3
BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1 Data dan Literatur
2.1.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah :
a.
Wawancara
Wawancara dilakukan kepada Bapak Wantoni dan Ibu Ambiya selaku
juru bicara sanggar tari sintren Sinar Harapan yang terletak di Desa
Cangkol  Kecamatan Lemah Wungkuk dan Bapak Elang Herry selaku
juru bicara sanggar tari sekar Pandan yang terletak di kawasan dalam
Keraton Kacirebonan, Jl. Pulosaren No. 48.
Gambar 2.1Bapak Elang Herry
Gambar 2.2 Bapak Wantoni
  
4
b.
Buku Referensi
Buku Referensi mengenai Tari Sintren didapat dari Buku
Hiburan
Masa Lalu dan Tradisi Lokal
pengarang Fandy Hutari, Banyumas :
Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak pengarang Budiono Herusatoto,
dan Sintren pengarang Dianing Widya Yudisthira.
 
Penulis
    : Budiono Herusatoto
Penerbit
    : LKIS
Tahun Cetak : 2008
Halaman       : 264 hal
Panjang 
     : 21 cm
c.
Observasi
Merupakan hasil Quesioner yang di sebarkan secara online untuk 70
responden.
  
5
2.1.2 Sejarah sintren
Sumber dari Cirebon menyatakan bahwa asal mula lahirnya sintren adalah
kebiasaan kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami atau
ayahnya mereka pulang dari mencari ikan di laut. Ungkapan seperti ini merupakan
kesimpulan Ambiah, ketika kanak-kanak mendengar ucapan kakeknya
ketimbang turu sore-sore, mbari ngenteni wong luru iwak teka, mending gawe
dolanan sing bagus, ambir wong pada seneng”. (Dari pada tidur sore-sore, sambil
menunggu kaum nelayan datang dari menangkap ikan, lebuh baik membuat
permainan yang menarik). Permainan yang dimaksud adalah sintren, dan itu
dilakukan setiap sore secara terus menerus, sehingga hampir menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Lama-kelamaan sintren berubah menjadi
sebuah permainan dalam menunggu para nelayan pulang. Hingga kini sintren
menjadi sebuah warisan budaya yang luhur yang perlu dilestarikan.
Pada masa lampau meminta petunjuk untuk mengatasi kondisi alam selalu
mempergunakan kekuatan supranatural. Kaitannya memanggil roh melalui sintren
karena kesulitan yang dialami masyarakat tidak bisa dipecahkan melalui
logikanya. Misalnya pada saat itu para nelayan mengalami kesulitan untuk melaut,
maka diselenggarakan pertunjukan sintren untuk memberikan petunjuk. 
Pada perkembangan selanjutnya, sintren dipentaskan oleh para nelayan berkeliling
kampung atau ngamen untuk mengadakan pertunjukan. 
Dalam pertunjukan tersebut, mereka menyelenggarakan pementasan di
tempat keramaian. Pada tempat tersebut, mereka tidak mengajukan persyaratan
dengan ketentuan tempat harus suci, yang penting bersih dan ada ruang untuk
pentas. Dari hasil pentas keliling tersebut mereka mendapatkan uang saweran
yang cukup lumayan. Dari semula hanya untuk menambah uang dapur, sintren
kemudian dijadikan obyek untuk mencari nafkah hidup. 
  
6
Gambar 2.3 Pertunjukan Sintren
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
Bila sedang menari dilempari uang penari sintren langsung terkulai lemas.
Tarian yang mengalami kesurupan pada masa pra Islam mempunyai peran yang
sangat penting, karena dipercaya dapat memberikan petunjuk untuk mengatasi
kekuatan roh jahat. 
Kesenian yang unik ini patut pula dipertanyakan bagaimana latar belakang
keberadaannya. Beberapa sumber yang mengungkapkan asal keberadaan sintren
di tengah-tengah masyarakat. Sumber-sumber ini kebanyakan berupa cerita-cerita
rakyat yang di tuangkan secara oral 
kemudian di sesuaikan dengan kenyataan.
Rupa-rupanya budaya untuk menuliskan sesuatu, khususnya kesenian, pada masa
lalu bukanlah kebiasaan rakyat kebanyakan. 
2.1.3 Arti Kata Sintren
Secara etimologi bahasa, Sintren berasal dari kata Si dan Putren, bila
digabung menjadi Si Putren (sang putri).  Sebutan sang putri ini merujuk pada
putri jelmaan, yaitu perempuan yang dimasuki roh bidadari sehingga perempuan
itu menjadi jelmaan bidadari. Bentuk istilah
ini diyakini
Pardiyo (1983) dan
Sugianto sebagaimana dikutip dalam buku Deskripsi Kesenian Daerah (2005). 
  
