4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Green Supply Chain Management
Dalam era globalisasi ini, distribusi dan logistik telah memainkan peranan
penting dalam pertumbuhan dan perkembangan perdagangan dunia.
Terlebih lagi
persaingan bisnis yang semakin ketat di era globalisasi ini menuntut perusahaan
untuk menyusun kembali strategi dan taktik bisnisnya khususnya dari segi distribusi
dan logistik.
Esensi dari persaingan adalah terletak dari bagaimana sebuah
perusahaan dapat mengimplementasikan proses-proses dari penciptaan produk atau
jasa yang lebih murah, memiliki mutu lebih baik, dan lebih cepat untuk
memperolehnya (cheaper, better and faster) dibandingkan pesaing bisnisnya.
2.1.1
Definisi Supply Chain Management
La Londe dan Masters (1994) menyatakan bahwa suatu rantai pasok
merupakan serangkaian perusahaan yang mengalirkan barang-barang ke hilir. Pada
umumnya, perusahaan yang sering mempraktekkan rantai pasok ini adalah
perusahaan manufaktur yang membuat produk dan mengirimkannya sampai ke
tangan konsumen akhir melalui rantai pasok –
mulai dari produsen dengan bahan
mentah dan komponen-komponennya, assembling produknya, grosir, agen retail, dan
perusahaan transportasi, semuanya merupakan anggota dari rantai pasok (La Londe
dan Masters, 1994). Masih dengan konsep yang sama, Lambert, Stock, dan Ellram
(1998) mendefinisikan rantai pasok sebagai aliansi beberapa perusahaan yang
menyampaikan barang atau jasa ke pasar. Dalam hal ini dapat digaris bawahi bahwa
kedua konsep tentang rantai pasok di atas
memasukkan konsumen akhir sebagai
bagian dari rantai pasok. 
Pendapat lain menjelaskan bahwa Supply
Chain Management adalah rantai
pasokan meliputi semua kegiatan yang berhubungan dengan
barang bergerak dari tahap baku-bahan sampai ke pengguna akhir
(Zigiaris, 2000,
p.2)
Sedangkan pendapat yang termutakhir mendefinisikan Supply
Chain
Management
sebagai suatu pengelolaan jaringan hubungan dalam perusahaan dan
antara interdependen organisasi dan unit bisnis yang terdiri dari pemasok bahan,
pembelian, fasilitas produksi, logistik, pemasaran, dan sistem terkait yang
memfasilitasi arus bahan secara forward and reverse, pelayanan, keuangan dan
informasi dari produsen untuk pelanggan akhir dengan manfaat yaitu memberi nilai
tambah, memaksimalkan keuntungan melalui efisiensi, dan mencapai kepuasan
pelanggan. (Naslund, 2010, p.11)
Mensintesa dari beberapa definisi di atas, Mentzer (2001) mendefinisikan
rantai pasok sebagai serangkaian entitas yang terdiri dari tiga atau lebih entitas (baik
individu maupun organisasi) yang terlibat secara langsung dari hulu ke hilir dalam
aliran produk, jasa, keuangan, dan/ atau informasi dari sumber kepada pelanggan.
Mentzer (2001) juga mengkategorikan rantai pasok menjadi tiga macam berdasarkan
tingkat kompleksitasnya, yaitu:
  
5
a.
Direct Supply Chain
Direct
supply
chain
terdiri dari satu perusahaan, satu pemasok, dan satu
pelanggan yang terlibat dalam aliran hulu-hilir produk, jasa, keuangan,
dan
/
atau
informasi. 
b.
Extended SupplyChain
Extended supply chain meliputi beberapa pemasok dari pemasok penghubung
dan beberapa pelanggan dari pelanggan penghubung, semuanya terlibat di dalam
aliran hulu-hilir produk, jasa, keuangan, dan/atau informasi.
c.
Ultimate Supply Chain
Ultimate supply chain meliputi semua organisasi yang terlibat di dalam aliran
hulu-hilir produk, jasa, keuangan, dan/atau informasi. Kategori rantai pasok ini
merupakan kategori yang paling rumit yang berlaku pada rantai pasok yang
kompleks. 
