2
BAB 2
DATA & ANALISA
2.1 Aneka Ragam Rokok
Berikut adalah penjelasan mengenai aneka ragam rokok kretek di Jawa tempo dulu,
serta sejarah perkembangannya. 
2.1.1 Cerutu
2.1.1.1 Definisi Cerutu
Cerutu adalah adalah gulungan utuh daun tembakau yang dikeringkan dan
difermentasikan, yang mirip dengan rokok
salah satu ujungnya dibakar dan
asapnya dihisap oleh mulut melalui ujung lainnya. Cerutu terdiri dari 3 jenis
tembakau, variasi ukuran yang akan menentukan ukuran citarasa dan
karakteristik sebuah cerutu. Sebuah cerutu akan terlihat dari balutan daun terluar
atau pembungkus yang berasal dari bagian perkebunan yang luas dan penentuan
atas pembungkus cerutu dapat menjelaskan karakter dan rasa termasuk dengan
warnanya yang sering dipergunakan untuk menggambarkan cerutu secara
keseluruhan. ( Michel, 2011. Perancangan Ulang Identitas Visual Cerutu Lokal
Ramayana, Desain Komunikasi Visual, Bina Nusantara, Jakarta
halaman 15,
paragraf ke-3 )
2.1.1.2 Sejarah Cerutu
Explorer Christopher Columbus
umumnya identik dengan
memperkenalkan tembakau ke Eropa. Dua awak Columbus
selama perjalanan
1492, Rodrigo de Jerez
dan Luis de Torres, yang dikatakan telah ditemui
tembakau untuk pertama kalinya di pulau San Salvador
di Bahama, ketika
pribumi yang disajikan dengan daun-daun kering yang tersebar aroma yang
aneh. Tembakau tersebar secara luas di antara semua pulau-pulau di Karibia dan
karena itu mereka lagi ditemui di Kuba, di mana Columbus
dan anak buahnya
telah menetap.
Tembakau untuk cerutu, terutama dibudidayakan di negara –
negara seperti Brasil, Kamerun, Kuba, Republik Dominika, Honduras,
  
3
Indonesia, Meksiko, Nikaragua dan Amerika Serikat dengan cerutu dari Kuba
dianggap merupakan negara -
negara ikon untuk cerutu.
( Michel, 2011.
Perancangan Ulang Identitas Visual Cerutu Lokal Ramayana, Desain
Komunikasi Visual, Bina Nusantara, Jakarta  halaman 14 pada paragraf ke-1 )
2.1.1.3 Sejarah Cerutu Indonesia
Cerutu tidak dimonopoli oleh Kuba atau negara –
negara Karibia.
Indonesia ternyata merupakan salah satu produsen cerutu yang patut
diperhitungkan. Paling tidak, bahan baku tembakaunya telah
memasok
kebutuhan cerutu di dunia. Di era pra kemerdekaan RI, budaya cerutu ditularkan
oleh Belanda. Kebiasaan mereka bercerutu dari negeri asalnya tidak bisa
dihentikan ketika mereka berada di Indonesia. Mereka tidak hanya membawa
cerutu dari Eropa dan negara –
negara Amerika Latin, tapi juga ikut
membudidayakan tembakau di Indonesia, terutama Deli (Sumatera Utara) dan
Besuki (Jawa Timur) yang sampai kini dikenal sebagai daerah tembakau
berkualitas tinggi. 
Selain mempunyai kebun – kebun tembakau, pada saat itu Indonesia juga
berdiri beberapa pabrik cerutu (dan industri rokok). Kini boleh dikatakan hanya
industri rokok yang masih bertahan, bahkan beberapa diantaranya menjadi
populer dan menyumbang cukai yang sangat besar untuk negara seperti Djarum,
Gudang Garam, Dji Sam Soe dan lain – lain. Sayangnya industri cerutu yang bia
bertahan bisa dihitung dengan jari, yaitu PD Tarumartani, perusahaan milik
keluarga Keraton Yogyakarta. Sementara itu, merek cerutu yang diproduksi
industri rokok besar adalah Wismilak dan Hermanos.
Hanya saja, dua merek yang disebut terakhir bukan dari tradisi lama,
melainkan dilahirkan setelah melihat peluang pasar yang besar di industri cerutu
PT. Djarum. Misalnya, menciptakan produk cerutunya pada Mei 1977, setelah
sebelumnya sempat
melakukan serangkaian riset mendalam di Honduras dan
Amerika Serikat. Produk perdananya adalah cerutu long filter dengan standar
internasional.
Kualitas dan kestabilan rasa cerutu long filter dengan standar
internasional dengan premium cigar yang lain. Itu sebabnya, gulungan tembakau
  