7
Berbeda dari Pardiyo dalam membangun argumennya, Sugianto menyebut
bahwa asal istilah sintren berasal dari kata si dan tren. Si, menunjuk pada kata
sandang atau sebutan yang artinya ia atau dia. Sedangakan tren, diuraikan dari
suku kata tri yang mendapat akhiran an. Makna suku kata tri merujuk pada kata
putri sehingga kata sintren berasal dari kata si putrian yang menunjuk 
    
pada pelaku putri. 
Pada prinsipnya, bentuk kesenian sintren adalah pertunjukan yang
memperlihatkan unsur magis dari penari perempuan yang dimasuki roh halus atas
panggilan Pawang (di Brebes disebut kemladang) hingga mengalami trance.
Sintren Brebes hanya digelar saat musim kemarau untuk meminta hujan,
Karakteristik itu juga bisa dilihat dari iringan musik bumbung/ lodong (bambu)
dan alunan musik buyung (tempayan wadah air).
( Chumedi, Imam.
Menghidupkan Seni Sintren,
Diakses 02 Februari 2013 dari
Sintren itu Simbol Kebebasan
Memang belum ada kesepakatan tentang
kapan kesenian sintren ini muncul. Namun ada satu informasi yang sedikit banyak
menerangkan hal tersebut. Rumekso Setyadi yang menulis Masa Lalu Kolonial
dalam Sintren Masa Kini dalam buku Penghibur(an) Masa Lalu dan Budaya
Hidup Masa Kini Indonesia mengemukakan bahwa transformasi kekuasaan di
pesisir dari kekuasaan Mataram ke pemerintah kolonial ditengarai sebagai
munculnya kesenian sintren ini. Menurutnya, sintren adalah kesaksian dari sebuah
kebudayaan kolonial yang pernah berkembang di kalangan elite birokrasi Eropa
dan aristokrat pribumi, yaitu kegemaran berpesta dan dansa-dansi mewah di
gedung-gedung pertunjukan. Untuk meniru gaya borjuasi kolonial, rakyat
membuat suatu bentuk kesenian yang merupakan ekspresi imitasi dari sebuah
produk kebudayaan elite dan kemudian terciptalah sintren.
Menurut pelaku seniman tradisional Cirebon, sintren pernah digunakan
sebagai alat perlawanan pada masa kolonial dahulu melalui syair-syair dalam
lagunya. Sintren mulai dikenal dan populer pada 1940-an. Pada periode 1950-an,
sintren banyak dimanfaatkan oleh puluhan partai yang berebut kekuasaan. Namun,
perkembangan sintren mulai redup sejak masa Orde Baru.Terlepas dari itu,
menurut saya, kesenian sintren merupakan perlambang kebebasan. Ini dapat kita
  
8
lihat dari bentuk pertunjukannya. Adegan saat sintren diikat dengan seutas tali dan
dimasukkan ke dalam kurungan, itu merupakan lambang kebebasan yang
direnggut. Saat sintren terbebaskan dari tali yang mengikatnya merupakan simbol
kebebasan. Diikuti dengan menari sebagai ekspresi dari kebebasan tadi. Berat
dugaan saya, sintren muncul pada saat zaman kolonial, sebagai ekspresi sindiran
pada penguasa. Benar atau tidaknya perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi.
Sekarang, sintren biasanya digelar pada upacara pernikahan/hajatan atau
upacara laut. Tidak hanya di Cirebon, sintren juga dapat ditemui di daerah-daerah
pesisir lainnya, seperti Pamanukan, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.
Bahkan sintren juga bisa ditemui di Pekalongan, Tegal, dan Batang, Jawa Tengah.
Belakangan, kesenian ini jarang ditemui, bahkan di tempat lahirnya sekalipun.
Seperti halnya kesenian tradisional lain, sintren mulai tersisih oleh bentuk
kesenian dan hiburan modern. 
(Hutari, Fandy.  (2011).
Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal. Yogyakarta:
INSISTPress)
2.1.4 Peranan dan Fungsi
Menurut Penjelasan Bapak Wantoni, selaku Wakil Ketua Sanggar Tari Sintren
Sinar Harapan, Tari Sintren Memiliki fungsi dan peranan sebagai berikut :
1.
Sebagai sarana hiburan masyarakat. 
2.
Apresiasi seni dan nilai-nilai estetika masyarakat 
3.
Digunakan untuk keperluan upacara-upacara ritual seperti bersih desa,
sedekah laut, upacara tolak bala, nadzar, ruwatan dan pernikahan.
4.
Untuk memeriahkan peringatan hari-hari besar, seperti hari ulang tahun
kemerdekaan dan hari jadi.
2.1.5 Tempat Pagelaran
Tempat yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena
terbuka. Maksudnya berupa arena pertunjukan yang tidak terlihat batas antara
penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya. Hal ini dimaksudkan agar
lebih komunikatif dengan dibuktikan pada saat acara Balangan dan Temohan,
dimana antara penonton dan penari Sintren terlihat menyatu dalam satu
  
