13
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Teori tentang Matahari
Matahari selain sebagai sumber cahaya pada bumi, matahari juga merupakan
titik pusat dari orbit bumi. Menurut Lechner (2001) orbit bumi berbentuk elips dan
apabila dilihat dari letak kutub utara dan selatan bumi, posisi bumi terhadap matahari
tidak tegak lurus, melainkan bergeser sebesar 23,5º. Akibat dari pergeseran inilah
terjadinya perubahan musim.
Gambar 2.1 Orbit bumi terhadap Matahari serta perubahan musim yang terjadi
Sumber: Lechner, 2001; 127
Akibat dari kutub utara dan selatan bumi yang tidak tegak lurus dengan
matahari, jika dilihat dari bumi akan terlihat matahari seperti bergerak dari Utara ke
Selatan sejauh 23,5º dari equator/garis 0º. Jika dilihat dari letak geografis Indonesia
yaitu 6ºLU-11ºLS, Indonesia berada dekat dengan equator
dimana tidak jauh dari
posisi matahari sepanjang tahun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
berikut:
  
14
23,5ºLU
23,5 ° LS
Gambar 2.2 Pergerakan matahari di Indonesia (Adaptasi dari teori Lechner, 2001)
Sumber: Hasil olahan peneliti
Berdasarkan dari Gambar 2.2 diatas, kita mendapatkan tanggal dan bulan
penting dimana matahari berada pada equator dan titik terjauh. Pada tanggal dan
bulan inilah yang kemudian akan dianalisa dengan ECOTECT pada massa bangunan.
2.2
Teori tentang Sun shading
2.2.1
Definisi Sun shading
Menurut Handayani (2010), bukaan merupakan suatu elemen yang tidak
terpisahkan dalam bangunan, khususnya terkait dengan pencahayaan dan
penghawaan alami. Pada area tropis seperti Indonesia, letak dan ukuran dari suatu
bukaan harus direncanakan dengan baik. Bukaan yang terlalu besar dapat
menimbulkan efek silau dan pemanasan ruang akibat radiasi matahari secara
langsung. Untuk  mengatasi hal tersebut, penggunaan sun shading
pada bukaan
diperlukan.
21 Maret
21 Juni
21 September
21 Desember
  
15
Menurut Lechner (2001), Sun shading merupakan salah satu strategi dan
langkah pertama untuk mencapai kenyamanan thermal didalam bangunan, akan
tetapi untuk mencapai kenyamanan thermal terdapat aspek lain yang harus
diperhitungkan.
Gambar 2.3 Tiga hal yang harus diperhatikan untuk mencapai kenyamanan thermal di dalam
bangunan menurut Lechner (2001)
Sumber: Lechner, 2001
2.2.2
Jenis dan Bentuk Sun shading
Jenis sun shading sangat beragam dan terbagi menjadi beberapa klasifikasi,
pada penelitian yang dilakukan oleh Wall & Hube (2003), sun shading dibagi
menjadi 3(tiga), yaitu External, Interpane, dan Internal. Dan berdasarkan dari ketiga
jenis diatas, hasil analisis mengatakan yang paling baik adalah External. Berikut
adalah ilustrasinya.
Gambar 2.4 Jenis sun shading berdasarkan posisi / Visualisasi hasil analisis Wall & Hube (2003)
  
16
Sumber: Dubois, 2010
Jika dilihat dari Gambar 2.4, kita dapat melihat keuntungan dan kerugian dari
setiap posisi sun shading.
Menurut Wall & Hube (2003), External sun shading
adalah sun shading yang
efektif saat musim panas. Mengingat iklim Indonesia
beriklim tropis dimana suhu rata-rata yang tinggi, peletakan sun shadingpada luar
bangunan adalah yang efektif.
Menurut Lechner (2001), External sun shading dibagi menjadi 3 jenis utama,
yaitu Overhang, Vertical Fin, dan eggcrate. Berikut pengelompokan yang dilakukan
oleh Lechner (2001):
Tabel 2.1 Jenis-jenis external sun shading
Descriptive Name
Best
Orientation
Comments
Overhang
Horizontal Panel
South, East,
West
Traps hot air
Can be loaded by snow and
wind
Descriptive Name
Best
Orientation
Comments
Overhang
Horizontal louvres in
horizontal plane
South, East,
West
Free air movement
Snow or wind load is small
  
