BAB  2
L ANDASAN TEORI
2.1  Sistem Informasi Akuntansi
Sistem  informasi  akuntansi  memanfaatkan  teknologi  informasi  dalam 
menyediakan  informasi  bagi  para  pengguna  melalui  pengolahan  data.  Sistem 
informasi  akuntansi  merupakan  bagian  daripada  sistem  informasi  perusahaan 
yang  memiliki  tujuan,  kegunaan,  dan  komponen  yang  mendukungnya,  serta 
siklus transaksi  yang terdapat pada sistem informasi akuntansi.  
2.1.1 Pengertian Sistem Informasi Akuntansi
Gelinas  dan  Dull  (2008:  14)  mengemukakan  bahwa,  “Accounting 
information  system  (AIS)  is  a  specialized  subsystem  of  the  IS.  The 
purpose  of  this  separate  AIS  was  to  collect,   process,  and  report 
information related to the financial aspects of business events.” 
C onsidine,  Parkes,  Olesen,  Blount,  dan  Speer  (2012:  12) 
berpendapat  bahwa,  “Accounting  Information 
System  is  the  application 
of  technology  to  the  capturing,  verifying,  storing,  sorting,  and  reporting 
of data relating to an organisation’s activities.”  
Setelah  memahami  beberapa  pengertian  di atas,  dapat  disimpulkan 
bahwa  sistem  informasi akuntansi  adalah suatu siste
informasi  berbasis 
komputer  yang mengumpulkan, memverifikasi, memprose
menyimpan, 
mengurutkan,  dan   melaporkan  data  keuangan  den ga
tujuan  untuk 
menghasilkan  informasi  keuangan  yang 
berguna  untu
mendukung 
proses pengambilan keputusan. 
2.1.2 Kegunaan Sistem Informasi Akuntansi
M.  Slamet  Wibowo  menerjemahkan  kegunaan  sistem  informasi 
akuntansi  menurut  Rama,  Dasaratha  V  dan  Frederick  L.Jones  (2008:  6), 
yaitu: 
1.  Membuat  laporan  yan g  berisi  informasi  yang  berguna  bagi  pihak 
eksternal  perusahaan  seperti  para  investor,  kreditur,  dinas  pajak, 
badan-badan pemerintah, dan yang lainnya. 
  
10 
2.  Membantu  para  manajer  dalam  melakukan  aktivitas  rutin operasional 
dalam suatu siklus operasi perusahaan. 
3.  Mendukung  proses  pengambilan  keputusan  pada  seluruh  tingkat 
manajemen, baik  yang dilakukan secara rutin maupun tidak. 
4.  Mendukung  dalam  pembuatan  suatu  perencanaan  dan  juga  dalam 
melakukan pengendalian terhadap setiap aktivitas yang dilakukan. 
5.  Mendukung  p elaksanaan  pengendalian  internal  yang  meliputi 
kebijakan,  aturan,  prosedur,  dan  sistem  informasi  yang  digunakan  
untuk  melindungi  aset  perusahaan  dari  kerugian  atau  pencurian  dan  
menjaga keakuratan data keuangan perusahaan. 
2.1.3  Komponen Sistem Informasi Akuntansi
Terdapat  enam  kompo nen  yan g  membentuk  sistem  informasi 
akuntansi menurut R omney dan Steinbart (2006: 6) yaitu: 
1.  People  (orang),  yang  berinteraksi  langsung  untuk  mengoperasikan 
sistem dan melakukan berbagai fungsi. 
2.  Procedures  and instruction  (prosedur dan instruksi), baik  manual dan 
otomatis mancakup pengumpulan, pemrosesan dan penyimpanan  data 
mengenai kegiatan organisasi. 
3.  Data  (data),  meliputi  semua  data  transaksi  yang  terjadi  mengenai 
proses bisnis organisasi. 
4.  Software  (perangkat  lunak),  yang  digunakan  untuk  memproses  dan 
mengolah data organisasi. 
5.  Information  technology  infrastructure  (infrastruktur  teknologi 
informasi),  meliputi  komputer,  peralatan  komunikasi  jaringan  dan  
peralatan
lainn ya yang digunakan  untuk mengumpulkan, menyimpan, 
memproses  data,  serta  kemudian  mengirimkan  d ata  tersebut  lengkap 
dengan informasi yang dihasilkan. 
6.  Internal  controls  and  security  measures  (pengen dalian  internal  dan 
tingkat keamanan), yang menjaga keamanan data pada sistem. 
2.1.4  Siklus Transaksi pada Sistem Informasi Akuntansi
Menurut  Romney  dan  Steinbart  (2006:  29),  siklus  pemrosesan 
transaksi  pada  sistem  merupakan  suatu  rangkaian  aktivitas  yan g
  
11 
dilakukan  perusahaan  dalam  melakuk an  bisnisn ya,  mulai  dari  proses 
pembelian,  produksi,  hingga  penjualan  barang  dan  jasa.  Siklus  transaksi 
pada perusahaan dapat dibagi kedalam lima subsistem, yaitu: 
1.  Revenue  cycle  (siklus  pendap atan),  yang  terdiri  dari  transaksi 
penjualan dan penerimaan kas. 
2.  Expenditure  cycle  (siklus  pengeluaran),  yang  terdiri  dari  peristiwa 
pembelian  barang  untuk  dijual  kembali  atau  bahan  baku  diproduksi 
dan pen geluaran kas. 
3.  Human  resource  /  payroll  cycle  (siklus  penggajian  /  sumber  daya 
manusia),  yang  terdiri  dari  peristiwa  yan g  berhubungan  dengan 
perekrutan dan pembayaran atas pemakaian tenaga kerja. 
4.  Production  cycle  (siklus  produksi),  yan g  terdiri  dari  peristiwa  yang 
berhubungan  dengan  pengubahan  bahan mentah  menjadi  barang  jadi 
yang siap  dipasarkan.  
5.  Financing  cycle  (siklus  pembiayaan),  yang  terdiri  dari  transaksi 
dimana  perusahaan  men jual  bagian  kepemilikan  perusah aan  kepada 
investor,  perusahaan  meminjam  sejumlah  uang  kepada  kreditor,  dan 
membayar  sejumlah  dividen  kepada  investor,  serta  membayar 
pinjaman beserta bun ga kepada kreditor. 
2.2  Teori-teori Produksi
Proses  produksi  merupakan  proses  yang  paling  utama  dalam  perusahaan 
yang  bergerak  di  bidang  manufaktur.  Proses  produksi  dilakukan  untuk 
mengubah  bahan  baku  menjadi  barang  jadi  yang  nantinya  akan  dipasarkan  ke 
masyarakat.  Sebelum  melakukan  proses  produksi,  perlu  adanya  perencanaan 
dan  pengendalian  atas  produksi  agar  perusahaan  mampu  mengelola  harga 
pokok produksi seminimal mungkin. 
2.2.1 Pengertian Produksi
Menurut  Groover  (2005:  1),  produksi  merupakan  suatu  kegiatan 
yang  berisi  kumpulan  orang,  peralatan,  dan  aturan-aturan  yang  dikelola 
sedemikian  rupa  untuk  melaksanakan  operasi-operasi  manufaktur   dalam 
sebuah pabrik.  
  
