak
a.
Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :
-
Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata),
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun
pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan
kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan
  
13
lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat
dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui)
-
Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama
dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah
dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak
berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama
tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun.
Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak
berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
-
Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan
suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak
menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggaran,
maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil
kelebihannya dapat diminta kembali.
b.
Asas Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo, sebagai berikut :
-
Asas Domisili
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan
  
14
yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku
untuk Wajib Pajak dalam negeri.
-
Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal
Wajib Pajak.
-
Asas Kebangsaan
Pengenaan Pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
c.
Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia adalah :
a.
Official Assestment System
Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
Pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri – ciri nya adalah :
-
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada
pada fiskus.
-
Wajib Pajak bersifat pasif
-
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak
oleh fiskus.
b.
Self Assestment System
Sistem yang diberlakukan di Indonesia, dimana para Wajib Pajak
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. 
Ciri – ciri nya adalah :
  
15
-
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada
pada Wajib Pajak sendiri.
-
Wajib Pajak aktif , mulai dari menghitung, menyetor, dan
melaporkan sendiri.
-
Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c.    With Holding System
Pemungutan dan pemotongan pajak dalam sistem ini dilakukan oleh
pihak ketiga selain negara dan Wajib Pajak sendiri. 
Ciri-ciri nya adalah : Wewenang menentukan besarnya pajak yang
terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak. 
2.1.1.7. Pajak Penghasilan
Menurut Prof. Dr. Gunadi, Penghasilan didefinisikan sebagai
peningkatan manfaat
ekonomi selama satu periode akuntansi tertentu dalam
bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang
mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi
penanaman modal. ( Gunadi , 2009:147 )
Sementara menurut pengertian penghasilan yang dikutip dari Undang-
undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) adalah :
Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
  
16
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini.
b.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan
penghargaan.
2.1.1.8. Subyek Pajak
 
Wajib Pajak yang memperoleh atau menerima sebuah penghasilan
disebut sebagai Subyek Pajak. Adapun Subyek Pajak sebagai berikut :
a.
Orang Pribadi
Orang Pribadi sebagai subyek pajak dapat tinggal atau berada di
Indonesia atau berada di luar Indonesia.
b.
Warisan yang belum terbagi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subyek
pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.
c.
Badan
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan,
baik yang melakukan usaha yang
meliputi Perseroan Terbatas (PT),
Perseroan Komanditer, Perseroan Lainnya, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
d.
Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment)
Bentuk Usaha Tetap merupakan subyek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subyek pajak badan.
  
17
2.1.2. Hukum Pajak Internasional
2.1.2.1. Pengertian Hukum Pajak Internasional
 
Ada beberapa pengertian Hukum Pajak Internasional dari berbagai
ahli, yaitu Sebagai berikut (Wirawan, 2011 : 189) :
Menurut Prof. Dr. Rahmat Soemitro, Hukum pajak nasional yang
terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah yang
berasal dari traktat antar negara dan dari prinsip atau kebiasaan yang telah
diterima baik oleh negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal
perpajakan dan dimana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing.
Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Hukum pajak internasional adalah
suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam
Undang-Undang Nasional mengenai permajakan terhadap orang-orang luar
negeri. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan
traktat-traktat.
2.1.2.2. Kedaulatan Hukum Pajak Internasional
UU no.7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan
UU no.17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa
terhadap WP luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara
lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan
PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan bahwa contoh
adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang
diperoleh di Indonesia.
Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan
negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas
mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-
  
