1
  
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Budaya
Guna menghasilkan pemahaman yang lebih baik selama mengulas
intercultural sensitivity, peneliti akan terlebih dahulu menjelaskan apa yang
dimaksud dengan
budaya serta relevansinya terhadap
konsep lintas
budaya/intercultural
Tylor (dalam Soares, Farhangmehr, & Shoham, 2007)
mendefinisikan budaya sebagai kesatuan yang rumit yang berisi
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, kebiasaan dan kemampuan serta
kebiasaan lainnya yang dimiliki seseorang sebagai bagian dari suatu
kelompok masyarakat. Sementara Schaefer (2008) mendefinisikan
budaya
sebagai keseluruhan ide, nilai, pengetahuan, perilaku dan kebiasaan yang
diwariskan secara sosial oleh
sekelompok orang.
Dari beberapa definisi
tersebut dapat ditarik kesimpulan umum
bahwa budaya adalah suatu
fenomena kolektif yang membedakan orang dari satu kelompok atau
kategori, dengan orang yang berasal dari kelompok atau kategori lainnya. 
Budaya adalah suatu konsep yang sangat luas dan berpengaruh
terhadap banyak dimensi perilaku manusia. Hal ini menyebabkan penelitian-
penelitian seringkali mengalami kesulitan dalam mendefinisikan atau
mengoperasionalisasikan batasan budaya. Untuk mengatasi hal ini, Roth
(dalam Soares, Farhangmehr & Shoham, 2007) merangkum
beberapa
tipologi yang valid untuk digunakan dalam mengoperasionalisasikan budaya.
Salah satunya adalah dengan menggunakan afiliasi regional, yaitu
menggunakan batas antar negara
atau dalam negara untuk membedakan
budaya satu dan lainnya. 
  
3
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan
bahwa konsep
lintas budaya/intercultural
dapat merujuk
pada
lingkup
yang lebih besar
yaitu pembedaan budaya berdasarkan negara (contoh: Indonesia, Malaysia,
Australia) atau pada
lingkup
yang lebih kecil yaitu pembedaan antara
segmen-segmen budaya lokal dalam satu negara.
2.2.
Intercultural Sensitivity
Kajian terhadap konsep yang menyerupai
intercultural sensitivity
tidak hanya
dapat
dilakukan dengan perspektif ilmu psikologi, melainkan
juga
dari perspektif
disiplin ilmu lainnya
seperti antropologi, komunikasi,
hubungan internasional dan
sosiologi. Karena itulah
dalam penelitian-
penelitian
ilmiah, lazim ditemukan beragam pengertian
dan cara
pengkategorian berbeda yang disematkan pada intercultural sensitivity
Secara umum tokoh-tokoh
dapat dibagi berdasarkan
cara
mereka
mengkategorikan konsep intercultural sensitivity. Tipe pertama adalah tokoh
yang mengkategorikan intercultural sensitivity
sebagai
salah satu dimensi
yang menyusun suatu konsep yang lebih besar. Tokoh yang pandangannya
termasuk ke dalam kategori
ini antara lain Chen dan Starosta (Kashima,
2006) yang menyatakan bahwa intercultural sensitivity
merupakan dimensi
afektif dari variabel intercultural communication competence. Juga Cui dan
Van den Berg (Panggabean, 2004) yang menyatakan bahwa cultural empathy
adalah salah satu dimensi yang menyusun variabel
intercultural
effectiveness.
Tipe kedua adalah tokoh yang menganggap bahwa
intercultural sensitivity
merupakan
suatu variabel tunggal yang sifatnya
mandiri dan bukan salah satu dari banyak dimensi yang menyusun sebuah
konsep.
Tokoh yang pandangannya termasuk ke dalam tipe ini antara lain
Bhawuk dan Brislin (1992) serta Bennett (1998, 2004).
2.2.1.
Definisi Intercultural Sensitivity
Dalam penelitian ini, definisi intercultural sensitivity yang digunakan
berasal
dari
Hammer, Bennett dan Wiseman (2003).
Ketiga tokoh ini
mendefinisikan intercultural sensitivity secara konseptual sebagai
ability to
  