Dalam penelitian ini, topik yang diangkat adalah mengenai pengembangan
pengambilan keputusan maupun penilaian kinerja supplier yang mempunyai peranan
penting dalam Supply Chain Management System.
2.1.2
Green Supply Chain Management (GrSCM)
Supply
chain
management
dapat mengintegrasikan praktek pengelolaan
lingkungan ke dalam seluruh manajemen rantai pasokan dalam rangka mencapai
greener supply chain management dan mempertahankan keunggulan yang kompetitif
dan juga untuk meningkatkan keuntungan bisnis dan tujuan pangsa pasar. (Seman et
al , 2012, p.2)
Zhu dan Sarkis mendefinisikan Green
Supply
Chain
Management
sebagai
pengelolaan yang berkisar dari green purchasing
hingga rantai pasokan yang
terintegrasi mulai dari pemasok, ke pabrik, ke pelanggan dan reverse logistics, yang
"menutup loop". 
Sedangkan menurut pendapat lain, Green Supply Chain Management adalah
suatu pengintegrasian pemikiran lingkungan ke dalam manajemen rantai pasokan,
termasuk desain produk, bahan sumber dan seleksi, proses manufaktur, pengiriman
final produk kepada konsumen serta manajemen
end-of-life produk setelah masa
pemanfaatannya. (Srivastava, 2007, pp.53 - 80)
Green
Supply
Chain
Management
meningkatkan operasional pekerjaan
dengan menggunakan solusi yang memperhatikan lingkungan:
Meningkatkan kelincahan:
GSCM membantu untuk mengurangi risiko dan
mempercepat inovasi;
Meningkatkan adaptasi:  analisis GSCM  sering menghasilkan proses yang inovatif
dan perbaikan terus menerus;
Mempromosikan keselarasan: GSCM melibatkan kebijakan negosiasi dengan
pemasok dan pelanggan, yang menghasilkan keselarasan yang lebih baik dari proses
bisnis
Menambahkan konsep Green
dalam mengakibatkan adanya keterlibatan,
pengaruh dan hubungan antara SCM dan lingkungan alam (Hervani et al., 2005).
Dalam perekonomian global, perusahaan otomotif berkembang sangat pesat di
kawasan Asia. Perusahaan otomotif tersebut diantaranya adalah Toyota, Honda,
General Motor, Ford, Daimler Chrysler, Suzuki, Hyundai dan Fiat (Kumar dan Bali,
2010). 
  
6
Terdapat beberapa penelitian mengenai evaluasi performansi GSCM.
Mengaplikasikan konsep green ke dalam industri otomotif sangat penting untuk
mengurangi dampak lingkungan, bersaing dalam kompetisi pasar, dan memastikan
pemenuhan terhadap peraturan. Dalam rangka mencapai GSCM, perusahaan harus
mengikuti prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan dalam klausul-klausul yang ada pada 
ISO 14001
yang mengelola tentang Sistem Manajemen Lingkungan. Dengan
demikian, perusahaan harus mengembangkan prosedur yang berkonsentrasi pada
analisis operasi, perbaikan terus-menerus, pengukuran, dan tujuan target serta
program. (Ghobakhloo et al, 2013, p.87)
Green Supply Chain Management (GSCM) = Green Product Design + Green
Material Management + Green Manufacturing Process + Green Distribution and
Marketing + Reverse Logistics (RL). (Ghobakhloo et al , 2013, p.87). Hal tersebut
dapat dilihat berdasarkan gambar berikut ini:
Gambar 2.1 Framework Proses Implementasi GrSCM
Sumber: Ghobakhloo et al, 2013, p. 8
2.2 
Logistics
2.2.1
Definisi Logistik
Logistik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai penyediaan suatu
barang yang dibutuhkan yang pengadaannya dapat dilakukan langsung oleh pihak
yang membutuhkan atau dilakukan oleh pihak lain
(Indonesia Logistics Blue Print).
Evolusi pemikiran tentang logistik
didasarkan atas bagaimana melakukan
pengelolaan yang paling efektif dan efisien atas pendistribusian barang dari produsen
sampai ke konsumen akhir dengan perkembangan orientasi (a) 1950an, berupa
workplace logistics, (b) 1960an, facility logistics, (c) 1970an, corporate logistics, (d)
1980an, supply chain logistics, dan (e) 1990an, global logistics (Frazelle, 2002).
