BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum
Warren, Fess, dan Reeve (2008) mendefinisikan akuntansi sebagai sebuah sistem
informasi yang menyediakan laporan kepada individu-individu atau kelompok yang bervariasi
mengenai aktifitas sebuah organisasi atau entitas. Sementara itu Kieso, Weygandt, dan Warfield
(2008) berpendapat bahwa akuntansi juga bisa saja dipikirkan sebagai “bahasa bisnis” karena
merupakan alat dimana hampir semua informasi dikomunikasikan. Oleh karenanya proses
akuntansi meliputi pengidentifikasian, pengukuran dan pengkomunikasian informasi keuangan
tentang suatu entitas ekonomi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Akuntansi, lebih
spesifik lagi akuntansi keuangan (financial accounting) merupakan proses yang berakhir pada
pembuatan laporan keuangan. Pemakai laporan keuangan meliputi investor, kreditor, manajer,
serikat pekerja, dan badan-badan pemerintah.
Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) menyatakan bahwa penyelenggaraan akuntansi
sampai pada hasilnya berupa laporan keuangan merupakan tanggung jawab manajemen.
Sementara itu, pemakai dari laporan keuangan tersebut memiliki kebutuhan yang beragam
terhadap berbagai jenis informasi. Untuk memenuhi kebutuhan itu, maka perlu disajikan laporan
keuangan bertujuan umum (general purposes financial statement) yang diharapkan akan
menyajikan secara wajar, jelas dan lengkap operasi keuangan perusahaan. Agar tujuan tersebut
dapat tercapai maka perlu seperangkat standar yang dapat diterima umum dan dipraktekkan
secara universal. Tanpa standar seperti itu perusahaan akan membuat standar-standar mereka
sendiri dan pemakai laporan keuangan harus dapat memahami praktik-praktik akuntansi serta
  
pelaporan unik dari setiap perusahaan. Selain itu, laporan keuangan dari setiap perusahaan juga
sulit untuk dapat diperbandingkan. Seperangkat standar dan prosedur umum tersebut dinamakan
Prinsip-prinsip Akuntansi yang Diterima Umum (Generally Accepted Accounting Principle).
Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) menyebut bahwa dewasa ini terdapat dua standar
akuntansi yang diterima penggunaannya secara internasional dan memberikan pengaruh cukup
signifikan bagi penyusunan standar akuntansi di berbagai negara di dunia, yaitu US GAAP
(Standar Akuntansi di Amerika Serikat) yang dibuat oleh Financial Accounting Standard Board
(FASB) dan International Financial Reporting Standard (IFRS) yang dibuat oleh International
Accounting Standard Board (IASB). IASB adalah sebuah badan swasta independen yang bekerja
untuk mencapai keseragaman dalam prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan oleh perusahaan
dan organisasi lainnya untuk pelaporan keuangan di seluruh dunia.
Sebuah survey yang bertajuk “GAAP Confergence 2002” yang dilakukan oleh enam KAP
besar yaitu BDO, Deloitte, Ernst & Young, Grant Thornton, KPMG, dan Pricewaterhouse
Coopers menyatakan bahwa antara kedua standar tersebut memang terdapat beberapa perbedaan
namun akhir-akhir ini kedua lembaga pembuat standar tersebut sedang berusaha untuk semakin
mengurangi perbedaan yang ada. IASB dan FASB menyetujui bahwa mengkonvergensikan IFRS
dan US GAAP merupakan tujuan utama mereka karena dunia yang semakin mengglobal
membutuhkan sebuah kerangka akuntansi yang berlaku umum di seluruh dunia.
Seiring dengan kebutuhan tersebut, dewasa ini IFRS semakin mendapat tempat dan mulai
digunakan sebagai dasar bagi penyusunan standar akuntansi di banyak negara. Survey tersebut
juga mendapatkan temuan bahwa IASB dipandang sebagai organisasi yang memadai dan layak
untuk mengembangkan sebuah bahasa akuntansi yang global yang menyediakan informasi
keuangan yang berkualitas tinggi serta mendorong transparansi.
  
2.2
Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan
Menurut IFRS karakteristik kualitatif merupakan ciri khas yang membuat informasi
dalam laporan keuangan berguna bagi pemakai. Karakteristik kualitatif laporan keuangan diatur
oleh IASB dalam Framework  for the Preparation and Presentation of Financial Statement
(Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Laporan Keuangan) sementara FASB mengatur dalam
SFAC no.2 tentang Qualitative Characteristics of Accounting Information. Menurut Epstein dan
Jermakowicz (2008), kerangka dasar yang dibuat oleh IASB mengambil dari US Conceptual
Framework yang dibuat oleh FASB. Oleh karena itu keduanya tidak terlalu berbeda.
FASB seperti dikutip Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) berpendapat bahwa
karakteristik kualitatif dari informasi akuntansi akan membedakan informasi yang lebih baik
(lebih berguna) dengan informasi yang inferior (kurang berguna bagi tujuan pelaporan
keuangan). Hal ini dikarenakan pemilihan metode akuntansi yang tepat, jumlah dan jenis
informasi yang harus diungkapkan serta penyajiannya melibatkan penentuan alternatif mana
yang menyediakan informasi paling bermanfaat untuk pengambilan keputusan.
Framework  for the Preparation
and Presentation of Financial Statements yang
diterbitkan IASB menyatakan bahwa terdapat empat karakteristik kualitatif pokok atas laporan
keuangan yaitu:
1.
Dapat Dipahami
Kualitas  penting informasi dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk segara dapat
dipahami oleh pemakai yang diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktifitas
ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan
yang wajar.
  
2.
Relevan
Informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan
keputusan. Informasi bersifat relevan kalau dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai
dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan dan
menegaskan atau mengkoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu.
3.
Keandalan
Informasi juga harus andal (reliable) artinya bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan
material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang tulus atau jujur. Agar dapat
diandalkan, informasi harus memperhatikan faktor-faktor berikut:
a.
Penyajian jujur, yaitu informasi harus menggambarkan dengan jujur transaksi 
serta peristiwa lainnya yang harusnya disajikan atau yang secara wajar dapat diharapkan
untuk disajikan.
b.
Substansi mengungguli bentuk, yaitu sebuah peristiwa perlu dicatat dan disajikan 
sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi dan bukan hanya bentuk hukumnya.
c.
Netralitas, yaitu informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pemakai, dan 
tidak bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu.
d.
Pertimbangan sehat, yaitu penyusun laporan keuangan harus menggunakan 
pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan terutama berhubungan dengan
suatu ketidakpastian yang dihadapi.
e.
Kelengkapan, yaitu informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam 
batasan materialitas dan biaya.
4.
Dapat dibandingkan
Informasi harus dapat dibandingkan, artinya pemakai harus dapat memperbandingkan:
  