9
pertunjukan dengan ikut menari setelah penonton melakukan balangan pada
penari Sintren.
2.1.6 Lagu/Tembang
Jenis tembang yang biasanya digunakan mengiringi kesenian sintren
adalah tembang 
a). Sulasih Sulandono Laras Slendro Pathet Manyuro; 
b). Tembang Turun-Turun Sintren, Laras Slendro Pathet Manyuro ;
c).Tembang Pitik Walik, Laras Slendro Pathet Manyuro; 
d). Tembang Kembang Laos, Laras Slendro Pathet Manyuro.
Menurut fungsinya tembang pengiring sintren digolongkan menjadi 5 (lima)
bagian yaitu :
1.
Iringan Proses Pembentukan Sintren 
Tembang Turun Sintren digunkan sebagai doa pembuka agar roh Sulasih
masuk ke dalam raga calon penari sintren. Saat tembang dilantunkan
maka penari sintren akan ganti pakain dari pakain biasa dengan pakain
sintren dalam keadaan badan terikat tali dan dalam kurungan.
2.
Iringan Penyajian Hiburan 
Tembang dolanan khas Sintren dan tembang yang sesuai keadaan saat ini
misalnya lagu-lagu campursari.
3.
Iringan Permohonan dan Puji Rahayu (pengruwatan)
Lagu kembang orok-orok atau kembang lombok untuk permohonan
sintren ganti busana misalnya dari pakain kebaya menjadi rok.
Tembang kawula gusti, untuk permohonan maaf kepada sintren yang
pingsan karena marah atau tidak berkenan hatinya.
Tembang kembang mawar, dilantunkan untuk mengiringi permintaan
temohan kepada penonton.
  
10
4.
Iringan Penyajian Akrobat
Tembang Dayung untuk atraksi permainan piring dan lilin. Tembang
ayam walik untuk permainan naik diatas kurungan. Tembang Hertu
Gelang untuk permainan duduk diatas pucuk keris.
Tembang Turun Sintren, untuk pertanda bahwa permainan Sintren akan
usai. Tembang Piring Kedawung, untuk melepas roh Dewi Sulasih dan
Sintren berganti busana keseharian.
2.1.7 Busana
Peran Sintren mengenakan dua jenis busana yaitu sebelum “disahkan”
sebagai Sintren dan busana saat menjadi Sintren. Sebelum menjadi Sintren
busananya terdiri dari baju kebaya tangan pendek dan celana Sontog. 
dan setelah menjadi sintren busananya terdiri dari: 
1.
Siger atau iket, Hiasan Kepala
2.
Sumping, adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga
melati di samping kanan dan kiri telinga sebagai kuncir.
3.
Kacamata hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari,
sintren selalu memejamkan mata akibat kerasukan “trance”, juga sebagai
ciri khas kesenian sintren dan menambah daya tarik/mempercantik
penampilan.
4.
Kebaya lengan pendek 
5.
Benten atau Beubeur , Ikat Pinggang berjumlah sehelai/selembar dililitkan
di pinggang dan diletakkan di samping kiri dan kanan kemudian diutup
sabuk atau diletakkan didepan
6.
Kewer , Selendang
7.
Ombyok atas, berupa hiasan di leher 
8.
Sinjang, model busana wanita Jawa (Tapih)
9.
Keris kecil (cunrik
  
11
Gambar 2.4 Pakaian Sintren
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
Busana Pengapit terdiri dari :
a.
Sinjang
b.
Baju Kutung
c.
Beubeur
d.
Sampur
e.
Siger
  
12
Gambar 2.5 Pakaian Pengapit
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
Busana nayaga terdiri dari: 
a.
Baju takwa 
b.
Iket
Gambar 2.6 Pakaian Nayaga
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
  
13
Busana dalang terdiri dari: 
a.
Kampret hitam 
b.
Pangsi hitam 
c.
Iket 
Gambar 2.7 Pakaian Pawang
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
Busana pesinden 
Busana Pesinden, apabila dibawakan oleh anak-anak, hampir sama dengan
busana Pengapit, hanya saja tidak mempergunakan sampur.        
Apabila dibawakan oleh orang dewasa, mereka mengenakan 
     
kain dan kebaya.
  