  
7
Menurut Stock dan Lambert (2001), manajemen logistik adalah bagian dari
proses rantai pasok (supply chain) yang merencanakan, mengimplementasikan, dan
mengendalikan aliran barang, jasa, dan informasi secara efektif dan efisien dari titik
awal sampai akhir (konsumsi) dalam rangka memenuhi permintaan pelanggan.
Bowersox (2002) secara lebih spesifik mengatakan bahwa logistik adalah
kegiatan yang diperlukan untuk memindahkan dan menempatkan persediaan
sepanjang rantai pasokan (supply
chain), sedangkan supply
chain
management
sendiri merupakan kolaborasi dari perusahaan-perusahaan yang bertujuan
meningkatkan positioning strategis dan memperbaiki efisiensi operasi. Berdasarkan
definisi-definisi di atas, maka fungsi logistik merupakan bagian dari fungsi supply
chain, di mana suatu
supply
chain
itu sendiri merupakan jejaring proses yang
berorientasi sasaran dan titik-titik penyimpanan yang digunakan untuk
menyampaikan barang dan jasa kepada pelanggan (Hopp, 2008).
Sedangkan menurut Simchi-Levi (2004), supply
chain
management
merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk mengintegrasikan para supplier,
pabrikan, gudang, dan toko
atau outlet sehingga barang
diproduksi dan
didistribusikan secara tepat jumlah, tepat lokasi, dan tepat waktu dengan biaya
keseluruhan seminimal mungkin, namun dapat memberikan kepuasan sesuai yang
diinginkan. 
Logistik dan Supply Chain
merupakan dua konsep yang berbeda, tidak hanya
dalam definisi tetapi juga dalam praktek nyata. Obyek dari manajemen logistik
langsung berhubungan dengan aktivitas logistik termasuk jaringan informasi logistik.
Sedangkan dalam Supply Chain Management
mencakup aktivitas yang lebih luas,
mulai dari aliran informasi maupun material dari supplier, manufaktur, distributor
dan retail hingga pengguna akhir. 
2.3 Supplier
Dalam konsep Supply Chain, supplier
merupakan salah satu bagian yang
sangat penting dan berpengaruh terhadap eksistensi perusahaan. Untuk mendapatkan
supplier
yang tepat, perusahaan perlu melakukan evaluasi supplier. Mengevaluasi
supplier
merupakan hal yang tidak mudah karena data yang digunakan tidak hanya
kuantitatif tetapi juga kualitatif dan banyak faktor yang terlibat dalam proses evaluasi
supplier
tersebut yang saling berlawanan. Misalnya adalah antara faktor kriteria
harga dengan faktor kriteria
kualitas. Dikarenakan PT TAM telah
mengimplementasikan Green Supply Chain Management
dalam konsep bisnisnya,
maka evaluasi supplier yang dilakukan idealnya memperhatikan kriteria lingkungan.
Supplier
merupakan bagian yang penting dalam menunjang strategi
perusahaan. Pengelolaan supplier
membutuhkan kemampuan negosiasi yang baik
karena supplier
bukan merupakan bagian dari organisasi perusahaan namun tetap
memberikan dampak kepada citra perusahaan. Oleh karena itu hubungan antara
supplier dengan perusahaan harus dijaga dengan baik. Pengelolaan hubungan antara
supplier
dengan perusahaan ini sering disebut dengan Supplier
Relationship
Management
(SRM).
Menurut Mettler dan
Rohner (2009), SRM adalah sebuah
pendekatan yang komprehensif untuk mengelola interaksi antara organisasi
dengan
perusahaan yang memasok produk dan jasa yang digunakan oleh organisasi.
  
8
2.3.1
Evaluasi Kinerja Supplier
Kinerja Supplier
harus dimonitor secara berkelanjutan. Penilaian kinerja
supplier
ini merupakan hal yang penting karena dapat dijadikan sebagai bahan
evaluasi yang dapat digunakan sebagai masukan dalam peningkatan kinerja supplier
maupun sebagai bahan pertimbangan mengenai keputusan keperluan pencarian
supplier
alternatif. Ketika perusahaan tidak hanya memiliki satu supplier, maka
supplier akan terpacu dan berlomba untuk meningkatkan kinerja mereka agar tetap
menjadi rekanan bagi perusahaan.
