BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1
Sumber data
2.1.1 
Literatur Buku 
1. “AFFANDI “ karya Umar Kayam dan Raka Sumichan
2. The Stories of AFFANDI
2.1.2
Literatur Artikel
1.
2.
3.
4.
5.
6.
indonesia.html
  
2.2
Pengertian Film Dokumenter
Film Dokumenter adalah film yang mendokumentasikan sebuah
peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh
terjadi. Istilah dokumenter ditemukan oleh John Grierson, dalam resensi film
Moana
(1926) karya Robert Flaherty, ditulis oleh
The Moviegoer, di New
York Sun
pada tanggal 8 Februari 1926.
Grierson berpendapat bahwa
dokumenter merupakan cara kreatif merepresentasikan realitas (Susan
Hayward, Key Concept in Cinema Studies, 1996, hal 72). Oleh karena itu
dokumenter pun termasuk didalamnya sebagai suatu metode publikasi
sinematik, yang  dalam istilahnya disebut “creative treatment of actuality”
(perlakuan kreatif atas keaktualitasan). Karena ada perlakuan kreatif, sama
seperti dalam film fiksi lainnya, dokumenter dibangun dan bisa dilihat bukan
sebagai suatu rekaman realitas, tetapi sebagai jenis representasi lain dari
relitas itu sendiri.
Sekalipun Grierson mendapat tentangan dari berbagai
pihak, pendapatnya tetap relevan sampai saat ini.
(Dokumenter, Apa Itu Dokumenter, Sabarud, Januari 07, 2009).
Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat
untuk berbagai macam tujuan. Namun harus
diakui, film dokumenter tak
pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda
bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap berpijak
pada hal-hal senyata mungkin. Seiring dengan perjalanan waktu, muncul
berbagai
aliran dari film documenter misalnya dokudrama. Dalam
dokudrama, terjadi reduksi realita demi tujuan estetis, agar gambar dan cerita
menjadi lebih menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil
yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama,
realita tetap menjadi pegangan. Kini dokumenter menjadi sebuah tren
tersendiri dalam perfilman dunia. 
Demikian pula dalam film dokumenter,
mencuplik dari buku yang berjudul Dokumenter : Dari Ide Sampai Produksi,
Gerzon R. Ayawaila membagi genre jenis film dokumenter menjadi dua belas
jenis. Berikut dua belas jenis-jenis film dokumenter :
1. Laporan perjalanan
Jenis ini awalnya adalah dokumentasi antropologi dari para ahli
etnolog atau etnografi. Namun dalam perkembangannya bisa
  
membahas banyak hal dari yang paling penting hingga yang remeh-
temeh, sesuai dengan pesan dan gaya yang dibuat.  Istilah lain yang
sering digunakan untuk jenis dokumenter ini adalah travelogue,
travel film, travel documentary dan adventures film. Film Nanook of
the North
(1922) karya Robert Flaherty oleh banyak pengamat
dianggap sebagai film perjalanan yang awal. Dibuat selama
satu
tahun penuh oleh Flahert walaupun sebenarnya film ini hanya
menceritakan aktivitas Nanook dan keluarganya (perdagangan,
berburu, memancing dan migrasi dari suatu kelompok hampir tidak
tersentuh oleh industri teknologi). Sekarang ini banyak televisi yang
membuat program dengan pendekatan dokumenter perjalanan,
misalnya Jelajah
(Trans TV), Jejak Petualang
(TV7/Trans7), Bag
Packer
(TVOne) dan sebagainya, bahkan di beberapa televisi
berbayar membuat saluran televisi khusus laporan perjalanan seperti
Travel and Living. Dikarenakan penayangannya di televisi, maka
kedalaman permasalahannya sangat disesuaikan dengan kebutuhan
televisi.
2. Sejarah
Dalam film dokumenter, genre sejarah menjadi salah satu yang
sangat kental aspek referential
meaning-nya (makna yang sangat
bergantung pada referensi peristiwanya) sebab keakuratan data
sangat dijaga dan hampir tidak boleh ada yang salah baik pemaparan
datanya maupun penafsirannya.  Tidak diketahui sejak kapan
dokumenter sejarah ini digunakan, namun pada tahun 1930-an
Rezim Adolf Hitler telah menyisipkan unsur sejarah ke dalam film-
filmnya yang memang lebih banyak bertipe dokumenter.  Khususnya
film-film yang disutradarai oleh Leni Refensthal seperti Triumph of
the Will (1934), Olympia I : Festival of Nations (1937) & Olympia II
: Festival of Beauty (1938). Pada awal film Olympia I
divisualisasikan tentang bangsa Aria di masa lalu sedang melakukan
oleh raga seperti lari, lempar lembing, lempar cakram dan
sebagainya.  Sedangkan tahun 1955, Alain Resnais membuat film
Night and Fog
yang mencengangkan dunia pada masa itu sebab ia
  
menggambarkan bagaimana terjadinya genosida kaum Yahudi oleh
tentara Nazi dalam sebuah kamp konsentrasi.
Pada masa sekarang, film sejarah sudah banyak diproduksi karena
terutama karena kebutuhan masyarakat akan pengetahuan dari masa
lalu. Tingkat pekerjaan masyarakat yang tinggi sangat membatasi
mereka untuk mendalami pengetahuan tentang sejarah, hal inilah
yang ditangkap oleh televisi untuk memproduksi film-film sejarah.
Sekarang ini di Metro TV sering ditayangkan Metro Files, program
dokumenter yang mengupas sejarah yang tidak terungkap di
Indonesia. Dalam beberapa tayangannya sempat membahas tentang
budaya Tionghoa di Jakarta (Batavia) dalam judul Merah Hitam di
Batavia, pengupasan kepahlawanan Dr. Johannes Leimena, seorang
negarawan yang gigih dan memberi kontribusi terhadap berdirinya
puskesmas dalam judul Mutiara dari Timur,
serta tentang tokoh
pergerakan bangsa yang berjuang melalui pendidikan dalam Lentera
Bangsa
.
3. Potret atau Biografi 
Sesuai dengan namanya, jenis ini lebih berkaitan dengan sosok
seseorang. Mereka yang diangkat menjadi tema utama biasanya
seseorang yang dikenal luas – di dunia atau masyarakat tertentu –
atau seseorang yang biasa namun memiliki kehebatan, keunikan
ataupun aspek lain yang menarik. Ada beberapa istilah yang merujuk
kepada hal yang sama untuk menggolongkannya. 
-
Potret
yaitu film dokumenter yang mengupas aspek human
interest dari seseorang. Plot yang diambil biasanya adalah hanya
peristiwa
–peristiwa  yang dianggap penting dan krusial dari
orang tersebut. Isinya bisa berupa sanjungan, simpati, krtitik
pedas atau bahkan 
pemikiran sang tokoh. Misalnya saja film
Fog of War (2003) karya Errol Morris yang menggambarkan
pemikiran strategi hidup dari Robert S. McNamara, mantan
Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Presiden John. F
Kennedy dan Presiden Lyndon Johnson. Selain itu ada beberapa
film yang berwujud potret seperti Salvador Dali: A Soft Self-
  
Portrait (1970) karya Jean-Christophe Averty, Maria Callas: La
Divina – A Portrait (1987) karya Tony Palmer, Zidane : A 21st
Century Portrait (2006)
yang disutradarai Douglas Gordon serta
Phillipe Parreno dan lain sebagainya.
-
Biografi yaitu
yang cenderung mengupas secara kronologis dari
yang secara garis penceritaan bisa dari awal tokoh dilahirkan
hingga saat tertentu (masa sekarang, saat meninggal atau saat
kesuksesan sang tokoh) yang diinginkan oleh pembuat filmnya.
Film The Day After Trinity (1981) karya Jon Else adalah salah
satunya. Film ini berkisah tentang seputar bom atom yang
diciptakan oleh Robert Oppenheimer dan penyesalannya
terhadap penyalahgunaan teknologi itu untuk membombardir
Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Metro TV dalam Metro
Files-nya pernah mengulas tentang perjuangan Laksamana
Muda John Lie yang memperjuangkan Indonesia dari
laut di
mana pada saat itu banyak orang masih bergunjing tentang
pribumi dan keturunan.
-
Profil. Sub-genre
ini walaupun banyak persamaannya namun
memiliki perbedaan dengan dua di atas terutama karena adanya
unsur pariwara (iklan/promosi) dari tokoh tersebut. 
Pembagian
sequence-nya hampir tidak pernah membahas secara kronologis
dan walaupun misalnya diceritakan tentang kelahiran dan tempat
ia berkiprah, biasanya tidak pernah mendalam atau terkadang
hanya untuk awalan saja. 
Profil umumnya lebih banyak
membahas aspek–aspek ‘positif ’ tokoh seperti keberhasilan
ataupun kebaikan yang dilakukan. Film–film seperti ini dibuat
oleh banyak orang di Indonesia terutama saat kampanye pemilu
legeslatif ataupun pemilukada (pemilihan umum kepala daerah).
4. Nostalgia
    