4
asal Kudus ini berhasil diterima di mancanegara seperti Belanda, Belgia,
Jerman, Singapura dan beberapa negara lainnya. Nama Dos Hermanos sendiri
sebenarnya baru dipakai pada September 1999 untuk pasar Indonesia. Namun
demikian, produk ini juga disukai para turis asing, bahkan sering dibawa ke
mancanegara sebagai cinderamata asal Indonesia. Dos Hermanos yang masuk ke
dalam rating bergengsi dari majalah Cigar Afficionado, juga Wismilak, adalah
cerutu yang berasal dari Indonesia, yang ikut meramaikan pasar cerutu dunia. (
2.1.2 Kretek
2.1.2.1 Definisi Kretek
Rokok kretek adalah rokok yang menggunakan tembakau asli yang
dikeringkan, dipadukan dengan saus cengkeh dan saat dihisap terdengar bunyi
kretek –
kretek, maka dari itu disebut “kretek”. Rokok kretek berbeda dengan
rokok yang menggunakan tembakau buatan. Jenis cerutu merupakan simbol
rokok kretek yang luar biasa, karena semuanya alami tanpa adanya campuran
apapun dan pembuatannya tidak bisa menggunakan mesin. Masih memanfaatkan
tangan pengrajin. ( Hapsari, 2013 . Iklan Luar Ruang Rokok Produk PT Djarum,
Program Studi Desain Komunikasi Visual,Jurusan Desain Fakultas Seni Rupa
Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2013 pada halaman ke-2 paragraf ke   
-2 )
2.1.2.2 Sejarah Kretek Indonesia
Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Menurut Amen Budiman dan
Onghokham dalam buku Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi
Pembangunan Bangsa dan Negara (1987), pembuatan rokok kretek di Indonesia
dimulai oleh seorang bernama Haji Jamahri.
Awal mulanya, penduduk asli kota Kudus, pantai utara Jawa, itu telah
mengidap rasa nyeri didadanya. Untuk mengurangi rasa sakitnya itu,ia
mengusapkan dada dan pinggangnya dengan minyak cengkeh, hasilnya rasa
sakitnya kemudian banyak berkurang.
  
5
Lantas timbul gagasan dari Haji Jamahri untuk memakai rempah –
rempah itu sebagai obat dengan cara berbeda. Ia lalu merajang cengkeh sampai
halus, kemudian mencampurnya dengan tembakau, dan dibungkus dengan daun
jagung, kemudian dibakar ujungnya. Dengan cara menghirup asapnya sampai
masuk ke paru – paru, ia merasa sakit di dadanya berangsur – angsur sembuh.
Ia memberitahukan perihal penemuan ini kepada orang –
orang di
dekatnya. Akhirnya berita ini cepat selesai tersiar dan menyebar luas hingga
permintaan rokok obat temuannya ini pun berdatangan. Tak lama kemudian
akhirnya Haji Jamahri membuat industri rokok temuannya itu dalam skala kecil.
Awal mulanya, penduduk kota Kudus menyebut jenis rokok temuan Haji
Jamahri ini rokok cengkeh. Akan tetapi, oleh karena jika dihisap rokok ini
menimbulkan bunyi keretek – keretek seperti bunyi daun dibakar sebagai akibat
pemakaian rajangan cengkeh untuk campuran tembakau isinya, jenis rokok ini
akhirnya disebut orang dengan ‘rokok kretek’.
Awalnya kretek ini dibungkus dengan kelobot atau daun jagung kering.
Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10 batang tanpa selubung kemasan
sama sekali. Haji Jamahri meninggal dunia di Kudus pada 1890 dan dengan
demikian lahirnya industri Kretek di Kudus (juga pertama kalinya di Indonesia)
telah terjadi antara 1870 sampai 1880.
Pada tahun – tahun pertama, perdagangan rokok kretek hanya terbatas di
Kudus dan daerah sekitarnya. Namun dalam waktu singkat pemasarannya
meluas hingga merambah berbagai daerah di pulau Jawa. Pada awal mulanya,
seluruh perusahaan rokok kretek yang ada di Kudus dikelola oleh para
pengusaha etnis Tionghoa. Karena terjadi persaingan tidak sehat antara
pengusaha pribumi dan Tionghoa, akhirnya meletuslah kerusuhan hebat di
Kudus pada 31 Oktober 1918 yang mengakibatkan banyak jatuh korban dan
terbakarnya beberapa rumah dan beberapa pabrik rokok. 
Pada tahun – tahun pertama kelahirannya, industri rokok kretek di Kudus
memakai tenaga pelinting rokok dari daerah di sekitar Kudus saja. Namun
karena kebutuhan tenaga yang lebih banyak dan efisiensi waktu dan biaya, maka
kemudian dipakai sistem usaha rumah tangga yang memungkinkan orang dari
desa yang jauh dari kota Kudus bisa ikut dalam proses produksi. 
  