4
discriminate and experience relevant cultural differences, atau kemampuan
seseorang untuk membedakan serta mengalami
adanya perbedaan budaya.
Definisi ini berasal
dari teori Developmental Model of Intercultural
sensitivity (DMIS) yang dikembangkan oleh Bennett (1998, 2004).
Teori psikologi yang mendasari perkembangan DMIS
adalah teori
personal construct
George Kelly (Bennett, 2004). Teori personal construct
menjelaskan bahwa pengalaman seseorang adalah fungsi dari
kategori
mental yang digunakannya
untuk menafsirkan suatu kejadian.
Artinya,
apabila secara kognitif seseorang tidak memiliki kategori mental yang tepat
untuk menafsirkan suatu kejadian, maka ia dapat dikatakan tidak mengalami
kejadian tersebut. Dengan kata lain, eksistensi sebuah
fenomena bergantung
pada kemampuan seseorang untuk membedakan fenomena tersebut dengan
fenomena-fenomena serupa lainnya (Feist & Feist, 2009). 
Prinsip kegunaan
kategori mental dalam teori personal construct
Kelly diaplikasikan oleh Bennett
untuk menjelaskan konsep intercultural
sensitivity
dalam ruang lingkup interaksi lintas budaya. Menurut Bennett
(2004), persepsi yang berbeda terhadap
tiap budaya hanya dapat dihasilkan
apabila seseorang
memiliki kategori mental yang tepat untuk
mengkategorikan masing-masing
budaya
tersebut.
Semakin kompleks
kategori mental yang dimiliki seseorang, maka semakin mampu juga orang
tersebut untuk membedakan dan merasakan perbedaan budaya. Dengan kata
lain, kualitas
intercultural sensitivity
seseorang ditentukan oleh seberapa
kompleks kategori mental miliknya yang berkenaan dengan
pengkategorisasian berbagai budaya lain (Bennett, 1998, 2004; Bennett &
Bennett, 2001). 
2.2.2.
Tahap Perkembangan Intercultural Sensitivity
Intercultural sensitivity
adalah suatu orientasi terhadap perbedaan
budaya,
yang dapat berkembang melalui proses pembelajaran. Menurut teori
Developmental Model of Intercultural Sensitivity (DMIS) yang dikemukakan
oleh Bennett
(2004), perkembangan orientasi intercultural sensitivity
seseorang akan berlangsung dengan mengikuti enam rangkaian tahapan yang
sifatnya kontinu dan gradual. Enam tahap perkembangan intercultural
  
5
sensitivity
mulai dari tahap
terendah hingga tertinggi dapat dilihat dalam
gambar 2.1. DMIS telah digunakan dalam berbagai penelitian sebagai dasar
untuk mengukur sejauh mana tahap perkembangan
intercultural sensitivity
seseorang (Hammer dkk, 2003; Holm, Nokelainen & Tirri, 2009; Patterson,
2006; Romano, Cummings, Coraggio & Kromrey, 2007). 
Menurut Bennett (2004), pada hakikatnya perkembangan orientasi
intercultural sensitivity
setiap
orang akan dimulai dari tahap pertama, yaitu
Denial. Tahap Denial ditandai dengan penolakan dan pengabaian seseorang
terhadap perbedaan budaya, serta adanya anggapan bahwa budaya yang
melekat di diri sendiri merupakan satu-satunya budaya yang benar di dunia.
Namun kondisi ini tidak bersifat menetap. Sifat intercultural sensitivity yang
dapat berkembang
membuat semua orang memiliki potensi untuk naik ke
tahap-tahap selanjutnya hingga mencapai tahap akhir yaitu Adaptation
atau
Integration.
Berikut adalah penjelasan dari setiap
tahap perkembangan
intercultural sensitivity menurut teori DMIS yang dikemukakan oleh Bennett
(2004).
Gambar 2.1. Tahap Perkembangan Intercultural Sensitivity
  