     
Film
-
film jenis ini sebenarnya dekat dengan jenis sejarah, namun
biasanya banyak mengetengahkan kilas balik atau napak tilas dari
kejadian–kejadian dari seseorang atau satu kelompok.  Pada tahun
2003,  Rithy Panh membuat S21: The Khmer Rouge Death Machine
  
di mana ia mendatangkan beberapa orang yang merupakan dua pihak
dari kekejaman Khmer Merah, baik dari pihak korban maupun para
penyiksa di masa lalu.
5. Rekonstruksi
Dokumenter jenis ini mencoba memberi gambaran ulang terhadap
peristiwa yang terjadi secara utuh. Biasanya ada kesulitan tersendiri
dalam mempresentasikannya kepada penonton sehingga harus
dibantu  rekonstruksi peristiwanya. Perisitiwa yang memungkinkan
direkonstruksi dalam film-film jenis ini adalah peristiwa kriminal
(pembunuhan atau perampokan), bencana (jatuhnya pesawat dan
tabrakan kendaraan), dan lain sebagainya. Contoh film jenis ini
adalah Jejak Kasus, Derap Hukum dan Fokus.
Rekonstruksi yang
dilakukan tidak membutuhkan mise en scene
(pemain, lokasi,
kostum, make-up dan lighting) yang persis dengan kejadiannya,
sehingga sangat berbeda doku-drama yang memang membutuhkan
keotentikan yang tinggi.  Yang hendak dicapai dari rekonstruksi di
sini adalah sekedar proses terjadinya peristiwanya itu. Dalam
membuat rekonstruksi, bisa dilakukan dengan shoot
live action atau
bisa juga dibantu dengan animasi.
6. Investigasi
Jenis dokumenter ini memang kepanjangan dari investigasi
jurnalistik. Biasanya aspek visualnya yang tetap ditonjolkan.
Peristiwa yang diangkat merupakan peristiwa yang
ingin diketahui
lebih mendalam, baik diketahui oleh publik ataupun tidak.
Umpamanya korupsi dalam penanganan bencana, jaringan kartel
atau mafia di sebuah negara, tabir dibalik sebuah peristiwa
pembunuhan, ketenaran instan sebuah band dan sebagainya.
Peristiwa seperti itu ada yang sudah terpublikasikan dan ada pula
yan belum, namun persisnya seperti apa bisa jadi tidak banyak orang
yang mengetahui.
Terkadang, dokumenter seperti ini membutuhkan
rekonstruksi untuk membantu memperjelas proses terjadinya
peristiwa. Bahkan di beberapa film aspek rekonstruksinya digunakan
  
untuk menggambarkan dugaan-dugaan para subjek di dalamnya.
Misalnya yang dilakukan oleh Errol Morris dalam filmnya The Thin
Blue Line, rekonstruksi digunakan untuk memperlihatkan seluruh
kemungkinan dan detil peristiwa yang terjadi saat itu, misalnya merk
mobil, bentuk lampu, jarak pandang dan sebagainya.
7. Perbandingan dan Kontradiksi
Dokumenter ini mentengahkan sebuah perbandingan, bisa dari
seseorang atau sesuatu seperti film Hoop Dreams (1994) yang dibuat
oleh Steve James. Selama empat tahun, ia mengikuti perjalanan dua
remaja Chicago keturunan Afro-America, William Gates dan Arthur
Agee untuk menjadi atlit basket profesional. Michael Moore dalam
Sicko (2007) membandingkan kebijakan dan pelayanan kesehatan di
Amerika Kesehatan dengan tiga negara maju lainnya, yaitu Kanada,
Inggris dan Perancis serta satu negara berkembang yang justru
tetangga Amerika Serikat sendiri yaitu Kuba. Hasilnya ternyata
Amerika Serikat sangat jauh tertinggal dalam pelayanan kesehatan
bahkan antara orang yang punya asuransi dan yang tidak memiliki
asuransi hampir tidak ada bedanya sebab pada akhirnya uang
asuransi mereka juga sulit keluar sehingga mereka harus membayar
sendiri biaya dokter atau rumah sakitnya. 
8. Ilmu Pengetahuan
Film dokumenter genre ini sesungguhnya yang paling dekat dengan
masyarakat Indonesia, misalnya saja pada masa Orde Baru, TVRI
sering memutar program berjudul Dari Desa Ke Desa ataupun film
luar yang banyak dikenal dengan nama Flora dan Fauna
Tapi
sebenarnya film ilmu pengetahuan sangat banyak variasinya lihat
saja akhir tahun 1980 -an ketika RCTI (pada masa itu masih menjadi
televisi berbayar) memutar program Beyond 2000, yaitu film ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan teknologi masa depan. Saat
itu beberapa kalangan cukup terkejut sebab pengetahuan yang
mereka dapatkan berbeda dari dokumenter yang mereka lihat di
TVRI.  
  
9. Buku Harian
Seperti halnya sebuah buku harian, maka film ber–genre
ini juga
mengacu pada catatan perjalanan kehidupan seseorang yang
diceritakan kepada orang lain. Tentu saja sudut pandang dari tema–
temanya menjadi sangat subjektif sebab sangat berkaitan dengan apa
yang dirasakan subjek pada lingkungan tempat dia tinggal, peristiwa
yang dialami atau bahkan perlakuan kawan–kawannya terhadap
dirinya. Dari segi pendekatan film jenis memiliki beberapa ciri, yang
pada akhirnya banyak yang menganggap gayanya konvensional.
Struktur ceritanya cenderung linear serta kronologis, narasi menjadi
unsur suara lebih  banyak digunakan
serta seringkali mencantumkan
ruang dan waktu kejadian yang cukup detil, misalnya Rumah
Dadang, Jakarta. Tanggal 7 Agustus 2011, Pukul 13.19 WIB.  Pada
beberapa film, jenis diary
ini oleh pembuatnya digabungkan dengan
jenis lain seperti laporan ataupun nostalgia.
Salah satu film yang
dianggap film
berjenis buku harian adalah A Diary for Timothy
(1945) adalah  film dokumenter Inggris yang disutradarai oleh
10. Musik
Genre musik memang tidak setua genre yang lain, namun pada masa
1980 hingga sekarang, dokumenter jenis ini sangat banyak
diproduksi.  Memang salah satu awalnya muncul ketika Donn Alan
Pannebaker membuat film –
film yang sebenarnya hanya
mendokumentasikan pertunjukkan musik. Misalnya ketika membuat
Don’t Look Back
yang menggambarkan seorang seniman muda
berusia 23 tahun bernama  Bob Dylan.
11. Association Picture Story
Jenis dokumenter ini dipengaruhi oleh film eksperimental. 
Sesuai
dengan namanya, film ini mengandalkan gambar–gambar yang tidak
berhubungan namun ketika disatukan dengan editing, maka makna
yang muncul dapat ditangkap penonton melalui asosiasi yang
terbentuk di benak mereka.  Film yang sangat berpengaruh dalam
  
genre ini adalah A Man With The Movie Camera
karya Dziga
Vertov.
12. Dokudrama
Selain menjadi sub-tipe film, dokudrama juga merupakan salah satu
dari jenis dokumenter. Film jenis ini merupakan penafsiran ulang
terhadap kejadian nyata, bahkan selain peristiwanya hampir  seluruh
aspek filmnya (tokoh, ruang dan waktu) cenderung untuk
direkonstruksi. Ruang (tempat) akan dicari 
yang mirip dengan
tempat aslinya bahkan kalau memungkinkan dibangun lagi hanya
untuk keperluan film tersebut. Begitu pula dengan tokoh, pastinya
akan dimainkan oleh aktor yang sebisa mungkin dibuat mirip dengan
tokoh aslinya. Contoh dari film dokudrama adalah ini adalah 
JFK
(Oliver Stone), G30S/PKI (Arifin C. Noer),  All The President’s Men
(Alan J. Pakula) dsb. Uniknya, di Indonesia malah pernah ada
dokudrama yang tokoh utamanya dimainkan oleh pelakunya sendiri
yaitu Johny Indo karya Franky  Rorimpandey.  Pada waktu itu sangat
menghebohkan karena 
Johny Indo juga dikenal sebagai pemain film sebelum kejadian
perampokan toko emas.
(
Dokumenter, Jenis-Jenis Film Dokumenter, Kusen Dony Hermansyah, Maret 25,
2011).
Keberagaman
materi yang ingin disampaikan dalam suatu film
dokumenter pun akhirnya melahirkan beberapa pendekatan. Dikenal
sedikitnya tiga jenis gaya film dokumenter dan dengan jelas memiliki ide dan
kode etik tentang dokumenter yang sama. 
1. Classical cinema adalah bentuk paling terstruktur dan tradisional
dari dokumenter.  Jenis dokumenter ini sering menggunakan banyak
narasi didaktik. 
2.
Cinéma Vérité.
Gaya Cinéma Vérité berasal dari tahun 1950-an
dan mencapai popularitas di tahun 1960. Cinéma Vérité didorong oleh
kemajuan teknologi film seperti kamera portabel dengan teknologi
perekam suara yang bisa dibawa ke mana saja. Cinéma Vérité, berarti
  