6
Pada 1928, di Kudus muncul papiersigaretten (sigaret kretek), yakni
rokok kretek yang dibuat dengan menggunakan alat pelinting dan bahan
pembungkus dari kertas. Kemudian tercatat perusahaan rokok jenis sigaret
kretek terkenal di luar Kudus yaitu perusahaan rokok Mari Kangen di Sala dan
disusul perusahaan rokok Sampoerna di Surabaya.
Pada 1928, terjadi kegagalan panen cengkeh di Zanzibar dan Madagaskar
yang mengakibatkan harga cengkeh yang dalam keadaan normal hanya f.75.,
setiap pikul menjadi melonjak hingga 160., per pikul. Dampak dari hal ini
adalah banyaknya perusahaan rokok di Kudus yang terpaksa menutup
perusahaannya. Cara lain ditempuh para perusahaan rokok dengan menurunkan
mutu tembakau dan mengurangi persentase cengkeh, sekaligus pula menurunkan
upah pegawai mereka. Tindakan ini menuai badai dengan aksi boikot para
pekerja yang dengan sengaja menukar bahan –
bahan yang mereka terima
dengan bahan – bahan yang lebih rendah mutunya.
Karuan saja hal ini berbuah pada menurunnya reputasi rokok kretek
Kudus dan berakibat pasaran rokok kretek buatan Kudus di pulau Jawa, terutama
di daerah Jawa Timur mengalami kemunduran. Sebaliknya peristiwa ini justru
menguntungkan pusat – pusat industri rokok di Jawa Timur, lantaran meskipun
perusahaan rokok di Jawa Timur juga kesulitan mendapatkan cengkeh, namun
mereka masih berusaha menjaga mutu rokok kretek buatannya.
( Suryo
Sukendro,2007. Filosofi Rokok halaman ke-3 paragraf ke-2 )
2.1.2.3 Raja – Raja Kretek
Parada Harap dalam bukunya Indonesia Sekarang (1952) menyebut
sejumlah nama raja rokok di Kudus. Di antaranya adalah M. Sirin; pemilik
pabrik rokok cap Garbis, H.M. Muslich; pemilik pabrik rokok cap Teboe dan
Jagung, M.Atmowijoyo; pemilik pabrik rokok cap Goenoeng, H.Md.
Noorchamid dan Mas Nitisemito; Dari kesemuanya itu, Nitisemitolah yang
paling terkenal dengan  pabrik rokok kretek cap Bal Tiga.
( Suryo
Sukendro,2007. Filosofi Rokok halaman 46 paragraf ke-1  )
  
7
2.1.2.4 Nitisemito dan Bal Tiga
Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906, dan pada 1908
usahanya resmi terdaftar dengan merek Tjap Bal Tiga. Bisa dikatakan langkah
Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.
Gambar 01. Nitisemito
Nitisemito dilahirkan dari rahim ibu Markanah di desa Janggalan dengan
nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada
usia 17 tahun ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia ini, ia
merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian.
Usaha ini berkembang sehingga mampu menjadi pengusaha konveksi. Namun
beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito
pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang
kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang
tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok
kelobot di Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok
kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada
1870. Di warungnya yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus,
  
8
Mbok Nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering
mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir
mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dnegan menyuguhkan
rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor.
Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan
mengoplos cengkeh dalam rajangan tembakau. Campuran ini kemudian dilinting
dengan kelobo atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini
disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya
adalah Nitismeito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas mempersunting Nasilah dan menegmbangkan rokok
kretek menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi
label rokoknya Rokok
Tjap Kodok Mangan Ulo (Rokok Cap Kodok Makan
Ular). Lantaran nama ini tidak membawa hoki dan malah menjadi bahan
tertawaan, namanya diganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan
dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini
akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M.
Nitisemito).
   
Gambar 02. Tjap Bal Tiga
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah sepuluh
tahun beroperasi, Nitisemito mampu
membangun pabrik besar di atas lahan 6
hektar di Desa Jati. Ketika itu di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar,
  
9
16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik
besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M. Muslich
(merek Delima), H. Ali Askin (merek Djangkar), Tjoa Kang Hay (merek Trio),
dan M.Sirin (merek Garbis dan Manggis). 
Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan
memproduksi 10 juta batang rokok per hari pada 1938. Kemudian untuk
mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal kota – kota di
Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke negeri Belanda sendiri.
Hebatnya lagi, sekalipun ternyata Nitisemito adalah seorang pengusaha
yang tuna aksara dan sama sekali tak bisa baca-tulis, anehnya ia telah
menerapkan sejumlah prinsip perusahaan modern, salah satunya dengan trik
promosi yang mencengangkan. Ia sengaja memberikan hadiah bonus bagi para
pelanggannya dengan cara menukarkan sejumlah rokok produksi perusahaannya
dengan berbagai barang, mulai dari gelas, pring , cangkir, jam dinding, arloji
hingga sepeda. Ia juga membuat semacam pentas sandiwara keliling dengan
menyisipkan promosi rokok hasil produksinya. Bahkan, ia tercatat sebagai satu –
satunya pemilik perusahaan rokok yang sampai menyewa pesawat terbang
Fokker pamflet rokok hasil produksinya ke Bandung dan Jakarta.
Sayangnya, perusahaan rokok cap “Bal Tiga” itu mesti bangkrut akibat
permasalahan konflik internal keluarga yang mengakibatkan pemerintah Hindia
Belanda tahu perihal penyelewengan pajak perusahaan rokok yang belum
terbayarkan. Munculnya perusahaan rokok lain seperti Nojorono (1940),
Djamboe Bol (1937), Djarum (1950) dan Sukun., semakin mempersempit pasar
Bal Tiga. Puncaknya ketika Jepang mengambil
alih kekuasaan, harta dan aset
perusahaan rokoknya diambil paksa oleh Jepang. Sekalipun sesudahnya ia boleh
membuka kembali, namun perusahaan rokoknya telah ambruk total. Nitisemito
meninggal pada 1953. Pada 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya
dibagi rata pada ahli warisnya.
Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut –
sebut juga disebabkan oleh
berdirinya rokok Minak Djinggo pada 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong,
adalah mantan agen Bal Tiga di Pati , Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada
Nirtisemito, Kho Djie Siong banyak mencari informasi rahasia racikan dan
  