12 
Hall  (2013:  15)  menjelaskan  bahwa  aktivitas  produksi  terjadi  di 
dalam  siklus  pengkonversian  bahan  baku,  tenaga  kerja,  dan  aktiva  tetap  
yang digunakan untuk menghasilkan suatu bar ang jadi. 
Dari  beberapa  pengertian  di  atas,  maka  dapat  disimpulkan  bahwa 
produksi  merupakan  proses  mengubah  bahan  baku,  tenaga  kerja  dengan  
menggunakan peralatan dalam rangka untuk menghasilkan barang jadi. 
2.2.2  Pengertian Harga Pokok Produksi
Harga  pokok  produksi  menurut  Hansen  dan  Mowen  yang 
diterjemahkan  oleh  Deny  Arnos  Kwary  (2009:  60),  yakni  harga  pokok  
produksi  mencerminkan  total  biaya  barang  yang  diselesaikan  selama 
periode  yang  berjalan.  Biaya  yang  dibebankan  pada  barang  yang  telah  
selesai  hanya  biaya  manufaktur  yan g  terdiri  dari  biaya  bahan  langsung, 
biaya tenaga kerja lan gsung, dan biaya overhead. 
Menurut  Raiborn  dan  Kinney  yan g  diterjemahkan  oleh  Rahmat 
Hilman  (2011:  61),   harga  pokok  produksi  sama  dengan  biaya  yan g  ada 
pada  area  konversi  pada  permulaan  periode  ditambah  biaya  produksi 
(bahan baku langsun g,  tenaga kerja  lan gsung, dan overhead) yan g  terjadi 
selama  periode  dikurangi  biaya  barang  yang  belum  terselesaikan  yan g 
ada  pada  area  konversi  di  akhir  period e.  Harga  pokok  produksi 
ditunjukkan pada laporan manajemen  internal yang disebut  laporan harga 
pokok  produksi;  jumlahn ya  sama  d engan  harga  pokok  pembelian  dalam 
sebuah  perusahaan ritel. Jika  harga  pokok p roduk si ditambahkan  dengan 
persediaan bar ang jadi  maka  dapat ditentukan biaya barang  yang tersedia 
untuk  dijual  pada  periode  berjalan;  biaya  barang 
yang  tersedia  untuk 
dijual  dikurang  d engan  saldo  persediaan  barang  jadi  akhir  merupakan 
harga pokok penjualan pada laporan laba ru gi. 
Jadi  dapat  disimpulkan  bahwa  harga  pokok  produksi  adalah  biaya 
yang keluar  untuk  menghasilkan suatu barang  jadi dan menjadi landasan  
dalam menetapkan harga jual suatu produk. 
2.2.3  Fungsi Harga Pokok Produksi
Menurut  Mulyadi  (2005:  65)  harga  pokok  produksi  yang 
dikalkulasi pada jangka waktu tertentu yang sudah  ditentukan merupakan 
  
13 
sebuah  informasi,  dimana informasi tersebut  bermanfaat  bagi  manajemen 
untuk: 
1.  Menentukan Harga Jual Produk 
Biaya  produksi  dihitung  d alam  jangka  waktu  tertentu  untuk 
mengh asilkan  informasi  biaya  produksi  per  satuan  produk.  Dalam 
penetapan  harga  jual,  biaya  produksi  per  unit  merupakan  salah  satu 
informasi yan g  dipertimbangkan disamping  informasi biaya lain serta 
informasi nonbiaya. 
2.  Memantau Realisasi Biaya Produksi 
Jika  rencana  produksi  untuk  jangka  waktu  tertentu  telah  ditetapkan, 
maka  manajemen  memerlukan  informasi  biaya  produksi  yang 
sesungguhn ya  dikeluarkan  di  dalam  pelaksanaan  rencana  produksi 
tersebut.  Maka  dari  itu,  akuntansi  biaya  digunakan  untuk 
mengumpulkan  informasi  terkait  biaya  produksi  yang  keluar  dalam 
jangk a  waktu  tertentu  untuk  memantau  apakah  proses  produksi 
mengkonsumsi  total  biaya  produksi  sesuai  dengan  yang 
diperhitungkan sebelumn ya. 
3.  Menghitung Laba atau Rugi Kotor  
Untuk  mengetahui  apakah  sebuah  kegiatan  produksi  dan  pemasaran 
dalam  periode  waktu  tertentu  mampu  menghasilkan  laba  bruto  atau 
rugi  bruto,  maka manajemen  membutuhkan  informasi  biaya  produksi 
yang  telah  dikeluarkan  untuk  memproduksi  produk  dalam  periode 
tertentu. 
4.  Menentukan  Harga  Poko k Persediaan  Produk  Jadi  dan  Produk Dalam 
Proses Disajikan dalam  Neraca 
Dalam  tugasn ya  manajemen  memili
pertanggungjawaban  terhadap 
keuan gan  periodik,  yakni  dala
menyajikan  laporan  keuangan, 
diantaran ya  n eraca  dan  laporan  laba  rug
Di  dalam  neraca, 
manajemen  harus  menyajikan  harga  poko
persediaan  produk  jadi 
  
14 
2.2.4  Sistem  Perhitungan Harga Pokok Produksi
Menurut  Witjaksono (2006: 25),  “Sistem  perhitungan  harga pokok  
membahas  mengenai  tata  cara  atau  metode  penyajian  informasi  biaya 
produk  dan  jasa  berdasarkan  informasi  dari  sistem  akumulasi  biaya  dan  
sistem  biaya.”  Secara  garis  besar  terdapat  2  (dua)  macam  alternatif  
sistem perhitungan h arga pokok, yakni: 
1.  Full Costing / Absorption Costing 
Di  dalam sistem perhitungan full costing /  absorption  costing, seluruh 
biaya  produksi  variabel  dan  biaya  produksi  tetap  dibebankan  ke 
produk. 
2.  Variabel Costing
Di  dalam  sistem  perhitugan  variabel  costing,  hanya  biay
produksi 
variabel saja yang dibebankan ke produk. 
2.3  Sistem Produksi
Aktivitas produksi  pada  suatu  perusahaan  tidak terlepas dari penggunaan  
sistem yang mendukung. Terdapat beberapa jenis proses manufaktur  yang akan  
dijelaskan berikut ini. 
2.3.1  Pengertian Sistem  Produksi
Goldberg  dan  Askin (20 06:  19) mengemukakan  bahwa  “The  set  of 
resources  and  procedures  involved  in  converting  raw  material  into 
products  and  delivering  them  to  customers  defined  the  production 
system”,  yakni  sistem  produksi  adalah  suatu  set  sumber  daya  dan  
prosedur  yang  terlibat  dalam  mengkonversi  bahan  baku  menjadi  produk  
dan memberikannya kep ada pelanggan. 
2.3.2  Jenis Proses Manufaktur
Menurut  Hansen dan  Mowen  yang diterjemahkan oleh Deny Arnos 
Kwary  (2009:  306),  dalam  perusahaan  dengan  sistem  proses,  maka  unit-
unit  produksi  umumnya  melalui  setiap  departemen  atau  proses.   Dalam 
setiap  departemen,  bahan  baku,  tenaga  kerja,  dan  overhead  mungkin 
dibutuhkan.  Saat  penyelsaian  proses  tertentu,  barang  setengah  jadi 
dipindahkan  ke  departemen  berikutnya.  Setelah  melewati  departemen  
  
15 
terakhir,  barang  selesai  diproduksi.  Berikut  adalah  jenis-jenis  proses 
manufaktur: 
1.  Proses  berurutan  (sequential  processing),  yaitu  pola  pemrosesan 
dengan  unit yang  melewati dari suatu proses ke proses lainnya  dalam 
serangkaian susunan. 
  
Gambar 2.1 Proses Manufaktur Berurutan 
Sumber: Hansen dan Mowen (2009: 306) 
2.  Proses  paralel  (parallel  processing),  yaitu  pola  pemrosesan  dengan 
dua atau  lebih proses  berurutan yang disyaratkan untuk  menghasilkan 
sebuah bar ang jadi. 
  
Gambar 2.2 Proses Manufaktur Paralel 
Sumber: Hansen dan Mowen (2009: 307) 
2.4  Biaya
Kegiatan  produksi  yang  dilakukan  perusaahaan  tentu  memunculkan 
biaya.  Biaya  tersebut  dikeluarkan  untuk  menghasilkan  suatu  produk.  Berikut 
ini  adalah  penjelasan  mengenai  biaya  dan  pen gelompokan  biaya,  serta  sistem 
perhitungan biaya. 
2.4.1 Pengertian Biaya
Pengertian  biaya  menur ut  Mursyidi  (2010:  213)  adalah  “su atu 
pengorbanan  yang  dapat  men gurangi  kas  atau  harta  lainn ya  untuk 
mencapai tujuan,  baik  yang  dapat dibebankan  pada saat ini maupun pada 
saat yang akan datang.” 
  