2.3.1.1
Kriteria Evaluasi Kinerja Supplier
Penentuan kriteria
pemilihan supplier
merupakan hal yang penting dalam
proses pemilihan supplier. Kriteria
yang digunakan harus mencerminkan strategi
Supply Chain
perusahaan tersebut. Secara umum banyak perusahaan yang
menggunakan kriteria
umum seperti kualitas, harga dan ketepatan waktu yang
pengiriman. Namun terkadang terdapat beberapa pertimbangan lain dalam memilih
supplier.
Di PT TAM yang telah mengimplementasikan Green Supply Chain
Management, kriteria
evaluasi supplier
idealnya tentu
berbeda dengan perusahaan
yang belum mengimplementasikan Green Supply Chain Management. Perbedaannya
terletak pada pertimbangan akan kriteria lingkungan.
Terdapat beberapa penelitian yang melakukan evaluasi kinerja supplier
di
perusahaan yang juga telah menerapkan konsep Green Supply Chain Management.
Kuo-Jui Wu et al. menggunakan 15 kriteria
dalam mengevaluasi kinerja supplier.
Adapun kriteria
tersebut adalah kolaborasi mengenai lingungan dengan supplier,
kolaborasi dengan pendesain produk dan supplier
untuk mengurangi limbah dan
mengeliminasi dampak lingkungan dari produk, kedekatan hubungan dengan
supplier, kepuasan consumer, kualitas produk, fleksibilitas supplier, kualitas
pelayanan internal, green design, green purchasing, ISO 14001, Perencanaan green
production internal, cleaner production, kebutuhan dari supplier, banyaknya patents,
tingkat keinovatifan dalam Riset dan Pengembangan green products.
Ru-Jen Lin et al. dalam penelitiannya juga menggunakan 15 kriteria
dalam
menentukan evaluasi kinerja supplier diantaranya adalah inisiatif dalam mengontrol
polusi, penggunaan teknologi ramah lingkungan, hubungan dengan green
organization
dan supplier, sertifikasi mengenai lingkungan, pengurangan biaya
untuk pembelian material, pengurangan biaya untuk konsumsi energi, pengurangan
biaya untuk pengelolaan limbah, pengurangan biaya untuk pembuangan
limbah,
peningkatan investment, peningkatan biaya operasional, peningkatan biaya untuk
pembelian material ramah lingkungan, pengurangan limbah, perbaikan kualitas,
perbaikan mengenai pengiriman, perbaikan mengenai penggunaan kapasitas
(optimasi).
Agarwal, G dan Vijayvargy (2012) menggunakan 4 kriteria pemilihan green
supplier
yaitu Operational Life Cycle, Praktek Teknologi Ramah Lingkungan, ,
Evaluasi kinerja secara keseluruhan serta Manajemen proses. 4 kriteria
tersebut
didetailkan kedalam kriteria yang lebih jelas. Adapun detail kriteria tersebut adalah:
  
9
Tabel 2.1 Performance Supplier Kriteria
Kriteria
Sub Kriteria
Operational Life Cycle
Praktek Teknologi Ramah
Lingkungan
Evaluasi Kinerja Secara
Keseluruhan
Manajemen Proses
Desain Produk
Procurement
Manufacturing/Assembly
Distribusi
Logistics
Packaging
Research & Development
Pengurangan Limbah
Recycle
Reproduce
Reuse
Pembuangan
Eco-friendly
Biaya
Kualitas
Fleksibilitas
Waktu
Pengelolaan material berbahaya
Pemeriksaan sebelum pengiriman
Proses Audit
Manajemen Warehouse
Sumber: Agarwal, Gopal 
Cheng-Wen Lee dalam penelitiannya menggunakan 14 kriteria
dalam
mengevaluasi kinerja supplier, diantaranya adalah desain produk, procurement,
manufacturing/assembly, distribution, logistics, packaging, pengurangan limbah,
recycle, reproduce, reuse, pembuangan, kualitas, biaya dan fleksibilitas.