14
Gambar 2.8 Pakaian Pesinden
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
2.1.8 Simbol/ ragam hias 
Seni Tari Sintren memiliki Simbol dan makna dari setiap atribut, gerakan
yang digunakannya, menurut hasil wawancara dari Bapak Elang Herry, ketua
sanggar Sekar Pandan, Keraton kacirebonan, rata-rata kesenian Cirebon berupa
syiar atau penyampaian nasihat dan makna dari Atribut dan alat yang digunakan
oleh seni tari Sintren adalah sebagai berikut :
1.
Alat Musik yang berupa Buyung (tempat air) , lodong (alat untuk
mengambil air dari batang bambu yang besar), tingtung (dua ruas bambu) /
kumpulan beberapa Lidi, sepotong karet, dan kecrek menandakan
Kesederhanaan dan tidak berlebihan, karena pada dasarnya alat-alat
tersebut merupakan alat dapur, sehingga mereka hanya perlu memakai
barang yang sudah ada.
2.
Kurungan Ayam yang berarti simbol kehidupan, yang berarti pada setiap
lengkungan kurungan ayam adalah kehidupan manusia yang bisa sewaktu-
waktu berada di atas atau berada di bawah. Tetapi ada pada suatu versi
yaitu pada saat zaman penjajahan Belanda, Kurungan ini merupakan
  
15
simbol dari pejuang yang terpenjara dalam waktu yang lama dan terbebas
kembali.
3.
Pakaian Sintren itu sendiri sebelum memasuki sangkar merupakan simbol
kesederhanaan dan setelah berdandan dalam kurungan merupakan analogi
dari seorang Bidadari atau Puteri Suci yang memiliki kebesaran
4.
Kacamata hitam dalam tarian Sintren (pada beberapa daerah sebelum
dipakai kacamata hitam di lilit saputangan di sekeliling mata)
menganalogikan bahwa kalau melihat itu seharusnya memakai mata hati.
5.
Dikala Penari Sintren pingsan ketika dilempar benda (biasanya uang sawer,
berupa koin atau lembaran ataupun sarung) menganalogikan lupa dirinya
seseorang yang memiliki kebesaran (di saat masa kejayaan).
6.
Warna Baju Penari Sintren di Cirebon memiliki warna yang cerah yang
melambangkan kegembiraan atau kesenangan, jika ditelusuri dalam
sejarah Sintren itu merupakan kesenangan di saat nelayan pulang.
2.1.9 Alat Musik
Pertunjukan Sintren hanya diiringi musik yang terbuat dari bahan yang
sederhana. Yang dimaksud musik dalam sintren hanya berupa bunyi-bunyian yang
dikeluarkan dari buyung (yang terbuat dari gerabah) tanpa nada, dan dibantu oleh
13 suara lodong (yang terbuat dari ruas bambu). Walaupun tanpa nada layaknya
suara gamelan, akan tetapi buyung menghasilkan suara yang harmonis dan
mampu mengantarkan penonton pada situasi yang mencekam. Adapun alat-alat
atau instrumen pokok yang ada pada sintren adalah buyung, lodong, alat untuk
mengambil air dari batang bambu yang besar, tingtung berupa dua ruas bambu,
sepotong karet, dan kecrek. Untuk menghasilkan suara yang diinginkan, di dalam
buyung diisi dengan sedikit air, dan saat dibunyikan tangan kiri dimasukan ke
dalam buyung kemudian dipukul dengan karet.
  
16
Jadi dapat disimpulkan bahwa ada empat buah alat musik yang digunakan
untuk mengiringi tembang, Yaitu:
1.
Bass
Gambar 2.9 Bass
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
2.
Buyung
Gambar 2.10 Buyung
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
  
17
3.
Kecrek
Gambar 2.11 Kecrek
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
4.
Tingtung
Gambar 2.12 Tingtung
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
2.1.10 Kurungan Ayam dan Parukuyan
Sebagai properti yang tidak kalah penting dan selalu harus ada dalam
pementasan sintren adalah parukuyan dan ranggap atau kurungan ayam.
Parukuyan adalah benda yang dipakai tempat menyan dan terbuat dari tanah liat
(gerabah). Sedangkan kurungan atau ranggap terbuat dari bambu dengan tinggi
2,5 m dan berdiameter 1 m yang ditutupi kain.
  