16 
Menurut  Carter  yang  diterjemahkan  oleh  Krista  (2009:  30), 
“akuntan  telah  mendefinisikan  biaya  sebagai  suatu  nilai  tukar, 
pengeluaran,  atau  pengorbanan  yang  dilakukan  untuk  menjamin 
perolehan  manfaat.  Dalam  akuntansi  keuangan,  pengeluaran  atau  
pengorbanan  pada tanggal  akuisisi dicerminkan oleh penyusutan atas kas 
atau aset lain yang terjadi pada saat ini atau di masa yang akan datang.” 
Menurut  Hansen dan  Mowen  yang diterjemahkan oleh Deny Arnos 
Kwary  (2009:  47),  “biaya  adalah  kas  atau  setara  kas  yang  dikorbankan  
untuk  mendapatkan  bar ang  atau  jasa  yang  diharapkan  memberi  manfaat 
saat ini atau di masa depan bagi organisasi.” 
Dapat  disimpulkan  bahwa  biaya  adalah  sesuatu  berupa  kas  atau 
setara  kas  yang  dikorbankan  untuk  memperoleh  barang  atau  jasa  yan g 
diharapkan  dapat  membawa  manfaat  bagi  organisasi  untuk  mencapai 
tujuannya. 
2.4.2  Klasifikasi Umum Biaya
Menurut  Gar rison,  Norren,  dan  Brewer  (2013:  26)  yang 
diterjemahkan  oleh  Kartika  Dewi,  terdapat  beberapa  klasifikasi  umum 
biaya  yang  meliputi: klasifikasi  biaya  menurut fungsi  pokok p erusahaan,  
konsep  akuntansi  keuangan,  komponen   laporan  keuangan,  prediksi 
perilaku  biaya,  pembebanan  biaya  ke  obyek  biaya,  dan  pembuatan 
keputusan. 
2.4.2.1 Klasifikasi Biaya Menurut Fungsi Pokok Perusahaan
Garrison,  Norren,  dan  Brewer  (2013:  26)  yan g 
diterjemahkan  oleh  Kartika  Dewi  menyatakan  bahwa  terdapat 
beberapa  perusahaan  yang  bergerak  dalam  bidang  manufaktur 
yang  membagi 
biaya  produksinya  ke  dalam  2   (dua)  kategori 
besar, antara lain: 
1.  Biaya Produksi 
Perusahaan  manufaktur  membagi  biay
produksi  ke  dalam 
tiga kategori: 
  
17 
a.  Bahan Lan gsung (Direct Material) 
Merupakan  bahan  baku  yan g  digunakan   untuk 
menghasilkan produk. Bahan baku merupakan  semua jenis 
bahan  yang  digunakan  dalam  pembuatan  produk.  Bahan 
langsun g  merupakan  bahan  yang  menjadi  bagian  tak 
terpisahkan  dari  produk  jadi,  dan  dapat  ditelusuri  secara 
fisik dengan mudah ke produk tersebut. 
b.  Tenaga kerja langsung (Direct Labor) 
Istilah  tenaga  kerja  langsung  (Direct  Labor)  digunakan 
untuk  merepresentasikan  biaya  tenaga  kerja  yang  dapat 
ditelusuri dengan mudah ke produk jadi. Sedan gkan, biaya 
tenaga  kerja  yang tidak  dapat ditelusuri secara  fisik  dalam 
pembuatan produk disebut tenaga kerja tidak langsung dan 
diperlakukan  sebagai  bagian  biaya  overhead  pabrik. 
Sebutan  lain  dari  tenaga  kerja  langsung  adalah  tenaga 
kerja  manual  (touch  labor)  karena  dengan  upaya  atau 
sentuhan  tenaga  kerja  tersebut,  maka  proses  produksi 
berlangsung. 
c.  Biaya overhead pabrik (Manufacturing Overhead) 
Biaya  ini  mencakup  seluruh  biaya  produksi  yang  tidak 
termasuk  dalam  bahan  langsung  dan  ten aga  kerja 
langsun g.  Biaya  overhead  pabrik  terdiri  dari  bahan  tidak 
langsun g,  tenaga  kerja  tidak  langsung,  listrik  dan 
penerangan,  pemeliharaan  dan  perbaikan  peralatan 
produksi,  depresiasi,  pajak  properti,  asu ransi  fasilitas-
fasilitas  produksi,  dan  lain-lain.  Han ya  biaya-biaya  yang 
berkaitan  den gan  operasi  pabrik  yang  termasuk  ke  dalam 
kategori  biaya  overhead   produksi.  Bila  biaya  overhead 
pabrik  ditambah  dengan  biaya  tenaga  kerja  langsung, 
maka  akan  menjadi  biaya  konversi  ( conversion  cost). 
Istilah  tersebut  muncul  dari  fakta  bahwa  biaya  tenaga 
kerja  langsung  dan  biaya  overhead  pabrik  terjadi  dalam 
proses  konversi.  Gabungan  antara  biaya  tenaga  kerja 
  
18 
langsung  den gan  bahan  langsung  disebut  biaya  utama 
(prime cost). 
2.  Biaya No nproduksi 
Terdapat  klasifikasi  secara  umum  mengenai  biaya 
nonproduksi, yaitu: 
a.  Biaya pemasaran atau penjualan 
Mencakup  seluruh  biaya  yang  timbul  untuk  menangani 
pesanan  konsumen  dan  upaya  menyampaikan  produk  atau 
jasa  kepada  konsumen .  Biaya-biaya  tersebut  disebut 
pemerolehan  pesanan  (ordergetting)  dan  pemenuhan 
pesanan  (order-filling).  Biaya  pemasaran  meliputi 
pengiklanan,  pengiriman,  perjalanan  dalam  rangka 
penjualan,  komisi  penjualan,  gaji  untuk  bagian  penjualan, 
dan biaya penyimpanan (gudang) produk jadi. 
b.  Biaya administrasi 
Meliputi  pengeluaran  eksekutif,  organisasional,  dan  
klerikal  yang  berkaitan  dengan  manajemen  umum 
organisasi.  Contoh  dari  biaya  administrasi  ini  adala
gaji 
eksekutif,  akuntansi  umum,  kesekretariatan,  huma
dan  
biaya  sejenis  yang  terkait  den gan  administra
umum 
organisasi secara keseluruhan. 
  
19 
Gambar 2.3 Ringkasan Terminologi Biaya 
Sumber: Garrison, Norren, dan Brewer (2010: 29) 
2.4.2.2 Klasifikasi Biaya Menurut Konsep Akuntansi Keuangan
Garrison,  Norren,  dan  Brewer  (2013:  28)  yang 
diterjemahkan  oleh  Kartika  Dewi  mengklasif ikasikan  biaya 
menurut konsep akuntansi keuangan menjadi: 
1.  Biaya Produk (Product Cost) 
Biaya  produk  meliputi  seluruh  biaya  yang  berhubungan 
dengan  proses  p emerolehan  atau  pembuatan  suatu  produk. 
Dalam  kasus  manufaktur,  biaya  ini  terdiri  atas  bahan 
langsung,  tenaga  kerja  langsung,  dan  overhead  pabrik.  Biaya 
produk  dianggap  “melekat” pada unit produk pada saat barang 
dibeli  atau  diproduksi,  dan  biaya  tersebut  tetap  melekat  pada 
barang  yang  k emudian  menjadi  persediaan  yang  menunggu 
untuk dijual. 
2.  Biaya Periodik (Period Cost) 
Biaya  periodik  adalah  semua  biaya  yang  tidak  termasuk  ke 
dalam  biaya  p roduk.  B iaya  periodik  akan  dimasukkan  ke 
dalam  laporan  laba  rugi  dan  diakui  beban  pada  periode 
terjadinya  dengan  menggunak an  peraturan  akuntansi  akrual. 
  