a.
Laporan keuangan perusahaan antar periode untuk mengidentifikasi 
kecenderungan (trend) posisi dan kinerja keuangan.
b.
Laporan keuangan antar perusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja 
serta perubahan posisi keuangan secara relatif.
Ketaatan pada standar akuntansi keuangan akan membantu pencapaian daya banding.
Berhubung pemakai ingin membandingkan posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi
keuangan antar periode, maka perusahaan perlu menyajikan informasi periode sebelumnya
dalam laporan keuangan.
2.3
Penyajian Laporan Keuangan
Untuk memenuhi karakteristik yang dapat diperbandingkan, IASB menyusun IAS 1
tentang Presentation of Financial Statements. IAS 1 ini mengatur hal-hal yang dipersyaratkan
dalam penyajian laporan keuangan secara menyeluruh, petunjuk untuk struktur dari laporan
keuangan serta persyaratan minimum mengenai isi dari laporan keuangan. IAS 1 terakhir kali
direvisi pada 6 September 2007 dan mulai berlaku untuk periode akuntansi yang dimulai pada
atau setelah tanggal 1 Januari 2009. Adopsi lebih awal diperbolehkan.
IAS 1 yang terakhir direvisi pada tahun 2007 mensyaratkan bahwa satu set laporan
keuangan yang lengkap terdiri dari:
1.
Sebuah statement of financial position pada akhir periode. Laporan ini pada IAS 
1 versi sebelumnya menggunakan judul “balance sheet”, sedangkan pada IAS 1 revisi
menggunakan judul “statement of financial position”.
2.
Sebuah statement of comprehensive income untuk satu periode. Komponen dari 
  
profit atau loss dapat disajikan sebagai bagian dari statement of comprehensive income,
atau disajikan dalam income statement yang terpisah. Jika income statement disajikan,
maka laporan tersebut menjadi bagian dari satu set laporan keuangan yang lengkap.
Income statement ditampilkan persis sebelum statement of comprehensive income.
3.
Sebuah statement of change in equity untuk satu periode.
4.
Sebuah statement of cash flow untuk satu periode. IAS 1 versi sebelumnya 
menggunakan judul “cash flow statement”, sedangkan pada IAS 1 revisi menggunakan
judul “statement of cash flow”.
5.
Catatan (Notes), yang terdiri dari rangkuman kebijakan akuntansi yang penting 
dan informasi penjelas lainnya.
Perusahaan dibolehkan untuk menggunakan judul untuk laporan keuangan mereka diluar
yang dinyatakan oleh IAS 1 tersebut. Selain itu IAS 1 juga mengatur beberapa hal lain seperti
penggunaan asumsi going concern, accrual basis of accounting (kecuali untuk laporan arus kas),
pelarangan melakukan
offsetting, frekuensi pelaporan, informasi komparatif serta konsistensi
dalam pelaporan. Beberapa konsep penyajian yang disebutkan didalam IAS 1 diantaranya adalah
materiality and aggregation yang menyatakan bahwa dalam penyajian laporan keuangan, setiap
item yang serupa jika jumlahnya material maka harus disajikan terpisah dalam laporan keuangan.
Sementara item yang tidak serupa boleh digabungkan hanya jika secara individual tidak material.
Konsep yang lain adalah offsetting dimana aktiva dan kewajiban, serta penghasilan dan beban,
tidak diperbolehkan untuk di-offset kecuali diminta atau diperbolehkan oleh IFRS.
IAS 1 juga mensyaratkan bahwa informasi komparatif harus diungkapkan sehubungan
dengan periode sebelumnya untuk seluruh
jumlah yang dilaporkan dalam laporan keuangan,
  
kecuali standar menentukan lain. Jika jumlah informasi komparatif diubah atau diklasifikasi
ulang, maka diperlukan pengungkapan atas hal tersebut.
Struktur dan isi laporan keuangan secara umum harus dengan jelas mengidentifikasi:
a.
Laporan keuangan (the financial statement)
b.
Perusahaan yang membuat laporan (the reporting enterprise)
c.
Apakah merupakan laporan perusahaan ataukah grup
d.
Tanggal atau periode yang dicakup (the date or period covered)
e.
Mata uang pelaporan (the presentation currency)
f.
Tingkat ketelitian atau presisi (the level of precision), misalnya dalam ribuan, 
jutaan dsb.
2.3.1
Penyajian Statement of Comprehensive Income
Comprehensive income untuk sebuah periode adalah profit atau loss untuk periode
tersebut ditambah comprehensive income lain yang diakui dalam periode tersebut. Sebagai hasil
dari revisi IAS 1 pada tahun 2003, sekarang standar menggunakan “profit or loss” dan tidak lagi
memakai “net profit or loss” untuk terminologi “the bottom line of the income statement”.
Sehubungan dengan penyajian comprehensive income, perusahaan dapat memilih
alternatif penyajian sebagai berikut:
a.
Satu laporan, yaitu statement of comprehensive income saja, atau
b.
Dua laporan, yaitu sebuah income statement yang menampilkan komponen dari 
profit atau loss serta sebuah statement of comprehensive income yang dimulai dengan
profit or loss (bottom line of the income statement) dan menampilkan komponen dari
other comprehensive income.
  
IAS 1 menetapkan bahwa dalam statement of comprehensive income harus termasuk
item-item minimum sebagai berikut:
a.
Pendapatan (revenue)
b.
Biaya-biaya pendanaan (finance costs)
c.
Pembagian profit atau loss (share of the profit or loss) kepada perusahaan 
asosiasi atau joint ventures yang dihitung dengan equity method
d.
Beban pajak (tax expense)
e.
Discontinued operation, termasuk nilai total dari (i) profit or loss (setelah pajak)
dari discontinued operations dan (ii) keuntungan atau kerugian (gains or loss) yang
diakui (setelah pajak) dalam pelepasan aktiva atau grup yang dinyatakan sebagai
discontinued operations.
f.
Profit or loss
g.
Masing-masing komponen dari other comprehensive income yang 
diklasifikasikan berdasarkan sifatnya.
h.
Pembagian other comprehensive income kepada perusahaan asosiasi atau joint
ventures yang dihitung dengan equity method.
i.
Total comprehensive income
Item tambahan dapat ditambahkan untuk penyajian yang lebih wajar atas hasil operasi
perusahaan.
2.3.2
Penyajian Statement of Financial Position
Sebuah entitas secara normal harus menyajikan
laporan posisi keuangan yang
diklasifikasikan, yaitu memisahkan aktiva dan kewajiban kedalam kategori lancar dan tidak
  
lancar (current and noncurrent). Jika penyajian berdasarkan likuiditas menyediakan informasi
yang dapat diandalkan dan lebih relevan mungkin pemisahan lancar dan tidak lancar dapat
dihilangkan.
IAS 1 menyebutkan bahwa item-item minimum yang harus ada pada statement of
financial position adalah:
a.
Property, plant and equipment
b.
Investment property
c.
Intangible assets
d.
Financial assets
e.
Investment yang dihitung dengan equity method
f.
Biological assets
g.
Inventories
h.
Trade and other receivables
i.
Cash and cash equivalents
j.
Assets held for sale
k.
Trade and other payables
l.
Provisions
m.
Financial liabilities
n.
Liabilities and assets for current tax
o.
Deferred tax liabilities and deferred tax assets
p.
Liabilities included in disposal groups
q.
Non-controlling interest, disajikan dengan equity method
r.
Issued capital and reserves attributable to owners of the parent
  
