8
KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN RANCANGAN
HIPOTESIS
Menurut Mathis dan Jackson (2006), Manajemen Sumber Daya Manusia
(MSDM) adalah suatu sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan
penggunaan bakat dan kompentensi manusia secara efektif dan efisien guna
mencapai tujuan-tujuan organisasi.
Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia menurut Hasibuan (2003)
adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan
efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.
Manajemen Sumber daya Manusia adalah bidang manajemen yang khusus
mempelajari hubungan dan peranan manajemen manusia dalam organisasi
perusahaan.
Berdasarkan Veithzal Rivai (2009), Manajemen Sumber Daya Manusia
merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Proses ini terdapat
dalam fungsi atau bidang produksi, pemasaran, keuangan, maupun kepegawaian.
Karena sumber daya manusia dianggap semakin penting perannya dalam pencapaian
tujuan perusahaan, maka berbagai pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang
SDM dikumpulkan secara sistematis dalam apa yang disebut manajemen sumber
daya manusia.
Menurut Dessler (2003) Sumber daya manusia adalah kebijakan dari praktik
yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan aspek orang atau SDM dari posisi
seorang manajemen, meliputi perekrutan, penyaringan, pelatihan, pengimbalan dan
penilaian.
Jadi, berdasarkan beberapa definisi yang diatas, manajemen sumber daya manusia
dapat disimpullkan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengontrolan terhadap sumber daya manusia dalam organisasi untuk mencapai
tujuan secara efektif dan efisien.
|
9
Budaya organisasi telah diketengahkan sebagai nilai-nilai, prinsip-prinsip,
tradisi, dan cara-cara bekerja yang dianut bersama oleh para anggota organisasi dan
memengaruhi cara mereka bertindak. Dalam kebanyakan organisasi, nilai-nilai dan
praktik-praktik yang dianut bersama ini telah berkembang pesat seiring dengan
perkembangan zaman dan benar-benar sangat memengaruhi bagaimana sebuah
organisasi dijalankan. Stephen P.Robbins dan Mary Coulter (2009).
Menurut Robbins dan Timothy (2008:511), kultur organisasi mengacu pada
sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan
organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini, ketika
dicermati secara lebih saksama adalah sekumpulan karakteristik kunci yang
dijunjung tinggi oleh organisasi.
Greenberg dan Baron (2003:515) mendefinisikan budaya organisasi sebagai
kerangka kognitif yang terdiri dari sikap, nilai-nilai, norma-norma, perilaku, dan
harapan bersama oleh anggota organisasi. Pada akar budaya organisasi tersimpan
seperangkat karakteristik inti yang dihargai secara kolektif oleh anggota dalam suatu
organisasi.
Menurut McShane dan Von Glinow (2003:498) budaya organisasi adalah pola
dasar asumsi bersama, nilai-nilai dan keyakinan yang dianggap sebagai cara yang
benar memikirkan dan bertindak atas masalah dan peluang yang dihadapi organisasi.
Budaya organisasi mendifinisikan apa yang penting dan apa yang tidak penting
didalam perusahaan.
Penelitian
Robbins dan Judge
(2008:511) menunjukkan bahwa ada tujuh
karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah
organisasi:
1.
Inovasi dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan didorong
untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
2.
Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan
presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
|
![]() 10
3.
Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang
pada teknik dan proses yang digunakan umtuk mencapai hasil tersebut.
4.
Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam
organisasi.
5.
Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasikan pada tim
ketimbang pada individu-individu.
6.
Keagresifan.
Sejauh mana orang bersifat agresif dan kompetitif ketimbang
santai.
7.
Stabilitas.
Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik ini berada di suatu kontinum mulai dari rendah
sampai tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh karakteristik
ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai kultur sebuah organisasi.
Gambar ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki
oleh anggota tentang organisasi.
Menurut Greenberg dan Baron (2003:515) pada akar budaya organisasi tersimpan
seperangkat karakteristik inti yang dihargai secara kolektif oleh anggota dalam suatu
organisasi.
Nilai-Nilai inti organisasi yang dicerminkan dalam budaya
Organisasi dapat dibedakan melalui nilai-nilai yang mendasari organisasi itu sendiri,
seperti yang diringkaskan di bawah ini:
1. Kepekaan terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan
2. Minat dalam memiliki karyawan yang menghasilkan ide-ide baru
3. Kemauan untuk mengambil resiko
4. Nilai yang ditempatkan pada orang
5. Opsi keterbukaan komunikasi yang tersedia
6. Keramahan dan Pengertian karyawan terhadap satu sama lain
Sumber: Greenberg dan Baron
|
![]() 11
Menurut McShane dan Von Glinow (2003:498) elemen dari budaya
organisasi meliputi:
Artifacts of organizational culture
Physical Structure
Rituals and Ceremonies
Stories and Legends
Language
Organisation Culture
Beliefs
Values
Assumptions
Sumber : McShane dan Von Glinow
Dapat dilihat bahwa asumsi, nilai-nilai dan kepercayaan yang merepresentasikan
suatu budaya organisasi beroperasi di bawah permukaan perilaku organisasi. Mereka
tidak bisa diobservasi secara langsung, namun efeknya di mana-mana.