20 
Biaya  periodik  tidak  termasuk  biaya  pembelian  maupun 
produksi  barang.  Contoh  biaya 
periodik  adalah  sewa  kantor, 
komisi  penjualan,  dan  seluruh  beban  penjualan  dan 
administrasi.  
2.4.2.3 Klasifikasi Biaya untuk Memprediksi Perilaku B iaya
Menurut  Carter  yang diterjemahkan  oleh  Krista (2013:  30), 
perilaku biaya umumnya dibagi menjadi 3 (tiga), antara lain: 
1.  Biaya Tetap 
Biaya  tetap  merupakan  biaya  yang  secara  total  tidak  berubah  
walaupun  aktivitas  bisnis  meningkat  atau  menurun.  Misaln ya 
overhead  pabrik  memasukkan  item  seperti  supervisi, 
penyusutan, sewa, asuransi properti, pajak properti.
2.  Biaya Variab el 
Biaya  variabel  didefinisikan  sebagai  biaya  yang  secara  total 
meningkat  secara  proporsional  terhadap  p eningkatan  dalam 
aktivitas  dan  menurun  secara  proporsional  terhadap  
penurunan  dalam  aktivitas.  Misalnya,  biaya  bahan  baku  
langsung,  tenaga  kerja  langsung,  beberapa  perlengkapan, 
beberapa  tenaga  kerja  tidak  langsung,  alat-alat  kecil, 
pengerjaan  ulang,  dan  unit-unit  yan g  rusak.  Biaya  variabel 
biasanya  dapat  diidentifikasikan  langsung  d engan  aktivitas 
yang menimbulkan biaya. 
3.  Biaya Semivariabel 
Biaya  semivariabel  adalah  biaya  yan
memperlihatkan  baik 
karakteristik-karakteristik  dari  biaya  teta
maupun  biaya 
variabel.  Contoh  biaya  tersebut  ad ala
biaya  listrik,  air,  gas,  
bensin,  perlengkapan,  pemeliharaan,  beberap
tenaga  kerja 
tidak  langsung,  asuransi  jiwa  kelompo
  
21 
2.4.2.4 Klasifikasi Biaya untuk Pembebanan Biaya ke Obyek Biaya
Menurut  Horngren,  Datar,  dan  Foster  yang  diterjemahkan 
oleh  Desi  Adhariani  (2013:  46),  penelurusan  biaya  serta 
pengalokasian biaya terbagi menjadi: 
1.  Biaya Langsung 
Biaya  langsung  terk ait  dengan  suatu  obyek  biaya  dan  dapat 
dilacak ke obyek biaya tertentu  dengan cara  yang layak secara 
ekonomi  (biaya  efektifitas).  Istilah  biaya  terlacak  (cost 
tracing)  digunakan untuk menggambarkan  pemb ebanan  biaya 
langsung atas suatu obyek biaya. 
2.  Biaya Tidak Langsung 
Biaya  tidak  langsung  berkaitan  dengan  suat
obyek  biaya 
namun  tidak  dapat  dilacak  ke  ob yek  biay
tertentu  dengan 
cara  yan g  layak  secara  ekonomis  (biay
efektifitas).  Istilah 
alokasi  biaya  (cost  allocation)  digunakan  untuk 
menggambarkan p embebanan biaya tidak langsun
pada suatu 
obyek biaya. 
2.4.2.5 Klasifikasi Biaya untuk Penga mbilan Keputusan
Garrison,  Norren,   dan  Brewer  (2013:  47) 
mengklasifikasikan  biaya  yang  dipergunakan  untuk  mengambil 
suatu keputusan  yaitu: 
1.  Biaya Diferensial (Differential Cost) 
Keputusan 
dibuat  selalu  berkaitan  dengan  proses  pemilihan 
satu  alternatif  dari  berbagai  alternatif  yang  ada.  Setiap 
alternatif  memiliki  pertimbangan  biaya  d an  manfaat  yang 
harus  dibandingkan dengan alternatif yang lainn ya. Perbedaan 
biaya  antara  dua  laternatif  disebut  biaya  diferensial. 
Perbedaaan  penghasilan  antara  dua  alternatif  disebut 
pendapatan diferensial. 
Biaya  diferensial  disebut  juga  dengan  biaya  inkremental 
(incremental  cost).  Meskipun  secara  teknis 
yang  dimaksud 
dengan  biaya  inkremental  adalah  biaya-biaya  yang  berkaitan 
dengan  kenaikan  biaya  yang  terjadi  akibat  adanya  perubahan 
  
22 
dari  suatu  alternatif  ke  alternatif  lainnya.  Sedangkan 
penurunan  biaya  ser ing  disebut  biaya  dekremental 
(decremental cost). 
2.  Biaya Kesempatan (Opportunity Cost) 
Biaya  kesempatan  atau  biaya  peluang  merupakan  manfaat 
potensial  yang  akan  hilang  bila  salah  satu  alternatif  telah  
dipilih  dari  sejumlah   alternatif  yang  tersedia.  Biaya 
kesempatan tidak selalu dicatat dalam catatan akuntansi, tetapi 
merupakan  biaya  yang  harus  selalu  dipertimbangkan  dalam 
pengambilan keputusan. Setiap alternatif biaya memiliki biaya 
kesempatan yang melekat padanya. 
3.  Biaya Tertanam (Sunk Cost) 
Biaya  tertanam  merupakan  biaya  yang  telah  terja
dan  tidak 
dapat  diubah  oleh  keputusan  apa  pun  yang  dibu
saat  ini 
ataupun  masa  yang  akan  datang.  Biaya  tertana
bukanlah 
biaya  diferensial,  oleh  karenanya  biaya  tertanam  dapat
diabaikan dalam pembuatan keputusan. 
2.4.3  Sistem  Akumulasi Biaya
Menurut  Carter  yang diterjemahkan oleh Krista  (2009: 174),  tujuan 
penting  dari  sistem  akumulasi  atau  perhitungan  biaya  adalah  untuk 
menentukan  berapa  besaran  biaya  dari  suatu  barang  atau  jasa  yan g 
dihasilkan  oleh  perusahaan.  Sistem  perhitungan  biaya  sebaikn ya 
ekonomis  untuk  dioperasikan  dan  membebankan  sejumlah  biaya  ke 
setiap produk sedemikian rupa sehingga merefleksikan biaya dari sumber  
daya  yang  digunakan  untuk  memproduksi  produk  tersebut.  Sistem 
akumulasi biaya terdiri dari job order costing dan process costing. 
2.4.3.1 Job Order Costing
Menurut  Hansen  dan  Mowen  yang  diterjemahkan  oleh 
Deny  Arnos  Kwary  (2009:  290),  job  order  costing  merupakan 
suatu  sistem  perhitungan  biaya  yang  memungkin kan  suatu  biaya 
dikumpulkan  dan dibebankan ke dalam unit produksi untuk  setiap 
pekerjaan atau pesanan. 
  
23 
Menurut  Carter  dan  Usry  yang  diterjemahkan  oleh  Krista 
(2009:  124)  men gemukakan  bahwa  job  order  costing  merupakan 
metode  perhitungan  biaya  yang  mengakumulasikan  biaya  untuk 
setiap pesanan, setiap batch, atau setiap lot. 
Berdasarkan  pengertian  di  atas,  maka  dapat  disimpulkan 
bahwa  job  order  costing   melakukan  perhitun gan  biaya  produksi 
dengan  cara  mengak umulasikan  biaya-biaya  berdasarkan 
pekerjaan  atau  pesanan.  Untuk  men ghitung  biaya  berdasarkan 
pesanan secara  efektif, p esanan tersebut harus dapat  diidentifikasi 
secara  terpisah  agar  rin cian  atau  d etail  dari  perhitungan  biaya 
berdasarkan  pesanan  sesuai  dengan  usah a  yang  dikeluarkan  atau 
diperlukan,  dan  harus  menjelaskan  perbedaan  penting  dalam 
biaya per unit suatu pesanan dengan pesanan lain. 
  