18
batas yang ditentukan oleh hukum antar negara
dan bebas dari pengaruh
kekuasaan negara lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud, maka kedaulatan
pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negara dapat dinyatakan
sebagai kedaulatan suatu negara untuk bertindak  merdeka dalam lapangan
pajak.
2.1.2.3. Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional
Menurut Prof. Dr. Rachmat Soemitro, yang terdapat di dalam buku
nya “ Hukum Pajak Indonesia”, menyebutkan ada beberapa sumber hukum
pajak internasional antara lain :
a.
Hukum Pajak Nasional atau Unilateral yang mengandung unsur asing,
seperti asas-asas yang terdapat dalam hukum antar negara.
b.
Trakat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antar negara
baik secara bilateral maupun multilateral.
c.
Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-
pajak Internasional.
Menurut R. Santoso Brotodihardjo, S.H. di dalam buku karangannya
yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum Pajak.” Menyatakan bahwa sumber-
sumber formal dari hukum pajak internasional, yaitu :
a.
Asas-asas yang terdapat dalam hukum antar negara.
b.
Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang dimaksud
tidak ditujukan kepada negara lain.
c.
Traktat-traktat (perjanjian) dengan negara lain, seperti :
a.
Untuk meniadakan atau menghindarkan pajak berganda.
b.
Untuk mengatur perlakuan fiskal terhadap orang-orang asing.
  
19
c.
Untuk mengatur soal pemecahan laba di dalam hal suatu perusahaan
atau seseorang mempunyai cabang-cabang atau sumber-sumber
pendapatan di negara asing.
2.1.2.4. Terjadinya Pajak Berganda Internasional
Pajak berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya
tidak ada hukum internasional yang mengatur atau mempayungi hal tersebut
sehingga bisa terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih.
Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional
terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih
sedemikian rupa, sehingga orang-orang akan dikenakan pajak di negara-
negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang
lebih besar daripada
jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang
terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-
negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara
bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama.
Dari pengertian diatas jelas bahwa pajak berganda internasional akan
timbul karena atas suatu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan
pajak lebih dari satu kali sehingga menimbulkan beban yang berat bagi
subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut.
2.1.2.5. Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Ada dua cara untuk menghindari hal tersebut, antara lain :
a.
Unilateral
Cara ini dilakukan dengan memasukkan ketentuan untuk menghindari
pajak berganda dalam Undang-Undang
suatu negara dengan suatu
prosedur yang jelas. Penggunaan cara ini merupakan wujud kedaulatan
  
20
suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam
suatu undang-undang.
b.
Bilateral atau Multilateral
Cara bilateral atau multilateral dilakukan melalui suatu perundingan
antar negara yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak
berganda. Perjanjian yang dilakukan secara bilateral oleh dua negara,
sedangkan multilateral dilakukan oleh lebih dari dua negara , yang lebih
dikenal dengan sebutan traktat atau Tax treaty
Alasan diperlakukan Tax Treaty, yaitu :
a.
Terdapat saling ketergantungan antar negara.
b.
Peningkatan kerjasama antar negara.
c.
Memperluas pemasaran produk.
d.
Kebutuhan modal, teknologi, dan ilmu pengetahuan.
e.
Pajak dianggap sebagai penghambat (tax barrier) kelancaran arus
modal, barang, dan jasa, serta SDM.
2.1.3. Bentuk Usaha Tetap
2.1.3.1. Definisi Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment ) adalah Bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratu delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.
  
21
Bentuk Usaha Tetap (BUT) sudah sangat lazim dipergunakan sebagai
saran usaha dari Wajib Pajak Luar Negeri baik badan maupun orang pribadi.
Sebagai Wajib Pajak Luar Negeri, BUT mempunyai banyak perlakuan
khusus, baik dalam hal penentuan sebagai BUT-nya, pengenaan
perpajakannya, dan banyak permasalahan lainnya.
Penentuan dan perlakuan pengenaan pajak atas BUT secara spesifik
akan diatur pada masing-masing negara. Namun demikian, penentuan dan
perlakuan perpajakan dari BUT tersebut ketika berkaitan dengan P3B perlu
diatur secara khusus antara negara yang melakukan P3B dengan negara mitra
P3B.
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
yang diakui di Indonesia adalah sesuai
dengan yang tercantum pada Undang-undang PPh, adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi atau badan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri
yang mempunyai penghasilan pada negara Indonesia sebagai negara sumber
penghasilan.
Penentuan adanya BUT sesuai Undang-undang PPh ditentukan
dengan cara seperti berikut :
a.
Keberadaan Wajib Pajaknya
Keberadaan Wajib Pajak Luar Negeri dimana yang
mempunyai penghasilan di Indonesia yang dapat disebut sebagai BUT
(Bentuk Usaha Tetap) adalah apabila :
-
Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari
jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan apabila ;
  