17
Overhang
Horizontal louvers in
vertical plane
South, East,
West
Reduces length of overhang
View restricted
Overhang
Vertical plane
South, East,
West
Free air movement
No snow load
View restricted
Vertical fin
East, West,
North
Restric View
For north facade in hot
climates only
Vertical fin slanted
East, West
Slant toward north
Restrict view significantly
Eggcrate
East, West
For very hot climates
View very restricted
Traps hot air
Descriptive Name
Best
Orientation
Comments
Eggcrates with slanted fins
East, West
Slant toward north
View very restricted
Traps hot air
For very hot climates
  
18
Sumber: Lechner, 2001
2.2.3
Prinsip desain Sun shading
Pada tabel 2.1, Lechner (2001) telah mengklasifikasikan 3(tiga) bentuk sun
shading dan modifikasi terhadap bentuknya. Bentukan ini dibuat dengan orientasi
matahari sebagai acuannya, akan tetapi untuk mengetahui tentang besar bentangan
dan panjang dari sun shading, ditentukan oleh shadow angle. Untuk mendapatkan
shadow angle, terdapat beberapa perimeter yang harus didapat terlebih dahulu.
Mencari letak geografis pada tapak (latitude dan longitude). Letak geografis
tapak merupakan krusial, dikarenakan letak geografis ini yang akan
menentukan letak matahari dan orientasinya
Mencari posisi matahari pada tapak.
Menentukan solar window pada tapak
2.3
Teori tentang Solar window
Solar window adalah suatu rentang waktu, dimana sinar matahari mengenai
bangunan tanpa terhalang oleh objek apapun/posisi matahari cukup tinggi sehingga
pembayangan pada bangunan tidak ada, sehingga dibutuhkan sun shading (Lechner,
2001). Dengan kata lain, dapat dikatakan waktu sebelum dan setelah solar window
adalah waktu yang tidak membutuhkan sun shading.
Dalam Penelitian ini, Suhu pada bangunan merupakan parameter utama dan
reduksi suhu adalah parameter dari efektifitas sun shading yang akan didesain. Oleh
karena itu untuk menentukan solar window, akan dianalisis dahulu  suhu bangunan
  
19
pada tanggal dan bulan penting sebelum menggunakan sun shading.
dari hasil
tersebut akan dibandingkan dengan suhu nyaman di Jakarta. Karyono (2009)
mengatakan bahwa suhu di Jakarta berkisar antara 24ºC-32ºC dengan suhu nyaman
berkisar antara 24,9ºC-28ºC.
Suhu kisaran di Jakarta dapat dijadikan sebagai skala pengukuran pada
ECOTECT dan dianalisis pada massa bangunan yang ada. Dari analisis tersebut akan
dilihat pada jam berapa suhu mulai keluar dari batas nyaman >28ºC dan kembali
turun sampai <28ºC. Rentang waktu inilah yang akan disebut sebagai solar window.
2.4
Teori tentang Shadow angle
Desain dari setiap bentuk sun shading bergantung pada lintasan matahari di
langit, dengan memperhitungkan juga orientasi bukaan pada bangunan. Untuk
mempermudah dalam mendesain, Wei (2009) dalam master thesisnya menggunakan 
Shadow angle/sudut pembayangandalam mendesain selubung bangunan. Terdapat
dua jenis shadow angle, yaitu HSA (Horizontal Shadow Angle) dan VSA (Vertical
Shadow Angle).Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan pada berikut ini:
2.4.1
HSA (Horizontal Shadow Angle)
Horizontal Shadow Angle adalah perbedaan antara azimuth
matahari dengan
orientasi pada sisi bangunan yang dapat diukur pada titik tepi bayangan jatuh.
Semakin kecil sudut nya, semakin besar siripnya (La Roche, 2011).
  