Gambar 2.4 Arus Dokumen dalam Sistem Perhitungan Biaya Berdasarkan Pesanan 
Sumber: Garrison, Norren, dan Brewer (2010: 99) 
2.4.3.2 Process C osting
Menurut  Carter  yang  diterjemahkan  oleh  Krista  (2009: 
124),  sistem  perhitungan  biaya  berdasarkan  proses  (process 
costing)  adalah  suatu  metode  dimana  biaya  diakumulasikan 
berdasarkan proses produksi atau berdasarkan dep artemen. 
Menurut  Hansen  Mowen  yang  diterjemahkan  oleh  Deny 
Arnos  Kwar y  (2009:  291),  sistem  perhitungan  biaya  berdasarkan  
proses  adalah  suatu  proses  yang  mengakumulasikan  biaya 
produksi  berdasarkan  proses  untuk  satu  periode  waktu  tertentu. 
  
24 
Output  proses  dalam  periode  tersebut  akan  diukur  dan  biaya  per 
unit  dihitung  dengan  membagi  biaya  p rosesnya  dengan  output 
pada periode terkait.
Jadi dapat  ditarik  kesimpulan bahwa  process costing adalah  
sistem  perhitungan  biaya  berdasarkan  proses,  dimana  komponen-
komponen  biaya  seperti  bahan  baku,  tenaga  kerja,  dan  overhead 
pabrik  dibebankan  ke  pusat  biaya.  Biaya  yang  dibebankan  ke 
setiap  unit  ditentukan  dengan  membagi  total  biaya  yang 
dibebankan  ke  pusat  biaya  dengan  total  unit  yang  diproduksi. 
Pusat  biaya  biasanya  berupa  departemen,  tetapi  bisa  juga  pusat 
pemrosesan dalam satu departemen.  
2.5  Metode Tradisional
2.5.1  Pengertian Metode Tra disional
Dalam  sistem  biaya  tradisional,  menurut  Bustami  dan  Nurlela 
(2012:  23)  biaya  bahan  baku  langsung,  biaya  tenaga  kerja  langsun g,  
biaya o verhead pabrik baik bersifat variabel  maupun tetap, menjadi biaya 
produk.  Sistem  biaya  tradisional  mengasumsikan  produk-produk  dan  
volume produksi yang terkait merupak an penyeb ab timbulnya biaya.  
Sistem  akuntansi  biaya  tradisional  mengklasifikasikan  biaya 
menjadi biaya langsun g  dan biaya tidak lan gsung, dan untuk pembebanan  
biaya  menggunakan  ukuran  volume  produksi,  jam  kerja  langsung  atau  
jam  mesin.  Dalam  pengalokasian  biaya  overhead  pabrik  ke  p roduk, 
dilakukan  sistem  pembebanan dua tahap.  Tahap  pertama  ad alah  estimasi 
biaya  overhead  pabrik  dalam  pusat  biaya  (cost  centre)  atau  departemen, 
baik  departemen  produksi  maupun  departemen  jasa,  kemudian  biaya 
dalam  pusat  biaya  atau 
departemen  jasa  dialokasikan  ke  departemen  
produksi  dengan  menggunakan  metode  alokasi  bertahap  tidak  timbal 
balik,  atau  metode  alokasi  kontinyu,  dengan  pengukuran  dan  dasar 
alokasi  tertentu.  Pada  tahap  kedua,  biaya  departemen 
jasa  yan g  telah 
dialokasikan  ke  departemen  produksi,  akan  ditentukan  pemicu  biaya 
yang  tepat  untuk  tiap-tiap  departemen  produksi,  umumnya  pada  metode 
ini  menggunakan  unit  related,  seperti:  jumlah  unit  yang  diproduksi,  jam 
kerja langsung, atau jam mesin. 
  
25 
2.5.2 Kelemahan Metode Tradisional
Menurut  Rudianto  (2013:  159),  dengan  berkembangnya  dunia 
tekhnologi,  mulai  dirasakan  bahwa  sistem  akuntansi  biaya  tradisional 
tidak mampu  lagi  menghasilkan  biaya produk yang  akurat. Hal ini terjadi 
karena beberapa hal, antara lain:  
1.  Sistem  akuntansi  biaya  tradisional  terlalu  menekankan  pada  tujuan 
penentuan  harga  pokok  yang  dijual.  Akibatn ya,  sistem  ini  hanya 
menyediakan  informasi  yang  relatif  sangat  sedikit  untuk  mencapai 
keunggulan dalam persaingan global.  
2.  Dalam  kaitannya  dengan  biaya  overhead,  sistem  akuntansi  biaya
tradisional  terlalu  memusatkan  pada  distribusi  dan  alokasi  biaya 
overhead  ketimbang  berusaha  keras  mengurangi  pemborosan  dengan 
menghilangkan aktivitas yang tidak berniai tambah.
3.  Sistem  akuntansi  biaya  tradisional  beranggapan  bahwa  biaya 
ditimbulkan  oleh faktor tunggal, seperti volume  produk atau jam kerja 
langsung sehingga tidak mencerminkan sebab akibat biaya. 
4.  Sistem  pembebanan  biaya  yang  selama  ini  dilakukan  pada  akuntansi 
biaya  tradisional menimbulkan  adan ya distorsi biaya,  ini  terlihat  pada 
penggunaan  unit  related,  padahal  pada  kenyataannya  ada  aktivitas 
yang dikendalikan oleh batch related  dan products  sustaining related, 
seperti  setup  dan  inspeksi.  Penyebab  distorsi  lainn ya  ad alah,  adanya 
perbedaan  rasio  konsumsi  atau  jasa  yan g  diberikan  oleh  departemen 
jasa  untuk  setiap  macam  produk  yang  dihasilkan.  Distorsi  tersebut 
mengakibatkan konflik pada kegiatan pembuatan keputusan. 
5.  Sistem  biaya  tradisional  memang  memperhatikan  biaya  total 
perusahaan,  tetapi  men gabaikan  “below  the  line  expenses”,  seperti 
biaya  penjualaan,  biaya  distribusi,  biaya  riset  dan  pengembangan, 
serta biaya administrasi. Biasanya biaya-biaya ini tidak dibebankan ke 
pasar,  pelanggan,  salur an  distribusi,  atau  bahkan  produk  yang 
berbeda.  
  
26 
2.6  Activity Based Costing
2.6.1  Pengertian A ctivity Based Costing
Menurut  Carter  yang  diterjemahkan  oleh  Krista  (2009:  528), 
perhitungan  biaya berdasarkan  aktivitas (Activity  Based  Costing  –  ABC) 
didefinisikan  sebagai  suatu  metode  perhitungan  biaya  dimana  tempat 
penampun gan  biaya  overhead  yang  jumlahnya  lebih  dari  satu  
dialokasikan  menggunakan  dasar  yang  memasukkan  satu  atau  lebih  
faktor  yang  tidak  berk aitan  dengan  volume  (non-volume-related  factor).  
Jika  dibandingkan  dengan  akuntansi  biaya  tradisional,  ABC  mewakili 
penerapan  penelusuran  biaya  yang  lebih  menyeluruh  dan  mendetail.  
Perhitungan  biaya  produk  dengan  metode  tradisional  menelusuri  han ya 
biaya  bahan  baku  langsung  dan  biaya  tenaga  kerja  langsung  ke  setiap  
unit  output. Tetapi, ABC  mengakui  bahwa  banyak  biaya-biaya lain  yan g 
pada  kenyataannya  dapat  ditelusuri,  tidak  ke  unit  output,  tetapi  ke 
aktivitas yan g diperlukan untuk memproduksi output. 
Menurut  Raiborn  dan  Kinney  yan g  diterjemahkan  oleh  Rahmat 
Hilman  (2011:  150),  Activity  Based  Costing  (ABC)  adalah  sistem 
akuntansi  biaya  yang  berfokus  pada  aktivitas  organisasi  dan  
pengumpulan biaya-biaya berdasarkan  sifat poko k yang masih mendasari 
tingkat  beberapa  overhead  yang  telah  ditetapkan  kemudian  dihitung 
menggunakan  b erbagai  macam  pemicu  biaya  dalam  aktivitas  suatu 
organisasi. 
Dapat  disimpulkan  bahwa  activity  based  costing  merupakan  salah 
satu  metode  perhitungan  biaya  dimana  biaya  overhead  dialokasikan  
sesuai  dengan  aktivitas  masing-masing  kegiatan  sehingga  biaya  yan g 
dihasilkan lebih akurat dan mencerminkan biaya yang sesun gguhn ya.  
2.6.2  Tingkatan Biaya dan Pemicu pada Activity Based Costing
Dalam  Activity  Based  Costing  (ABC),  dasar  yang  digunakan untuk 
mengalokasikan  biaya  overhead  disebut  sebagai  penggerak  atau  pemicu 
(driver).  Pemicu  sumber  daya  (resource  driver)  adalah  dasar  yan g 
digunakan  untuk  mengalokasikan  biaya  dari  suatu  sumber  daya  ke 
berbagai  aktivitas  berbeda  yang  menggunakan  sumber  daya  tersebut. 
Pemicu  aktivitas  (a ctivity  driver)  adalah  suatu  dasar  yang  digunakan  
  