Item tambahan dapat ditambahkan untuk penyajian yang lebih wajar atas posisi keuangan
perusahaan. IAS 1 tidak menentukan format dari Statement of Financial Position. Aktiva dapat
disajikan bagian lancar kemudian tidak lancar, atau sebaliknya, kewajiban dan ekuitas dapat
disajikan bagian lancar kemudian tidak lancar kemudian equity, atau sebaliknya. Penyajian
dengan pendekatan net assets diperbolehkan. Pendekatan “long term financing approach” yang
banyak digunakan di United Kingdom dan beberapa negara lain juga diperbolehkan.
2.3.3
Penyajian Statement of Cash Flow
Statement of cash flow memberikan analisis atas perubahan dalam kas dan setara kas
selama satu periode. Kas dan setara kas terdiri dari kas di tangan, deposito jangka pendek, serta
investasi jangka pendek yang mudah dicairkan setiap saat menjadi sejumlah kas, dan mempunyai
resiko yang tidak signifikan atas perubahan nilai.
Dalam penyajian statement of cash flow, cash flow harus dianalisis antara aktifitas atau
kegiatan operasi, investasi, dan pendanaan. Beberapa prinsip kunci yang diatur dalam IAS 7
sehubungan dengan penyajian statement of cash flow adalah sebagai berikut:
a.
Operating activities adalah aktifitas utama dalam menghasilkan pendapatan dari
perusahaan yang bukan merupakan aktifitas investing atau financing, sehingga operating
cash flow termasuk cash yang diterima dari pelanggan dan kas yang dibayarkan kepada
supplier dan pegawai.
b.
Investing activities adalah perolehan dan pelepasan dari aktiva jangka panjang 
dan investasi lain yang tidak termasuk ke dalam cash equivalents.
c.
Financing activities adalah aktifitas yang mengubah equity capital dan
borrowing structure perusahaan.
  
d.
Bunga dan dividen yang diterima dan dibayarkan dapat diklasifikasikan ke dalam 
arus kas kegiatan operasi, investasi, atau pendanaan, sepanjang diklasifikasikan secara
konsisten dari periode ke periode.
e.
Arus kas karena pajak atas penghasilan secara normal diklasifikasikan dalam
kegiatan operasi, kecuali secara spesifik dapat diidentifikasikan sebagai kegiatan
pendanaan atau investasi.
f.
Untuk arus kas kegiatan operasi, penyajian dengan metode langsung disarankan, 
tetapi metode tidak langsung juga dapat diterima.
g.
Arus kas dari kegiatan investasi dan pendanaan harus dilaporkan pada nilai kotor 
(gross) untuk tiap-tiap jenis penerimaan kas dan pengeluaran kas utama kecuali untuk
beberapa kasus dapat dilaporkan dengan net basis.
h.
Transaksi investasi dan pendanaan yang tidak memerlukan penggunaan kas harus 
dikeluarkan dari statement of cash flow, tetapi mereka harus diungkapkan terpisah dalam
laporan keuangan.
i.
Komponen kas dan setara kas harus diungkapkan, dan jumlahnya menunjukkan 
rekonsiliasi dengan jumlah yang dilaporkan dalam statement of financial position.
j.
Jumlah kas dan setara kas yang ditahan oleh perusahaan tidak tersedia untuk 
digunakan dan harus diungkapkan.
2.4
Akuntansi Untuk Klub Sepakbola
Sebagaimana umumnya sebuah organisasi, sebuah klub sepakbola juga dituntut untuk
memberikan laporan tentang kondisi keuangannya. FIFA sebagai organisasi tertinggi federasi
sepakbola tingkat internasional mengeluarkan berbagai peraturan yang
harus ditaati oleh para
  
anggotanya di seluruh dunia. Salah satu peraturan yang dimuat dalam FIFA Regulations Club
Licensing adalah peraturan yang terdapat pada Article 10 mengenai financial criteria. 
FIFA menyatakan bahwa penyiapan dan penyajian laporan keuangan bisa berbeda tiap
entitas pada negara yang berbeda karena perbedaan sosial, ekonomi dan dalam peraturan
perundangan sehingga implementasi dari financial criteria dalam peraturan pada masing-masing
negara akan memberikan tantangan bagi anggota, baik asosiasi maupun klub. Tujuan dari
financial criteria ini adalah:
1.
Meningkatkan kemampuan ekonomi dan keuangan dari klub.
2.
Meningkatkan transparansi dan kredibilitas klub.
3.
Memberikan perlindungan terhadap kreditor.
Implementasi dari financial criteria diharapkan akan memberikan peningkatan jangka
pendek maupun jangka panjang untuk klub dan dunia sepakbola secara umum.
Bagi klub, financial criteria diharapkan membantu klub untuk:
1.
Memperbaiki standar dan kualitas manajemen keuangan dan aktifitas 
perencanaan.
2.
Memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih baik oleh manajemen.
3.
Meningkatkan keuangan klub dan kredibilitas bisnis dengan para pemegang 
saham.
4.
Memperbaiki stabilitas keuangan.
5.
Meningkatkan kemampuan memperoleh pendapatan dan dalam pengelolaan 
biaya.
Sehubungan dengan financial criteria ini, sebagai bagian kepatuhan klub dalam
mengikuti kompetisi, beberapa kriteria minimum harus terpenuhi. Untuk pemenuhan atas
  
financial criteria tersebut, sebuah klub sepakbola membutuhkan penyelenggaraan akuntansi bagi
klubnya. Seiring dengan kebutuhan akan akuntansi tersebut, maka dibutuhkan prinsip akuntansi
yang berlaku umum bagi sebuah klub sepakbola. Namun tidak seperti beberapa industri yang
secara khusus mendapat pembahasan dalam suatu standar akuntansi, untuk industri sepakbola
tidak mendapatkan pembahasan secara spesifik, sehingga klub sepakbola harus bisa menyaring
dan memilih dari berbagai standar mana yang memadai untuk diaplikasikan.
Meski demikian, situs OPPapers.com yang melansir suatu penelitian mengenai
Accounting For Football Club menyatakan bahwa meskipun seluruh akuntan dapat mengadopsi
aturan akuntansi yang diterima umum, namun tiap industri memiliki karakteristiknya masing-
masing. Itulah kenapa diperlukan pengetahuan yang spesifik tentang sebuah industri sehingga
bisa diputuskan serangkaian aturan akuntansi yang paling memungkinkan untuk diaplikasikan
agar menggambarkan dengan baik situasi keuangan sebuah perusahaan. Dalam sebuah industri
sepakbola, karakteristik khususnya adalah fluktuasi dalam pendapatan dan laba yang disebabkan
ketidakpastian dalam industri ini. Sebuah klub dapat mendapatkan jumlah uang yang besar pada
tahun sekarang namun bisa saja tahun depan akan kehilangan uang dalam jumlah besar pula.
Ketidakpastian ini didorong oleh hasil yang tidak pasti yang diperoleh sebuah klub dari
pertandingan liga, padahal pendapatan klub biasanya sangat tergantung dari hasil tim
sepakbolanya pada kompetisi yang diikuti.
2.4.1
Akuntansi untuk Pendapatan Klub Sepakbola
Ketika sepakbola sudah menjadi sebuah industri, maka sumber pendapatan sebuah klub
sepakbola bisa sangat bervariasi, bukan lagi dari penjualan tiket namun juga dari sumber-sumber
lain seperti penjualan merchandise, sponsor, hak siar televisi, uang penampilan dan hadiah serta
  