Asumsi merepresentasikan bagian paling mendalam dalam sebuah budaya organisasi
karena asumsi dilakukan secara tidak sadar dan terkadang disia-siakan.
Fungsi budaya organisasi menunjukan peranan atau kegunaan dari budaya
organisasi. Menurut Greenberg dan Baron (2003) fungsi budaya organisasi adalah:
1.
Budaya memberikan rasa identitas
Semakin jelas persepsi dan nilai-nilai bersama organisasi didefinisikan,
semakin kuat orang dapat disatukan dengan misi organisasi dan merasa
menjadi bagian penting darinya.
2.
Budaya membangkitkan komitmen pada misi organisasi
Kadang-kadang sulit bagi orang untuk berpikir di luar kepentingannya
sendiri, seberapa besar akan memengaruhi dirinya. Tetapi apabila terdapat
strong culture, orang akan merasa bahwa mereka menjadi bagian dari yang
besar, dan terlibat dalam keseluruhan kerja organisasi. lebih besar dari setiap
|
![]() 12
kepentingan individu, budaya mengingatkan orang tentang apa makna
sebenarnya organisasi itu.
3.
Budaya memperjelas dan memperkuat standar perilaku
Budaya membimbing kata dan perbuatan pekerja, membuat jelas apa yang
harus dilakukan dan kata-kata dalam situasi tertentu, terutama berguna bagi
pendatang baru. Budaya mengusahakan stabilitas bagi perilaku, keduanya
dengan harapan apa yang harus dilakukan pada waktu yang berbeda dan juga
apa yang harus dilakukan individu yang berbeda disaat yang sama. Suatu
perusahaan dengan budaya yang kuat mendukung kepuasan pelanggan,
pekerja mempunyai pedoman tentang bagaimana harus perilaku.
Sumber: Stephen Robbins / Mary Coulter
Menurut Robbins dan Coulter (2009), budaya asli diturunkan dari falsafah
pendiri. Hal ini, nantinya, berpengaruh kuat pada kriteria yang digunakan dalam
proses pengupahan. Tugas manajemen puncak adalah menetapkan pengharapan
umum seperti apa sikap yang dapat diterima dan apa yang tidak. Proses sosialisasi,
jika berhasil, akan menyesuaikan nilai-nilai karyawan baru pada organisasi selama
proses seleksi dan memberikan dukungan penting ketika para karyawan telah
bergabung.
Manajemen
Puncak
Budaya
Organisasi
Falsafah
Pendiri
organiassi
Kriteria
seleksi
Sosialisasi
|
13
Menurut Greenberg dan Baron (2003:519) sistem mengkategorikan variasi
budaya organisasi disebut dengan Double S cube. Nama ini muncul dengan adanya
fakta bahwa pendekatan yang dilakukan mencirikan budaya organisasi melalui dua
dimensi independen, dimana kedua dimensi tersebut dimulai dengan huruf S-
Sociability and Solidarity.
Dengan mengkombinasikan tinggi dan rendahnya tingkat kedua dimensi
tersebut, empat tipe dasar budaya organisasi dapat dikembangkan. Kemudian
menyadari bahwa masing-masing dari keempat budaya organisasi memiliki kualitas
yang positif dan negatif oleh karena itu dimensi ketiga telah ditetapkan.
The sociability Dimension: Dimensi pertama, sociability, mengukur tingkat
keramahan dari anggota organisasi. Diantara hal-hal yang diperhatikan oleh seorang
anggota baru organisasi dalam sebuah perusahaan, hal pertama yang diperhatikan
adalah tingkat keramahan orang-orang yang ada di dalamnya. Sebagian ada yang
sangat ramah dan memiliki anggota yang suka bersosialisasi dan pergi keluar
bersama-sama (high sociability). Yang lain, sebaliknya, terdiri dari orang-orang yang
sebagian besar menahan diri dari bersosialisasi dan lebih nyaman untuk menyendiri
(low sociability).
Sociability
memiliki sisi negatif dan positif. Sisi positifnya adalah, Keramahan
membantu meningkatkan kreatifitas karena mendorong orang untuk bekerja sama
dalam sebuah kelompok dan berbagi informasi, membuat para anggota terbuka
dengan ide-ide baru. Sisi negatif
nya adalah, tinggi nya tingkat sociability dapat
menyebabkan anggota organisasi untuk membentuk suatu grup informal yang sangat
dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, anggota
dengan tingkat keramahan yang tinggi terkadang enggan untuk tidak menyetujui dan
mengkritik sesama anggota kelompoknya.