27 
untuk  mengalokasikan  biaya  dari  suatu  aktivitas  ke  produk,  pelanggan, 
atau  objek  biaya  final  (final  cost  object)  lainnya.  Menurut  Carter  yang 
diterjemahkan  oleh  Krista  (2009:  528),  tingkatan  biaya  yan g  ada  pada 
Activity Based Costing (ABC),  yakni: 
1.  Tingkat Unit
Biaya  tingkat  unit  (unit-level  cost)  adalah  biaya  yang  pasti  akan 
meningkat  ketika  satu  unit  diproduksi.  Biaya  ini  adalah  satu-satunya 
biaya  yang  selalu  dapat  dengan  akurat  dibebankan  secara 
proporsional  terhadap  volume. Contoh-contoh  dar i  biaya tingkat unit 
mencakup  biaya  listrik, jika mesin-mesin  bertenaga listrik  digunakan 
untuk  memproduksi  setiap  unit,  biaya  pemanasan  jika  setiap  unit 
mengalami proses  pemanasan,  dan  biaya  petugas  inspeksi jika  setiap 
unit  memerlukan  inspeksi.  Pemicu  tingkat  unit  (unit-level  driver) 
merupakan  ukuran  aktivitas yang  bervariasi  dengan  jumlah  unit  yang 
diproduksi dan dijual.  
2.  Tingkat Batch 
Tingkatan  agregasi  yang  lebih  tinggi  berikutnya  adalah batch.  Biaya 
tingkat  batch  (batch-level  cost)  adalah  biaya  yang  disebabkan  oleh 
jumlah  batch  yan g  diproduksi  dan  dijual.  Contoh  dari  biaya  tingkat 
batch  mencakup  biaya  persiapan  d an  sebagian  besar  dari  biaya 
penanganan  bahan  baku.  Pemicu  tingkat  batch  (batch-level  driver) 
adalah  ukuran  aktivitas  yan g  bervariasi  dengan  jumlah  batch  yang 
diproduksi  dan  dijual.  Contoh  dari  pemicu  tingkat  batch  adalah 
persiapan,  jam  persiapan,  pesanan  p roduksi,  dan  permintaan  bahan 
baku.
3.  Tingkat Produk 
Tingkatan  berikutnya  di  atas  batch  adalah  produ
Biaya  tingkat 
produk  (product-level  cost)  adalah  biaya  yang  terja
untuk 
mendukung sejumlah pro duk berbeda yang dihasilkan. Biay
tersebut 
tidak  harus dipengaruhi oleh  produksi dan penjualaan 
da
satu  batch 
atau  satu  unit  lebih  banyak.  Pemicu  tingkat  pro du
  
28 
4.  Tingkat Pabrik  
Beberapa  tingkatan  biaya  dan  pemicu  dapat  terjadi  di  atas  tingkatan 
produk. Hal ini  mencakup  tingkat  lini produk,  tingkat  proses, tingkat 
departemen,  dan  tingkat  pabrik.  Biaya  tingkat  pabrik  (plant-level 
cost) 
adalah  biaya  untuk  memelihara  kapasitas  di  lokasi  produksi. 
Luas  lantai  yang  ditempati  sering  kali disebut dengan pemicu tingkat 
pabrik (plant-level driver)untuk membebankan biaya tingkat pabrik. 
2.6.3  Perbandingan  antara  Activity  Based  Costing  dengan  Sistem
Perhitungan Biaya Tradisional
Tanpa  memedulikan  jumlah  departemen,  tempat  penampungan 
biaya  overhead,  maupun  dasar  alokasi  berbeda  yang  digunakan,  sistem 
perhitunga  biaya  tradisional  ditandai  oleh  penggunaan  yang  eksklusif  
dari  ukuran  yang  berkaitan  dengan  volume  atau  ukuran  tingkat  unit 
sebagai d asar untuk mengalokasikan overhead ke output. Oleh karena itu, 
sistem  tradisional  juga  disebut  dengan  sistem  berbasis  unit  (unit-based  
system). 
Menurut  Carter yang diterjemahkan oleh Krista (2009:  532) Sistem 
ABC  mengharuskan  penggunaan  tempat  penampungan  overhead  lebih  
dari  satu,  tetapi  tidak  setiap  sistem  dengan  tempat  penampun gan  biaya 
lebih dari satu merupakan sistem ABC.  
Perbedaan  lain  antara  sistem  tradisional  dan  sistem  ABC.  Jumlah 
tempat  penampungan  biaya  overhead  dan  dasar  alokasi  cenderung  lebih 
banyak  di  sistem  ABC,  tetapi  hal  ini  sebagian  besar  diseb abkan  karena 
banyak  sistem  tradisional menggunakan satu tempat  penampungan  biaya 
atau satu dasar alokasi untuk semua tempat penampungan biaya.  
Perbedaan  umum  antara  sistem  ABC 
dan sistem  tradisional adalah 
homogenitas  dari  biaya  dalam  satu  tempat  penampungan  biaya.  ABC  
mengharuskan  perhitungan  tempat  penampungan  biaya  dari  suatu  
aktivitas,  maupun  identifikasi  atas  suatu  pemicu  aktivitas  untuk  setiap 
aktivitas  yang  signifikan  dan  mahal.  Perbedaan  lain  antara  sistem  ABC  
dengan  sistem  tradisional  adalah  bahwa  semua  sistem  ABC  merupakan  
sistem  perhitungan  biaya  dua  tahap,  sementara  sistem  tradisional  bisa 
merupakan sistem perhitungan satu atau dua tahap. 
  