6
1.
Tahap Denial
Dalam bukunya, Bennett (2004:63-64) menjelaskan
bahwa
Denial adalah:
The state in which one’s own culture is experienced as the only
real one-that is, the patterns of beliefs, behaviors, and values that
constitute a culture are experienced as unquestionably real or
true. Other cultures are either not noticed at all, or they are
construed in rather vague ways. People with a Denial worldview
generally are disinterested in cultural difference even when it is
brought to their attention, although they may act aggresively to
avoid or eliminate a difference if it impinges on them. Another
way a Denial worldview shows up is as an inability(and
disinterest) in differentiating national cultures
Berdasarkan pemaparan
Bennett (2004), tahap Denial
adalah
tahap dimana terdapat anggapan bahwa budaya yang melekat pada diri
seseorang merupakan
satu-satunya budaya di dunia dengan pola
kepercayaan, perilaku dan nilai-nilai yang nyata adanya.
Budaya yang
berbeda tidak diakui eksistensinya, atau ditafsirkan dengan cara yang
samar-samar. Contohnya, mengkategorikan semua orang dari budaya lain
sebagai “orang asing”. 
Secara umum, orang-orang yang berada pada tahap
Denial
tidak
tertarik pada fakta bahwa terdapat perbedaan budaya karena mereka tidak
mengakui eksistensi budaya lain. Karakteristik lain dari tahap Denial
adalah ketidakmampuan dan ketidaktertarikan seseorang untuk
membedakan budaya nasional berbagai negara. Contohnya adalah orang
Amerika Serikat yang tidak mampu dan tidak tertarik untuk membedakan
mana orang yang berasal dari Jepang dan China. Hal ini terjadi karena
budaya yang berbeda dari diri seseorang, ditafsirkan semata-mata sebagai
“orang asing” atau “budaya asing”. 
  
7
Dengan mengacu pada pemaparan Bennett (2004), peneliti
menyimpulkan beberapa indikator dari tahap Denial
Keyakinan bahwa pola kepercayaan dan nilai budayanya merupakan
satu-satunya pola kepercayaan yang benar dan nyata di dunia
Keyakinan bahwa pola perilaku budayanya merupakan satu-satunya
pola perilaku yang benar dan nyata di dunia
Tidak tertarik pada fakta bahwa terdapat perbedaan budaya
Tidak mampu
dan tidak tertarik
untuk membedakan budaya nasional
berbagai negara
2.
Tahap Defense
Menurut penjelasan Bennett (2004:65), tahap kedua dalam
perkembangan intercultural sensitivity yaitu Defense merupakan:
“The state in which one’s own culture (or an adopted culture) is
experienced as the only viable one- the most “evolved” form of
civilization, or at least the only good
way to live. People at
Defense
have become
more adept at discriminating difference,
but the Defense worlview structure is not sufficiently complex to
generate an equally “human” experience of the other. People at
Defense are more openly threatened by cultural differences than
are people in a state of Denial. The world is organized into “us
and them”, where one’s own culture is superior and other
cultures are inferior.This Defense
experience is accompanied by
positive stereotyping of one’s own culture and negative
stereotyping of other culture.”
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada tahap Defense, ada
anggapan bahwa
budaya yang melekat pada diri seseorang merupakan
satu-satunya budaya yang paling maju
dan paling baik
di dunia.
Anggapan ini mengindikasikan bahwa pada tahap Defense
seseorang
sudah mengakui
bahwa keragaman budaya adalah sesuatu yang nyata
dan ada di dunia, namun dianggap sebagai sesuatu yang negatif.
  
8
Karena pada tahap Defense
seseorang telah mengakui adanya
perbedaan budaya, mereka juga secara terbuka menunjukkan adanya
perasaan terancam yang disebabkan oleh keberadaan budaya lain.
Bagi
orang-orang di tahap Defense, dunia dapat dibagi menjadi
“kami” dan
“mereka”. “Kami” ditujukan bagi orang-orang yang berasal dari budaya
yang sama dengan dirinya, yang dianggap superior dan diidentikkan
dengan stereotype
positif. Sementara “mereka” ditujukan bagi semua
orang yang berasal dari budaya lain, yang dianggap inferior dan
diidentikkan dengan stereotype negatif. 
Sehingga dengan mengacu pada pemaparan Bennett (2004)
peneliti menyimpulkan beberapa indikator dari tahap Defense
Keyakinan yang dipertahankan bahwa
budaya miliknya
merupakan budaya yang paling maju di seluruh dunia
Adanya perasaan terancam karena keberadaan budaya lain
Anggapan bahwa budaya miliknya
lebih superior daripada
budaya lain 
Mengasosiasikan budaya lain dengan
stereotype
yang bersifat
negatif 
3.
Tahap Minimization
Dalam bukunya, Bennett (2004:66) menyatakan bahwa
Minimization adalah tahap dimana:
“In Minimization, the threat associated with cultural differences
experienced in
Defense
is neutralized by subsuming the
differences into familiar categories. For instance, cultural
differences may be subordinated to the overwhelming similarity
of people biological nature (physical universalism). The
experience of similarity of natural physical processes may then be
generalized to other assumedly natural phenomena such as needs
and motivations. The experience of similarity might also be
experienced in the assumed cross-cultural applicability of certain
  