The Solidarity Dimension: Dimensi kedua, solidarity, fokus pada sejauh
mana anggota organisasi memiliki pemahaman yang sama atas pekerjaan dan tujuan
organisasi mereka. Polisi dalam mengejar seorang kriminal dan ahli bedah dalam
melakukan operasi memiliki tingkat solidaritas yang tinggi karena mereka mereka
cenderung untuk tetap bersatu dalam cara yang sangat terfokus untuk mencapai
tujuan yang telah disepakati. Sering kali ditemukan dimana anggota bekerja sama
|
14
dalam suatu tugas namun mereka memiliki fokus yang saling berbeda. Kelompok
dengan solidaritas rendah seperti ini dapat ditemukan ketika sebuah komite terdiri
dari individu yang memiliki minat/kepentingan
yang rendah terhadap tugas yang
sedang dikerjakan.
Tingginya tingkat solidaritas dapat bermanfaat ketika harus menyelesaikan pekerjaan
yang sangat penting. Tetapi pada saat yang sama, tingkat solidaritas yang tinggi
dapat menyebabkan perbedaan terhadap orang-orang yang tidak termasuk dalam
kelompok tersebut.
Robbins dalam Wibowo (2010:27) mengelompokkan tipe budaya menjadi
networked culture, mercenary culture, fragmented culture dan communal culture.
Penetapan tipe budaya tersebut dilakukan dengan menarik hubungan antara tingkat
sosiabilitas dan solidaritas. Dimensi sosiabilitas ditandai oleh tingkat persahabatan
terutama ditemukan diantara anggota organisasi. Adapun dimensi solidaritas ditandai
oleh tingkat dimana orang
dalam organisasi berbagi pengertian bersama tentang
tugas dan tujuan untuk apa mereka bekerja.
1. Network culture:
Organisasi memandang anggota sebagai suatu keluarga dan
teman (high on sociability, low on solidarity).
Budaya ini ditandai oleh tingkat
sosiabilitas atau kesenangan bergaul tinggi dan tingkat solidaritas atau
kesetiakawanan rendah. Orang cenderung membiarkan pintunya terbuka, berbicara
tentang bisnis secara bebas, kebiasaan informal, dan menggunakan banyak waktu
untuk sosialisasi. Orang biasanya saling mengetahui satu sama lain dengan cepat dan
merasa bahwa mereka adalah bagian dari anggota kelompok.
2. Mercenary Culture: organisasi memfokus pada tujuan (low on sociability, high
on solidarity).
Budaya organisasi ini ditandai oleh tingkat sosiabilitas rendah dan
tingkat solidaritas tinggi. Mercenary culture melibatkan orang yang sangat fokus
dalam menarik dalam melakukan pekerjaan. Komunikasi cenderung cepat.
Kemenangan adalah segalanya dan orang didorong untuk melakukan pekerjaan
berapa lama pun waktu yang diperlukan untuk membuatnya terwujud.
3. Fragmented Culture:
Organisasi yang dibuat dari para individualis (low on
sociability, low on solidarity). Budaya ini ditandai oleh solidaritas dan sosiabilitas
rendah. Orang yang bekerja dalam fragmented culture sedikit melakukan kontak dan
|
![]() 15
dalam banyak hal mereka bahkan tidak saling mengenal. Orang akan berbicara
dengan orang lain apabila dirasakan perlu dan berguna untuk melakukannya.
4. Communal
Culture: Organisasi menilai baik persahabatan dan kinerja (high on
sociability, high on solidarity).
Budaya ini ditandai oleh sosiabilitas dan solidaritas
tinggi. Anggota communal culture sangat bersahabat satu sama lain dan bergaul
dengan baik, baik secara pribadi maupun professional. Komunikasi mengalir dengan
sangat mudah diantara orang pada semua tingkatan organisasi dan dalam semua
bentuk. Setiap orang sangat bersahabat sehingga tidak ada perbedaan antara
pekerjaan dan bukan pekerjaan. Pekerja sangat kuat mengidentifikasi dengan
communal organization. Mereka mengenakan logo perusahaan, mereka hidup dalam
kepercayaan perusahaan dan mereka sangat membela perusahaan ketika berbicara
dengan orang luar.