18
Posisi ranggap selalu ditempatkan pada kiri belakang panggung atau kiri
depan para pesinden, sedangkan parukuyan setelah dipergunakan disimpan di
pinggir panggung yang mudah dijangkau pawang. Yang menyangkut aspek non
seni adalah tempat dan sesajen. Walaupun sintren bisa dipentaskan dimana saja,
tetapi tetap memerlukan ruang yang bisa menampung semua perlengkapan dan
arena untuk atraksinya minimal 4 x 4 m2. 
Gambar 2.13 Kurungan Ayam
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
Benda lain yang menyangkut perlengkapan non seni adalah sesajen yang
meliputi: 7 macam penganan dan 7 rupa buah-buahan, kembang (bunga) 7 warna,
rokok dan cerutu, air putih, teh, kopi, 7 buah tumpeng kecil, perlengkapan untung
menginang, gula batu, dan kelapa muda berkulit hijau. 
  
19
Gambar 2.14 Parukuyan
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
Adanya sesajen ini merupakan peninggalan pada zaman Hindu dan
dihubungkan pula dengan mitos yang akhirnya membentuk tradisi upacara
selamatan. Sesajen ini diperlukan bukan semata-mata sebagai persembahan
kepada roh, namun lebih berfungsi sebagai lambang atau media dari dunia
manusia dengan dunia roh. Pada kondisi sekarang, sesajen ini bukan dimaksudkan
untuk persembahan kepada roh, namun fungsi sebenarnya adalah makanan bagi
para pelaku. 
Gambar 2.15 Bunga 7 Rupa
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
  
20
Angka 7 bagi kepercayaan lama bermakna banyak atau tak terhitung.
Misalnya alam baka diungkapkan dengan lapis langit ke tujuh, dan mengacu pula
pada banyaknya hari yang dalam seminggu terdiri dari tujuh hari. Sebagai benda
non seni yang disajikan dalam pertunjukan sintren, sesajen tidak merupakan
keharusan. Apabila pertunjukannya untuk kepentingan tontonan biasa, tanpa
sesajen tidak mempengaruhi jalannya pertunjukan. Berbeda dengan pertunjukan
sintren untuk kepentingan ritual, sarana dan prasarana diusahakan selengkap
mungkin sesuai dengan kepercayaan masyarakat.
2.1.11 Jumlah Seniman/Seniwati Sintren
Anggota grup Sinar Harapan yang masih aktif sampai saat ini adalah
sebanyak 20 orang yang terdiri dari: dari:
1.
Pemusik, sebanyak tujuh orang;
2.
Pesinden, enam orang;
3.
Penari pengapit dua orang;
4.
Sintren satu orang;
5.
Pawang satu orang;
6.
Seorang pimpinan grup (merangkap pesinden);
7.
Dan pembantu umum dua orang.
2.1.12 Bentuk penyajian Sintren
Kesenian sintren disajikan secara komunikatif, karena di antara seniman dan
seniwati dengan penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan.
Adapun Dalam pertunjukan kesenian sintren dibagi menjadi urutan  sebagai
berikut  :
1.
Pra pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda
akan dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk
mengumpulkan massa atau penonton.
2.
Dupan, yaitu acara berdoa bersama-sama diiringi membakar kemenyan
dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
  
21
3.
Membentuk (menjadikan) sintren adalah Tahapan menjadikan sintren
dilakukan oleh Pawang yang dengan membawa calon penari sintren
bersama dengan empat orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari
(Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian
Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan
didampingi para dayang/cantrik.  Pawang segera menjadikan penari sintren
secara bertahap (yang disebut Paripurna), melalui tiga tahapan, yaitu : 
Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari
sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil
mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari sintren dengan tali
melilit ke seluruh tubuh. 
Gambar 2.16 Ritual sebelum masuk kurungan setelah diikat
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
Tahap Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar
(kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias
wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah
berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan
kembali.
  