9
religious, economic or philosophical concepts (transcedent
universalism). People at Minimization
expect similarities, and
they may become inistent about correcting others’ behavior to
match their expectations.”
Berbeda dengan Defense, orang yang berada pada tahap
Minimization
tidak lagi merasa terancam pada kenyataan adanya
perbedaan budaya. Hal ini terjadi karena mereka menggunakan kategori-
kategori yang lebih familiar untuk menjelaskan tentang kesamaan antara
budaya satu dan lainnya.
Mereka memiliki keyakinan tentang adanya
physical universalism dan transcendent universalism
yang berlaku bagi
semua orang dari semua budaya.
Physical universalism adalah adanya
kesamaan dari segi jasmaniah yang berlaku secara universal. Sementara
transcendent universalism adalah adanya kesamaan konsep abstrak
(agama, ekonomi,filosofi) yang berlaku secara universal. 
Pada tahap Minimization, seseorang mengharapkan terciptanya
kesamaan antar budaya satu dan lainnya. Harapan inilah yang
kerapkali
membuat orang yang berada di tahap Minimization
berusaha untuk
mengubah perilaku orang dari budaya lain agar sesuai dengan ekspektasi
yang mereka miliki.
Berdasarkan pemaparan Bennett (2004), dapat disimpulkan
beberapa indikator dari tahap Minimization:
Minimisasi perbedaan budaya karena meyakini adanya kesamaan
jasmaniah semua manusia (physical universalism).
Minimisasi perbedaan budaya karena meyakini adanya konsep
abstrak yang berlaku secara universal (transcedent universalism).
Berusaha untuk mengubah perilaku orang lain agar sesuai dengan
ekspektasi dari budayanya
4.
Tahap Acceptance
  
10
Tahap keempat dalam kontinum perkembangan intercultural
sensitivity adalah Acceptance. Bennett (2004:68-69) menjelaskan:
“Acceptance of cultural difference is the state in which one’s own
culture is experienced as just one of a number of equally complex
worldviews. People with this worldview are able to experience
others as different from themselves, but equally human. They are
adept at identifying how cultural differences in general operate in
a wide range of human interactions”
Pada tahap Acceptance, budaya yang melekat pada diri seseorang
dianggap sebagai satu dari berbagai kemungkinan pandangan terhadap
dunia (yang berasal dari berbagai budaya lain)
yang sama kompleksnya.
Mereka menerima dan mengapresiasi unsur-unsur dari budaya
lain.
Orang-orang yang berada pada tahap ini menerima kenyataan bahwa
orang yang berasal dari budaya lain memiliki nilai dan pola perilaku
yang berbeda
namun tetap sederajat dengan mereka
sebagai manusia.
Mereka juga mahir dalam mengidentifikasi bagaimana implikasi yang
ditimbulkan perbedaan budaya dalam berbagai interaksi manusia.
Perlu diingat bahwa pada tahap Acceptance, penerimaan
seseorang terhadap perbedaan budaya tidak selalu berarti persetujuan.
Bennett 
(2004:69) mengatakan bahwa,
Acceptance
does not mean
agreement”. Seseorang pada tahap Acceptance
bisa saja
menerima,
namun tidak setuju terhadap aspek-aspek tertentu dari budaya lain.
Penilaian-penilaian yang dilakukan seseorang pada tahap ini
menjadi
tidak bersifat ethnocentric
karena tetap menghargai
nilai-nilai
kemanusiaan dari budaya lain.
Sehingga dengan mengacu pada pemaparan Bennett (2004),
peneliti menyimpulkan beberapa indikator dari tahap Acceptance:
Menganggap bahwa budayanya merupakan satu dari berbagai
kemungkinan pandangan terhadap dunia yang sama kompleksnya
Menganggap orang dari budaya lain sebagai berbeda
namun
setara dengan mereka sebagai manusia
  