10
startegi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen, teman sekolahnya di HIS Semarang
yang ternyata adalah menantu Nitisemito.
Minak Jinggo laku di pasaran dan pada 1932 memnidahkan markasnya
ke Kudus. Untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan produk baru,
yang diberi nama Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa
perusahaan rokok lain yang mampu bertahan hingga kini seperti rokok Djamboe
Bol milik H.A. Ma’Roef, rokok Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang
didirikan Oei Wie Gwan.
Pada 25 Agustus 1951, Oei Wie Gwan mendirikan perusahaan rokok
kretek Djarum di Kudus. Sebelumnya Oei Wie Gwan dikenal sebagai pengusaha
pabrik petasan dengan merek Leo di Rembang. Lantaran muncul larangan
membunyikan petasan, akhirnya ia menutup pabrik petasannya dan mendirikan
pabrik rokok Djarum tersebut. Pada 1955, Djarum mulai memperluas produksi
dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah menggunakan mesin
pelinting dan pengolah tembakau pada 1967.
Pada 1963, pabrik rokok Djarum terbakar hebat dan menderita banyak
kerugian. Lalu sesudah kematian Oei Wie Gwan, perusahaan rokok itu
diteruskan oleh dua orang anak lelakinya; Bambang Hartono dan Budi Hartono;
yang wkatu itu masih kuliah di Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri
Diponegoro, Semarang.
.
( Suryo Sukendro,2007. Filosofi Rokok
halaman 47
paragraf ke-1 )
2.2 PD Taru Martani
2.2.1 Sejarah PD Taru Martani
Pabrik cerutu PD Taru Martani yang kini telah berusia 95 tahun (1918 –
2013), memiliki sejarah penting bagi industri rokok di dalam negri. Perusahaan
rokok cerutu peninggalan Belanda yang berlokasi di Yogyakarta ini sempat
menikmati masa kejayaan dan juga cukup lama kembang kempis dalam
perjalanannya. Namun ditengah berbagai badai yang menimpa, PD Taru Martani
tetap berdiri, bahkan tetap ada tanda –
tanda untuk bangkit kembali dari
keterpurukan.
  
11
Taru berarti daun, sementara Martani berarti kehidupan. Jadi, Taru
Martani adalah daun yang memberi kehidupan. Itulah nama yang diberikan Sri
Sultan Hamengku
Buwono (HB) IX untuk pabrik cerutu yang berlokasi di
Baciro, Yogyakarta. Nama itu tidak sia – sia. Meski tak luput dilanda krisis yang
menerpa Indonesia serta pernah pula menghentikan ekspor ke mancanegara, dan
yang lebih hebat lagi dengan menggunakan alat –
alat kuno peninggalan
Belanda, pabrik cerutu ini tetap mempertahankan eksistensinya hingga kini
dengan mempekerjakan sekitar 356 karyawan.
Sejarah perusahaan cerutu Taru Martani dimulai tahun 1918 saat seorang
produsen cerutu dari Belanda mendirikan perusahaan cerutu perseorangan di
Yogyakarta. Lokasi awal perusahaan itu berada di daerah Bulu, pinggir jalan
Magelang Yogyakarta. Pada tahun 1921 lokasi dipindahkan ke Baciro, di jalan
Argolobang No. 2A Yogyakarta. Pada tahun yang sama usaha itu diubah
menjadi perseroan terbatas bernama N.V. Negresco.
Seiring dengan pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, N.V.
Negresco diambil alih oleh Pemerintah Jepang dan berganti nama menjadi “Jawa
Tobacco Kojo”. Produksinya mulai meluas, tidak hanya cerutu bermerek
Mizuho” dan “Koa”. Pemerintah Jepang mendatangkan mesin – mesin produksi
rokok putih dari B.A.T  Cirebon.
Saat pemerintahan Jepang jatuh tahun 1945, jawa Tobacco Kojo diambil
alih oleh Pemerintah RI. Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengganti nama
perusahaan itu menjadi “Taru Martani”diharapkan.Selama 14 tahun (1972 –
1986) perusahaan belum mendapatkan laba dan sebaliknya terus merugi. Melihat
kondisi tersebut pada tahun 1986 pihak Dauwe Egberts Tabaksmaatchappij BV
Holland menarik diri dari perusahaan. Mulai Juli 1986 PT. Taru Martani Baru
kembali menjadi Perusahaan Daerah (PD). Melihat kondisi keuangan perusahaan
yang sangat kritis, Pemerintah Daerah mencarikan pinjaman uang ke beberapa
bank. Akhirnya diperoleh pinjaman sebesar 700 juta rupiah dari Bank
Pembangunan Indonesia ( Bapindo ). Setelah mendapat suntikan dana,
perkembangan PD Taru Martani cukup menggembirakan, bahkan pada tahun
1989 mulai dapat mengekspor produknya ke mancanegara yaitu Belanda, Belgia,
dan Jerman serta Amerika Serikat. Saat ini dengan
kondisi perusahaan yang
  