22
-
Badan yang tidak didirikan dan tidak bertemput kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
b.
Bentuk Kegiatan Usahanya
Bentuk kegiatan yang dilakukan orang pribadi atau
badan
Wajib Pajak Luar Negeri yang dikatakan sebagai BUT tersebut antara
lain dapat seperti berikut ini :
-
Tempat kedudukan manajemen
-
Cabang perusahaan
-
Kantor perwakilan
-
Gedung kantor
-
Pabrik
-
Bengkel
-
Gudang 
-
Ruang untuk promosi dan penjualan
-
Pertambangan dan penggalian sumber alam
-
Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
-
Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
-
Proyek kontruksi, instalasi, atau proyek perakitan
-
Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang
lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan
-
Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas
  
23
-
Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung resiko di Indonesia
-
Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik
untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
2.1.3.2. Konsep Dasar Permanent Establishment
Konsep dasar Permanent Establishment diatur dalam Pasal 5 OECD
model yang menjelaskan kepada kita kegiatan usaha yang seperti apa yang
dapat dikategorikan sebagai
Permanent Establishment
dan kegiatan seperti
apa yang tidak dapat dikategorikan sebagai Permanent Establishment.
Dengan demikian, konsep Permanent Establishment merupakan konsep yang
sangat penting dalam penentuan hak pemajakan negara sumber terhadap
penghasilan dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh
subjek pajak luar
negeri. Tanpa adanya Permanent Establishment, negara sumber tidak dapat
mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh oleh perusahaan yang
menjadi subjek pajak luar negeri di negara sumber.
Bentuk –
bentuk Permanent Establishment
(PE)
seperti yang diatur
dalam OECD Model adalah sebagai berikut ini :
a.
Bentuk Dasar atau “Basic Rule PE” ( Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3));
b.
Kontruksi atau “Construction PE” ( Pasal 5 ayat (3);
c.
Keagenan atau “Agency PE”( Pasal 5 ayat (5)).
Sedangkan berdasarkan UN model, bentuk-bentuk PE adalah sebagai
berikut :
a.
Bentuk Dasar atau “Basic Rule PE” ( Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3));
  
24
b.
Kontruksi atau “Construction PE” ( Pasal 5 ayat (3) huruf a);
c.
Pemberian Jasa atau “Service PE” ( Pasal 5 ayat (3) huruf b);
d.
Keagenan atau “Agency PE”( Pasal 5 ayat (5)).
e.
Asuransi atau “Insurance PE” ( Pasal 5 ayat (6)).
2.1.3.3. Basic Rule PE
Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Permanent Establishment adalah
suatu tempat tetap usaha dimana melalui tempat tetap usaha tersebut kegiatan
usaha dari suatu perusahaan dijalankan secara sebagian atau secara
keseluruhan. Dengan Demikian, kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar
dapat terbentuk suatu Permanent Establishment adalah sebagai berikut :
a.
Adanya tempat usaha.
b.
Tempat usaha tersebut didirikan di suatu lokasi tertentu.
c.
Subjek pajak harus mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usaha
tersebut.
d.
Penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen atau dalam
waktu yang melebihi periode waktu tertentu.
e.
Kegiatan yang dilakukan melalui tempat usaha tersebut harus merupakan
kegiatan usaha sebagaimana pengertian kegiatan usaha yang diatur dalam
undang-undang domestik maupun perjanjian penghindaran pajak
berganda.
Apabila salah satu kondisi di atas tidak terpenuhi maka Permanent
Establishment tidak akan terbentuk.
a.
Place of Business Test
Definisi tentang Place of Business Test tidak diberikan dalam
pasal-pasal yang terdapat pada model perjanjian penghindaran pajak
  