11
Mampu mengidentifikasi bagaimana perbedaan budaya
beroperasi dalam berbagai interaksi manusia
5.
Tahap Adaptation
Tahap kelima yang disebut juga sebagai Adaptation
to cultural
difference dijelaskan Bennett (2004:70) sebagai:
The state in which the experience of another culture yields
perception and behavior appropriate to that culture. One’s
worldview is expanded to include relevant constructs from other
cultural worldviews. People at Adaptation
can engage in
empathy-the ability to take perspective or shift frame of referenve
vis-a-vis other culture. They are able to express their alternative
cultural experience in a culturally appropriate feelings and
behaviors.”. 
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pada
tahap Adaptation,
persepsi yang dibuat serta perilaku yang dimunculkan seseorang sudah
sesuai dengan konteks budaya lain. Cara pandangnya terhadap dunia juga
menjadi lebih luas karena telah
mencangkup cara pandang yang berasal
dari budaya lain.
Karakteristik lain dari tahap
Adaptation
adalah kemampuan
empati. Seseorang pada tahap ini akan mampu melihat suatu hal dengan
menggunakan
perspektif budaya lain. Kemampuan empati terhadap
budaya lain ini tidak hanya menghasilkan perubahan secara kognitif
(yaitu kemampuan “perspective taking”) namun juga perubahan dari segi
afektif dan perilaku.
Mereka mampu memberikan respon berupa
perasaan atau perilaku yang sesuai dengan konteks tiap budaya yang
berbeda.
Yang terjadi dalam tahap Adaptation
berbeda
dengan apa yang
disebut sebagai asimilasi budaya. Dalam asimilasi, seseorang harus
melepaskan identitas budaya aslinya untuk kemudian mengadaptasi nilai-
nilai budaya
baru ke dalam kehidupannya. Sementara dalam tahap
  
12
Adaptation, seseorang tidak menggantikan nilai-nilai dan cara hidup dari
budaya aslinya dengan budaya lain, melainkan ia memperluas sistem
nilai dan kepercayaannya dengan menambahkan aspek-aspek dari budaya
lain. Perluasan sistem nilai dan kepercayaan pada tahap Adaptation
membuat seseorang dapat membangun hubungan yang efektif dalam
berbagai konteks budaya berbeda.
Sehingga dengan mengacu pada pemaparan Bennett (2004)
peneliti menyimpulkan beberapa indikator dari tahap Adaptation:
Mampu mempersepsikan sesuatu sesuai dengan konteks budaya
lain
Mampu berperilaku sesuai dengan konteks budaya lain
Mampu berempati, yaitu melihat suatu hal dari perspektif
budaya lain (“perspective taking)
6.
Tahap Integration
Tahap terakhir dalam perkembangan intercultural sensitivity yaitu
Integration, dijelaskan Bennett (2004:72) sebagai:
“The state in which one’s experience of self is expanded to
include the movement in and out of different cultural worldviews.
People are dealing with issues related to their own “cultural
marginality”; they construe their identities at the margins of two
or more cultures and central to none.”
Integration
adalah tahap dimana pengalaman
seseorang atas
dirinya sendiri diperluas sehingga mencangkup pergerakan keluar dan
masuk
dari budaya yang berbeda-beda.
Bennett (2004) menjelaskan
bahwa, “Movement to the last stage does not represent a significant
improvement in intercultural competence. Rather, it describe a
fundamental shift in one’s definition of cultural sensitivity”. Artinya,
perpindahan seseorang dari Adaptation
ke Integration
tidak
merepresentasikan adanya
peningkatan yang signifikan pada kualitas
intercultural sensitivity orang tersebut.
  
13
Alasan adanya tahap Integration
dalam teori DMIS dijelaskan
Bennett (2004) karena “It is descriptive of a growing number of people,
including many members of non-dominant cultures, long-term
expatriates, and “global nomads”. Tahap Integration
dimasukkan ke
dalam teori DMIS karena merepresentasikan
banyaknya fenomena
serupa yang terjadi di dunia, dimana seseorang merasa memiliki identitas
budaya yang bersifat “global”. Karena tidak ada perbedaan fundamental
antara Acceptance
dan Integration
maka dalam berbagai pengukuran
intercultural sensitivity
berdasarkan teori DMIS, Integration
tidak
dimasukkan ke dalam skala pengukuran (Hammer dkk, 2003; Holm,
2009).
Guna
merangkum tahap perkembangan intercultural sensitivity yang
telah dideskripsikan di atas, Bennett (1998, 2004)
menyatakan
bahwa pada
tahap-tahap yang lebih rendah seperti Denial, Defense/Reversal dan
Minimization, persepsi serta penilaian seseorang terhadap budaya lain masih
bersifat ethnocentric, yaitu dilakukan dengan berorientasi pada budaya yang
melekat di dirinya sendiri.
Sementara persepsi dan penilaian pada tahap-
tahap yang lebih tinggi, seperti Acceptance, Adaptation
dan
Integration,
secara umum sudah bersifat ethnorelative, dimana seseorang merasa nyaman
dengan standar dari berbagai budaya sehingga ia mampu menyesuaikan
penilaian dan perilakunya agar sesuai dengan konteks budaya lain (Hammer,
Bennett, & Wiseman, 2003).
Bennett
(1998, 2004)
juga
menekankan bahwa
DMIS tidak hanya
sekedar deskripsi dari kognisi, afek atau perilaku
seseorang
yang berkaitan
dengan perbedaan budaya. DMIS adalah suatu kerangka teori
yang
menjelaskan bahwa perubahan
cara
pandang
seseorang terhadap perbedaan
budaya yang bergerak dari tahap
ethnocentric
ke
tahap ethnorelative, akan
menghasilkan perkembangan orientasi
intercultural sensitivity.
Perubahan
pada aspek kognisi, afek dan perilaku di tiap tahap DMIS
adalah hasil
manifestasi dari perkembangan orientasi intercultural sensitivity
yang
dialami orang tersebut.
  