dari penjualan pemain. Fakta tersebut mengungkapkan betapa pentingnya pemahaman atas apa
saja yang bisa masuk ke dalam kategori pendapatan, kapan harus diakui, berapa nilai yang harus
diakui dan bagaimana penyajiannya dalam laporan keuangan.
2.4.1.1 Definisi Pendapatan
Dalam kerangka dasar penyusunan penyajian laporan keuangan IFRS dinyatakan bahwa
penghasilan (income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam
bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan
kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa penghasilan meliputi pendapatan maupun keuntungan.
Pendapatan timbul dalam pelaksanaan aktifitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan
sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa, bunga, dividen, royalty dan sewa.
Sementara itu keuntungan mencerminkan pos lainnya yang memenuhi definisi penghasilan dan
mungkin timbul atau mungkin tidak timbul dalam pelaksanaan aktifitas perusahaan yang biasa.
Keuntungan mencerminkan kenaikan manfaat ekonomi dan dengan demikian pada hakekatnya
tidak berbeda dengan pendapatan. Keuntungan meliputi, misalnya, pos yang timbul dalam
pengalihan aktiva tidak lancar. Jika diakui dalam laporan laba rugi, keuntungan biasanya
dicantumkan terpisah karena informasi mengenai pos tersebut berguna dalam pengambilan
keputusan ekonomi.
Menurut IAS no 18 tentang Revenue, pendapatan didefinisikan sebagai arus masuk bruto
dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktifitas normal perusahaan selama suatu periode bila
arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam
modal. Sementara itu Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) mendefinisikan pendapatan sebagai
  
arus masuk atau peningkatan aktiva sebuah entitas atau penyelesaian kewajiban selama satu
periode yang berasal dari pengiriman atau produksi barang, penyerahan jasa, atau aktifitas lain
yang merupakan operasi utama entitas tersebut yang terjadi terus-menerus.
2.4.1.2 Pengakuan pendapatan
Secara umum menurut IAS no 18, pendapatan diakui bila besar kemungkinan manfaat
ekonomi masa depan akan mengalir ke perusahaan dan manfaat ini dapat diukur dengan andal.
Sementara itu Statement of Financial Accounting Concepts No 5 tentang Recognition and
Measurement in Financial Statements of Business Enterprises sebagaimana dikutip oleh Kieso,
Weygandt, dan Warfield (2008) menyatakan bahwa pendapatan diakui ketika pendapatan
terealisasi (realized) atau dapat direalisasi (realizable) atau telah dihasilkan (earned). Pendapatan
dikatakan terealisasi ketika sebuah perusahaan menukarkan barang dan jasa untuk kas atau klaim
atas kas (piutang). Pendapatan dikatakan dapat terealisasi ketika aktiva yang diterima perusahaan
dalam pertukaran dapat segera dikonversi menjadi kas atau klaim atas kas. Sementara itu
pendapatan dikatakan telah dihasilkan ketika sebuah perusahaan secara substansial telah
melakukan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hak atas manfaat yang direpresentasikan
oleh pendapatan.
IAS 18 menjelaskan lebih lanjut bahwa kriteria pengakuan diterapkan secara terpisah
kepada setiap transaksi. Namun dalam keadaan tertentu perlu untuk menerapkan kriteria
pengakuan tersebut terhadap komponen-komponen yang dapat diidentifikasi secara terpisah dari
suatu transaksi tunggal
supaya mencerminkan substansi dari transaksi tersebut. Sebaliknya,
kriteria pengakuan diterapkan pada dua atau lebih transaksi bersama-sama bila transaksi-
  
transaksi tersebut terikat sedemikian rupa sehingga pengaruh komersialnya tidak dapat
dimengerti tanpa melihat kepada rangkaian transaksi tersebut secara keseluruhan.
Untuk kasus pendapatan dari penjualan barang, pendapatan harus diakui bila seluruh
kondisi berikut dipenuhi:
a.
Perusahaan telah memindahkan risiko secara signifikan dan telah memindahkan 
manfaat kepemilikan barang kepada pembeli.
b.
Perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas 
barang yang dijual.
c.
Jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan andal.
d.
Besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan 
mengalir kepada perusahaan tersebut, dan
e.
Biaya yang terjadi atau yang akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan 
dapat diukur dengan andal.
Pada umumnya, pemindahan risiko dan manfaat kepemilikan bersamaan waktunya
dengan pemindahan hak milik atau pemindahan penguasaan atas barang tersebut kepada
pembeli. Pendapatan diakui hanya bila besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan
transaksi tersebut akan mengalir kepada perusahaan.
Sementara itu untuk kasus penjualan jasa, bila hasil suatu transaksi yang meliputi penjualan jasa
dapat diestimasi dengan andal, pendapatan sehubungan dengan transaksi tersebut harus diakui
dengan acuan pada tingkat penyelesaian dari transaksi pada tanggal neraca. Hasil suatu transaksi
dapat diestimasi dengan andal bila seluruh kondisi berikut ini dipenuhi:
a.
Jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal.
b.
Besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut 
  
akan diperoleh perusahaan.
c.
Tingkat penyelesaian dari suatu transaksi pada tanggal neraca dapat diukur 
dengan andal.
d.
Biaya yang terjadi untuk transaksi tersebut dan biaya untuk menyelesaikan 
transaksi tersebut dapat diukur dengan andal.
2.4.1.3 Pengukuran Pendapatan
IAS 18 menjelaskan bahwa pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang
diterima atau yang dapat diterima. Sementara yang dimaksud dengan nilai wajar adalah suatu
jumlah, untuk itu aktiva mungkin ditukar atau suatu kewajiban diselesaikan antara pihak yang
memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arm’s length transaction).
Jumlah pendapatan yang timbul dari suatu transaksi biasanya ditentukan oleh persetujuan
antara perusahaan dan pembeli atau pemakai aktiva tersebut. Jumlah tersebut diukur dengan nilai
wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima perusahaan dikurangi jumlah diskon
dagang dan rabat volume yang diperbolehkan oleh perusahaan. Pada umumnya, imbalan tersebut
berbentuk kas atau setara kas dan jumlah pendapatan adalah jumlah kas atau setara kas yang
diterima atau yang dapat diterima. Namun, bila arus masuk dari kas atau setara kas
ditangguhkan, nilai wajar dari imbalan tersebut mungkin kurang dari jumlah nominal dari kas
yang diterima atau yang dapat diterima.
2.4.1.4 Penyajian atau Pengungkapan Pendapatan
Sehubungan dengan pengungkapan pendapatan, IAS 18 menyatakan bahwa perusahaan
harus mengungkapkan:
  