29 
2.6.4 Manfaat Activity Based Costing
Bustami  dan  Nurlela  (2012:  29)  mengungkap kan  bahwa  p ara 
manajemen  puncak  akan  setuju  untuk  menerap kan  suatu  sistem  yang 
baru  di  lingkungan  organisasi  mereka,  jika  mereka  percaya  bahwa 
mereka  akan  memperoleh  manfaat yan g  lebih,  jika dibandingkan dengan 
sistem  yang  lama.  Manfaat  yan g  diperoleh  dalam  pener apan  Activity 
Based Costing (ABC), antara lain: 
1.  Memberi  kemudahan  dalam  pengambilan  keputusan  karena  Activity 
Based  Costing  (ABC)  menyediakan  informasi  biaya  yang 
berhubungan  dengan  berbagai  aktivitas  untuk  menghasilkan  produk 
atau  jasa  layanan,  b agi  manajemen  akan  memperoleh  kemudahan 
dalam  mendapat  informasi  yan g  relevan  dalam  pen gambilan 
keputusan  yang  akan  d iambil  dalam  aktivitas  perusahaan  secara 
menyelu ruh.
2.  Memperbaiki  kualitas  pengambilan  keputusan.  Para  manajemen 
puncak  yang  telah  menerapkan  Activity  Based  Costing  (ABC), 
percaya  bahwa  semakin  akurat  perhitungan  biaya  atau  jasa  layanan 
yan g  digunakan  Activity  Based  Costing  (ABC),  akan  mengurangi 
kemungkinan k esalah an dalam pengambilan kepu tusan. 
3.  Memungkinkan  manajamen  melakukan  perbaikan  secara  terus 
menerus. Ban yak perusahaan berusaha  untuk mengurangi biaya,  guna 
menawarkan  produk atau jasa layanan  beraneka yang  diin ginkan oleh 
pelanggan.  Tetapi  untuk menghasilkan produk atau jasa layanan yang 
beraneka  akan  meningkatkan  biaya.  Dengan  menggunakan  Activity 
Based  Costing  (ABC),  biaya  yang  dikeluarkan  akan  terlihat  dengan 
jelas  pada setiap  aktivitas, dimana  biaya  yang  tid ak mempun yai  nilai 
tambah bagi pelanggan akan di eliminasi lebih cepat.  
4.  Activity  Based  Costing  ( ABC)  menyajikan  biaya  produk  yang  lebih 
akurat  dan  informatif,  yang  menuju  pad
pengukuran  kemampuan 
peroleh  laba  atas  produk  yang  lebih  akur
dan  keputusan-keputusan 
strategis  yang diinformasikan dengan lebih bai
mengenai har ga jual, 
  
30 
2.6.5  Kelemahan Activity Based Costing
Menurut  Bustami  dan  Nurlela  (2012:29),  men gimplementasikan  
Activity  Based  Costing (ABC)  adalah  sebuah  tantangan  yang  mana  akan  
terdapat berbagai kendala, seperti: 
1.  Penerapan Activity Based Costing lebih mahal.
Dibandingkan  dengan  sistem  biaya  tradisional,  ABC  membutuhkan  
berbagai  ukur an  aktivitas  yan g  harus  dikumpulkan,  diperiksa,  dan  
dimasukkan  ke  dalam  sistem.  Hal  ini  mungkin  kurang 
sebanding 
dengan  tingkat  keakuratan  yang  didapat,  sehingga  mengakibatkan  
biaya  yang tinggi. 
2.  Sulitnya merubah pola k ebiasaan manajer. 
Membutuhkan  waktu  untuk  dapat  merubah  pola  kebiasaan  manajer  
karena  para  man ajer  sudah  terbiasa  menggunakan  sistem  biaya 
tradisional  dalam  operasin ya,  maka  den gan  perubahan  pola  ini 
kadangkala  mendapat  perlawanan  dari  para  karyawan.  Kalau  hal  ini 
terjadi maka  penerapan Activity Based Costing (ABC) akan mengami 
kegagalan.  
2.6.6  Tahapan Penerapan Activity Based Costing 
Garrison  dan  Noreen  (2010:  319)  mengemukakan  bahwa  tahapan 
untuk menerapkan Activity Based C osting yakni: 
1.  Mendefinisikan  Aktivitas,  Pul  Biaya  Aktivitas,  dan  Pengukuran 
Aktivitas. 
Langkah  utama  yang  pertama  dalam  menerapkan  sistem ABC ad alah  
mengidentifikasikan  aktivitas  yan g  akan  menjadi  dasar  sistem 
tersebut.  Prosedur  umum  untuk  melakukannya  adalah  melakukan  
wawan cara  terhadap   semua  orang  yang  terlihat  atau   setidaknya 
semua  supervisor dan manajer dalam departemen  yang  menimbulkan 
overhead  dan  meminta  mereka  untuk  menggambarkan  aktivitas 
utama  yang  mereka  lakukan.  Biasanya  akan  diperoleh  aktivitas 
dengan  jumlah  yan g  banyak,  dimana  pada  sistem  ABC,  semakin 
banyak  jumlah  aktivitas  semakin  akurat  p erlak uan  terhadap  biaya.  
Sebaliknya,  diperlukan  biaya  yang  tidak  sedikit  untuk  merancang, 
menerapkan,  memelihara,  dan  men ggunakan  sistem  yang  kompleks
  
31 
yang  melibatkan  sejumlah  besar  aktivitas.  Konsekuensinya,  aktivitas 
yang  ban yak  tersebut  dikurangi  d engan  menggabungkan  aktivitas-
aktivitas  yang  sejenis.  Ketika  mengombinasikan  aktivitas  dalam 
sistem  ABC,  aktivitas  seharusnya  digabung  bersamaan  pada  level 
yang  sesuai.  Aktivitas  tingkat  batch  tidak  sharusnya  dikombinasikan 
dengan  aktivitas  tingk at  unit  atau  aktivitas  tingkat  produk  dengan 
tingkat batch. 
2.  Membebankan Biaya ke Pul Biaya Aktivitas. 
Alokasi  tahap  pertama  (first-stage  allocation)  dalam  sistem  ABC 
adalah  proses  pembebanan  biaya  overhead 
fungsional  yang  berasal 
dari jurnal  umum perusahaan  ke pul aktivitas.  Alokasi  tahap pertama 
biasanya  berdasarkan hasil  tanya  jawab  dengan p egawai  yan g  terkait 
langsung dengan aktivitas. 
3.  Menghitung Tarif Aktivitas 
Tarif  aktivitas  akan  didapat  setelah  total  biaya  dari  masing-masing 
pul  biaya aktivitas diketahui. Setelah  itu,  akan  dihitung besarnya tarif 
dengan  cara  membagi  total  biaya  per  pul  biaya  aktivitas  dengan 
penggerak  biayan ya.  Tarif  aktivitas  akan  digun akan  untuk 
membebankan biaya overhead setiap produk.  
4.  Membebankan Biaya Overhead ke Objek Biaya Menggunakan Tarif. 
Langkah  ke  empat  dalam  penerapan  ABC  disebut  alokasi  tahap 
kedua  (second-stage  allocation).  Dalam  alokasi  tahap  k edua,  tarif 
aktivitas  digunakan  untuk  membebankan  biaya  overhead  masing-
masing produk. 
5.  Menyiapkan Laporan Manajemen. 
Pada  tahap  ini,  laporan  manajemen  yang  berkaitan  dengan  hasil 
perhitungan  menggunak an  metode  ABC  disiapkan.  Laporan  ini 
membantu  perusahaan  dalam  merumuskan  rencana  strategis 
mengenai produk. 
2.7  Analisis dan Perancangan Berorientasi Obyek
Pendekatan  beriorientasi  obyek  sendiri  menurut  Satzinger,  Jackson,  dan 
Burd  (2005:  60)  adalah  suatu  pendekatan  pengembangan  sistem  yang 
  