Sedangkan Samadhan P Deshmukh dan Vivek K Sunnapwar dalam penelitiannya
menggunakan 7 kriteria
dalam menentukan evaluasi kinerja supplier
yaitu green
design, green logistics design, green manufacturing, green costs, kualitas, penilaian
kinerja lingkungan serta kerjasama dengan pelanggan.
Metode Fuzzy
Logika fuzzy
merupakan salah satu komponen pembentuk soft computing.
Logika fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Lotfi A. Zadeh pada tahun 1965.
Dalam
beberapa hal, logika fuzzy
digunakan sebagai suatu cara untuk memetakan
masalah dari input
menuju output
yang diharapkan, salah satunya adalah dalam
mengevaluasi kinerja supplier.
Logika fuzzy
dapat membangun dan mengaplikasikan pengalaman –
pengalaman
para pakar secara langsung tanpa harus melalui proses pelatihan. Dalam hal ini sering
dikenal dengan sebutan Fuzzy Expert System.
Logika fuzzy dapat bekerjasama dengan teknik – teknik kendali secara konvensional.
Logika fuzzy didasarkan pada bahasa alami yang menggunakan bahasa sehari – hari
sehingga mudah dimengerti. 
  
10
2.5
Analytical Hierarchy Process
Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika.
Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas
persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses
pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-
bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi
nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan
mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang
memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi
tersebut. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan
menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan
menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Metode
ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada
berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi
hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang
dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat. (Saaty, 1993).
Metode AHP memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah:
1.
Struktur yang berhierarki sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih sampai pada
sub-sub kriteria yang paling dalam
2.
Memperhitungkan validitas sampai batas toleransi inkonsentrasi sebagai kriteria dan
alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan
3.
Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output
analisis sensitivitas
pengambilan keputusan
Metode pairwise comparison AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalah yang diteliti multi obyek dan multi kriteria yang berdasar pada perbandingan
preferensi dari tiap elemen dalam hierarki. Jadi model ini merupakan model yang
komperehensif. Pembuat keputusan menetukan pilihan atas pasangan perbandingan
yang sederhana, membangun semua prioritas untuk urutan alternatif. Pairwaise
comparison
AHP menggunakan data yang ada bersifat kualitatif berdasarkan pada
persepsi, pengalaman, intuisi sehigga dirasakan dan diamati, namun kelengkapan
data numerik tidak menunjang untuk memodelkan secara kuantitatif.
Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah ketergantungan model AHP pada
input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini
melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika
ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. Metode AHP ini hanya metode
matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan
dari kebenaran model yang terbentuk.
AHP dikembangkan oleh Thomas Saaty
(1993) dan dapat digunakan untuk memecahkan  permasalahan yang kompleks
dengan aspek atau  kriteria yang diambil cukup banyak.
Salah  satu  keuntungan  utama AHP yang membedakan dengan model
pengambilan keputusan lainnya adalah tidak adanya syarat konsistensi mutlak. Hal
ini didasarkan pada kenyataan bahwa keputusan  manusia sebagian  didasari logika
dan  sebagian  lagi didasarkan pada unsur di luar logika seperti perasaan, pengalaman
dan intuisi (Saaty, 1993). 
  
11
Adapun langkah – langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah sebagai
berikut:
1.
Mendefinisikan permasalahan dan penentuan tujuan. Jika AHP digunakan untuk
memilih   alternatif atau menyusun prioriras alternatif, pada tahap ini dilakukan
pengembangan alternatif.
2.
Menyusun masalah kedalam hierarki sehingga permasalahan yang kompleks dapat
ditinjau dari sisi yang detail dan terukur.
3.
Penyusunan prioritas untuk tiap elemen masalah pada hierarki. Proses ini
menghasilkan bobot atau kontribusi elemen terhadap pencapaian tujuan sehingga
elemen dengan bobot tertinggi memiliki prioritas penanganan. Prioritas dihasilkan
dari suatu matriks perbandingan berpasangan antara seluruh elemen pada tingkat
hierarki yang sama.
4.
Melakukan pengujian konsitensi terhadap perbandingan antar elemen yang didapatan
pada tiap tingkat hierarki.
Sedangkan langkah-langkah pairwise comparison AHP adalah :
1.
Pengambilan data dari obyek yang diteliti.
2.