a.
Kebijakan akuntansi yang dianut untuk pengakuan pendapatan termasuk metode 
yang dianut untuk menentukan tingkat penyelesaian transaksi penjualan jasa.
b.
Jumlah setiap kategori signifikan dari pendapatan yang diakui selama periode 
tersebut.
c.
Jumlah pendapatan yang berasal dari pertukaran barang atau jasa dimasukkan 
dalam setiap kategori yang signifikan dari pendapatan.
d.
Pendapatan yang ditunda pengakuannya.
IAS 18 juga mengharuskan suatu perusahaan juga untuk mengungkapkan setiap
keuntungan dan kerugian kontinjen.
2.4.2
Akuntansi untuk Pemain Sepakbola
Pembahasan mengenai akuntansi sebuah klub sepakbola tidak terlepas dari pembahasan
mengenai akuntansi untuk pemain sepakbola. Devi (2004) menjelaskan bahwa agar sebuah klub
sepakbola bisa bertahan atau memperoleh laba sebesar-besarnya, maka klub harus meningkatkan
nama klub sehingga akan menarik sponsor, meningkatkan nilai hak siar televisi, menambah
penerimaan dari uang hadiah serta menambah pendukung fanatik. Salah satu cara meningkatkan
nama klub adalah dengan pencapaian prestasi. Prestasi bisa diraih diantaranya melalui
pembentukan tim yang baik. Tim yang baik umumnya dibentuk dengan pemain yang berkualitas,
karena semakin berkualitas pemain yang dimiliki, serta semakin solid sebuah tim maka peluang
untuk menjadi juara akan semakin besar pula. Pemain yang berkualitas dapat diperoleh dengan
berbagai cara, yaitu membeli, meminjam atau mengembangkan pemain-pemain muda lewat
  
sekolah sepakbola yang dimiliki klub. Pembelian pemain biasanya dilakukan lewat mekanisme
transfer.
Setiap pemain pada sebuah klub, baik yang diperoleh dengan cara pembelian,
peminjaman maupun berasal dari pembinaan pemain muda, terikat dengan sebuah kontrak yang
mengikat secara hukum dalam jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang jika telah habis
jangka waktunya. Pemain yang terikat kontrak berkewajiban untuk memberikan jasanya kepada
klub dengan berkontribusi dalam pertandingan. Pemain tersebut tidak dapat berhenti bermain
atau berpindah klub tanpa seijin klub pemilik.
Berdasarkan paparan diatas, Devi (2004) berpendapat bahwa pemain sepakbola adalah
aset yang berharga bagi sebuah klub sepakbola sehingga semestinya pemain tersebut terdapat
pada neraca sebuah klub sepakbola. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini terdapat
perdebatan mengenai apakah human capital
seperti pemain sepakbola dapat menjadi aset
perusahaan. Menurut Devi (2004) dalam industri sepakbola human capital dapat memberikan
nilai tambah bagi klub. Bahkan nilai kontrak dari pemain sepakbola bisa mencapai setengah dari
nilai asetnya sehingga jika tidak dilaporkan sebagai aset dalam neraca, maka hal tersebut tidak
menggambarkan nilai klub atau perusahaan yang sebenarnya. Senada dengan hal tersebut, SFAC
no 1 menyatakan bahwa tujuan laporan keuangan harus memberikan informasi yang relevan bagi
pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi. Informasi dikatakan relevan jika memiliki
kapasitas untuk mengkonfirmasi atau mengubah ekspektasi pembuat keputusan. Dengan
demikian, nilai relevansi dari sebuah laporan keuangan adalah kemampuan mengkonfirmasi atau
mengubah ekspektasi investor atas nilai. Sehubungan dengan hal tersebut Krohn dan Knivsfla
(2000) menyatakan bahwa sumber daya tidak berwujud harus dicatat untuk memaksimalkan
relevansi informasi laporan keuangan kepada pengguna, terutama saat ini dan calon investor.
  
Namun masalah paling besar terhadap sebagian besar aset yang tidak berwujud adalah
bahwa mereka sulit untuk diidentifikasi serta manfaat masa depan yang diharapkan sering jauh
lebih tidak pasti daripada aset berwujud. Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan berbagai
kriteria pengakuan aset, organisasi penetapan standar dan regulator lainnya telah enggan untuk
mengakui beberapa sumber daya tidak berwujud sebagai aset. Meski begitu, belakangan ini
organisasi penetapan standar, seperti IASB dalam IAS 38, lebih bersedia untuk mengubah fokus
mereka dari kehati-hatian menuju pengakuan (recognition).
2.4.2.1 Pengakuan Pemain Sepakbola sebagai Aktiva Tak berwujud
Pertanyaan mengenai apakah pemain sepakbola dapat dikategorikan sebagai aset dan
dilaporkan di neraca merupakan sebuah perdebatan. Agar dapat dilaporkan sebagai aset, maka
pemain sepakbola harus memenuhi kriteria pengakuan sebagai aset. Menurut FASB sebagaimana
disebutkan dalam SFAC no 6 tentang Elements of Financial Statements mendefinisikan aktiva
sebagai kemungkinan manfaat ekonomi masa depan yang diperoleh atau dikendalikan oleh
entitas tertentu sebagai hasil dari transaksi atau peristiwa masa lalu. Definisi ini berlaku bagi
aktiva berwujud dan aktiva tidak berwujud, hanya aktiva berwujud memiliki bentuk fisik
sedangkan aktiva tidak berwujud tidak memiliki wujud fisik. Kieso, Weygandt, dan Warfield
(2008) menyatakan bahwa intangible asset memiliki dua karakteristik, yaitu:
1.
Tidak memiliki eksistensi secara fisik karenanya nilai dari aktiva tersebut 
ditunjukkan dengan hak yang dijamin bagi perusahaan untuk menggunakan aktiva
tersebut.
2.
Bukan instrumen keuangan.
  