‘True Cinema’. Cinéma Vérité
bertujuan agar terjadi naturalisme
ekstrim, menggunakan aktor non-profesional, teknik pembuatan film
yang tidak mengganggu subjek, kamera genggam, lokasi asli, bukan
suara studio, suara alamiah tanpa editing pada pasca produksi atau
voiceovers. Kamera adalah yang mengambil segala hal yang terjadi.
3. Documentary drama. Gaya ini mencampur teknik drama dan unsur-
unsur faktual dokumenter. Peristiwa nyata diperankan oleh aktor
profesional dengan setting yang dikendalikan dalam gaya yang
direkonstruksikan dengan jelas. 
(http://philosophyangkringan.wordpress.com. (Dokumenter, Kuasa Pengetahuan
Dalam Film Dokumenter, Anastasia Jessica, Juli 10, 2012).
Pada dasarnya, Barsama menempatkan dokumenter sebagai suatu
kategori tersendiri, karena ia mengatakan bahwa peran si pembuat film dalam
menentukan interpretasi materi dalam jenis-jenis film tersebut jauh lebih
khas. Perkembangan dokumenter dan genre-nya saat ini sudah
sangat pesat
dan beragam, tetapi ada beberapa unsur yang tetap dan penggunaannya, yakni
unsur-unsur visual dan verbal yang biasa digunakan dalam dokumenter. 
1.
Unsur Visual
-
Observasionalisme reaktif; pembuatan film dokumenter dengan bahan
yang sebisa mungkin diambil langsung dari subyek yang difilmkan.
Hal ini berhubungan dengan ketepatan pengamatan oleh pengarah
kamera atau sutradara.
-
Observasionalisme proaktif; pembuatan film dokumenter dengan
memilih materi film secara khusus sehubungan dengan pengamatan
sebelumnya oleh pengarah kamera atau sutradara.
-
Mode ilustratif; pendekatan terhadap dokumenter yang berusaha
menggambarkan secara langsung tentang apa yang dikatakan oleh
narator (yang direkam suaranya sebagai voice over).
-
Mode asosiatif; pendekatan dalam film dokumenter yang berusaha
menggunakan potongan-potongan gambar dengan berbagai cara.
Dengan demikian, diharapkan arti metafora dan simbolis yang ada
pada informasi harafiah dalam film itu, dapat terwakili.
  
2.  Unsur Verbal
-
Overheard exchange; rekaman
pembicaraan antara dua sumber atau
lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung.
-
Kesaksian; rekaman pengamatan, pendapat atau informasi, yang
diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar, dan sumber lain yang
berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan
utama dari wawancara.
-
Eksposisi; penggunaan voice over
atau orang yang langsung
berhadapan dengan kamera, secara khusus mengarahkan penonton
yang menerima informasi dan argumen-argumennya.
(
http://www.scribd.com. (Dokumenter, Apa Itu Dokumenter, Sabarud, Januari 07,
2009).
2.3
Pengertian Biografi
 
Biografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu bios yang berarti hidup,
dan
graphien yang berarti tulis. Dengan kata lain biografi merupakan tulisan
tentang kehidupan seseorang. Biografi, secara sederhana dapat dikatakan
sebagai sebuah kisah riwayat hidup seseorang. Biografi dapat berbentuk
beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa lebih dari satu buku.
 
Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang
fakta-fakta dari kehidupan seseorang dan peran pentingnya sementara
biografi yang panjang meliputi, tentunya, informasi-informasi penting namun
dikisahkan dengan lebih mendetail dan tentunya dituliskan dengan gaya
bercerita yang baik. Biografi menganalisa dan menerangkan kejadian-
kejadian dalam hidup seseorang. Lewat biografi, akan ditemukan hubungan,
keterangan arti dari tindakan tertentu atau misteri yang melingkupi hidup
seseorang, serta penjelasan mengenai tindakan dan perilaku hidupnya.
Biografi biasanya dapat bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal
atau tidak terkenal, namun demikian, biografi tentang orang biasa akan
menceritakan mengenai satu atau lebih tempat atau masa tertentu. Biografi
seringkali bercerita mengenai seorang tokoh sejarah, namun tak jarang juga
tentang orang yang masih hidup. Banyak biografi ditulis secara kronologis.
  
Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan berdasar tema-tema
utama tertentu (misalnya "masa-masa awal yang susah" atau "ambisi dan
pencapaian"). Walau begitu, beberapa yang lain berfokus pada topik-topik
atau pencapaian tertentu. 
 
Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung.
Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, atau
kliping koran. Sedangkan bahan-bahan pendukung biasanya berupa biografi
lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memaparkan peranan subyek
biografi itu. Biografi adalah suatu kisah atau keterangan tentang kehidupan
seseorang yang bersumber pada subjek rekaan (non-fiction atau kisah nyata).
Sebuah biografi lebih kompleks daripada sekadar daftar tangga lahir atau mati
dan data-data pekerjaan seseorang,tetapi juga menceritakan tentang perasaan
yang terlibat dalam mengalami kejadian-kejadian tersebut yang menonjolkan
perbedaan perwatakan termasuk pengalaman pribadi. Hal-hal yang diangkat
ke dalam suatu biografi adalah cerita mengenai kisah hidup sang tokoh,
aspek-
aspek di dalamnya, termasuk rincian tiap pengalaman yang pernah
terjadi, dan mungkin juga mencakup analisis kepribadian tokoh tersebut.
Semua rincian tersebut disajikan berdasar terhadap fakta-fakta yang ada dari
berbagai sumber. 
Berikut ini adalah bermacam-macam biografi dilihat dari berbagai sisi :
1. Biografi berdasarkan sisi penulis
-
Autobiografi 
Biografi yang ditulis sendiri oleh tokoh yang bersangkutan. 
-
Biografi 
Biografi yang ditulis oleh orang lain, biografi ini dibagi menjadi dua,
yaitu: Authorized biography, yaitu biografi yang penulisannya
mendapatkan persetujuan dari tokoh yang bersangkutan. 
Unauthorized biography, yaitu biografi yang penulisannya tidak diketahui
atau mendapat persetujuan dari tokoh yang besangkutan (biasanya karena
telah wafat).
  
2. Biografi berdasarkan isinya 
-
Biografi Perjalanan Hidup 
Biografi yang menceritakan perjalanan hidup sang tokoh yang lengkap
atau sebagian yang
paling berkesan.
-
Biografi Perjalanan Karir 
Biografi yang menceritakan perjalanan karir sang tokoh, dari awal hingga
yang terbaru, ataupun sebagian perjalanan karir untuk mencapai sukses
tertentu. 
3. Biografi berdasarkan persoalan yang dibahas 
-
Biografi Politik 
Biografi yang menuliskan tokoh-tokoh dari sudut politik. Namun biasanya
biografi semacam ini dibuat untuk kepentingan si penulis ataupun tokoh
yang ditulisnya. 
-
Intelektual Biografi 
Biografi yang disusun melalui berbagai riset dan ditulis dengan gaya
penulisan ilmiah. 
-
Biografi Jurnalistik ataupun Biografi Sastra 
Biografi yang lebih ringan, karena data yang diperoleh hanya dari
wawancara tokoh yang bersangkutan maupun yang menjadi rujukan
sebagai pendukung penulisan.
4. Biografi berdasarkan penerbitannya 
-
Buku Sendiri 
Biografi yang diterbitkan atas inisiatif si penerbit sendiri dengan seluruh
biaya ditanggung oleh produsen. Biasanya biografi ini memuat kisah hidup
seorang tokoh yang diperkirakan akan menarik perhatian publik. 
-
Buku Subsidi 
Biografi yang segala biaya produksinya merupakan tanggung jawab
sponsor. Biasanya jenis ini dilakukan terhadap biografi yang diperkirakan
tidak akan laku di pasaran.
(http://angelina-londa-fisip12.web.unair.ac.id. (Pengertian, Deskripsi, Narasi, Biografi
dan Eksposisi, Angelina Londa, November 28, 2012).
  
2.4
Biografi Singkat Affandi
Gambar 2.4.1 Affandi
Sumber : ( http://indonesiaartnews.or.id. (Membangkitkan lagi
Affandi, Tim Indonesia Art News, 2012).
Affandi Koesoema
dilahirkan di
Cirebon, Jawa Barat, pada tahun
1907
adalah seorang pelukis
yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis
Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia
internasional, berkat gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada
tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris,
Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis
lebih dari dua ribu lukisan.
Ayahnya, R. Koesoema, seorang Mantri Ukur
pada pabrik Gula di Ciledug. Pendidikan terakhir AMS-B, di Jakarta. Pada
umur 26 tahun,tepatnya pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati ,
gadis kelahiran Bogor dan dikaruniai seorang putri, Kartika yang juga
menjadi pelukis. Sejak kecil ia memiliki kesukaan menonton pertunjukkan
wayang kulit yang ternyata nantinya memiliki pengaruh terhadap profesi
yang digelutinya yakni seni lukis. Jiwa seninya telah tercermin sejak kecil
dengan kesukaannya melukis di tanah yang berkelanjutan diatas batu tulis
dan kertas (sarana belajar di sekolah). 
Cita-cita orangtuanya untuk menjadikannya insinyur tidak dapat
dipenuhi demi memilih kecintaanya terhadap dunia lukis atau tukang gambar
seperti yang diistilahkannya. Ia abdikan hidupnya, yang pada awalnya miskin
dan pahit, untuk perkembangan seni khususnya seni lukis di Indonesia. Ia
memilih bertahun-tahun hidup menggelandang demi keinginan menjadi
pelukis yang baik. Kini, karya-karyanya menjadi koleksi banyak orang, baik
di Indonesia maupun luar negeri. Harganya mencapai ribuan dolar per buah.
  