12
terus berkembang PD Taru Martani sudah mulai merambah pasar Perancis,
republik Ceko, Taiwan dan Australia serta ASEAN.
( Michel, 2011.
Perancangan Ulang Identitas Visual Cerutu Lokal Ramayana, Desain
Komunikasi Visual, Bina Nusantara, Jakarta  halaman ke-13, paragraf ke-1  )
2.2.2 Produk PD Taru Martani
Menurut softcopy profil PD Taru Martani pada halaman 26
mengemukakan  beberapa produk dari PD Taru Martani, yaitu diantaranya:
Senator
Sebenarnya sejak tahun 1918 Taru Martani sudah memproduksi cerutu dengan
model dan ukuran yang sama dengan merek Senator, hanya secara resmi
penggunaan merek Senator baru dimulai pada tahun 1952. Cerutu Senator
generasi pertama diproduksi dengan model knak (lancip seperti peluru) yang
merupakan model orisinil cerutu dan dibuat dengan ukuan Royal.
Mundi Victor
Sama halnya dengan Senator, Mundi Victor Boheme juga diproduksi sejak tahun
1918. Tetapi mulai menggunakan merek Mundi Victor resminya adalah tahun
1952.
Adipati
Dalam perkembangannya, Taru Martani
mulai memproduksi cerutu dengan
“nama Indonesia”. Tahun 1972, dengan diproduksinya cerutu dengan merek
Adipati. Merek ini dibuat dalam 4 ukuran yaitu : Adipati Super Corona, Adipati
Patella, Adipati Slim Patella dan Adipati Half Corona.’
Ramayana
Pada tahun yang sama (1972) diproduksi juga cerutu Ramayana. Sedangkan
Ramayana dibuat dalam 9 ukuran yaitu : Ramayana Corona, Ramayana Super
Corona, Ramayana Senoritas, Ramayana Cigarillos, Ramayana Cuban Corona,
Ramayana Cuban Perfecto, Ramayana Rothschild, Ramayana Super Rothschild,
dan Ramayana Churchi;;.
Borobudur
Diilhami oleh ciri khas yang mengingatkan orang akan Indonesia serta
merupakan salah satu keajaiban dunia, Taru Martani memilih nama Borobudur
  
13
sebagai brand cerutu. Cerutu Borobudur mulai diproduksi tahun 1987. Merek ini
diproduksi untuk penikmat cerutu yang pemula.
2.3 Etiket Label Kretek
Pada
awal perdagangan rokok, merek memang belum dirasakan sebagai suatu
kebutuhan. Rokok klobot produksi Rara Mendut dan H. Djamhari misalnya, hadir tanpa
secara
eksplisit mencantumkan merek. Namun, seiring dengan bermunculannya
perusahaan – perusahaan rokok, merek lantas menjadi kebutuhan yang serius.
Sebagai benda budaya, etiket merupakan alat komunikasi visual. Melalui adanya
etiket, diharapkan khalayak akan tergugah kesadarannya untuk menjadi konsumen
yang memiliki brand awareness. Etiket, dengan demikian, selain merupakan karya
seni rupa, juga mengandung konsep komunikasi. Komunikasi yang dihasilkan dari
etiket rokok adalah semacam “promosi”, yang menjembatani perusahaan dan
konsumennya.
Gambar 03. Etiket Label
      Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Dalam bentuk lahiriah, etiket rokok adalah seni visual. Etiket adir dalam bidang
desain grafis, yang berwujud gambar reklame yang ditempelkan pada kemasan. Unsur
  
14
visual yang hadir pada etiket rokok adalah bentuk simbolik dalam ruang lingkup
kebudayaannya, tepatnya “simbol pengungkap perasaan” atau “simbol ekspresif”.
Bentuk penandaannya sebagian besar ikonik. Artinya, masih dapat dilacak pertautan
pembentukannya dengan benda yang dijadikan sebagai objeknya. Walau demikian, pada
etiket rokok terdapat juga bentuk –
bentuk yang telah mengalami simbolisasi; dengan
kata lain merefleksikan makna – makna yang selalu tidak terkait.
Gambar 04. Etiket Label
       Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Pada etiket lama, desain dibuat secara manual dengan menggunakan peralatan seperti
pena, trekpen, mistar, jangka, kuas dan pensil. Mula – mula dibuat rancangannya di atas
kertas gambar berwarna putih dengan tinta Cina. Dalam kurun waktu 1940-an  hingga
1960-an teknik pencetakan dikerjakan dengan memakai teknik sederhana seperti teknik
handpress.
( Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya halaman ke-96,
paragraf ke-1 )
                  
2.3.1 Latar Pemberian Merek dan Logo
Makna yang terkandung dalam merek bertalian dengan beragam aspek,
diantaranya adalah aspek keyakinan, filosofi, memori, keakraban, dan inspirasi.Di
dalam merek tersebut terkandung harapan –
harapan, yang diyakini bisa
menimbulkan dampak positif bagi perusahaannya. 
  