Lebih lanjut Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) mengklasifikasikan intangible assets
ke dalam enam kategori besar yaitu:
1.
Marketing-related intangible assets
2.
Customer-related intangible assets
3.
Artistic-related intangible assets
4.
Contract-related intangible assets
5.
Technology-related intangible assets
6.
Goodwill
Sementara itu IAS 38 tentang aktiva tidak berwujud menyatakan bahwa aktiva tidak
berwujud adalah aktiva non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik
serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa,
disewakan kepada pihak lainnya atau untuk tujuan administratif. Yang dimaksud dengan aktiva
moneter sendiri adalah kas dan setara kas serta aktiva yang akan diterima dalam bentuk kas yang
jumlahnya pasti atau dapat ditentukan. Lebih lanjut IAS 38 menjelaskan bahwa dalam definisi
aktiva tidak berwujud terdapat kriteria bahwa keteridentifikasian aktiva tidak berwujud harus
dapat dibedakan secara jelas dengan muhibah (goodwill). Suatu aktiva tidak berwujud dapat
dibedakan secara jelas dengan muhibah jika aktiva tersebut dapat dipisahkan. Suatu aktiva
disebut “dapat dipisahkan” jika perusahan dapat menyewakan, menjual, menukarkan, atau
mendistribusikan manfaat ekonomis masa depan yang terdapat pada aktiva tersebut tanpa
melepaskan manfaat ekonomis di masa depan yang timbul dari aktiva lain yang digunakan dalam
aktifitas yang sama untuk menghasilkan pendapatan.
Perusahaan disebut “mengendalikan suatu aktiva” jika perusahaan memiliki kemampuan
untuk memperoleh manfaat ekonomis masa depan yang timbul dari aktiva tersebut dan dapat
  
membatasi akses pihak lain dalam memperoleh manfaat ekonomis tersebut. Kemampuan
perusahaan untuk mengendalikan manfaat ekonomis masa depan dari suatu aktiva tidak
berwujud biasanya timbul dari hak hukum yang dapat ditegakkan dalam suatu pengadilan.
Manfaat ekonomis masa depan dapat timbul dari pengetahuan atas pasar atau pengetahuan
teknis. Perusahaan mengendalikan manfaat ekonomis tersebut jika, misalnya, perusahaan
memiliki suatu pengetahuan yang dilindungi oleh hak hukum, seperti hak cipta dan pembatasan
perjanjian dagang (sepanjang diijinkan oleh peraturan) atau oleh kewajiban hukum bagi pegawai
untuk menjaga kerahasiaan.
Manfaat ekonomis masa depan yang timbul dari aktiva tidak berwujud dapat mencakup
pendapatan dari penjualan barang atau jasa, penghematan biaya, atau manfaat lain yang berasal
dari penggunaan aktiva tersebut oleh perusahaan. Misalnya, penggunaan hak kekayaan
intelektual dalam suatu proses produksi tidak meningkatkan pendapatan masa depan, tetapi
menekan biaya produksi masa depan.
IAS 38 menjelaskan bahwa dalam mengakui suatu pos sebagai aktiva tidak berwujud,
perusahaan perlu menunjukkan bahwa pos tersebut memenuhi definisi aktiva tidak berwujud dan
kriteria pengakuan. Aktiva tidak berwujud diakui jika, dan hanya jika:
a.
Kemungkinan besar perusahaan akan memperoleh manfaat ekonomis masa 
depan dari aktiva tersebut.
b.
Biaya perolehan aktiva tersebut dapat diukur secara andal.
Sementara itu menurut FRS 10 tentang Goodwill and Intangible asset yang diterbitkan oleh
ASB, lembaga pembuat standar di Inggris, item-item tidak berwujud (intangible) dapat
memenuhi definisi aset ketika terdapat akses kepada keuntungan ekonomis di masa depan yang
dikendalikan oleh entitas pelapor, baik itu melalui kustodian maupun perlindungan
hukum.
  
Batasan intangible item ini mulai dari dapat diidentifikasi dan dapat diukur terpisah dari
goodwill, sampai pada hal-hal yang secara esensial mirip dengan goodwill. Dengan criteria
tersebut FRS 10 dianggap sebagai standar yang paling memberi peluang bagi kemungkinan
pengakuan pemain sepakbola sebagai aset.
Berdasarkan berbagai kriteria tersebut, Devi (2004) berpendapat bahwa pemain
sepakbola dapat dikategorikan sebagai aset. Hal ini berdasarkan analisa bahwa pemain sepakbola
dapat diidentifikasi dengan jelas, sehingga dapat dijual, disewakan dan dipertukarkan secara
terpisah. Klub sepakbola juga dinilai memiliki kendali atas pemain sepakbola melalui kontrak
hukum yang mengikat antara klub dengan pemain yang bersangkutan sehingga dikatakan klub
memiliki kontrol atau kendali terhadap pemainnya. Selain itu tujuan sebuah klub memiliki atau
membeli pemain sepakbola adalah untuk menghasilkan atau meningkatkan keuntungan
ekonomis bagi klub di masa depan. Keuntungan yang dijanjikan oleh pemain sepakbola adalah
sesuatu yang intangible yaitu kontribusi atau jasanya dalam pertandingan bagi kesuksesan klub.
Karena jika klub mempunyai pemain yang bagus dan tim yang solid maka kemungkinan untuk
memenangi pertandingan dan meraih prestasi akan lebih besar dan pada ujungnya akan
memberikan keuntungan buat klub baik melalui meningkatnya pemasukan dari penjualan tiket,
hak siar televisi maupun penjualan merchandise. Selain itu, dengan adanya active transfer
market untuk pemain sepakbola, maka harga perolehan aktiva dapat diukur secara andal dengan
melihat nilai transfernya.
Amir dan Livne (2005) menyatakan bahwa FRS 10 yang dikeluarkan ASB pada tahun
1997 dan berbagai standar akuntansi internasional yang lain (IAS 38 tentang intangible assets
yang diterbitkan IASB tahun 1998 dan SFAS 142 yang di keluarkan FASB tahun 2001)
mengisyaratkan dilakukannya kapitalisasi atas kontrak pemain sepakbola. Standar-standar
  
tersebut secara umum mensyaratkan bahwa aktiva yang diperoleh dalam arm’s length
transaction harus  dikapitalisasi. Alasan rasionalnya adalah bahwa harga transaksi memberikan
bukti yang andal mengenai nilai wajar dari assets.
2.4.2.2 Pengukuran untuk Kapitalisasi Pemain Sepakbola sebagai Aktiva
Jika pemain sepakbola sudah memenuhi kriteria pengakuan sebagai aset, langkah
selanjutnya adalah berapa nilai yang harus dikapitalisasi. IAS 38 menyatakan bahwa suatu aktiva
tidak berwujud pada awalnya harus diakui sebesar biaya perolehan. Hal yang sama dinyatakan
oleh Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) bahwa pembelian aktiva tidak berwujud dari pihak
lain dicatat sebesar harga perolehan. Harga perolehan termasuk seluruh biaya untuk
mendapatkan dan pengeluaran-pengeluaran lain yang diperlukan untuk membuat aktiva tersebut
siap digunakan.
Lebih lanjut IAS 38 menjelaskan bahwa jika suatu aktiva tidak berwujud diperoleh secara
terpisah, biaya aktiva tidak berwujud biasanya dapat diukur secara andal. Hal itu akan tampak
jelas jika pembayaran dilakukan dalam bentuk uang tunai atau aktiva moneter lainnya. Biaya
perolehan suatu aktiva tidak berwujud terdiri dari harga beli, termasuk bea masuk (impor), pajak
yang sifatnya tidak dapat di restitusi dan semua pengeluaran yang dapat dikaitkan langsung
dalam mempersiapkan aktiva tersebut sehingga siap digunakan sesuai dengan tujuannya. Biaya
perolehan untuk aktiva tidak berwujud yang diperoleh melalui pertukaran dengan aktiva sejenis
yang memiliki kegunaan yang sama dalam lini usaha yang sama dan memiliki nilai wajar yang
sama pula diukur sebesar nilai wajar aktiva yang diterima, yang sama dengan nilai wajar aktiva
yang diserahkan. Sedangkan Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) berpendapat bahwa harga
perolehan dari aktiva tidak berwujud yang diperoleh dari pertukaran adalah nilai wajar dari
  