Sumber: Robins dalam Wibowo
Robbins dan Judge
(2008), Kultur yang kuat memiliki dampak yang lebih
besar terhadap perilaku karyawan dan lebih terkait langsung dengan menurunnya
perputaran karyawan. Dalam kultur yang kuat, nilai-nilai inti organisasi dipegang
teguh dan dijunjung bersama. Semakin banyak anggota yang menerima nilai-nilai
inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap berbagai nilai itu, semakin kuat
|
![]() 16
kultur tersebut. Selaras dengan definisi ini, kultur yang kuat akan memiliki pengaruh
yang besar terhadap perilaku anggota-anggotanya karena kadar kebersamaan dan
intensitas yang tinggi menciptakan suasana internal berupa kendali perilaku yang
tinggi.
Salah satu hasil spesifik dari kultur yang kuat adalah menurunnya tingkat
perputaran karyawan. Kultur yang kuat menunjukkan kesepakatan yang tinggi antar
anggota mengenai apa yang diyakini organisasi. Keharmonisan tujuan semacam ini
membangun kekompakan, loyalitas, dan komitmen keorganisasian. Sifat-sifat ini,
pada gilirannya, memperkecil kecenderungan karyawan untuk meninggalkan
organisasi.
Menurut Robbins dan Coulter (2010) berikut perbedaan budaya kuat dengan
budaya lemah :
Budaya Kuat
Budaya Lemah
Nilai-nilai diterima secara luas
Nilai-nilai hanya dianut oleh segolongan
orang
saja di dalam organisasi,biasanya
kalangan manajemen puncak
Budaya memberikan pesan yang
konsisten kepada para karyawan
mengenai apa yang dipandang berharga
dan penting
Budaya memberikan pesan yang saling
bertolak-belakang mengenai apa yang
dipandang berharga dan penting
Para karyawan sangat mengidentikkan
jati diri mereka dengan budaya
organisasi
Para karyawan tidak begitu peduli dengan
identitas budaya organisasi mereka
Terdapat kaitan yang erat diantara
penerimaan nilai-nilai dan perilaku para
anggota organisasi
Tidak ada kaitan yang kuat diantara nilai-
nilai dan perilaku para anggota organisasi
Sumber: Robbins & Coulter
|
17
Greenberg dan Baron (2003:528) mengatakan, dunia dimana semua
organisasi beroperasi selalu berubah-ubah. Peristiwa eksternal seperti pergeseran
kondisi pasar, teknologi baru, perubahan pada peraturan pemerintah, dan banyak
faktor lain nya yang berubah dengan pergantian waktu, mengharuskan suatu
organisasi untuk mengubah cara dia melakukan bisnis, dan oleh karena itu mengubah
budayanya juga.
Composition of the workforce: Dari waktu ke waktu, orang yang memasuki sebuah
organisasi akan berbeda-beda dengan orang yang sudah ada didalamnya, dan
perbedaan ini dapat menimpa budaya yang sudah ada dalam organisasi. Contohnya,
orang dari kelompok etnis yang berbeda atau latar belakang budaya yang berbeda
memiliki padangan yang kontras mengenai aspek-aspek perilaku dalam bekerja,
memiliki pandangan yang berbeda mengenai cara berpakaian, dan pentingnya untuk
selalu berada tepat waktu. Dengan kata lain, ketika orang-orang dengan nilai-nilai
dan latar belakang yang berbeda masuk kedalam organisasi, perubahan dalam budaya
organisasi dapat diharapkan.
Mergers and Acquisitions: Peristiwa dimana suatu organisasi membeli atau
menyerap organisasi lain. Ketika ini terjadi, akan dilakukan analisa yang sangat hati-
hati terhadap keuangan dan asset material organsasi yang diakuisisi. Namun, sangat
jarang bahwa petimbangan apapun diberikan kepada budaya organisasi yang di
akuisisi. Ini sangat disayangkan, karena telah ada beberapa kasus dimana
penggabungan dua organisasi yang tidak kompatibel telah menyebabkan masalah
serius disebut sebagai culture clashes. Seperti yang bisa anda bayangkan, kehidupan
dalam perusahaan dengan budaya yang tidak kompatibel cenderung berkonflik, dan
sangat mengganggu, sering menghasilkan argumen dan perbedaan pendapat.
Planned Organisational Change: Sebuah perusahaan dapat memutuskan untuk
merubah budayanya untuk memecahkan masalah. Perubahan budaya organisasi juga
dapat disebabkan ketika perusahaan memutuskan untuk merubah struktur internal
atau operasi dasar organisasi. Ketika organisasi telah sampai pada keputusan ini,
banyak praktek-praktek di perusahaan yang mencerminkan dan berkontribusi
terhadap budaya organisasi dapat berubah.
Responding to the internet: Tidak dapat dipungkiri bahwa internet menjadi salah
satu pengaruh terbesar terhadap budaya organisasi sekarang ini. Dibandingkan
dengan bisnis tradisional, dimana semua bergerak dengan lambat dan skeptic, budaya
|
18
internet sangat lincah, begerak dengan cepat, dan reseptif terhadap solusi-solusi baru.