15
Gambar 05. Etiket Label
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Pada rokok cap Wismilak, logo bergambar orang tua maksudnya adalah agar
perusahaan ini panjang usa. Empek tersebut digambarkan tengah membawa tongkat
dan buah yang bermakna orang yang bekerja keras akan mendapatkan hasilnya.
Nama Wismilak itu sendiri diilhami oleh judul lagu pada sekitar Perang Dunia I (
1914 –
1918 ), yakni “Wish Me Luck”,
penulisannya diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “Wismilak”.
Pada merek rokok pesaing Bentoel, dikisahkan bahwa merek baru ini ilhamnya
diperoleh pendirinya, Ong Hok Liong, lewat mimpinya yang bertemu penjual bentul
ketika berziarah ke Gunung Kawi.
Tak jauh berbeda dari  Bentoel, Gudang Garam juga memperoleh nama merek
rokoknya dari mimpi. Dahulu, Tjoa Ing Hwie bermimpi bahwa ia melihat gudang
garam tua di dekat tempat ia bekerja. Dari mimpinyalah tercetus nama ide “Gudang
Garam” sebagai merek rokoknya.
( Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas
Budaya, halaman ke-101, paragraf ke-1 )
2.3.2 Kategorisasi Ragam Merek 
Merek adalah suatu ruang kreatif. Pemilik perusahaan, megekspresikan daya
kreatifnya pada merek dan logo rokok produksinya.
Dalam hal ini, teknik
yang
analisis yang dipakai adalah kategorisasi, yakni pengelompokan sejumlah merek
rokok menurut kategori tertentu.
  
16
Gambar 06. Etiket Label
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Menurut Indriyanto (2001) ada 10 kategori etiket rokok produksi tahun 1930 –
1970-an, yaitu : 
1.
Peralatan/ benda
2.
Buah
3.
Tumbuhan
4.
Binatang
5.
Alam
6.
Bangunan fisik
7.
Tokoh wayang
8.
Orang/ tokoh
9.
Aktivitas manusia
10. Dan lain – lain
Umumnya merek –
merek rokok yang mengambil nama – nama tumbuhan, dapat
dijumpai di alam tropis, tepatnya di lingkungan pedesaan Jawa. Selain itu, nama –
nama binatang yang digunakan, terutama unggas, umumnya termasuk binatang yang
dipelihara atau hidup di alam bebas Nusantara, sehingga tidak asing bagi khalayak
Indonesia.
  
17
Gambar 07. Etiket Label
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Gambar 08. Etiket Label
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
  
18
Yang menarik adalah adanya cukup banyak merek rokok yang berkenaan dengan
perasaan, sifat, dan keadaan psikologis, serta faktor sosio-budaya setempat.
Dari aspek isi, gaya penuturan, ejaan, maupun panjang teks, terkesan bahwa teks
iklan –
iklan rokok sebelum tahun 1950-an cenderung berupa kalimat –
kalimat
pernyataan dan penjelasan yang panjang. Hal ini antara lain terlihat pada iklan Rokok
Klembak-Menjan (1927), rokok kretek Tjap Djoela-Djoeli Bintang Tiga (1928), Tjap
Bromo (1932), Tjap Kembang Gondokoesoemo (1933), Tjap Tidar (1935), dan Tjap
Dieng (1935). 
Awalnya pengiklanan hanya memakai cara –
cara persuasif secara lisan.
Misalnya, lewat promosi lisan yang tersirat dalam pembicaraan, penitipan pesan
lewat orang lain. Namun, cara yang paling spektakuler adalah melalui penyebaran
pamflet dengan pesawat terbang.
Gambar 09. Etiket Label
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Bahasa yang digunakan pada iklan biasanya bahasa Melayu Pasar, sedangkan
kalimatnya bergaya lugas. Contohnya ada pada kretek Tjap Bal Tiga (1936) dimana
teksnya berbunyi “Rokok kretek bikinan awak sendiri jang soedah terkenal lama”.
Ada juga iklan rokok yang menggunakan bahasa Jawa. Misalkan pada iklan rokok
  
19
Tjap Bratajoeda (1932) yang menggunakan kalimat promosi berbahasa Jawa halus
“Poeniko ingkang njoto sanget Adamel Marem dasar bersih sarto goerih”. 
Gambar 10. Etiket Label
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Gambar 11. Etiket Label
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
  
20
Gambar 12. Etiket Label
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Gambar 13. Etiket Label
Sumber : Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
  