aktiva yang diserahkan atau nilai wajar dari aktiva yang diterima, mana yang lebih bisa
ditentukan.
Sementara itu jika terjadi pengeluaran setelah aktiva tidak berwujud diperoleh maka
pengeluaran tersebut diakui sebagai beban pada saat terjadinya pengeluaran, kecuali:
a.
Pengeluaran tersebut besar kemungkinannya akan meningkatkan manfaat 
ekonomis masa depan sehingga menjadi lebih besar daripada standar kinerja yang
diperkirakan semula.
b.
Pengeluaran tersebut dapat diukur dan dikaitkan dengan aktiva secara andal.
Jika kedua persyaratan diatas terpenuhi, maka pengeluaran setelah perolehan harus
ditambahkan kepada biaya perolehan aktiva tak berwujud. Sementara jika pengeluaran setelah
aktiva tidak berwujud dilakukan dengan tujuan untuk memelihara aktiva agar dapat beroperasi
pada standar kerja yang diperkirakan semula, maka pengeluaran tersebut diakui sebagai beban.
2.4.2.3 Amortisasi dan Revaluasi Pemain Sepakbola
Ketika pemain sepakbola sudah dikapitalisasi sebagai aset dalam neraca, konsekuensi
berikutnya adalah nilai kapitalisasi tersebut harus diamortisasi sebagaimana aktiva berwujud
disusutkan. IAS 38 menyebutkan bahwa jumlah yang dapat diamortisasi dari aktiva tidak
berwujud harus dialokasikan secara sistematis berdasarkan perkiraan terbaik dari masa
manfaatnya. IAS 38 memandang bahwa manfaat ekonomis masa depan yang terkandung dalam
suatu aktiva tidak berwujud dikonsumsi dengan berjalannya waktu. Untuk mencerminkan
konsumsi tersebut, nilai tercatat aktiva tersebut diturunkan. Hal tersebut,  dilakukan melalui
alokasi yang sistematis atas biaya perolehan, dikurangi
nilai sisa. Alokasi yang sistematis
tersebut diperhitungkan sebagai beban amortisasi sepanjang masa manfaat aktiva tersebut.
  
Amortisasi perlu diakui tanpa memandang apakah telah terjadi kenaikan, misalnya, pada nilai
wajar atau nilai yang dapat diperoleh kembali dari aktiva tersebut. Pada umumnya masa manfaat
suatu aktiva tak berwujud tak akan melebihi 20 tahun. Amortisasi dimulai sejak tanggal aktiva
siap digunakan.
Mengenai metode amortisasi yang digunakan, IAS 38 menjelaskan bahwa metode
amortisasi harus mencerminkan pola konsumsi manfaat ekonomis oleh perusahaan. Jika pola
tersebut tak dapat ditentukan secara andal, maka harus digunakan metode garis lurus. Selain
metode garis lurus, terdapat berbagai metode amortisasi untuk mengalokasi jumlah yang dapat
diamortisasi dari suatu aktiva atas dasar yang sistematis sepanjang masa manfaatnya. Metode-
metode itu meliputi metode garis lurus, metode saldo menurun dan metode jumlah unit produksi.
Sementara itu nilai sisa suatu aktiva tidak berwujud seharusnya diasumsikan sama dengan nol,
kecuali:
a.
Ada komitmen dari pihak ketiga untuk membeli aktiva tersebut pada akhir masa 
manfaatnya.
b.
Ada pasar aktif bagi aktiva tersebut.
2.4.2.4 Penghentian (Retirement) dan Pelepasan Pemain Sepakbola
Ketika seorang pemain telah habis masa kontraknya atau dijual ke klub lain, maka aktiva
tersebut harus dihilangkan dari neraca. IAS 38 menyatakan bahwa suatu aktiva tak berwujud
tidak boleh lagi diakui, dan harus dihilangkan dari neraca, saat aktiva tersebut dilepas atau ketika
tidak ada lagi manfaat masa depan yang diharapkan dari penggunaannya dan pelepasan yang
dilakukan sesudahnya. Keuntungan atau kerugian yang timbul dari penghentian atau pelepasan
suatu aktiva tak berwujud ditentukan dengan menghitung selisih antara jumlah penerimaan
  
bersih dari pelepasan aktiva dan nilai tercatat aktiva tersebut, serta diakui sebagai keuntungan
atau kerugian dalam laporan laba rugi.
2.4.2.5 Pengungkapan Pemain Sepakbola
Ketika pemain sepakbola sudah diakui sebagai aset perusahaan, maka pemain tersebut
harus diungkapkan dalam laporan keuangan. IAS 38 memberikan arahan bahwa laporan
keuangan harus mengungkapkan hal-hal berikut untuk setiap golongan aktiva tidak berwujud,
dengan membedakan antara aktiva tidak berwujud yang dihasilkan secara intern dan aktiva tak
berwujud lainnya:
a.
Masa manfaat atau tingkat amortisasi yang digunakan.
b.
Metode amortisasi yang digunakan.
c.
Nilai tercatat bruto dan akumulasi amortisasi pada awal dan akhir periode.
d.
Unsur pada laporan keuangan yang didalamnya terdapat amortisasi aktiva tidak 
berwujud.
e.
Rekonsiliasi nilai tercatat pada awal dan akhir periode diantaranya dengan 
menunjukkan:
1.
Penambahan aktiva tidak berwujud yang terjadi, dengan mengungkapkan secara
terpisah penambahan yang berasal dari pengembangan di dalam perusahaan dan
dari penggabungan usaha.
2.
Penghentian dan pelepasan aktiva tidak berwujud.
3.
Rugi penurunan nilai yang diakui pada laporan laba rugi periode berjalan.
4.
Amortisasi yang diakui selama periode berjalan.
  