25
berganda. Akan tetapi, dalam paragraf (4) OECD Commentary atas
pasal 5, tempat usaha ini diartikan sebagai bentuk bangunan, fasilitas
atau instalasi yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha,
tanpa memperhatikan apakah dipergunakan semata-mata untuk tujuan
tersebut. Tempat usaha tersebut, misalnya dapat berupa kantor,
gudang, bengkel, pabrik, tempat kegiatan usaha lainnya atau dapat
juga mencakup mesin dan peralatan. Secara prinsip, hanya aktiva
tetap tidak berwujud tidak dapat menimbulkan Permanent
Establishment.
Pasal 5 ayat (2) dari OECD Model Tahun 2008 memberikan
contoh-contoh suatu tempat usaha yang dapat dikategorikan sebagai
PE. Contoh-contoh tempat usaha tersebut disebut dengan “positif list”.
Contoh-contoh tempat usaha yang dikategorikan sebagai Permanent
Establishment adalah sebagai berikut :
-
Tempat kedudukan manajemen
-
Cabang perusahaan
-
Kantor perwakilan
-
Gedung kantor
-
Pabrik
-
Bengkel, dan
-
Pertambangan, sumur minyak dan gas bumi, tempat penggalian,
atau tempat pengambilan sumber alam.
  
26
b.
Location Test
Berdasarkan pendekatan location test, tempat usaha harus
didirikan di suatu tempat atau lokasi tertentu di wilayah negara
sumber, yaitu berada di suatu titik geografi tertentu. Dengan
demikian, makna kata “Place” apabila dikaitkan dengan kata “Fixed”
yang membentuk suku kata “Fixed place”
mencerminkan suatu
persyaratan bahwa “Place”
atau “tempat” tersebut mempunyai
hubungan erat antara tanah dengan hak pemajakan dari suatu negara.
Dengan demikian, pengoperasian alat transportasi berupa bus atau
truk dari suatu negara ke negara lain tidak dapa dianggap sebagai PE.
Akan tetapi, suatu kantor yang dipergunakan untuk penjualan tiket,
pengadministrasian, atau pengawasan terhadap bus atau truk tersebut
dapat saja dikategorikan sebagai PE. Terkait dengan lalu lintas
internasional dalam penerbangan dan perkapalan, prinsip PE tidak
diterapkan.
c.
The Right Use Test
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa suatu tempat usaha
tidak dipermasalahkan apakah tempat usaha tersebut diperoleh
melalui pembelian atau disewa dari pihak lain. Yang terpenting disini
adalah perusahaan tersebut harus mempunyai hak untuk dapat
memanfaatkan tempat usaha tersebut untuk menjalankan kegiatan
usahanya.
d.
Permanent Test
Terkait dengan tempat usaha, istilah “permanen” dapat
diartikan dengan pengertian-pengertian sebagai berikut :
  
27
a.
Tempat usaha dipergunakan untuk menjalankan kegiatan yang
sifatnya teratur dan bukan untuk kegiatan usaha yang sifatnya
situasional.
b.
Istilah “permanen” tidak harus diartikan sebagai kegiatan yang
berlangsung terus menerus tanpa tidak akan pernah berhenti, tetapi
harus diartikan sebagai kegiatan yang
dimaksudkan untuk
berlangsung secara terus menerus tanpa pernah diketahui kapan
akan berhenti.
c.
Dikaitkan periode waktu dipergunakannya tempat usaha, istilah
“permanen” dapat diartikan sebagai penggunaan tempat usaha
dalam waktu yang lama. Jadi, tidak sekedar dipergunakan dalam
jangka pendek. Untuk menguji apakah suatu tempat usaha
dipergunakan sebagai tempat yang permanen, biasanya dilakukan
dengan pendekatan “duration test” yaitu dengan cara melakukan
penghitungan berapa lama keberadaan tempat usaha tersebut.
e.
Business Test
Suatu tempat dikatakan menjalankan kegiatan “business
apabila kegiatan yang dilakukan melalui tempat tersebut sesuai
dengan pengertian “business” yang dimaksudkan oleh undang-undang
domestik maupun perjanjian penghindaran pajak berganda
yang
disepakati. OECD Model 2008, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h
menjelaskan tentang istilah “business” sebagai berikut : 
 