14
2.2.3.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Intercultural Sensitivity
Pada hakikatnya semua manusia
di dunia awalnya lahir dan
disosialisasikan menjadi orang-orang ethnocentric
yang mengutamakan
praktik-praktik budayanya sendiri
di atas budaya lainnya
(Triandis dalam
Bhawuk, Sakuda, Munusamy, 2008). 
Dalam bukunya, Bennett (2004)
menjelaskan bahwa pandangan yang bersifat ethnocentric
merupakan
kondisi “default
atau bawaan pada semua manusia
yang ada
di dunia.
Artinya, apabila ditinjau dari tahapan perkembangan intercultural sensitivity
Bennett
(2004), semua manusia pada dasarnya memiliki karakteristik yang
ada pada tahap-tahap awal seperti Denial, Defense dan Minimization. Namun
sejalan dengan proses pembelajaran yang terjadi dalam kehidupan seseorang,
orientasi
intercultural sensitivity
dapat berubah dan berkembang
ke tahap-
tahap akhir yang bersifat ethnorelative, yaitu Acceptance, Adaptation
dan
Integration.
Karena intercultural sensitivity
merupakan sesuatu yang tidak
bersifat statis melainkan dinamis dan dapat dikembangkan, maka berbagai
penelitian berusaha melakukan kajian terhadap faktor-faktor yang diprediksi
berpengaruh atau sekurang-kurangnya berhubungan
dengan perkembangan
intercultural sensitivity.
Berikut adalah beberapa faktor yang ditemukan
berpengaruh atau berhubungan dengan intercultural sensitivity:
1.
Studi di luar negeri
Salah satu faktor yang banyak diteliti adalah kaitan antara studi di luar
negeri
terhadap intercultural sensitivity. Penelitian-penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan hasil yang bervariasi
mengenai arah
hubungan antara studi di luar negeri dan peningkatan intercultural
sensitivity.
Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan adanya
pengaruh positif yang ditimbulkan studi di luar negeri terhadap kualitas
intercultural sensitivity seorang mahasiswa. Penelitian komparatif yang
dilakukan Williams (2005) menunjukkan bahwa mahasiswa yang
melanjutkan studi di luar negeri memiliki intercultural sensitivity yang
lebih tinggi daripada mahasiswa yang melanjutkan studi di dalam
  