5.
Selisih kurs neto yang timbul dari penjabaran laporan keuangan suatu entitas
asing.
6.
Perubahan lainnya dalam nilai tercatat selama periode berjalan. Informasi
komparatif tidak dibutuhkan.
2.5
Penelitian Sebelumnya
Berbagai penelitian baik dalam maupun luar negeri telah dilakukan sehubungan dengan
perlakuan akuntansi pada transfer pemain klub sepakbola. Namun secara umum, penelitian yang
paling banyak ditemukan terutama menyoroti tentang pemain sepakbola sebagai human capital
atau sebagai modal intelektual sebuah klub, sehingga penelitian tersebut seringkali dihubungkan
dengan akuntansi untuk aktiva tidak berwujud. Untuk itu penelitian yang banyak disebutkan
dibawah ini terutama berhubungan dengan akuntansi untuk aktiva tidak berwujud, terutama
untuk pemain sepakbola.
Di Indonesia, jurnal akuntansi dan keuangan Indonesia edisi Mei 2004 yang diterbitkan
oleh departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia banyak memuat penelitian
mengenai aktiva tak berwujud dan salah satunya adalah penelitian yang secara khusus membahas
mengenai akuntansi untuk pemain sepakbola. Di antara penelitian tersebut salah satunya adalah
penelitian mengenai aktiva tidak berwujud yang dilakukan oleh Saoria Lisvery dan Irma
Yosephine Ginting.
Penelitian oleh Lisvery dan Ginting (2004) bertujuan melihat sejauh mana perlakuan
akuntansi untuk aktiva tak berwujud yang telah ditetapkan oleh standar akuntansi dan
implementasinya. Hal ini dilatarbelakangi oleh terdapatnya berbagai kesulitan seperti kapan
aktiva tidak berwujud diakui serta bagaimana penilaian, pengukuran dan pelaporannya dalam
  
neraca. Hasil dari penelitian tersebut mengindikasikan bahwa perlakuan akuntansi untuk aktiva
tidak berwujud seringkali masih menimbulkan kesulitan dalam teori akuntansi, terutama dalam
hal pemberian definisi aktiva tidak berwujud dan adanya ketidakpastian mengenai pengukuran
nilai dan masa manfaat dari aktiva tersebut. Ciri yang melekat pada aktiva jenis tersebut justru
menyebabkan perdebatan panjang terhadap perlakuan akuntansinya.
Sementara itu pada bagian lain dari jurnal tersebut terdapat penelitian mengenai modal
intelektual yang dilakukan oleh Ambar Widyaningrum. Penelitian oleh Widyaningrum (2004)
bertujuan melihat kemungkinan mengkapitalisasi modal intelektual dalam neraca, karena sistem
akuntansi konvensional dianggap tidak mengizinkan kapitalisasi dan pelaporan atas modal
intelektual sehingga laporan keuangan tidak memadai lagi untuk menilai kinerja dan nilai
potensial perusahaan. Indikator pengukuran seperti ROI dan ROE jadi mengambang karena
denominatornya tidak mencakup nilai dari aktiva tidak berwujud. Kesimpulan yang diambil dari
penelitian ini adalah terdapat dua macam pengukuran yang telah diperkenalkan para ahli
akuntansi untuk menilai modal intelektual, yaitu dalam bentuk moneter dan non-moneter. Meski
secara moneter dimungkinkan, namun penilaian terhadap angka-angka yang tersaji masih sulit
dilakukan bahkan dikhawatirkan akan dapat membuka celah bagi manipulasi laba. Penilaian
secara non-moneter diperkirakan akan lebih dapat menggambarkan kinerja perusahaan atas
modal intelektual yang dimiliki. Penilaian non-moneter yang telah dikembangkan salah satunya
adalah balance scorecard. Penyajian laporan keuangan yang dilengkapi dengan suplemen berupa
balance scorecard dinilai akan memberikan gambaran yang lebih kongkrit tidak hanya mengenai
financial performance namun juga financial performance dari modal intelektual yang merupakan
aset utama perusahaan, terutama untuk perusahaan yang berbasis pada penggunaan modal
intelektual.
  
Masih dalam jurnal yang sama terdapat penelitian yang secara spesifik berhubungan
dengan dunia sepakbola, yaitu penelitian mengenai akuntansi untuk pemain sepakbola yang
dilakukan oleh Astri Prima Devi. Seperti halnya penelitian untuk modal intelektual, tujuan dari
penelitian tersebut adalah untuk melihat kemungkinan pelaporan human capital dalam sebuah
klub sepakbola, yaitu pemain sepakbola, sebagai aset dalam neraca perusahaan. Penelitian
tersebut berkesimpulan bahwa human capital dalam laporan keuangan untuk menambah nilai
perusahaan dikarenakan tidak memenuhi kriteria pengakuan sebagai aset terkait dengan
keandalan pengukurannya.
Serangkaian penelitian diatas memberikan kesimpulan mendasar bahwa aktiva tidak
berwujud seperti human capital dan modal intelektual lainnya memberikan peran penting dalam
memberi manfaat ekonomi masa depan kepada perusahaan, meski demikian terdapat kendala
dalam pengakuan sebagai aset terkait dengan keandalan pengukurannya. Namun hal tersebut
tidak berlaku bagi pemain sepakbola, karena dalam dunia sepakbola seorang pemain sepakbola
dapat diidentifikasikan dengan jelas sehingga dapat diperjualbelikan, disewakan dan
dipertukarkan. Selain itu dalam hal transaksi untuk pemain sepakbola juga terdapat active
transfer market dengan harga perolehan yang jelas. Selain itu pemain sepakbola juga cukup jelas
dalam hal memberi manfaat ekonomi di masa depan bagi sebuah klub. Berdasar alasan-alasan
tersebut maka pemain sepakbola dapat memenuhi kriteria sebagai aset.
2.6
Analisis Rasio atas Laporan Keuangan
Menurut Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements
(Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Laporan Keuangan) tujuan laporan keuangan adalah
menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi
  
keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Sebagai contoh Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) menyebutkan bahwa
balance sheet dapat dipergunakan oleh pemakai laporan keuangan dalam menganalisis likuiditas,
solvabilitas dan fleksibilitas keuangan sebuah perusahaan akan sangat membantu pemakai dalam
pengambilan keputusan. 
Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) menyatakan bahwa pembaca laporan keuangan
dapat mendapatkan informasi dengan memeriksa hubungan antar item dalam laporan keuangan
dan mengidentifikasi tren dari hubungan tersebut. Hubungan tersebut dinyatakan secara numerik
dalam rasio dan presentase, kemudian tren diidentifikasi melalui analisa komparatif. Lebih lanjut
Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) menjelaskan bahwa dalam menganalisa data laporan
keuangan, dapat digunakan berbagai alat, misalnya analisis rasio, analisis komparatif, analisis
presentase dan pemeriksaan atas data yang berhubungan. Salah satu yang sering digunakan
adalah analisis rasio.
Kieso, Weygandt, dan Warfield (2008) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tipe utama
dari analisis rasio, yaitu:
1.
Liquidity ratio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam jangka pendek
untuk membayar hutang yang jatuh tempo.
2.
Activity ratio untuk mengukur seberapa efektif perusahaan dalam menggunakan
aset yang dimiliki.
3.
Profitability ratio untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kegagalan atas
sebuah divisi atau perusahaan untuk waktu tertentu.
  
4.
Coverage ratio untuk mengukur tingkat proteksi terhadap investor dan kreditor
jangka panjang.