The term “business” includes the perfomance of professional
services and of other activities of an independent character.
  
28
Jadi, Pengertian “business” atau kegiatan usaha berdasarkan OECD
Model adalah meliputi kegiatan dari pemberian jasa yang bersifat
profesional dan kegiatan usaha lainnya yang mempunyai karakter
yang sama.
2.1.3.4. Hubungan Istimewa di dalam Bentuk Usaha Tetap
Hubungan Istimewa mempunyai berbagai perbedaan dalam
pemahaman nya, yaitu menurut Pasal 9 UN Model dan menurut Undang-
Undang Pajak Penghasilan.
Menurut Pasal 9 UN Model 
Suatu perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan, baik secara
langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan
atau modal suatu perusahaan di Negara pihak persetujuan lainnya, atau Orang
atau badan yang sama, baik secara langsung maupun tidak langsung turut
serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari suatu
Negara pihak pada persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak pada
persetujuan lainnya, dan dalam kedua hal itu antara kedua perusahaan
dimaksud dalam hubungan dagangnya atau hubungan keuangannya diadakan
atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazim berlaku
antara perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama lain,
sehingga laba yang timbul dinikmati oleh salah satu perusahaan yang apabila
syarat-syarat itu tidak dapat dinikmati oleh perusahaan tersebut, dapat
ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenai pajak. Apabila suatu
negara pihak pada persetujuan mencakup laba satu perusahaan di Negara itu
dan dikenai pajak laba yang telah dikenai pajak di Negara lainnya dan laba
tersebut adalah laba yang memang seharusnya diperoleh perusahaan-
  
29
perusahaan independen, maka Negara lain itu akan melakukan penyesuaian-
penyesuaian atas jumlah laba yang dikenai pajak. Penyesuaian-penyesuaian
itu harus memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam persetujuan ini dan
apabila
dianggap perlu, pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara
pihak pada persetujuan saling berkonsultasi.
Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan
Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara
Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada
dua Pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha
atau lebih yang disebut terakhir; atau
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha
berada di bawah penguasaan Pengusaha yang sama baik langsung maupun
tidak langsung atau terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun
semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu
derajat.
Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang
menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat
terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang
disebabkan karena faktor kepemilikan atau penyertaan; adanya penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi. Selain karena hal-hal tersebut
di atas, hubungan istimewa di antara orang pribadi dapat pula terjadi karena
adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
  
30
Pada perundang-undangan perpajakan Indonesia ada prosentase penyertaan
modal yang lebih detil dan hubungan kekeluargaan, sedangkan pasal 9 UN
model, yang disebut hubungan istimewa yaitu hubungan manajemen antara
induk perusahaan yang berdomisili di salah satu negara dan anak perusahaan
yang berdomisili di negara lainnya.
2.1.3.5. Pengenaan Pajak Bentuk Usaha Tetap di Indonesia
Pengenaan pajak yang dikenakan ke
Bentuk Usaha Tetap (BUT) di
indonesia ditentukan berdasarkan jangka waktu (Time test) yang berlaku di
masing-masing Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B),
seperti
berikut :
a.
Dalam hal persyaratan jangka waktu untuk adanya BUT di indonesia
dipenuhi, maka atas imbalan jasa tersebut dikenakan pajak di Indonesia
dan dipotong PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b.
Dalam hal jangka waktu mengenai adanya BUT tidak dipenuhi, maka atas
imbalan jasa tersebut tidak dapat
dikenakan pajak di Indonesia (kecuali
yang dibayar atau terutang kepada penduduk Jerman, Luxembourg, Swiss
dan Pakistan), hak pemajakannya dilakukan oleh negara treaty partner
tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak
luar negeri. Jasa yang
dilakukan di luar negeri oleh penduduk negara treaty partner, Indonesia
tidak dapat mengenakan PPh atas imbalan jasa tersebut.
Apabila hak pemajakan dari BUT berada pada Indonesia, maka Pajak
Penghasilan dari BUT dihitung atas :
a.
Penghasilan BUT dari Indonesia
Penghasilan dari BUT di Indonesia termasuk dalam penghasilan dari
kantor pusatnya atas transaksi di indonesia dikenakan PPh yang
  