22
Gambar 2.17 Sintren masuk kurungan
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya
ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, sintren
sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari
adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang
berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren
berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti
Gambar 2.18 Sintren telah berganti pakaian setelah Kurungan dibuka
(foto : Dokumentasi Pribadi 2013)
  
23
 
4.  Balangan dan Temohan.
Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari maka dari arah
penonton ada yang melempar (Jawa : mbalang) sesuatu ke arah penari
sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan.
Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu
kedua tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan
dengan mengusap wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari
datang lagi sehingga penari sintren dapat melanjutkan menari lagi.
Sedangkan temohan adalah penari sintren dengan nyiru/tampah atau
nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa
uang ala kadarnya.
2.2 Data Buku Pembanding
Judul: HIBURAN MASA LALU DAN TRADISI LOKAL, Kumpulan Esai Seni,
Budaya, dan Sejarah Indonesia.
Penulis: Fandy Hutari
Penyunting: Fitri Indra Harjanti
Penerbit: INSISTPress
ISBN: 602-8384-44-5
Edisi: I, April 2011
Kolasi: 14×21cm; xiv + 164hlm
  
24
Gambar 2.18 Buku Mengenai Kesenian Sintren pada Buku Pelajaran Sekolah
2.3 Data Buku Kesenian Sintren
2.3.1 Outline
Buku akan berisi segala informasi mengenai Seni Tari Sintren dimulai dari
sejarah Sintren dan Lokasi kesenian; asal-usul dan perkembangan Tari Sintren,
simbolisasi dan makna dibalik seni tari sintren, urutan tarian dalam Tari Sintren,
musik pengiring dalam Sintren, pembahasan masing-masing pelaku dan peran dalam
Seni Tari Sintren, dan informasi lain seputar Tari Sintren.
2.3.2 Referensi Isi
Wawancara :
a.
Bapak Wantoni selaku juru bicara perwakilan Sanggar Sinar Harapan
sekaligus dalang atau pawang sintren
b.
Ibu Ambiya selaku Pemilik Sanggar Tari Sinar Harapan
c.
Bapak Elang Herry selaku pemilik sanggar tari Sekar Pandan di kawasan
keraton Kasepuhan
Dokumen dan Buku :
a.
Banyumas : sejarah, watak dan Budaya
  
25
b.
Mengenang Kesenian Masa Lampau
c.
Asal-Usul Tari Sintren
2.4 Data Khusus Kasus
Target Sasaran :
a. Demografi:
Jenis Kelamin : Unisex, Pria & Wanita
Usia 
       : 25 – 35 tahun
Pendidikan       : Perguruan Tinggi 
Pekerjaan         : mahasiswa, pegawai negeri, swasta, wiraswasta
Golongan         : B & A
Geografi           : Kota Besar dan Pinggiran
b. Geografi :
Domisili
: Kota Besar di Indonesia
Wilayah
: Perkotaan
Kepadatan  : Tengah hingga pinggiran kota
c. Psikografi :
Tingkat Sosial 
: Menengah Ke atas
Gaya Hidup 
: Modern, tetapi memiliki minat yang kuat terhadap       
   Seni budaya dan tari
Kepribadian
: Terpelajar, berpikiran terbuka,  menyukai Seni
Perilaku
:
Menghargai hal-hal yang berbau seni, 
Memiliki minat kepada keindahan suatu tarian
Menyukai hal yang berbau Mistis atau Magis
2.5 Analisa Kasus
Strength
  
26
a.
Isi buku yang akan mengulas mengenai salah satu kesenian Cirebon yang
menggunakan Trance yang berisi tentang sejarah, detail kostum, Ilustrasi alur
tarian, hingga filosofi atau makna dibalik Kesenian tersebut. 
Weakness
a.
Penyempitan topik, yang membuat hanya kalangan tertentu saja yang
menyukai kesenian tari, terutama tarian yang mengandung Magis.
b.
Masyarakat luar bahkan Cirebon sendiri kurang mengetahui keberadaan
kesenian Sintren, yang kalah pamor dengan kesenian Tari Topeng.
(berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat dan penduduk
Jakarta )
Opportunity
Buku petunjuk mengenai seni dan Kebudayaan di Indonesia sebagian besar
hanya berisikan sedikit Visual dan tulisan terlalu monoton, sehingga pembaca cepat
merasa bosan, sehingga pembaca cukup sulit membacanya karena tulisan terlalu rapat.
Maka ini kesempatan untuk medesain buku tersebut.
Threat
Kesenian Tradisional yang semakin dilupakan masyarakat dengan semakin
maraknya pertunjukan seni modern, membuat ulasan buku mengenai seni tradisional
kurang diminati.