21
Selain itu, ada sejumlah merek rokok yang nama atau logonya dibuat serupa
dengan rokok lain, khususnya merek rokok yang sudah terkenal. Dapat dilihat pada
contoh berikut : Tjap Topeng (mirip Topeng Mas), Tjap Gentong (mirip Gentong
Gotri), Dji Sam Soe 234 diikuti oleh 342, Gudang Garam diikuti oleh Gudang Baru. .
( Badil, 2011, Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya, halaman ke-111, paragraf
ke-5 )
2.4 Sumber Data
Berikut adalah beberapa referensi dari literatur buku yang dimana kutipannya
digunakan untuk data yang akurat.
2.4.1 Literatur Buku
1.
Rudy Badil, ( 2011 ). Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya. Jakarta:
Gramedia.
Pada halaman 39, paragraf ke-1 berkata bahwa: “Penelitian van Der Rrjiden
(1934), seorang tukang linting bisa menghasilkan 5-6 batang kretek setiap menit,
rata –
rata 270 batang tiap jam. Dengan durasi kerja antara pukul 07.00-17.00
WIB, diselingi waktu istirahat satu jam, tiap sembilan jam per hari, pelinting
mampu menghasilkan 1.000 hingga 1.200 batang.” 
Pada halaman 100, paragraf ke-2  berkata bahwa: “Warna etiket –
etiket rokok
dan kombinasinya tergolong sederhana. Hanya menggunakan 2 atau 3 jenis warna
pokok (primer). Kebanyakan etiket rokok menampilkan warna merah yang secara
filosofis mengandung makna “keberanian”.
2.
Suryo Sukendro, ( 2007 ). Filosofi Rokok. Yogyakarta : Pinus
Pada halaman 31 paragraf ke-1 mengatakan bahwa “Awal mula perkenalan dunia
pada tembakau dan kebiasaan merokok tak bisa dilepaskan dari peristiwa
penemuan benua Amerika oleh para pelaut Spanyol dibawah pimpinan Christoper
Colombus (1451 – 1506) pada 1492.” 
 
3.
Ratih Kumala, ( 2012 ). Gadis Kretek. Jakarta : Gramedia
Pada halaman 60 paragraf ke-3 menyebutkan proses pembuatan klobot, yaitu:
“Moeria mengayuh kembali sepedanya ke rumah, menurunkan daun jagung. Ia
  
22
meminjam setrika arang milik simboknya, lalu dengan penuh hati –
hati
disetrikanya daun jagung yang telah kering itu. Setelah itu, ia menggunting satu
per satu lembaran daun jagung tadi, dan jadilah klobot.” 
4.
Abmi Handayani, ( 2012 ). Perempuan Berbicara Kretek. Jakarta: Indonesia
Berdikari
Pada halaman 225 paragraf ke-3 menyatakan tentang asal muasal bahan baku
rokok, yaitu: “Seakan kretek memang adalah simbol dari Bhinneka Tunggal Ika.
Tembakaunya berasal dari Temanggung, Madura, Jember, Deli dan banyak daerah
lain di Indonesia. Cengkehnya berasal dari Maluku, sausnya merupakan warisan
budaya suku Bugis.” 
5.
Lawrence Zeegen, ( 2005 ). The Fundamentals of Illustration. Inggris: AVA 
6.
Softcopy profil PD Taru Martani 1918 Cigar Van Java
7.
Patricia Aufderheide, (2007). Documentary Film. Inggris: Oxford
2.4.2 Wawancara
Berikut adalah data wawancara dengan narasumber bagian personalia PD Taru
Martani, Mbak Freny.
PD Taru Martani
Penulis : Siapa sasaran penjualan produk cerutu ?
Nara sumber : Konsumen dari produk cerutu terdapat di dalam dan di luar
negeri
Penulis : Ada berapa jenis cerutu yang diproduksi ?
Nara sumber : Ada 6 jenis cerutu, yaitu merk seri Ramayana, Adipati,
Panter, Mundi Victor, Senator dan Borobudur.
Penulis : Tahun berapa pengemasan mulai dilakukan ?
Nara sumber : Sebetulnya sejak pertama kali memproduksi cerutu,
pengemasan sudah mulai dilakukan walaupun hanya sederhana.
Pengemasan dengan menggunakan merk pertama kali pada produksi
tahun 1945 – 1948 yaitu cerutu merk “Daulat” dan rokok putih “Abadi”.
  