Berbagi informasi adalah kunci, dimana organisasi tidak hanya menerima namun
menyerap jaringan komunikasi yang lebih luas dan hubungan bisnis dengan melintasi
batas-batas organisasi.
Untuk menyimpulkan, jelas bahwa meskipun budaya organisasi pada
umumnya stabil, namun budaya organisasi tidak tetap/abadi. Pada kenyataannya
budaya sering berkembang dalam menanggapi kekuatan eksternal (contoh:
perubahan pada komposisi tenaga kerja, dan teknologi informasi) serta dalam upaya
untuk mengubah desain organisasi (contoh: melalui merger dan perubahan struktur
perusahaan). Aspek penting dari budaya dimana organisasi sering kali berusaha
untuk mengubah adalah cara organisasi melakukan pendekatan terhadap masalah
dengan kreatif dan inofatif.
Menurut Robbins & Coulter (2009)
kepuasan kerja adalah sikap umum
terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah
penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya
mereka terima.
Menurut Kalleberg (1977) dalam
Tricia A. Seifert dan Paul D. Umbach
(2006) kepuasan kerja mengacu pada orientasi afektif secara keseluruhan pada
individu terhadap peran yang saat ini mereka duduki.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006:121), kepuasan kerja
merupakan keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi
pengalaman kerja seseorang.
Menurut Luthans (2005), Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang
merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang.
Menurut Robins & Judge (2007), kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai
perasaan positif terhadap pekerjaan mereka yang dihasilkan dari evaluasi
karakteristik. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memegang
|
19
perasaan positif terhadap pekerjaan mereka, sememtara orang yang tidak puas
memegang perasaan negatif terhadap pekerjaan mereka.
Menurut Greenberg dan Baron (2003:148), kepuasan kerja dapat
didefinisikan sebagai perilaku positif atau negative seseorang terhadap pekerjaannya.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap
dan perasaan positif yang dirasakan oleh karyawan karena mereka telah melakukan
pekerjaan dengan baik dan mendapatkan penghargaan yang sesuai dengan apa yang
telah dia lakukan.
Greenberg dan Baron (2003:151), Meskipun orang memiliki banyak perilaku
yang berbeda terhadap beberapa aspek dari pekerjaannya, ini tidak mudah untuk di
nilai. Karena perilaku tidak dapat di observasi secara langsung dan kita tidak dapat
menyimpulkan keberadaannya berdasarkan perilaku seseorang.
Oleh karena itu kita harus mengandalkan apa yang orang katakan untuk menentukan
perilaku mereka. Berikut adalah beberapa teknik yang dapat digunakan untuk meilai
kepuasan kerja seseorang:
Rating Scale and Questionnaires:
Pendekatan yang paling sering digunakan untuk
mengukur kepuasan kerja melibatkan penggunaan kuesioner yang dispesialisasikan
dengan skala
rating yang harus di lengkapi. Menggunakan metode ini, orang
menjawab pertanyaan yang memungkinkan mereka untuk melaporkan reaksi mereka
terhadap pekerjaan mereka. Beberapa skala yang berbeda telah dikembangkan untuk
tujuan ini, dan ini sangat bervariasi dalam bentuk dan ruang lingkup.
Salah satu instrumen popular yang digunakan adalah Job Descriptive Index (JDI).
Sebuah kuesioner dimana orang menunjukkan apakah beberapa kata sifat
menggambarkan aspek tertentu dari pekerjaan mereka. Pertanyaan pada JDI
menangani lima aspek yang berbeda dari pekerjaan: pekerjaan itu sendiri, gaji,
kesempatan promosi, supervisi, dan orang-orang (co worker).
Critical Incidents:
Teknik kedua yang digunakan untuk menilai kepuasan kerja
adalah dengan menggunakan teknik critical incident.
Disini individual
mesdeskripsikan peristiwa yang berkaitan dengan pekerjaan mereka yang mereka
|
20
anggap sangat memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka kemudia di
diperiksa untuk mengungkapkan tema yang mendasari.
Interviews:
Prosedur ketiga untuk menilai kepuasan kerja melibatkan proses
mewawancarai karyawan secara tatap muka. Dengan menanyai orang-orang secara
pribadi mengenai perilaku mereka, dimungkinkan untuk mengeksplor diri mereka
lebih dalam lagi dari pada menggunakan kuesioner yang sudah terstruktur dengan
rapih. Dengan mengajukan pertanyaan secara hati-hati kepada karyawan dan
merekam jawaban mereka secara sistematis,memungkinkan pihak perusahaan untuk
mengetahui penyebab berbagai sikap yang berhubungan dengan pekerjaan.