Mengoleksi karya Affandi, menjadi lambang status tersendiri.
Affandi
Koesoema meninggal dunia di Yogyakarta pada tanggal 23 Mei 1990, dan
selama hidupnya dia telah mewariskan tidak kurang dari 2000 buah lukisan.
(
http://kultur-majalah.com.http://id.shvoong.com. (Affandi, Maestro Seni di Indonesia, Aditya
Suryo Utomo, Juli 06, 2012).
Masa kecil 
Lahir dari keluarga bernama Koesoema, Affandi kecil dikenal dengan
panggilan Abun. Ia lahir pada 1907 di Cirebon. Tak seorang pun yang tahu
pasti kapan tanggal dan bulan ia dilahirkan. Selama ini ia menggunakan
tanggal, bulan dan tahun kelahiran yang berbeda-beda. Affandi adalah anak
ketiga dari tujuh bersaudara: lima orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Ayahnya, Koesoema, pekerja pabrik gula di Cirebon yang sesekali bertugas
pula sebagai juru gambar peta tanah yang akan ditanami tebu. Ada kisah
kelam dalam masa kecil Affandi. Wabah cacar menyerang tempatnya
bermukim, termasuk Affandi dan sekeluarga. Pengobatan cacar yang
belum
sempurna membuat Kusuma menggunakan cara tradisional untuk
menyembuhkan anak-anaknya. Sayangnya, tak berhasil baik. Satu per satu
saudara Affandi meninggal lantaran penyakit ini. Bagi Affandi, masa kelam
itu membekas di bopeng-bopeng yang menjejak di wajahnya.
Meski demikian, ia tumbuh sebagaimana anak-anak kampung tumbuh
pada umumnya. Sesekali ia keluar masuk kampung membawa ayam jago
aduan untuk disabung, sesekali ia memainkan layang-layang. Jika ada
pertunjukkan wayang kulit digelar, tak peduli seberapa pun jauhnya, ia
menyaksikannya.
Affandi memperoleh pendidikan di HIS (SD), MULO (SMP) dan
selanjutnya tamat dari AMS (SMA). Namun bakat seni lukisnya yang sangat
kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya. Meski demikian,
pada masa remajanya, tak sekalipun dirinya mendapatkan pelajaran khusus
dalam melukis. Semua dilakukan secara otodidak. Ada memang suatu kali ia
meminta kepada kakaknya agar disekolahkan seni lukis
ke Belanda. Tentu
saja permintaan ini ditolak. Alasan kakaknya, apa bisa seseorang hidup hanya
dengan menggambar di atas kanvas dan cat.
  
Meski kecewa, Affandi menurut. Untuk menghilangkan kesedihannya
tersebut ia semakin giat melukis. Melukis dirinya di depan cermin, atau
melukis ibunya. Semua ini merupakan model yang murah dan praktis. Di
samping itu, latihan teknik semakin dipertajam seperti anatomi, perspektif,
tata warna, dan garis-garis.
Awal Karir Profesional
Salah seorang saudaranya yang bernama
Sabur,  berjasa untuk
membiayai sekolah dan mengharapkan agar Affandi melanjutnya sekolahnya
ke
Technishe Hooge School
(THS) sekarang –ITB di Bandung supaya
menjadi Insinyur. Bakat melukis yang dimiliki Affandi terlihat jelas saat
duduk di Algemene Middlebare School (AMS) setingkat- SMA. 
Ia sering membuat potret, yang kemudian digantung di kamar. Namun
cita-cita menjadi seorang insinyur tidak kesampaian gara-gara Affandi jatuh
dalam ujian akhir ketika masih duduk di bangku AMS-B, dan tak mau
mengulang setahun lagi, sedangkan panggilan jiwanya semakin menggelora
ingin menjadi seorang pelukis. Saat itu dia memutuskan untuk berhenti
sekolah, dan membulatkan tekad untuk hidup sendiri dengan bermodalkan
bakat melukis yang dia miliki. Pada awalnya dia memulai karier sebagai guru
Sekolah Dasar. Di sana pulalah bertemu dengan Maryati salah seorang murid
kesayangannya yang kemudian dijadikan sebagai isterinya. Tak lama
kemudian dia berhenti sebagai guru HIS (SD) karena dia menerima tawaran
bekerja di sebuah perusahaan iklan. Pekerjaan itu memberikan kepuasan bagi
Affandi, karena bisa mengembangkan bakat menggambarnya. Sementara itu
lahirlah anaknya yang pertama, Kartika Affandi, yang ternyata menjadi anak
tunggal mereka, tepatnya tanggal, 27 November 1934. Kartika mewarisi
bakat sang ayah dan dikenal pula sebagai seorang pelukis. 
Meskipun pekerjaan di perusahaan iklan dapat mengembangkan bakat
dan keterampilan menggambarnya namun disadarinya bahwa hampir tidak
punya waktu untuk melukis kecuali pada hari Minggu. Maka, ketika dia
mendapat tawaran bekerja sebagai pelukis poster bioskop di Bandung maka
dia pindah ke sana. Pelukis pribumi yang terkenal pada waktu itu hanya
sedikit saja dan bisa dihitung jari, di antaranya Wakidi, Pirngadie, Abdullah
Sr. Mereka pada umumnya pelukis pemandangan yang melukis secara
  
naturalis. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada
bidang seni lukis.  
Dalam perkembangan karier Affandi, nama Sjafei Soemardja yang
pada saat itu baru pulang dari Eropa, cukup memberi motivasi yang besar
terhadap Affandi dengan membeli sebuah karyanya di suatu pameran lukisan
yang diadakan di kebon Raya Bandung. Dengan hati penuh penasaran
Affandi menemui pembeli lukisannya itu dan menanyakan alasan kenapa
membeli lukisannya. Apakah lukisannya dianggap lebih baik dari yang
lainnya? “Bukan karena lukisan itu lebih baik dari yang lain maka saya beli”
kata S.Sumardja. “Saya beli lukisan itu karena di dalamnya saya melihat ada
masa depan, teruslah melukis, jangan berhenti dan jangan putus asa. Spirit
baru yang didapatkan dari pak Sumardja menumbuhkan keyakinan Affandi
untuk menjatuhkan pilihan hidup sebagai seorang pelukis profesional. Kalau
sebelumnya dia masih ragu untuk menentukan jalan hidupnya apa sebagai
guru atau sebagai pelukis. Dan akhirnya dia meminta pengertian isterinya
Maryati, karena ia ingin mempunyai waktu yang lebih banyak untuk melukis.
Dia membuat semacam program minimum, yaitu dari tanggal 1 sampai
tanggal 10 digunakan untuk mencari nafkah keluarga, bekerja sebagai tukang
cat, menjual karcis bioskop, buruh kasar (memikul karage dan menjadi
tukang cat) (ceramah seni rupa Indonesia, 00:34:01)
atau apa saja asalkan halal,
selebihnya dari tanggal 11 sampai tanggal 30 ia gunakan untuk melukis dan
melukis (http://psb.unm.ac.id. (Affandi: Maestro Seni Lukis Indonesia, Azisahmad, Mei 25,
2011)
Aktifitas
Sekitar tahun tiga pulih lima, Affandi bergabung dalam kelompok
Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah
Hendra Gunawan, Barli Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya
menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang
cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini
berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938,
melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerjasama saling membantu
sesama pelukis. 
  
 
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya
di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan
tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai yang terdiri dari Ir. Soekarno,
Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur
memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga rakyat) untuk ikut
ambil bagian. Dalam seksi kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai
tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang
langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno. 
 
Sebelum dan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945 yang dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta,
Affandi aktif membuat poster-poster perjuangan untuk membangkitkan
semangat perjuangan rakyat Indonesia terhadap kaum kolonialisme Belanda
yang ingin kembali menjajah Indonesia. Kegiatan ini dilakukan bersama-
sama dengan pelukis dan seniman lain yang tergabung dalam Seksi
Kebudayaan Poetera, antara lain S. Soedjojono, Dullah,Trubus, dan Chairil
Anwar. Dalam sebuah karya terkadang pelukis membuat ilustrasinya dan
sastrawan menyusun kata-kata yang penuh semangat kemerdekaan yang
menunjukkan tekad “Merdeka atau mati”. 
Gambar 2.4.2 Poster of Revolution karya Affandi
Sumber : (The Stories Of Affandi.  Ade Tanesia, 2012, hal 82).
Poster yang dikerjakan Affandi berupa lukisan seorang pemuda
berbaju kemeja putih yang meneriakkan ‘Merdeka’ seraya mengacungkan
kedua tangan ke atas. Di pergelangan tangan pemuda itu nampak borgol yang
rantainya sudah putus. Berlatar belakang sangsaka merah putih yang berkibar.
  