Menghitung data dari bobot perbandingan berpasangan responden dengan metode
pairwise comparison AHP berdasar hasil kuesioner.
3.
Menghitung rata-rata rasio konsistensi dari masing-masing responden.
4.
Pengolahan dengan metode pairwise comparison AHP.
5.
Setelah dilakukan pengolahan tersebut, maka dapat disimpulkan adanya konsistensi  
dengan tidak, bila data tidak konsisten maka diulangi lagi dengan pengambilan data
seperti semula.
2.6
Validitas Alat Ukur
Sebuah alat
ukur dianggap mampu mengukur suatu objek alat ukur dengan
baik apabila memiliki nilai validitas yang tinggi, reliable dan terdiri dari item –
item
yang baik (Sekaran, 2000). Validitas menurut Sekaran adalah suatu  ukuran yang
menentukan seberapa bagus suatu alat ukur yang didesain mampu mengukur suatu
konsep tertentu yang ingin diukur. Pemeriksaan validitas alat ukur dapat dilakukan
sebelum alat ukur digunakan sesungguhnya. Sekaran (2000) menyatakan validitas
alat ukur dapat ditentukan melalui tiga jenis validitas berikut:
a.
Validitas isi (Content Validity)
Validitas isi menunjukkan sejauh mana isi alat pengukur mewakili semua
aspek yang dianggap sebagai aspek –
aspek kerangka konsep. (Ancok, 1989).
Validitas isi hanya dapat dinilai secara logika berdasarkan
subjektifitas (personal
judgement) dari pakar dan peneliti yang terlibat dalam penelitian (Ancok, 1989).
Untuk menguji validitas, maka dapat digunakan pendapat para ahli (expert
judgement). Dalam hal ini setelah instrumen dibangun mengenai aspek aspek yang
akan diukur berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan
para ahli. Para ahli dimintai pendapatnya mengenai instrumen yang telah disusun itu.
Jumlah tenaga ahli yang digunakan minimal tiga orang sesuai dengan lingkup yang
akan diteliti (Sugiyono, 2010, p. 352)
b.
Validitas konstruk (Construct Validity)
Validitas konstruk menurut Widodo (2006), menunjukkan kualitas dari alat
ukur dalam menggambarkan konstruk teoritis yang digunakan sebagai dasar dari
operasionalisasi variabel. 
  
12
c.
Validitas kriteria (Criterion-related Validity)
Validitas kriteria menunjukkan sejauh mana suatu item
dapat
menggambarkan suatu item untuk mengukur objek ukur. Validitas kriteria juga
dikenal dengan validitas item. Dalam konteks penelitian ini, validitas kriteria
merupakan kesesuaian antara item kriteria berdasarkan teori dengan item kriteria
berdasarkan pendapat pakar.
Beberapa jenis pengukuran hanya dapat dilakukan pengujian isi atau content
dari alat ukur. Pada jenis pengukuran tertentu validitas kriteria dan validitas konstruk
tidak dapat diuji dengan pendekatan empirik
(Azwar, 2003). Validitas isi dilakukan
dengan analisis rasional terhadap butir – butir instrumen dengan bantuan pendapat
pakar (expert judgement).
Validitas isi dari suatu alat ukur dapat
dihitung dengan menggunakan rasio
validitas isi (Content Validity Ratio). Rasio validitas isi menunjukkan rasio penilaian
penting atau tidak penting dari para pakar yang memvalidasi isi atau konten dari alat
ukur (Lawshe, 1975).
CVR =
– 1
Keterangan:
Mp 
= Banyaknya pakar yang menyatakan penting
M
= Banyaknya pakar yang memvalidasi.
Konten alat ukur dinyatakan valid jika nilai CVR > 0.
Pengujian terakhir yang harus dilakukan untuk mengevaluasi rancangan alat
ukur adalah uji reabilitas. Menurut Ancok (1989) reabilitas merupakan indeks yang
menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya dan diandalkan. Pada
hakikatnya reabilitas suatu alat ukur dapat ditunjukkan dengan menghitung koefisien
reabilitas. Terdapat beberapa metode perhitungan koefisien reabilitas diantaranya
Test – retest reliability, Parallel forms reliability dan Single trial administration.  
