2
publik, dimana produknya berinteraksi secara langsung dengan konsumen, apalagi
produk penyiaran tersebut diperoleh secara gratis, masyarakat
tentu akan senang
menerimanya baik anak-anak, remaja atau orang tua. Bayangkan dari beberapa
program tersebut, orientasi perancangannya sekitar masalah hura-hura saja jauh dari
ktifitas mengasah daya nalar tinggi. Bahkan ada acara dengan pengemasan
menyodorkan presenter atau nara
sumbernya berpakaian seronok,mengumbar aura
sehingga penayngan itu tak pantas diperlihatkan secara umum melalui media publik
semacam televisi. Kalau itu yang menjadi magnit sebagai daya tarik masyarakat, lalu
apa makna pesan dari
acara tersebut untuk kepentingan masyarakat umum, hasil
penerimaan acara tersebut hanyalah pernik-pernik peradaban setan dengan segala
atribut terhadap trendnya budaya populer hingga para remaja menjadi ketagihan
dibuatnya, untuk kemudian diturunkan menjadi jati diri baru dan menularkannya
kepada teman-temannya sampai lahirlah masyarakat cuek, masa bodoh, dangkal daya
nalar, dan pengaruh pengaruh negatif lainnya
maka lahirlah generasi bangsa ini
dengan sertifikat resmi namun kemampuannya dipertanyakan ketika lulus dan
memasuki dunia kerja yang sebenarnya. Inilah cara media menerapkan ideologinya
ke dalam praktik-praktik penyiaran, agar kelak televisinya dapat tumbuh dan
berkembang. Pasa saat bersamaan terkadang diluar pengetahuan pengelolah media,
apapun bentuk produk media televisi itu dilahirkan dengan menonjolkan
kegendengan, kegilaan, kemaksiatan atau pengertian lainnya selalu berdampak pada
para remaja sebagai targetnya, karena pada dasarnya manusia selalu mencontoh, atau
meniru dan mencoba-coba untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan. Lembaga
Komisi Penyiaran Indonesia yang membawai keberadaan televisi itu, dalam
implementasinya tidak punya nyali untuk menyerang dan membekukan permainan
media dalam menyebarkan suatu informasi atau hiburan dengan mengabaikan
|