Poster tersebut dibuat di atas kertas pastoor 
berwarna putih kira-kira
berukuran 80x100 cm. Digambar dengan cat tube yang diencerkan dengan
bensin. “Bung, Ayo Bung!” Kata-kata itu bukan ciptaan Affandi, melainkan
dari penyair Chairil Anwar.
Poster buatan Affandi ini mudah sekali menyentuh hati setiap orang
yang melihatnya. Sebab corak lukisannya realistik impresionistik. Inilah
poster pertama pada waktu proklamasi kemerdekaan yang kemudian
diperbanyak dan disebarkan ke daerah-daerah. Dengan demikian poster ini
menjadi suatu bukti bahwa seniman dari berbagai bidang seni bekerja sama
untuk kepentingan nusa dan bangsa (The Stories Of Affandi.  Ade Tanesia, 2012,
hal 24-25).
Selanjutnya, Affandi memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta dan
mendirikan perkumpulan “Seniman Masyarakat” 1945. Perkumpulan ini
akhirnya menjadi “Seniman Indonesia Muda” setelah S. Soedjojono juga
pindah ke Yogyakarta. Pada tahun 1947, Affandi mendirikan “Pelukis
Rakyat” bersama Hendra Gunawan dan Kusnadi, untuk memberikan
kesempatan belajar kepada angkatan muda yang haus mendapatkan
pendidikan dan praktek seni lukis. Lalu pada tahun 1948, Affandi pindah
kembali ke Jakarta dan turut mendirikan perkumpulan “Gabungan Pelukis
Indonesia”.
Pameran – Pameran Affandi
Setelah itu pada tahun 1949, Affandi
mendapat kesempatan untuk
menimba ilmu di India, dia memenuhi undangan belajar melukis selama dua
tahun dari Santineketan, sekolah yang didirikan oleh Rabindranath Tagore.
Sebenarnya undangan tersebut hanya diperuntukkan untuk seorang saja,
namun Affandi berangkat bersama anak dan isterinya. Mereka bertekad
mencukupkan bea siswa yang dia terima dengat hidup sehemat mungkin.
Perjalanan dari Jakarta menuju India, mereka mampir di Singapura. Di sana
Kartika bertemu dengan seorang pemuda, Saptohudoyo, yang kemudian
melamarnya. Mereka bertunangan dan berjanji akan bertemu dan menikah di
London, karena waktu itu Sapto sedang belajar melukis di sana.
  
Di Singapura Affandi sempat menonton sebuah film yang
menggambarkan seorang tukang sapu jalan yang bisa betahan hidup di kota
Paris. Affandi membulatkan tekadnya sekembali dari India akan berangkat ke
Eropa. Dia terinspirasi dari film yang ia tonton itu kalau seorang tukang sapu
bisa hidup di Paris, mengapa ia tidak? Bukankah ia mempunyai kelebihan
dari tukang sapu itu? Pikirnya. Setelah sampai di Santineketan, apa yang
terjadi setelah Affandi memperlihatkan karya-karyanya, para dosen di sana
menilai kalau Affandi bukan pelukis yang sedang belajar, melainkan seorang
pelukis yang sudah jadi. Uang bea siswa yang dipersiapkan untuk dua tahun
untuknya, akhirnya diberikan sekaligus kepadanya, dan dengan uang itu ia
gunakan untuk berkeliling ke beberapa kota besar, melukis dan mengadakan
pameran
hingga tahun 1951 di India.
(http://psb.unm.ac.id. (Affandi: Maestro
Seni
Lukis Indonesia, azisahmad, Mei 25, 2011). 
Pada kesempatan itu ia tidak sia-siakan, ia melukis kehidupan orang
India, nelayan di pantai selatan, orang-orang sadu. Ia melukis kota Bombay,
Benares dan yang lainnya. Di samping lukisan yang bertemakan kehidupan di
India yang sedikit berwarna suram, Affandi pun menghasilkan lukisan-
lukisan yang cerah, salah satu di antaranya adalah lukisan Kartika yang ketika
itu seorang gadis yang beranjak remaja (ABG). Dalam lukisan itu Kartika
mengenakan kain panjang dan kebaya dengan rambut tergerai panjang.
Memperlihatkan kebanggaan seorang ayah kepada anak gadisnya yang
remaja, terasa dalam lukisan itu. Selanjutnya mereka mengunjungi London
dan menyelenggarakan pameran. 
Ia
mendapatkan sambutan yang meriah, dan ada resensi yang dimuat
dalam surat kabar yang memujinya sebagai pelukis terbesar setelah Perang
Dunia Kedua yang ketika itu baru saja selesai. Tetapi yang paling
membesarkan hati Affandi adalah karena kritikus seni terkenal, Sir Herbert
Read, menyempatkan diri datang menyaksikan pamerannya; dan dalam
kesempatan itu ia berkata kepada Affandi antara lain: “This is a new way of
expressionism. This is your personal way…. Meskipun tidak tertulis sebagai
hitam di atas putih, namun ucapan Herbert Read sangat membesarkan hati
Affandi.
 
Dia kunjungi kota Paris pada tahun 1953. Ternyata meskipun tak
seramai pers di London atau Amsterdam, tetapi ia mendapat tempat dan
  
perhatian dalam surat kabar besar seperti Le Monde dan Le Figaro. Affandi
tinggal di sana kurang lebih setahun lamanya. Ketika pameran di Paris ia
diberi kesempatan untuk memaparkan konsep seni lukisnya oleh Kedutaan
Besar Republik Indonesia. Ceramah itu diberi judul : “Affandi oleh Affandi”.
Dia mengemukakan prinsip-prinsip hidup dan pandangan-pandangan
keseniannya. Antara lain dikatakan: “Kesenian saya tidak berpangkal dari
keindahan, tetapi dari kemanusiaan. Meskipun saya hendak melukis, kalau
melihat anak saya sakit, maka saya akan menundanya.
(Affandi: Maestro Seni Lukis Indonesia, Azisahmad, Mei 25, 2011).
 
Affandi juga ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk mewakili
Indonesia dalam pameran Internasional (Biennale Exhibition) tiga kali
berturut-turut, yaitu di Brasil (1952), di Venice (Italia-1945), dan di Sao
Paulo (1956). Di Venice, Italia, Affandi berhasil memenangkan hadiah.
 
Pulang ke Tanah Air
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi
dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam
pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah ia, seperti Prof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang
konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya
Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi
angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM)
yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi sejak sebelum revolusi.
Topik
yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan
perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi
merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna
dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan
'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
 
Affandi juga termasuk pimpinan pusat  Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra), organisasi kebudayaan terbesar yang dekat dengan Presiden
Soekarno yang dibubarkan oleh rezim Soeharto. Di sana ia bergelut di bagian
  
seni rupa Lembaga Seni Rupa bersama Basuki Resobowo dan Henk
Ngantung.
Affandi dan Lukisan
Pada tahap permulaan melukis Affandi menunjukkan karya-karya
yang realisme fotografis. Menampilkan motif setepat mungkin, sebagaimana
mata melihat wujud fisiknya. Affandi menunjukkan impresi ruang yang
dicapai oleh muslihat perspektif, baik garis maupun warna. Demikian juga
proporsi, anatomi, texture rendering, gelap, terang dan sebagainya. Pada
tahap realisme fotografis ia lebih cenderung kepada tujuan teknik. Melihat
hasil karyanya, Affandi bukan tergolong pelukis yang mampu berkarya luar
kepala dengan sepenuh daya khayal, melainkan tipe pelukis yang harus
dirangsang oleh gejala obyektif luarnya. Namun tidak semua gejala tersebut
dapat mengilhaminya, untuk itu ia sering melakukan pengembaraan. Ia
melukis obyeknya secara langsung. Oleh karena itu ia lebih banyak melukis
di luar rumah.  
Dalam melukis Affandi melangkah dengan lebih mengutamakan
kebebasan berekspresi. Dilandasi jiwa kerakyatan, Affandi tertarik dengan
tema kehidupan masyarakat kecil. Teknik melukis bentuk bahkan yang
cenderung memperintah objeknya seperti yang dilakukan angkatan Moi India
Jelita, dirasakan Affandi tidak mewakili Kondisi masyarakat dengan
kemerlaratan akibar penjajahan. Dengan pengalaman dan melihat kondisi
masyarakat yang menderita, Affandi lebih tergugah mengungkapkan lewat
tumpahan dan goresan warna kusam dan tema kemelaratan, pengamatan
terhadap sensitivitas lingkungan
diungkapkan secara lugas, sehingga
karyanya yang berjudul “Pejuang Romusa” yang menampilkan rakyat dalam
kemelaratan tidak di tampilkan Jepang dalam usaha mengumandangkan
perjuangan Romusa. Jepang yang saat itu merebut simpati masyarakat lewat
gerakan Romusa, merekrut masyarakat Indonesia untuk bersatu melawan
Belanda dan sekutunya melihat karya Affandi kurang menguntungkan
pihaknya. Menurut pihak Jepang karya tersebut memperlihatkan kekejaman
penjajah terhadap penduduk.  
  