31
diperlakukan sama dengan Wajib Pajak dalam negeri, sehingga
didasarkan atas Undang-undang PPh.
b.
Branch Profit Tax
Branch Profit Tax adalah Pajak tambahan dikenakan pada BUT yang
dihitung dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan yang terutang dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Besarnya tarif Branch Profit Tax
dihitung dengan menggunakan
dasar-dasar :
-
Undang – undang PPh
Berdasarkan pasal 26 ayat (4) Undang-undang PPh, besarnya tarif
atas Branch Profit Tax adalah sebesar 20% (dua puluh persen) dari
penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan PPh terutang.
-
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Berdasarkan P3B dapat diatur besarnya Branch Profit Tax, yang
tentu saja besarnya tidak sama antara BUT dari suatu negara
dengan negara lain sesuai dengan yang diatur pada P3B.
2.1.3.6. Penentuan Laba Usaha Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Seperti yang sudah dijelaskan, negara sumber boleh mengenakan
pajak atas penghasilan dari kegiatan usaha apabila terdapat BUT di negara
sumber tersebut. Penentuan laba usaha BUT diatur dalam pasal 7 OECD
Model maupun UN Model. Berikut ini kita lihat perbandingan antara OECD
Model dan UN Model dalam menentukan alokasi laba suatu BUT.
a.
Atributable Principle dan Force of attraction Principle
Antara OECD Model dan UN Model terdapat perbedaan sebagai
berikut :
  
32
a.
Dalam OECD Model, penghasilan PE yang dapat dikenakan pajak
di negara sumber hanya terbatas pada penghasilan yang berasal
dari kegiatan usaha PE saja (attrubutable principle).
b.
Sedangkan dalam UN Model, penghasilan
PE yang dapat
dikenakan pajak di negara sumber selain dari penghasilan usaha
PE juga termasuk :
a.
Penghasilan dari penjualan barang atau barang dagangan yang
dilakukan oleh kantor pusat di negara di mana PE berada
dengan syarat penjualan yang dilakukan oleh
kantor pusat
sama atau sejenis dengan penjualan yang dilakukan oleh PE;
b.
Penghasilan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh kantr
pusat di negara di mana PE berada dengan syarat kegiatan
usaha yang dilakukan oleh kantor pusat sama atau sejenis
dengan kegiatan usaha yang dilakukan PE.
Pengenaan penghasilan kantor pusat sebagai penghasilan dari PE
seperti diuraikan di atas disebut sebagai “Force of attraction
principle”. Prinsip tersebut, pertama kali dikembangkan dalam
ketentuan perpajakan Amerika Serikat pada tahun 1963 yang diatur
dalam seksi 861 dari IRC (Internal Revenue Code).
b.
Distinct and Separate Enteprise Approach
Pasal 7 ayat (2) antara OECD dan UN model sama-sama
menyatakan bahwa transaksi antara kantor pusat dan PE dianggap
sebagai transaksi yang terpisah dan berhubungan secara bebas
(Distinct and Separate
Enteprise Approach). Dengan demikian,
penentuan harga transaksi antara kantor pusat dan PE harus
  