Menurut Wibowo (2007, p300), kepuasan kerja memiliki dua teori, dalam
pendapatnya dikatakan bahwa teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa
yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaannya dari pada beberapa
lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap
kepuasan kerja. Dalam teori kepuasan kerja ada Two-Factor Theory dan Value
Theory.
1. Two Factor Theory
Teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan
merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu Motivators
dan Hygiene factors.
Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi si sekitar
pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan, keamanan, kualitas
pengawasan, dan hubungan dengan orang
lain), dan bukannya dengan
pekerjaan itu sendiri. Karena faktor ini mencegah reaksi negatif, dinamakan
sebagai hygiene
atau maintenance factors. Sebaliknya, kepuasan ditarik dari
faktor yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung
daripadanya, seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang
promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri dan pengakuan. Karena
|
![]() 21
faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi, dinamakan
motivators
2. Value Theory
Kepuasan kerja terjadi pada tingkat dimana hasil pekerjaan diterima individu
seperti yang diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil, akan
semakin puas. Semakin sedikit mereka menerima hasil, akan kurang puas.
Menurut Robbins dan Judge (2007, p.83) ketidakpuasan karyawan dapat
dinyatakan dengan sejumlah cara, diantaranya:
a
Keluar (Exit): Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi.
Mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti.
b
Suara (Voice): Dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi.
Mencakup saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan
beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.
c
Kesetiaan (Loyalty): Pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi.
Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan
mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat.
d
Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk
kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan
tingkat kekeliruan yang meningkat
|
22
Sumber: Robins dan Judge
Menurut Greenberg dan Baron (2003, p. 159) ada beberapa cara untuk
meningkatkan kepuasan dan mencegah ketidakpuasan pada pekerjaan, diantaranya
sebagai berikut:
a.
Membuat pekerjaan menyenangkan
Karyawan akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka senangi ketimbang
dengan pekerjaan yang membosankan. Meskipun beberapa pekerjaan secara
instrinsik membosankan, pekerjaan tersebut masih mungkin meningkatkan
kesenangan ke dalam setiap pekerjaan.
b.
Karyawan dibayar secara adil
Karyawan yang meyakini bahwa sistem pengupahan organisasinya tidak adil
akan cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. Hal ini diberlakukan tidak
hanya untuk gaji dan upah per jam, tetapi juga fringe benefit. Konsisten
dengan value theory, karyawan yang merasakan dibayar secara adil dan
apabila karyawan diberi peluang untuk memilih fringe benefit
yang paling
mereka inginkan, maka kepuasan kerjanya cenderung akan meningkat.
c.
Mencocokan karyawan dengan pekerjaan yang sesuai dengan minatnya.
Semakin banyak karyawan menemukan bahwa dirinya dapat memenuhi
minatnya pada pekerjaan mereka, maka mereka akan lebih puas terhadap
pekerjaannya. Perusahaan dapat menawarkan jasa konseling individu kepada
pekerja sehingga kepentingan pribadi dan professional dapat diidentifikasi
dan disesuaikan.
d.
Mengindari kebosanan dan Pekerjaan yang berulang-ulang.
Kebanyakan karyawan cenderung mendapat sedikit kepuasan apabila mereka
dihadapi dengan pekerjaan yang membosankan dan berulang-ulang. Sesuai
dengan two-factor theory, karyawan jauh lebih puas dengan pekerjaan yang
meyakinkan mereka memperoleh sukses dengan secara bebas melakukan
kontrol atas bagaimana cara mereka melakukan sesuatu.
|
23
Dimensi kepuasan kerja menurut Kalleberg (1977) dalam Tricia A. Seifert
dan Paul D. Umbach (2006):
Dengan menggunakan analisis faktor, penelitian ini menemukan enam
dimensi kepuasan kerja. Kalleberg menemukan bahwa kepuasan kerja dapat
dibagi menjadi dua, yaitu intriksik (mengacu pada pekerjaan itu sendiri) atau
ektrinsik (mewakili aspek pekerjaan ekternal atau tugas itu sendiri).
Kalleberg (1977) mendefinisikan dimensi intrinsik sebagai sejauh
mana pekerjaan itu menarik, mandiri dan dimana hasilnya itu jelas.
Mengenai dimensi ekstrinsik, ia dibangun sebagai berikut:
1.
Financial: mengacu pada item seperti gaji, tunjangan dan keamanan
pekerjaan
2.
Career: peluang yang disediakan pekerjaan untuk kemajuan karir
3.
Convenience:
dimensi kenyamanan berfokus pada kenyamanan dari
pekerjaan (yaitu, kenyamanan perjalanan ke dan dari tempat kerja, kebebasan
dari tuntutan yang saling bertentangan, tidak ada jumlah pekerjaan yang
berlebihan, dan waktu untuk melakukan pekerjaan.
4.