15
negeri. Penelitian lain yang
bersifat longitudinal
dilakukan oleh
Anderson dkk (2006) dimana ditemukan
bahwa program studi ke
luar
negeri, meskipun hanya selama 1 bulan, sudah menunjukkan memiliki
dampak positif terhadap peningkatan intercultural sensitivity
mahasiswa.
Penelitian lainnya oleh Straffon (2003) menunjukkan
bahwa semakin lama waktu studi di luar negeri yang dihabiskan
mahasiswa, maka semakin tinggi juga levelnya dalam tahapan DMIS.
Ketiga hasil
penelitian di atas mendukung pernyataan Bennett (2004)
bahwa menempuh studi di luar negeri yang membuat mahasiswa
terlibat dalam kontak terus menerus dengan budaya asing, akan
mengakibatkan
terjadinya
peningkatan
pada
intercultural sensitivity
mahasiswa tersebut.
Hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian lain yang dilakukan oleh
McMurray (2007). Hasil penelitian McMurray menunjukkan bahwa
mahasiswa yang pernah ikut dalam program studi ke luar negeri tidak
memiliki intercultural sensitivity
yang secara signifikan lebih tinggi
daripada mahasiswa yang tidak pernah mengikuti program serupa.
Menurut McMurray
(2007), hal ini dapat terjadi apabila pengalaman
studi ke luar negeri mahasiswa terjadi bertahun-tahun sebelum
pengukuran intercultural sensitivity
dilakukan. Rentang waktu yang
lama antara pengalaman studi ke luar negeri dan pengukuran
intercultural sensitivity
membuat hasil penelitian tidak dapat
menemukan perbedaan yang signifikan antara intercultural sensitivity
mahasiswa yang pernah menjalani studi di luar negeri dan yang belum
pernah.
2.
Pendidikan tentang keragaman budaya 
Penelitian yang dilakukan oleh Margarethe, Hannes
dan
Wiesinger
(2012) serta Bradshaw dan Biggs (2007) menunjukkan bahwa mahasiswa
yang menempuh
program studi dengan
pendidikan tentang keragaman
budaya
sebagai salah satu mata kuliahnya, memiliki intercultural
sensitivity
yang lebih tinggi daripada daripada mahasiswa yang tidak
  
16
mendapatkan pendidikan serupa
dari universitas tempatnya menjalani
studi.
Pendidikan tentang keragaman budaya yang dimaksud dalam
penelitian Margarethe
dkk adalah mata kuliah yang mengajarkan
mahasiswa tentang mengapa perbedaan budaya dapat terjadi (why
question) dan bagaimana cara menyikapi perbedaan budaya tersebut
(how question).
3.
Pengalaman pergi ke luar negeri
Penelitian oleh Baños (2006) menemukan adanya perbedaan yang
signifikan antara intercultural sensitivity
siswa yang pernah tinggal di
luar negeri dan siswa yang tidak pernah. Intercultural sensitivity
secara
signifikan lebih tinggi pada mereka yang memiliki pengalaman menetap
di luar negeri dalam jangka waktu apapun. Penelitian lain dari McMurray
(2007) juga menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki pengalaman
wisata ke luar negeri akan memiliki intercultural sensitivity
yang lebih
tinggi daripada mereka yang tidak memiliki pengalaman serupa.
Kedua
hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi positif antara
pengalaman wisata
ke luar negeri dan tingkat intercultural sensitivity
seseorang.
4.
Jenis kelamin
Ada tidaknya hubungan
antara jenis kelamin
dan tingkat intercultural
sensitivity seseorang bervariasi dari beberapa hasil penelitian. Penelitian
Margarethe
dkk (2012) menemukan bahwa wanita dan pria tidak
memiliki perbedaan intercultural sensitivity
yang signifikan secara
statistik. Namun hasil yang berbeda ditemukan oleh McMurray (2007)
serta Holm dkk (2009), dimana dalam dua penelitian terpisah yang
mereka lakukan, ditemukan bahwa rata-rata tingkat intercultural
sensitivity
wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Kedua
penelitian ini menjelaskan bahwa perbedaan ini dapat terjadi karena
wanita secara alamiah memiliki kemampuan empati yang lebih baik
  
17
daripada pria. Kemampuan empati membuat wanita dapat beradaptasi
dalam lingkungan lintas budaya dengan lebih baik daripada pria.
2.3.
Mahasiswa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
versi daring
(kbbi.web.id),
mahasiswa diartikan sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi. Rentang
usia mahasiswa di Indonesia umumnya 18-22 tahun, sehingga secara
perkembangan dapat dikategorikan masuk ke masa transisi dari remaja ke
dewasa awal
(Papalia, Feldman, & Martorell, 2013). Meskipun usia
kronologis tidak selalu dapat dijadikan acuan untuk mengkategorikan tahap
perkembangan seseorang, namun beberapa penelitian mendukung bahwa
mahasiswa usia 18-25 tahun ada pada
periode transisi dari tahap remaja ke
dewasa awal, atau disebut
sebagai
emerging adulthood
(Arnett & Scheer
dalam Santrock, 2008).
  