33
didasarkan pada harga pasar. Metode perhitungan berdasarkan asumsi
bahwa transaksi antara kantor pusat dan PE dianggap sebagai
transaksi yang terpisah dan berhubungan secara bebas dinamakan
direct method. Disamping direct method, terdapat metode perhitungan
lainnya dalam menghitung laba usaha PE yaitu indirect method.
Dibandingkan dengan indirect method, metode perhitungan secara
direct method yang lebih diutamakan menurut Fiscal Committee dari
OECD.
c.
Biaya – biaya yang Deductible
Menurut OECD Model, dalam menghitung laba dari suatu PE,
diperkenankan biaya-biaya yang terjadi di kantor pusat untuk
dibebankan di PE sepanjang biaya tersebut digunakan untuk
keperluan PE. Termasuk biaya administrasi umum, baik yang
dikeluarkan di negara di mana PE tersebut berada atau di negara
lainnya.
Dalam UN Model, ditegaskan bahwa pembayaran yang
dilakukan oleh PE kepada kantor pusatnya yaitu biaya royalti,
pembayaran imbalan jasa, atau pembayaran bunga (kecuali untuk
usaha perbankan) tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam
menghitung penghasilan kena pajak PE. Sebaliknya, pembayaran
diperoleh oleh PE dari kantor pusat bukan merupakan penghasilan
kena pajak.
  
34
d.
Indirect Method
Berdasarkan rumusan pasal 7 ayat (4) OECD dan UN Model,
sepanjang telah merupakan suatu kelaziman dalam menghitung laba
PE dapat digunakan cara apportionment yaitu dengan cara
membandingkan suatu komponen tertentu dari PE dengan laba
keseluruhan perusahaan. Penghitungan laba usaha dari suatu PE
berdasarkan indirect method dilakukan sebagai berikut :
1.
Menentukan laba usaha dari perusahaan secara keseluruhan.
Laba usaha dihitung per masing-masing negara di mana PE
berada berdasarkan ketentuan domestik masing-masing negara
tersebut;
2.
Kemudian, laba usaha yang telah dihitung berdasarkan poin 1
di atas, dibagi dan dialokasikan berdasarkan suatu komponen
tertentu kepada masing-masing PE.
e.
Kantor Pembelian
Pasal 7 ayat (5) OECD Model menegaskan bahwa apabila di
negara sumber terdapat suatu tempat tetap yang dipergunakan sebagai
tempat untuk menjalankan kegiatan usaha, akan tetapi apabila
kegiatan usaha tersebut semata-mata untuk melakukan pembelian
barang dagangan, maka kegiatan pembelian tersebut tidak
menimbulkan penghasilan bagi PE.
f.
Konsistensi
Pasal 7 ayat (6) OECD Model maupun Pasal 7 ayat (5) UN
Model sama-sama menyatakan bahwa apabila metode alokasi
dipergunakan dalam menghitung laba usaha PE seperti yang
diatur
  
35
dalam Pasal 7 ayat (4) maka sebaiknya dipergunakan secara
konsisten, kecuali terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk
menyimpan dari cara perhitungan tersebut.
g.
Subordination
Pasal 7 ayat (7) OECD Model maupun Pasal 7 ayat (6) UN
Model menegaskan bahwa apabila terdapat pasal lain juga mengatur
jenis-jenis penghasilan yang termasuk dalam pasal lain tersebut yang
diberlakukan. Jadi, ketentuan pasal 7 tidak dapat diterapkan. Adapun
pasal lain tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Pasal 8 mengenai transportasi pelayaran dan pesawat terbang.
2.
Pasal 10 ayat (4) mengenai dividen.
3.
Pasal 11 ayat (4) mengenai bunga.
4.
Pasal 12 ayat (3) mengenai royalti.
5.
Pasal 21 ayat (2) mengenai penghasilan lain-lain.
Akan tetapi, apabila penghasilan yang diatur dalam pasal-pasal
tersebut di atas terkait secara efektif dengan PE maka Pasal 7 yang
diberlakukan.