Humanisme Affandi terlihat juga pada karyanya “Dia Datang,
Menunggu, dan Pergi” (1944). Dalam karya ini di tampilkan seorang
pengemis yang baru datang, kemudian meminta, lalu pergi. Raut muka
pengemis yang kurus dengan pakaian lusuh, namun dari sisa ketegarannya
masih bersemangat menjalani kehidupan walaupun dengan mengemis.
Pengamatan Affandi seperti ini menunjukkan keprihatinan jiwanya terhaadap
penderitaan sesama antara anak bangsa. Tema -
tema kerakyatan menjadi
dominasi dalam karya- karyanya. Affandi (The Stories Of Affandi. Ade Tanesia,
2012, hal 108).
Meskipun ia hampir tidak pernah lagi mempergunakan cat air. Ia
mengguyurkan minyak cat, yang dibiarkannya meleleh dan merembes
membasahi kanvas, dan membiarkan catnya lumer oleh lelehan itu. Tidak
puas dengan cara yang biasa, ia memelocotkan cat langsung dari tube dan
dengan jari-jarinya menyapu cat itu di atas kanvas. Affandi merasa seakan-
akan kuas menghalangi kelangsungan curahan emosinya, ia pun telah
menemukan cara melukisnya yang khas. Ia memperhatikan obyek yang
hendak dilukisnya berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Baru setelah ia merasa akrab betul dengan obyeknya, maka ia mulai melukis.
Proses melukis itu sendiri tidak berlangsung lama. Hanya beberapa
jam saja, bahkan terkadang kurang dari satu jam.
Ia ingin menyelesaikan
lukisannya itu ketika emosinya masih menyala. Keinginan pelukis-pelukis ini
untuk cepat mereguk dan menangkap gerak dan serat-serat, textures,
obyeknya, telah membuat mereka nampak lebih  “keranjingan” daripada
mereka yang melukis secara naturalis, realis bahkan yang impresionis. Jika
emosi sudah habis, maka ia menganggap selesai. Sikapnya yang “anti studio”,
karena inginnya ia dapat menangkap obyek lukisannya langsung dari alam
dan menangkap warna asli dari sinar cerah matahari, seperti Van Gogh, telah
menciptakan tempo dan “greget” sendiri pada lukisannya
. (Affandi. Raka
Sumichan dan Umar Kayam, 1987, hal 45).
Affandi selalu merasa tidak puas dengan
lukisannya. Tapi ia tidak mungkin “memperbaikinya”. Setelah itu hati
Affandi agak tenteram, ia telah tahu di mana kira-kira tempatnya dalam
kancah seni lukis dunia. Namun Affandi tetap seorang yang rendah hati. Ia
berkata: “Hanya kebetulan saja saya mendapat kesempatan untuk melawat ke
luar negeri, maka saya dianggap sukses. Padahal masih
ada pelukis-pelukis
  
Indonesia yang lain yang sebagai pelukis lebih kuat, atau paling tidak sama
kuat dengan saya.” 
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris
Causa
dari University of Singapore
tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang
pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga
seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh
orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun
bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.
Masa Tua
 
Affandi merupakan pelukis modern bertaraf internasional. Ia termasuk
tipe seniman yang tumbuh dari rakyat, hidup dan berkarya di tengah-tengah
rakyat serta memilih misi kerakyatan yang tampak menonjol dalam
orientasinya. Affandi memang merupakan suatu unsur yang merasuk, baik
dalam pemikiran tentang seni, pola kehidupan sehari-hari maupun
menghadapi aliran seni lukis. Affandi melukis seperti seseorang yang bekerja
pada suatu proyek kemanusiaan yang tidak selesai-selesai. Ia tidak pernah
merasa puas dan tidak merasa terlalu tua untuk terus berkarya dan mengabdi
seni. Karya, model kehidupan, pandangan serta kesadaran Affandi telah
menempatkan seni di Indonesia ini tetap pada kedudukan terhormat. Affandi
merupakan pelukis
Indonesia yang sering mengadakan pameran di luar
negeri. Di mana-mana karyanya mendapat pujian, bahkan sering mendapat
sambutan yang gemilang. 
 
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-
teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya,
huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar. Dalam
keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau,
julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin
karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang
maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini
dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis
yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya,
dia tidak overacting. Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia
  
melukis. Dengan enteng, dia menjawab, “Saya melukis karena saya tidak bisa
mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah
bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti
orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin
disebut sebagai tukang gambar.
 
Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama
pelukis besar lainnya seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain.
Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya, para
pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan
membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru
Indonesia bahkan julukan Maestro. Koran International Herald Tribune yang
menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di
Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.
Dari dalam negeri
sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di antaranya,
penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugrahkan Pemerintah Republik
Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota
Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan
seorang Penyair Angkatan 45 sebesar Chairil Anwar pun pernah
menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang berjudul
"Kepada Pelukis Affandi".
2.5
Prestasi dan Penghargaan
1943 – 1944
Mengadakan pameran tunggal pertama di Gedung Poetra Jakarta
1949 – 1951
Mendapatkan beasiswa dari Pemerintah India untuk mengadakan pameran
keliling di kota-kota besar di India dan tahun 1951 meneruskan
perlawatannya ke Eropa sampai dengan 1954.
  
1951 – 1956
mengadakan pameran keliling di negara-negara Eropa (London, Amsterdam,
Brussels, Paris dan Roma). Ditunjuk oleh Pemerintah untuk mewakili
Indonesia dalam pameran Internasional (Biennale Exhibition) pada tahun :
1952 di Brazillia ;
1954 di Venezia, Italia (memenangkan hadiah) ;
1956 di Sao Paulo.
1957 - 1958
Mendapat beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk mempelajari
metoda pendidikan seni, dan tinggal di Amerika Serikat selama 4 bulan.
Selama di Amerika, mengadakan pameran tunggal di World House Galleries,
Press Club, New York, dan berpameran di San Fransisco.
1960
Pameran lukisan di Washington DC, USA.
1962
Menjadi Guru Besar Kehormatan (Visiting Professor) dalam mata kuliah ilmu
seni lukis di Ohio State University Colombus, Ohio.
1967
Membuat lukisan dinding (Mural) di Jefferson Hall, East
West Center
Univesity, Hawaii.
1969
Menerima Anugrah Seni dan Medali Emas dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Diangkat menjadi Anggota Kehormatan
untuk seumur
hidup pada Akademi di Jakarta. Dipilih selama masa waktu 3
tahun menjadi ketua IAPA (International Art Plastic Association) untuk
Indonesia, IAPA adalah badan International dibawah naungan UNESCO
1973
Ditunjuk oleh pemerintah untuk mewakili Indonesia dalam Biennale
Exhibition di Sidney, Australia.
1974
Menerima kehormatan gelar
Doctor Honoris Causa
dari University of
Singapore.
  
1977
Menerima hadiah perdamaian Internasional tahun 1977, dari yayasan Dag
Hammarskjoeld
dan menerima gelar Grand Maestro, di gedung San
Marzano,Florence,Itali.
Diangkat menjadi Anggota Akademi Hak-hak Asasi Manusia dari Komite
Pusat Diplomatic Academy of Peace
"Pax Mundi" di Castelo San Marzano,
Florence,Itali.
Bersama istrinya menunaikan ibadah haji.
1978
Bulan Agustus 1978 menerima penghargaan "Bintang Jasa Utama" dari
Presiden Republik Indonesia atas jasa-jasanya yang besar terhadap negara
dan bangsa Indonesia dalam suatu bidang atau peristiwa tertentu.
1979
Mengadakan pameran bersama putrinya, Kartika, di kota Victoria, Australia
Tahun 1979 -
1985 mengadakan pameran keluarga di Medan, Surabaya,
Jakarta, dan Bandung dengan sponsor dari P.T. B.A.T.
1984
Mewakili Indonesia untuk mengadakan pameran tunggal di Houston, Texas
dalam rangka festival seni dan kerajinan tangan Indonesia di kota Houston,
Texas, AS.
1985
Untuk pertama kalinya mengadakan pameran bersama tiga pelukis besar: S.
Soedjojono, Affandi, R. Basuki Abdullah RA; pameran ini bertempat di
Galeri Pasar Seni Jaya Ancol Jakarta. Pameran bertiga ini diberi nama
"Pameran Besar TigaWarna Seni Lukis Indonesia."
1986
Diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia)
Yogyakarta.
Pameran tunggal di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dan pameran bersama di
Galeri Pasar Seni Jaya Ancol, Jakarta bersama Kartika, Nashar, S. Sulebar,
dan Nunung S.
1987
Dalam rangka ulang tahun ke-80, dilangsungkan Pameran Retrospektif
  
lukisan Affandi di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud, yang
diselenggarakan oleh Dirjen Depdikbud. 
Pameran keluarga bersama Maryati dan Kartika di Hotel Panghegar,
Bandung.
1988
Pameran Keluaga di Surabaya Post, Surabaya.
1989
Pameran keluarga di Museum Denpasar, Bali.
Pameran kelaurga di Galery Lama Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
(Affandi. Raka Sumichan dan Umar Kayam, 1987, hal 54-57).
2.6
Contoh Karya
Beberapa hasil karya dari sang maestro Affandi 
1.
Gambar 2.6.1 
Pelukis : Affandi
Tahun : 1961
Judul : “Potret Diri & Topeng-topeng Kehidupan”
Ukuran : 110 cm x 135 cm Media : Oil on Canvas
Karya Lukisan sang Maestro Afandi yang berjudul "Potret Diri &
Topeng-topeng Kehidupan" merupakan salah satu karya langka dan istimewa
dari Affandi, diantara Karya-karya istimewa lainya, namun Lukisan ini
memiliki
nilai falsafah hidup yang dalam, dimana setiap individu manusia
yang ada di dunia ini terlahir sebagai makhluk yang paling sempurna diantara
makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lainya sepert Malaikat, Jin,
dan 
  