Relationships with co-workers: hubungan dengan rekan kerja dan termasuk
kesempatan untuk berteman dengan orang-orang ditempat kerja serta
friendliness, helpfulness, and personal interest rekan kerja terhadap individu
5.
Adequacy of resources: tingkat dimana sumberdaya
yang dibutuhkan untuk
melakukan pekerjaan dengan baik tersedia untuk pekerja.
Menurut Edwards (1996:292) dalam Kamarul Zaman Ahmad
dan Kayathry
a/p Veerapandian
(2012) pada dasarnya, P-E fit mewujudkan premis bahwa
sikap,
perilaku dan hasil tingkat individu lainnya yang timbul bukan dari orang atau
lingkungan secara terpisah, melainkan dari hubungan antara dua.
Menurut Kristof (1996) dalam Kamarul Zaman Ahmad
dan Kayathry a/p
Veerapandian
(2012) kecocokan terjadi ketika sebuah organisasi memenuhi,
kebutuhan, keinginan atau preferensi.
|
![]() 24
Jadi, dari kedua definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa individu dan
lingkungannya memiliki hubungan yang sangat dekat. Mereka saling berkaitan.
Kecocokan antara orang dan lingkungannya akan menimbulkan rasa kepuasan
terhadap pekerjaan yang dia lakukan.
P-E fit juga beroperasi secara simultan pada tiga tingkatan yang berbeda:
Person-job Fit (PJ fit), Person-group fit (PG fit) dan Person-organisation fit (PO fit),
dan efek kumulatif dari semua tiga tingkat harus diperiksa menurut Kristof et al.
(2005) dalam Kamarul Zaman Ahmad dan Kayathry a/p Veerapandian (2012).
Person-Job Fit: Berhubungan dengan bagaimana orang tersebut cocok dengan jenis
pekerjaan yang sedang dia pegang saat ini.
Person-Group Fit: Seberapa baik seseorang bisa bergaul dengan anggota timnya atau
rekan kerjanya.
Person-Organisation Fit: Berhubungan dengan seberapa baik nilai-nilai dan perilaku
seseorang sesuai dengan budaya organisasi.
No.
Judul Jurnal
Pengarang
Objek
Penelitian
Hasil
1
The Mediating
Effect of
Person-
Environment Fit
on the
Relationship
Between
Organisational
Culture and Job
Satisfaction
(2012)
Kamarul Zaman
Ahmad,
Kayathry
Veerapandian
Private and
Public Sector
from various
organization
in Malaysia
Penelitian
sebelumnya
yang telah
dilakukan
cenderung
melihat Person-
Environment Fit
(P-E Fit)
sebagai
prediktor hasil
kinerja
|
![]() 25
karyawan ,
Namun
penelitian ini
adalah salah
satu studi
pertama yang
memberikan
bukti PE Fit
sebagai
mediator
hubungan antara
budaya
organisasi dan
hasil kepuasan
kerja . Data
diperoleh dari
full-time
karyawan yang
bekerja di sektor
swasta dan
publik dari
berbagai
organisasi di
Malaysia ( n =
204 ) .
P-E Fit
merupakan
mediator
penting dari
hubungan antara
budaya
organisasi dan
kepuasan kerja.
|
![]() 26
Ini memiliki
implikasi luas
untuk konsultan
pengembangan
organisasi yang
berniat untuk
membentuk
berbagai budaya
organisasi, pada
asumsi bahwa
budaya
organisasi
tertentu akan
menyebabkan
hasil kerja yang
diinginkan.
Manajer perlu
memperhatikan
tidak hanya
terhadap budaya
organisasi
mereka seperti
pelatihan,
penghargaan,
kerja tim dan
komunikasi,
tetapi juga
memastikan
bahwa ada
kesesuaian
antara individu
dan
lingkungan kerja
|
![]() 27
mereka. Dua
hipotesis telah
diuji dan
didukng. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa budaya
organisasi
memiliki
hubungan yang
signifikan dan
positif terhadap
kepuasan kerja
karyawan (H1).
Person-
Environment Fit
memiliki
pengaruh
mediasi yang
signifikan
terhadap
hubungan antara
budaya
organisasi
dengan
kepuasan kerja
(H2).
2
Person-
Environment
Fit: The Missing
Link in the
Organisational
Culture-
Kamarul Zaman
Ahmad,
Kayathry a/p
Veerapandian,
Wee Yu Ghee
Private and
Public Sector
from various
organization
in Malaysia
Tujuan dari
penelitian ini
adalah untuk
mengetahui
pengaruh
mediasi dari
|
![]() 28
Commitment
Relationship
(2011)
Person-
Environment Fit
pada hubungan
antara budaya
organisasi
dengan
komitmen
organisasi. Data
diperoleh dari
karyawan
penuh-waktu
yang bekerja di
sektor swasta
dan publik dari
berbagai
organisasi di
Malaysia
(n=204).