23
Penulis : Kesan apa yang ingin diciptakan oleh perusahaan kepada
konsumen dengan kemasan produk cerutu ?
Nara sumber : Produk cerutu itu kan produk yang sudah lama ada, sejak
jaman Belanda masih berkuasa di Indonesia, jadi mungkin kesan yang
ingin dibangun dengan kemasan kepada konsumen adalah kesan
tradisional atau klasik. Saya kira produk cerutu kalau dikemas dengan
pengemasan modern seperti sekarang, ciri khasnya malah akan hilang.
Penulis : Mengapa dalam kemasan digunakan teknik gambar manual
dalam membuat ilustrasinya (tidak menggunakan teknik fotografi) ?
Nara sumber : Seperti sudah saya katakan sebelumnya, bahwa produk ini
bersifat klasik, maka pengemasan modern mungkin tidak akan
menguntungkan terhadap produk.
Penulis : Apakah ada keinginan perusahaan untuk mengubah kemasan
produk, atau mempertahankan kemasan yang sudah ada ?
Nara sumber : Saya kira dengan kemasan produk yang sudah ada
sekarang pagsa pasarnya sudah cukup bagus. Hal ini mungkin konsumen
sudah terlanjur mengetahui bahwa ciri khas produk kami adalah kemasan
yang seperti sekarang. Kami malah takut bahwa nantinya bila kami
mengganti kemasan yang sudah ada konsumen kami tidak akan mengenali
produk kami lagi.
2.5 Survey Langsung
Berikut adalah dokumentasi pribadi yang dilakukan ketika melakukan survey
langsung di beberapa tempat seperti PD Taru Martani, HM Sampurna serta Komunitas
Kretek. Karena penulis tidak diperbolehkan masuk ke produksinya, maka penulis hanya
diperbolehkan untuk wawancara serta foto produk dan eksterior perusahaan
  
24
2.5.1 PD Taru Martani
Gambar 14. Kantor PD Taru Martani tampak depan
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 15. Papan nama PD Taru Martani tampak depan
Sumber : Dokumentasi Pribadi
  
25
Gambar 16.  Gerbang pintu masuk PD Taru Martani
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 17.  Kantin + Koperasi PD Taru Martani
Sumber : Dokumentasi Pribadi
  
26
Gambar 18.  Kumpulan tempat cerutu koleksi baru yang akan diekspor ke Amerika
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 19. Kumpulan tempat cerutu model lama
Sumber : Dokumentasi Pribadi
  
27
Gambar 20. Kumpulan produk cerutu di koperasi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
2.5.2 HM Sampurna ( Mitra Adi Jaya )
Gambar 21. Gerbang PT Mitra Adi Jaya dari luar
Sumber : Dokumentasi pribadi
  
28
Gambar 22. Suasana penjual ketika buruh sedang waktunya isitirahat
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 23. Papan nama PT Mitra Adi Jaya tampak depan
Sumber : Dokumentasi Pribadi
  
29
2.5.3 Komunitas Kretek
Gambar 24. Papan nama Komunitas Kretek Yogyakarta
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 25. Sekretariat Komunitas Kretek Yogyakarta
Sumber : Dokumentasi Pribadi
  
30
2.6 Analisa
Dahulu, pada awalnya etiket label memang tidak terlalu berpengaruh dalam
penjualan rokok kretek, bahkan penjualan hanya dicapai dari promosi tiap individu.
Namun seiring dengan munculnya persaingan produk rokok kretek yang lain, etiket
label kemudian menjadi hal yang sangat esensial, karena melalui merek etiket label
inilah para konsumen dapat melihat tak hanya identitas tapi juga brand image
dari
produk si rokok kretek itu sendiri. Dalam kurun waktu 40 tahun, sekitar tahun 1930-an
hingga 1970-an yang merupakan masa – masa keemasan para pengusaha rokok kretek,
hal ini dapat dilihat dari banyaknya label etiket rokok kretek yang ada. Masing – masing
dari pengusaha rokok kretek saling berlomba untuk mengemas rokok kretek unggulan
dengan tag line yang paling menjanjikan
dan menjual di khalayak umum. Ini
membuktikan bahwa brand image
maupun packaging
dapat mengangkat presentasi
penjualan suatu produk.
2.7 S.W.O.T
2.7.1 Strength ( Kekuatan )
Mengangkat budaya lokal di mata publik
Menginformasikan kembali khalayak umum mengenai sejarah dan
perkembangan rokok Jawa tempo dulu
Mengajak audiens untuk lebih mengenal jenis dan aneka ragam rokok, baik
itu kretek maupun cerutu Jawa tempo dulu
2.7.2 Weakness ( Kelemahan )
Rokok mempunyai kesan negatif di mata publik
Kurang tepat ditayangkan untuk  anak – anak yang dibawah umur
Film dokumenter umumnya identik dengan monoton dan jenuh
2.7.3 Opportunity ( Kesempatan )
Film animasi dokumenter dapat ditayangkan untuk pembelajaran sejarah
Masih banyak kolektor atau penggemar produk lokal tempo dulu
Turut mengkampanyekan pelestarian budaya lokal
  
31
2.7.4 Threat ( Ancaman )
Publik cenderung jenuh dengan jenis film dokumenter yang membosankan
dengan alur yang lambat
Rokok yang memiliki kesan negatif kurang pantas ditayangkan untuk anak –
anak yang dibawah umur; harus dibawah pengawasan orangtua
2.8 Sasaran dan Tujuan
  Sasaran dan tujuan dari film dokumenter animasi ini adalah remaja –
dewasa
dengan kisaran umur sekitar 30 - 35 tahun.