Hewan. Dimana kesempurnaan manusia itu sendiri adalah terwujud karena
adanya kelemahan terbesar yang dimiliki manusia yaitu hawa nafsu yang
cenderung berbuat untuk mengingkari kodrat sebagai makhluk yang
sempurna, dan seringkali hawa nafsu digoda oleh berbagai bisikan-bisikan
setan
yang menyesatkan.
Disini perwujudan dari bisikan-bisikan setan itu
dilukiskan Afandi seperti sesosok Topeng-topeng yang berperan sebagai
tokoh kejahatan dalam cerita-cerita Jawa. 
Dan Topeng itu sendiri cenderung bukan wajah asli dari diri Manusia
itu sendiri, dia adalah perwujudan dari bisikan-bisikan jahat yang menutupi
hati dari kebenaran, sehingga membentuk karakter dalam tingkah laku dalam
kehidupan nyata, kecuali mereka Manusia-manusia yang kuat, sabar, tegar
dan selalu mendapat petunjuk dari Tuhan, yang bisa mengendalikan nafsu
dengan baik dan benar dari Godaaan bisikan Topeng-topeng kehidupan,
sehingga Nafsu menjadi kendaraanya menuju kesempurnaan. 
Potret diri Afandi yang dikelilingi Topeng-topeng kehidupan
merupakan gambaran dari bagian kehidupanya sebagai manusia
yang selalu
dikelilingi dengan pilihan manis dan pilihan pahit. 
Lukisan ini pernah menjadi incaran para Kolektor dan para pecinta
Lukisan, tapi karena dari Pemiliknya yang pada waktu itu tidak pernah
berniat menjual Lukisan ini, maka berapapun harga yang ditawarkan tidak
pernah dilepas atau dijual. 
2.
        
Gambar 2.6.2
Pelukis : Affandi
Tahun : 1972
Judul : “Para Pejuang”
Ukuran : 100 cm x 135 cm  Media : Oil on Canvas
  
Salah satu Lukisan mengagumkan karya Sang Maestro Afandi yang
berjudul "Para Pejuang", melukiskan semangat para Pemuda Indonesia dalam
memperjuangkan Kemerdekaan, dengan mengorbankan jiwa dan raganya
untuk Ibu pertiwi tercinta. Lukisan ini memiliki nilai dan makna historis yang
tinggi, dimana karya ini terinspirasi dari semangat baja para Pejuang.
Warna-warna berani yang spontanitas, serta keunikan goresan
ekspresi pelototan cat langsung dari tubenya, menjadi satu sebuah kombinasi
sempurna dalam karya Lukisan bernilai seni tinggi mengagumkan dari sang
Pelukis Maestro Ternama.
Akan menjadi Koleksi kebanggaan tak ternilai
bagi siapapun yang mengkoleksi Karya Lukisan hebat ini.
3.
Gambar 2.6.3
Pelukis : Affandi
Tahun : 1983
Judul : “Borobudur Pagi Hari”
Ukuran : 150 cm x 200 cm  Media : Oil on Canvas
“Borobudur Pagi Hari” merupakan salah satu karya Affandi yang
terinspirasi oleh megahnya candi Borobudur dan lingkungan sekitar pada
masa itu, saat Affandi melintas dan memperhatikan Borobudur di pagi hari.
Obyek matahari selalu menarik perhatian di beberapa karya beliau sebagai
fokus pendukung utama. Warna –
warna dingin dan suasana tenang
mendominasi lukisan ini karena melukiskan suasana pagi hari yang cerah .
Dan dilukisan ini Affandi 
lebih nenonjolkan obyek alam sebagai latar
belakang. Perpaduan warna yang digunakan semakin menghidupkan lukisan
tersebut karena warna yang digunakan padu antara warna satu dengan warna
yang lain. 
  
Dan dilukisan tersebut gambar candi Borobudur terlihat sangat jelas
tanpa kita harus menganalisis makna lukisan tersebut. Dan bentuk
mataharinya tidak menyerupai matahari tetapi itu semua malah membuat
lukisan tersebut bagus karena menyatu dengan warna langit yang ada pada
lukisan tersebut. warna hijua di lukisan tersebut menggambarkan pepohonan
yang ada di situ. walaupun gambar pohon tersebut tidak jelas tetapi sangat
bagus. warnyapun juga kontras dengan warna lainnya. 
4.  
Gambar 2.6.4
Pelukis : Affandi
Tahun : 1944
Judul : “Dia Datang, Menunggu, dan Pergi
Ukuran : 40,5 cm x 56 cm  Media : Oil on Canvas
Humanisme Affandi terlihat juga pada karyanya ”Dia Datang,
Menunggu, dan Pergi” (1944). Dalam karya ini ditampilkan seorang
pengemis yang baru datang, kemudian meminta, lalu pergi. Raut muka
pengemis yang kurus dengan pakaian lusuh, namun dari sisa ketegarannya
masih bersemangat menjalani kehidupan walaupun dengan mengemis.
Pengamatan Affandi seperti ini menunjukkan keprihatinan jiwanya terhadap
penderitaan sesama antara anak bangsa. Tema-tema kerakyatan menjadi
dominasi dalam karya-karya Affandi.
Dalam setiap ekspresi, selain garis-
garis lukisannya memunculkan energi yang meluap juga merekam
penghayatan keharuan dunia batinnya. Dalam lukisan ini terlihat sesosok
tubuh renta pengemis yang duduk menunggu pemberian santunan dari orang
yang lewat. Penggambaran tubuh renta lewat sulur sulur daris yang mengalir,
menekankan ekspresi penderitaan pengemis itu. Warna coklat hitam yang
membangun sosok tubuh, serta aksentuasi, semakin mempertajam suasana
  
muram yang terbangun dalam ekspresi keseluruhan.
Namun dibalik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat tetap dapat
dibaca lewat goresan-goresan yang menggambarkan gerak sebagian figur
lain. Pilihan sosok sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari
empatinya pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat
yang mudah terharu, sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas. Objek-
objek rongsok dan jelata selalu menggugah empatinya
(
http://senibudaya12.blogspot.com, Seniman Affandi dan Karyanya, Suro Suro,2012).
2.7
Seni Lukis
Seni lukis merupakan karya seni rupa
berwujud dua dimensi yang
dalam penciptaannya mengolah unsur titik, garis, bidang, tekstur, warna,
gelap-terang, dan lain-lain melalui pertimbangan estetik. Pada karya seni rupa
purbakala, objek yang dipilih kebanyakan berupa bentuk manusia, flora, dan
fauna. Berikut aliran - aliran dalam seni lukis :
1. Aliran Neo-Klasik
Lukisan ini tidak digunakan untuk kenikmatan, melainkan untuk
mendidik, menanamkan kesadaran anggota masyarakat atas
tanggung jawabnya terhadap Negara. J.L. David merupakan
pelopor aliran Neo-Klasik, dimana lukisan Neo-Klasik bersifat
Rasional, objektif, penuh dengan disiplin dan beraturan serta
bersifat klasik.
2. Aliran Romantisme
Aliran Romantisme
merupakan pemberontakan terhadap aliran
Neo-Klasik, dimana Jean Jacques Rousseau mengajak kembali
pada alam, sebagai manusia yang tidak hanya memiliki pikiran
tetapi juga memiliki perasaan dan emosi. Hal yang berurusan
dengan perasaan seseorang (sangat ditentang dalam aliran Neo-
Klasik)
kecantikan dan keindahan
selalu terpancar dari lukisan
romantisme.
3. Aliran Realisme
Realisme merupakan aliran yang memandang dunia tanpa ilusi,
mereka menggunakan penghayatan untuk menemukan dunia.
  