2.7
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian yang bersifat kualitatif, berbagai teknik pengumpulan data
digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai pemikiran dan tingkah laku
narasumber terhadap kasus tertentu (Malhotra, 2007, p. 153). Beberapa teknik
pengumpulan data pada penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini
diantaranya adalah Wawancara Mendalam (Depth Interview) dan Validasi Pakar
(Expert Judgement). 
  
13
2.8.1
Depth Interview 
Metode wawancara mendalam (Depth Interview) merupakan salah satu
metode kualitatif yang melibatkan wawancara personal dengan sekelompok
responden untuk mengetahui pandangan responden terhadap suatu ide, program atau
situasi (Boyce dan
Neale, 2006). Metode wawancara mendalam sangat berguna
untuk mendapatkan informasi mendetail terkait pengetahuan, pandangan dan
tindakan seseorang pada suatu isu atau situasi tertentu.
Metode wawancara mendalam dilakukan melalui tatap muka antara
pewawancara dengan responden yang dilakukan secara non formal, tidak baku dan
tepat sasaran (Malhotra, 2007, p. 211). Dibandingkan dengan metode kualitatif
lainnya, metode depth interview memiliki keunggulan sebagai berikut:
Mendapatkan pemahaman yang lebih dalam terhadap pengetahuan yang dimiliki
responden
Mendapat respon yang cepat dari responden
Mudah untuk diselenggarakan
Mempercepat pertukaran informasi
Keunggulan –
keunggulan metode depth interview seperti yang telah
dijelaskan di atas, menjadikan metode ini salah satu metode yang paling banyak
digunakan dalam metode kualitatif.
2.8.2
Expert Judgement
Validasi pakar atau Expert Judgement merupakan kumpulan data yang
diberikan oleh seorang pakar (expert) terhadap suatu permasalahan teknis (Meyer
dan Booker, 1991). Keeney dan
Won Winterfeldt (1989) pada Meyer dan
Booker
(1991) mengungkapkan bahwa secara umum expert judgement dapat dipandang
sebagai representasi atau gambaran dari pengetahuan pakar terhadap
permasalahan
tertentu di waktu tertentu. Pakar merupakan seseorang yang memiliki latar belakang
di suatu bidang tertentu yang dianggap mampu menjawab persoalan yang diberikan
(Meyer dan
Booker, 1991). Metode ini sangat
efektif untuk digunakan ketika
pengukuran, observasi, sedangkan pada eksperimen dan simulasi sulit untuk
dilakukan.
Metode expert judgement cocok digunakan untuk memenuhi tujuan berikut
(Meyer dan Booker, 1991):
Mengestimasi fenomena yang tergolong baru, langka, kompleks dan sukar untuk
dimengerti
Memprediksi kejadian di masa depan
Melakukan integrasi dan interpretasi terhadap data yang sudah ada
Mempelajari proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh sekelompok penalar
Menentukan apa yang saat ini diketahui, tidak diketahui dan layak untuk dipelajari
pada suatu bidang ilmu pengetahuan
  
14
Expert judgement menurut Meyer dan Booker (1991) umumnya dilakukan
dengan tiga metode yaitu:
a)
Individual Interview. Metode ini dilakukan dengan cara wawancara secara tatap
muka dan personal dengan pakar
b)
Interactive Groups. Metode ini dilakukan melalui diskusi kelompok. Pada metode ini
para pakar dapat berinteraksi dan berdiskusi satu sama lain.
c)
Delphi Situations. Metode ini dilakukan dengan memisahkan pakar antara satu
dengan lainnya. Para pakar memberikan pandangannya melalui moderator, kemudian
moderator mendistribusikan pandangan pakar tersebut kepada pakar lainnya secara
anonymous. Pakar diberi kesempatan untuk merevisi pandangannya hingga tercapai
suatu consensus antar pakar.
Meyer dan Booker (1991) menjabarkan langkah – langkah dalam
melaksanakan metode Expert Judgement sebagai berikut:
1)
Menentukan ruang lingkup pertanyaan dan memilih pertanyaan yang sesuai
2)
Menyempurnakan pertanyaan
3)
Memilih pakar yang kompeten
4)
Memilih metode expert judgement
5)
Memunculkan dan
mendokumentasikan penilaian ahli (jawaban dan atau informasi
tambahan).