18
2.4.
Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar 2.2. menunjukkan kerangka berpikir peneliti yang
melatarbelakangi dilaksanakannya penelitian ini. Ide penelitian ini awalnya
muncul sebagai reaksi terhadap adanya program ASEAN Economic
Community (AEC) yang akan diberlakukan sejak 2015 di kawasan Asia
Tenggara. AEC bertujuan untuk mengubah Asia Tenggara menjadi kawasan
yang terintegrasi secara ekonomi, perdagangan, dan sosial budaya (ASEAN
Secretariat, 2008). Guna merealisasikan hal tersebut, AEC membuat
kebijakan-kebijakan yang secara umum disebut sebagai free flow of goods,
free flow of services, free flow of investment, free flow of capital, dan free
ASEAN Economic Community 2015
Pergerakan bebas tenaga kerja asing ke dalam Indonesia 
Pemetaan intercultural sensitivity pada mahasiswa tingkat akhir
Universitas Bina Nusantara dan universitas swasta lain di Jakarta
dengan menggunakan teori DMIS Bennett (2004)
Kebutuhan agar mahasiswa membekali diri dengan
intercultural sensitivity, kompetensi yang memfasilitasi
peningkatan kinerja seseorang dalam lingkungan kerja lintas
budaya berbagai negara
Gambar 2.2.Kerangka Berpikir Penelitian
Sumber : Olahan peneliti
  
19
flow of skilled labor. Artinya, akan ada aliran bebas barang, jasa, investasi,
aliran modal dan tenaga kerja terampil antar negara-negara anggota ASEAN.
Salah satu kebijakan AEC, yaitu free flow of skilled labor,
diprediksikan banyak pihak termasuk Menakertrans Muhaimin Iskandar dan
Wamenkeu Anny Ratnawati (Izzudin, 2013; Maesaroh, 2013) akan membuat
perusahan-perusahaan di Indonesia kedatangan banyak tenaga kerja asing.
Hal ini akan
mengakibatkan perubahan komposisi tenaga kerja di
perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sehingga muncul kebutuhan agar
masyarakat Indonesia membekali diri dengan kompetensi yang memfasilitasi
kesuksesan kinerja dalam tim lintas budaya asing.
Kompetensi yang
ditemukan berpengaruh terhadap kesuksesan
seseorang yang bekerja dalam lingkungan kerja lintas budaya adalah
intercultural sensitivity. Definisi konseptual dari intercultural sensitivity
menurut Hammer, Bennett dan Wiseman (2003) adalah kemampuan
seseorang untuk membedakan serta mengalami adanya perbedaan budaya.
Definisi ini merupakan bagian dari teori perkembangan intercultural
sensitivity
milik Bennett (1998, 2004) yang dinamakan sebagai
Developmental Model of Intercultural Sensitivity
(DMIS). Teori DMIS
hingga sekarang digunakan dalam banyak penelitian sebagai dasar
pengoperasionalisasian intercultural sensitivity
Pengukuran intercultural sensitivity
cukup banyak dilakukan dalam
berbagai penelitian di luar Indonesia. Namun sebaliknya, hingga sekarang
minim
penelitian yang dilakukan untuk mengkaji kompetensi lintas budaya
masyarakat Indonesia terhadap budaya asing (Panggabean, 2004). Padahal
tidak sedikit timbul kesalahpahaman dan konflik dalam tataran kehidupan
bermasyarakat akibat perbedaan keyakinan atau nilai-nilai yang dianut antara
budaya Indonesia dan budaya asing. Inilah mengapa muncul kebutuhan
untuk mengukur intercultural sensitivity
masyarakat Indonesia terhadap
budaya asing, sebagai bentuk persiapan
untuk menyambut berlakunya AEC
2015.  
Kebutuhan untuk mengembangkan intercultural sensitivity
khususnya berlaku bagi mahasiswa jenjang S1 yang akan masuk ke dunia
  
20
kerja dalam waktu dekat. Kebutuhan ini didukung temuan dari penelitian
Shaftel, Shaftel dan Ahluwalia (2007) yang menemukan bahwa mahasiswa
program S1 yang memiliki intercultural competence
akan lebih sukses di
dunia kerja bahkan lebih dihargai dan diminati oleh perusahaan-perusahaan
daripada mahasiswa yang tidak mengembangkan intercultural competence.
Fenomena yang telah dipaparkan di atas memunculkan kebutuhan agar
peneliti melakukan kajian tentang gambaran intercultural sensitivity
pada
mahasiswa tingkat akhir di Universitas Bina Nusantara
dan universitas
swasta lain di Jakarta.