Person-
Environment fit
ditemukan
menjadi
mediator
penting dari
hubungan antara
budaya
organisasi
dengan
komitmen
organisasional.
Dua hipotesis
diuji dan
didukung. Hasil
|
![]() 29
penelitian
menunjukkan
bahwa budaya
organisasi
memiliki
hubungan yang
signifikan dan
positif terhadap
komitment
organisasional
(H1). Person-
Environment Fit
memiliki
pengaruh
mediasi yang
signifikan
terhadap
hubungan antara
budaya
organisasi dan
komitmen
organisasi (H2).
3
The Mediating
Effect of
Person-
Environment Fit
on the
Relationship
between
Organisational
Culture and
Staff Turnover
(2012)
KamarulZaman
Ahmad
Private and
Public Sector
from various
organization
in Malaysia
Dua hipotesis
telah diuji dan
didukung. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa budaya
organisasi
memiliki
hubungan yang
signifikan dan
negative
|
![]() 30
terhadap
keinginan staff
untuk berpindah
(H1). Person-
Environment Fit
memiliki
pengaruh
mediasi yang
signifikan
terhadap
hubungan antara
budaya
organisasi dan
keinginan staff
untuk berpindah
(H2).
4
Job Satisfaction
and
Organizational
Culture (2011)
Lloyd H.
Stebbins, Eric
B. Dent
35 private
sectors,
educational,
nonprofit,
health care,
government
and military
organizations
Penelitian ini
dilakukan
dengan melihat
kepuasan kerja
dan budaya
organisasi
menggunakan
sampel yang
sangat beragam.
Tiga dalil
menyatakan
bahwa, satu,
kepuasan kerja
individu
berkorelasi
dengan budaya
organisasi yang
|
![]() 31
konstruktif, dua,
kepuasan kerja
individu
berkorelasi
negatif dengan
budaya
organisasi yang
pasif/defensif
dan tiga,
kepuasan kerja
individu juga
berkorelasi
negative dengan
budaya
organisasi yang
agresif /
defensif.
5
The
Relationship
between
Organizational
Culture and Job
Satisfaction in
National Oil
Corporation of
Libya
Adel Mohamed
Ali Shurbagi &
Ibrahim Bin
Zahari
National Oil
Corporation
of Libya
Tujuan dari
penelitian ini
adalah untuk
menyelidiki
hubungan antara
budaya
organisasi dan
kepuasan kerja
di Nasional Oil
Corporation of
Libya. Dengan
menggunakan
kuesioner, data
yang
dikumpulkan
dari 227
|
![]() 32
karyawan NOC
of Libya . Data
responden
budaya
organisasi dan
kepuasan kerja
dikumpulkan
dengan
menggunakan
The
Organizational
Culture
Assessment
Instrument
(OCAI) yang
dikembangkan
oleh (Cameron
& Quinn, 2006).
The Job
Satisfaction
Survey
(JSS)
dikembangkan
oleh Spector
(1997). Statistik
deskriptif adalah
tujuan dari
penelitian ini
untuk
menyelidiki
hubungan antara
budaya
organisasi
dengan
|
![]() 33
kepuasan kerja
di National Oil
Corporation
di
Libya. Dengan
menggunakan
kuesioner, data
yang
dikumpulkan
dari 227
karyawan NOC
of Libya.
Deskriptif
statistik
dilaporkan,
diikuti oleh rata-
rata, standar
deviasi, analisis
reliabilitas,
korelasi pearson
dan pengujian
hipotesis
menggunakan
T-test dan
analisis regresi.
Dari penelitian
ini dapat
disimpulkan
bahwa
hubungan antara
budaya
organisasi
seperti klan,
adhocracy, pasar
|
![]() 34
dan budaya
hirarki, dan lima
aspek kepuasan
kerja memiliki
hubungan yang
positif dan
signifikan.
Sumber: Penulis
Sumber: Penulis
Budaya Organisasi (X):
-Inovasi dan
keberanian mengambil
resiko
-
Perhatian pada hal-
hal rinci
-
Orientasi hasil
-Orientasi orang
-
Orientasi tim
-Keagresifan
Person-Environment Fit
(Z)
-Person Group Fit
-Person Job Fit
-Person Organization Fit
Kepuasan Kerja (Y):
-Intriksik
-Ekstrinsik:
Financial
Career
Convenience
Relationship
with Co-
Workers
Adequacy of
resources
|
35
Tujuan-1
Ho: Budaya Organisasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan
H1: Budaya Organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan
Tujuan-2
Ho: Budaya Organisasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan dengan
Person-Environment Fit sebagai variabel moderasi
H1: Budaya Organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan dengan
Person-Environment Fit sebagai variabel moderasi
|