20
Gambar 2.5 Ilustrasi HSA (Horizontal Shadow Angle)
Sumber: La Roche, 2011
Horizontal Shadow Angle menurut La Roche (2011), dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut: 
HSA = AZI - ORI
Keterangan:
HSA
: Horizontal Shadow Angle
AZI
: Azimuth matahari
ORI
: Orientasi pada bangunan.
2.4.2
VSA (Vertical Shadow Angle)
Vertical Shadow Angle adalah sudut pembayangan vertikal yang diukur saat
ketinggian matahari sejajar dengan sisi bangunan (fasade). Semakin kecil sudutnya,
semakin besar overhang yang dibutuhkan (La Roche, 2011).
  
21
Gambar 2.6 Ilustrasi VSA (Vertical Shadow Angle)
Sumber: La Roche, 2011
2.5
Case Studies
Sun shading
merupakan suatu hal yang krusial terutama pada daerah yang
beriklim tropis seperti Indonesia. Dalam master thesis
nya Daryanto (1989) telah
meneliti beberapa bangunan dengan sun shading yang ada di Indonesia. Bangunan
tersebut adalah:
Departemen Koperasi,
Wisma Dharmala Sakti,
Kedutaan Swiss,
S. Widjojo Centre,
Gedung Indosat,
Gedung Komputer Bank Indonesia (IBM).
  
22
Berdasarkan dari referensi yang ada, peneliti akan melakukan studi kasus
pada 2(dua) buah bangunan dalam urutan tersebut. Bangunan yang akan distudi
kasus adalah sebagai berikut:
1. S. Widjojo Centre
Gambar 2.7 Foto S. Widjojo Centre Building
Sumber: Dokumentasi pribadi
Gedung S. Widjojo Centre ini terletak di jalan Jenderal Sudirman kav 71,
Jakarta Selatan. Berdasarkan analisa OTTV yang dilakukan oleh Daryanto (1989),
beliau mengatakan bangunan ini termasuk bangunan yang tergolong hemat energi.
Selain itu, dikatakan juga bangunan ini memiliki tingkat penerangan yang cukup
dikarenakan banyak bukaan. Kekurangan dari gedung ini hanyalah pada fasadenya
dimana selubung bangunan terlihat terlalu padat. Bahan yang digunakan untuk
selubung bangunan adalah GRC yang merupakan bahan bangunan yang baru
dipasarkan pada saat itu oleh PT. Guna Reka Cipta.
  
23
2. Wisma Dharmala Sakti
Gambar 2.8 Foto dan sketsa arsitek Wisma Dharmala Sakti
Sumber: Google Image
Gedung Wisma Dharmala Sakti berada pada jalan Jenderal Sudirman kav 32.
Bangunan ini didesain oleh Paul
Rudolph. Pembangunan gedung Wisma Dharmala
Sakti dimaksudkan sebagai suatu contoh bangunan dengan konsep Green
Architecture. Denah bangunanberbentuk persegi, dengan tambahan persegi yang
diputar yang kemudian difungsikan sebagai balkon dan teras. Dikarenakan beton
ekspos
tidak diperbolehkan olehperaturan bangunan, Tampak pada bangunan
menggunakan kerammik dengan warna putih. Ternyata akibat keramik tersebut,
bentuk dan tampak Wisma Dharmala Sakti menjadi sangat menarik sehingga
dijadikan icon oleh PT. Dharmala Corporation.
  
24
2.6
Kesimpulan
Untuk mendesain sun shading, letak geografis bangunan dan matahari
merupakan faktor penentu. Kedua faktor tersebut akan berbeda tergantung dari
wilayah, dimana mendesain sun shading akan berbeda dan tidak dapat dibuat sebuah
standar yang jelas. Akan tetapi, dalam mendesain sun shading
sebenarnya hanya
terdapat dua prinsip yang perlu diperhitungkan, yaitu HSA (Horizontal Shadow
Angle) dan VSA (Vertical Shadow Angle).