Aliran Realisme selalu melukiskan apa saja yang dijumpainya
tanpa pandang bulu dan tanpa ada idealisasi, distorsi atau
pengolahan-pengolahan lainnya. Gustave Courbet (1819-1877)
memandang bahwa lukisan itu pada dasarnya seni yang kongkrit.
4. Aliran Naturalisme
Aliran Naturalisme adalah aliran yang mencintai dan memuja alam
dengan segenap isinya. Penganut aliran ini berusaha untuk
melukiskan keadaan alam, khususnya dari aspek yang menarik,
sehingga lukisan Naturalisme selalu bertemakan keindahan alam
dan isinya. Para pelukis Naturalisme sering dijuluki sebagai pelukis
pemandangan. Tokoh Naturalisme yang berasal dari Inggris adalah
Thomas Gainsbrough (1727-1788).
5. Aliran Impresionisme
Impresionisme, maka asosiasi mereka biasanya tertuju pada
lukisan-lukisan yang impresif, yaitu lukisan yang agak kabur dan
tidak mendetail. Lukisan impresionis sangat dipengaruhi oleh
keadaan cuaca, karena melukis dilakukan di luar studio. Lukisan
impresionis biasanya tidak mempunyai kontur yang jelas dan
nampak hanya efek-efek warna yang membentuk wujud tertentu
.
6. Aliran Ekspresionisme
Pada tahun 1990-an, para pelukis mulai tidak puas dengan karya
yang hanya menonjolkan bentuk-bentuk objek. Mereka mulai
menggali hal-hal yang berhubungan dengan batin, sehingga
muncullah aliran ekspresionisme. Vincent Van Gogh (1850) adalah
tokoh yang menjadi tonggak kemunculan aliran ekspresionisme
dan tokoh lain yang mengikuti adalah Paul Cezanne, Paul Gauguin,
Emil Nolde dan di Indonesia yaitu Affandi. Ekspresionisme
merupakan aliran yang melukiskan aktualitas yang sudah
didistorsikan ke arah suasana kesedihan, kekerasan ataupun
tekanan batin.
7. Aliran Fauvisme
Nama fauvisme berasal dari bahas Prancis “Les Fauves”, yang
artinya binatang liar. Aliran fauvisme sangat mengagungkan
kebebasan berekspresi, sehingga banyak objek lukisan yang dibuat
  
kontras dengan aslinya seperti pohon berwana oranye atau lainnya.
Lukisan-lukisan fauvis betul-betul membebaskan diri dari batasan-
batasan aliran sebelumnya.
Pelukis fauvisme cenderung melukis
apa yang mereka sukai tanpa memikirkan isi dan arti dari sebuah
lukisan yang dibuat.
8. Aliran Kubisme
Aliran kubisme dilatar belakangi oleh konsep Paul Cezanne yang
mengatakanbahwa bentuk dasar dari segala bentuk adalah silinder ,
bola, balok dan semua bentuk yang ada di dalam di pengaruhi oleh
perspektif, sehingga bidang tertuju pada satu titik tengah. Karya
Picasso menjadi insfirasi kemunculan karya- karya kubisme, karena
motif geometris digunakan oleh Picasso.
Lukisan kubisme
mengedepankan bentuk-bentuk germetris. Tokoh kubisme yang
sangat terkenal adalah Picasso dan Paul Cezanne, tetapi di samping
kedua tokoh ini masih banyak tokoh lain yg menganut Kubisme
seperti Juan Gris.
9. Aliran Abstraksionisme
Aliran Abstraksionime adalah aliran yg berusaha melepaskan diri
dari sensasi-sensasi atau asosiasis figuratif suatu obyek.
Aliran
Abstraksionis di bedakan menjadi dua yaitu.
Abstrak kubistis
yaitu
abstrak dalam bentuk geometrik murni seperti lingkaran kubus dan
segi tiga
tokoh aliraran ini berasal dari Rusia yaitu Malivich
[1913].
Abstrak Nonfiguratif
yaitu abstrak dalam arti seni lukis
haruslah murni sebagai ugkapan perasaan, di mana garis mewakili
garis ,warna mewakili warna dan sebagainya. Bentuk alami
ditinggalkan sama sekali. Tokohnya adalah Wassily kadinsky,
Naum Goba.
10. Aliran Futuris
Aliran Futuris muncul di Itali pada tahun 1909, sebagai reaksi
terhadap aliran kubisme yang dianggap dinamis penuh gerak,
karena itu temanya cenderung menggambarkan kesibukan-
kesibukan seperti,pesta arak-arakan, perang dan sebagainya.
  
11. Aliran Dadaisme
Aliran dadaisme merupakan pemberontak konsep dari konsep
aliran sebelumnya. Aliran ini mepunyai sikap memerdekakan diri
dari hukum-hukum seni yg telah berlaku. Ciri aliran ini sinis, nihil
dan berusaha meleyapkan ilusi. Aliran ini dilatar belakangi oleh
perang dunia pertama yg tak kunjung berhenti.
12. Aliran Surealisme
Aliran surealis banyak di pengaruhi oleh teori analisis psikologis.
Sigmund Freud mengenai ketidak sadaran dalam anatomisme dan
impian. Surealisme sering tampil tidak logis dan penuh fantasi,
seakan-akan melukis dalam mimpi.
(Deskripsi, Aliran-Aliran Seni Rupa, Tokoh dan Contoh Karya, Kutro, Juli,
2012).
2.8
Animasi Dokumenter
Film animasi dokumenter pertama kali dikenalkan oleh Windsor
Mckay dalam film The Sinking of Lusitania (1918) dimana ia menggunakan
animasi untuk menampilkan peristiwa tenggelamnya kapal RMS Lusitania
karena terkena serangan torpedo.
(http://filmint.nu.  (Colourful
claims, Theory of
Animated Documentary, Jonathan Rozenkrantz, Mei 06, 2011).
Dimana tidak ada rekaman nyata dari kejadian ini. Contoh lain dari
film Animasi Dokumenter adalah Abductees (2005) karya Paul Vester, film
ini menampilkan wawancara dengan beberapa orang yang mengaku pernah
diculik oleh makhluk luar angkasa, dari wawancara tersebut pengalam
mereka 16 ditampilkan kembali dalam bentuk animasi. Selain itu ada juga
Waltz With Bashir (2008) yang masuk dalam nominasi Academy Awards
sebagai Best Foreign Languages Film menceritakan tentang perang Libanon
di tahun 1982 dibuat dalam bentuk animasi sepenuhnya. Dari hal tersebut,
kita dapat melihat penggunaan animasi dalam mewujudkan suatu kejadian
yang tidak mungkin diwujudukan lagi atau suatu kejadian yang tidak pernah
terekam atau terdokumentasikan ke dalam sebuah film, selain itu yang
menjadi kekuataan animasi adalah fungsinya untuk menghibur walaupun
tema yang diangkat ke dalam film animasi dokumenter tersebut adalah tema
  
yang berat, dengan animasi juga dapat memudahkan penyampaina data- data
atau informasi penting yang harus disampaikan dalam sebuah dokumenter.
Dalam konteks tugas akhir ini, penulis menggunakan animasi untuk
menggambarkan kembali beberapa hal yang pernah terjadi dengan
menggunakan animasi sebagai media untuk menyampaikan tema yang
diangkat ke dalam sebuah film. Karena dengan media film animasi
dokumenter permasalahan yang diangkat penulis bisa lebih menarik dan lebih
mudah untuk dipaparkan dalam penyampaiannya.
2.9
Data Pembanding
Judul
: Hungry to Paint
Produksi
: PPFN dan Mayagita Audio Visual
Tahun
: 1982
Gambar 2.9.1 cuplikan film dokumenter Affandi
Sumber: Indonesian Visual Art Archive, Hungry to Paint, Yasir Marzuki, 1982
2.10
Target Audiens
Target audiens berusia 14 –
19 tahun, tinggal di kota besar atau yg lainnya
seperti Jakarta, Bandung, dan lain-lainnya. Memiliki pendidikan minimal SMP atau
SMA. Memiliki ketertarikan dengan sejarah pahlawan, multimedia, audio visual, dan
animasi. Tingkat ekonomi menengah keatas.
  
2.11
Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat
2.11.1
Faktor Pendukung 
1.
Mulai banyaknya peminat animasi sehingga membuat animasi adalah
daya tarik tersendiri untuk masyarakat Indonesia.
2.
Memberi tontonan yang memberikan wawasan baru tentang tokoh
Indonesia yang juga bisa menjadi hiburan.
3.
Media animasi dapat merekonstruksi kejadian bersejarah yang pernah
terjadi.
2.11.2
Faktor Penghambat
1.
Kurangnya minat masyarakat Indonesia untuk mempelajari sejarah
bangsanya sendiri.
2.
Waktu yang sangat sempit sehingga tak semua perjalanan hidup Affandi
dapat disajikan.
2.12
Analisa SWOT
Strength
1.
Memberi wawasan baru tentang tokoh seni lukis di Indonesia.
2.
Pesan moral disampaikan secara verbal
dan mudah ditangkap oleh
penonton.
3.
Penyampaian menggunakan media animasi dapat meringankan alur
cerita dan menghibur.
Weakness
1.
Remaja pada umumnya kurang mempelajari sejarah para tokoh-tokoh
nasional di bidang seni lukis.
Opportunities
1.
Masyarakat dengan mudah dapat memahami pesan secara verbal, dari
pada pesan secara tertulis.
2.
Pesan visual menggunakan animasi 2D dalam penyampaian moralnya.
3.
Upaya mengingatkan kembali tokoh seni lukis di Indonesia.
  
Threat
1.
Pesan yang di sampaikan dalam film dokumenter dapat memicu
kebosanan karena durasinya yang panjang.