32 
memandang  sistem  informasi  sebagai  seku mpulan  obyek  yang  saling 
berinteraksi dan bekerja  sama untuk menyelesaik an tugas-tu gas.  
Menurut  Satzinger,  Jackson  dan  Burd  (2005:  60),  analisis  dan 
perancan gan  berorientasi  obyek  (Object  Oriented  Analysis  and  Design  –
OOAD) antara lain merupakan kombinasi komponen berikut: 
1.  Object-Oriented  Analysis  (OOA)  mendefinisikan  semua  jenis  ob yek  yang 
melakukan  pekerjaan  dalam  sistem  dan  menunjukkan  interaksi  pengguna 
yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tersebut. 
2.  Object-Oriented  Design  (OOD)   mendefinisikan  semua  jenis  ob yek  yang 
diperlukan  untuk  berkomunikasi  dengan  orang  dan  perangkat  yang  ada 
dalam  sistem  serta  men unjukkan  bagaimana  obyek -ob yek  tersebut  saling 
berinteraksi dalam menyelesaikan tugas. 
3.  Object-Oriented  Programming  (OOP)  adalah  pembuatan  bahasa 
pemrograman  yang  menggambarkan  setiap  aktifitas  yang  dilakukan  oleh 
obyek.  Selain  itu,  dalam  object  oriented  progra mming  terjadi  pengiriman 
pesan antar ob yek yang saling berhubungan. 
2.7.1  Unified Modeling Language (UML)
Satzinger,  Jackson,  dan  Burd  (2005:  48)  mendefinisikan  Unified 
Modeling  Language  (UML)  sebagai  seperangkat  mod
konstruksi  dan 
notasi  yang dibuat dalam pengembangan berorientasi obyek. Mod
yan g 
dicakup dalam metode pengemban gan sistem adalah perumpamaa
input, 
output,  proses,  data,  obyek,  interaksi  antar  obyek,  lokas
jaringan,  dan 
peralatan. 
2.7.2  Unified Process (UP)
Unified  Process  (UP)  adalah  salah  satu  metode  yang  digunakan 
dalam  pengembangan  sistem,  yang  merupakan  sebuah  metode 
pengembangan  sistem  berorientasi  obyek.  Metode  ini  sudah  menjadi 
salah  satu  metode  yang  ban yak  digunakan  dalam  pengembangan  sistem 
berorientasi obyek. 
Perancangan  Unified  Process  (UP),   Unified  Modeling  Language 
(UML)  models,  tools,  dan  teknik-teknik  bermanfaat  untuk  memperkuat 
  
33 
contoh  praktik  terbaik  dari  ban yak  metode  yang  digunakan  dalam 
pengembangan sistem, seperti: 
1.  Pengembangan secara iteratif 
2.  Penjabaran dan pengelolaan system requirements 
3.  Pengunaan arsitektur komponen 
4.  Pembuatan model visual 
5.  Verifikasi kualitas 
6.  Pengendalian perubahan 
UP  memperkenalkan  pendekatan  b aru  untuk  siklus  hidup 
pengembangan  sistem,  dimana  pendekatan   tersebut  menggabungkan 
perulangan  (iterations) dan tahapan  (phases),  yang  disebut  dengan  siklus 
hidup  UP (UP life cycle).  UP  mendefinisikan empat  tahapan siklus  hidup 
yaitu: inception, elaboration, construction, dan transition. 
  
Gambar 2.5 UP Disciplines 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 264) 
1.  Business Modeling
Tujuan  utama  dari  business  modeling  discipline  adalah   untuk 
memahami  dan  mengkomunikasikan  sifat  dari  lingkungan  bisnis 
dimana  sistem  tersebut akan  dibuat. Analis harus memahami  masalah 
saat  ini  dan  perbaikan  yang  memungkinkan  dari  sistem  yang  baru. 
Tiga aktivitas utama dalam business modeling: 
  
34 
a.  Memahami lingkungan bisnis 
b.  Membuat system vision 
c.  Membuat business models 
2.  Requirements
Tujuan  utama  dari  requirements  discipline  adalah  untuk  memahami 
dan  mendokumentasikan  kebutuhan  bisnis  dan  persyar atan  proses 
sistem  yang  baru.  Aktivitas  yang  termasuk  dalam  requirements 
discipline adalah: 
a.  Mengumpulkan info rmasi secara detil 
b.  Mendefinisikan kebutuhan / persyaratan fungsional 
c.  Mendefinisikan kebutuhan / persyaratan non fungsional 
d.  Memprioritaskan kebutuhan 
e.  Membangun user interface dialogs 
f.  Mengevaluasi kebutuhan dengan users 
3.  Design
Tujuan  dari  design  discipline  adalah  untuk  merancang  sistem 
berdasarkan  k ebutuhan  yang  telah  didefinisikan  sebelumnya.  High-
level  design  terdiri  dari  kegiatan  membangun  struktur  arsitektural 
untuk  komponen  software,  databases, user interface,  dan  lingkungan 
operasional.  Low-level  design  memerlukan  atau  membutuhkan  
pemban gunan  detailed   classes,  methods,  d an  struktur  yan g 
dibutuhkan  dalam  pembangunan  software.  Terdap at  beberapa 
aktivitas  di  dalam  design  dicipline.  6  (enam)  aktivitas  utama  dalam 
design discipline tersebut antara lain:
a.  Merancang  support  service  architecture  dan  deployment 
environment
b.  Merancang software architecture 
c.  Merancang use case realizations 
d.  Merancang database 
e.  Merancang system and user interfaces 
f.  Merancang keamanan sistem dan kontrol 
4.  Implementation
Implementation discipline adalah tahap  mengimplementasikan  sistem 
yang  telah  dirancang.  Hal  ini  terdiri  dari  aktivitas  membangun
  
35 
komponen  software,  memperoleh  komponen  software,  dan 
mengintegrasikan komponen software. 
5.  Testing 
Pada  tahap  testing,  dilakukan  proses  p engecekan  atau  pengetesan 
terhadap  sistem  yang  telah  diimplementasikan.  Terdiri  dari  unit 
testing,  integration  testing,  usability  testing,  dan  user  acceptance 
testing. 
6.  Deployment 
Deployment  discipline  mengacu  kepada  aktivitas  yang  dibutuhkan 
agar  sistem  berjalan  secara  operasional.  Terdiri  dari  aktivitas 
memeperoleh  hardware  dan  software  sistem,  package  and  install 
komponen, melatih user, dan convert and initialize data.
2.8  System Development Life Cycle
O’Brien  (2006:  510)  menjelaskan  bahwa  biasanya  System  Development 
Life  Cycle  (SDLC)  ini  digunakan  untuk  pengembangan  sistem  yang  besar, 
dimana  SDLC  merupakan  serangkaian  tahapan-tahapan  pekerjaan  yang 
dilakukan  oleh  analis  sistem  dan  programmer  dalam  membangun  sebuah 
sistem.  SDLC juga  meru pakan  alat  untuk  manajemen  proyek  yang  bermanfaat 
untuk  merencanakan,  memutuskan,  dan  mengontrol  proses  pengembangan 
suatu  sistem.  Tahapan-tahapan  siklus  pengembangan  sistem  informasi  ini 
adalah: 
1.  Inv estigasi sistem
Produk yang dihasilkan adalah berupa studi kelayakan. Untuk mendapatkan 
hasil tersebut, diperlukan  beberapa tahapan, antara lain: 
a.  Menentukan  bagaimana  cara  untuk  menanggapi  peluang  dan  prioritas 
bisnis. 
b.  Melakukan  studi  kelayakan  untuk  menentukan  apakah  sistem  bisnis 
yang baru merupakan solusi  yang layak dan lebih baik. 
c.  Mengembangkan  rencana  manajemen 
proyek  dan  mendapatkan 
persetujuan manajemen. 
2.  Analisis sistem 
Produk  yang dihasilkan  adalah persyaratan fungsional. Untuk mendapatkan 
hasil tersebut, diperlukan  beberapa tahapan, antara lain: 
  
36 
a.  Menganalisis  kebutuhan  sistem  informasi  kar yawan,  pelanggan,  dan 
pemilik kepentingan bisnis lainnya. 
b.  Mengembangkan  persyaratan  fungsional  sistem  yang  dapat  memenuhi 
prioritas bisnis dan kebutuhan semua pemilik kepentingan. 
3.  Desain sistem 
Produk yang dihasilkan adalah spesifikasi sistem. Untuk mendapatkan hasil 
tersebut, diperlukan tahapan yakni: 
a.  Mengembangkan  spesifikasi  hardware,  software,  orang-orang, 
jaringan,  dan  data,  serta  produk  informasi  yang  dapat  memenuuhi 
persyaratan fungsional dari sistem yan g diusulkan. 
4.  Implementasi Sistem 
Produk  yang  dihasilkan  adalah   berupa  sistem  operasional.  Untuk 
mendapatkan hasil tersebut, diperlukan beberapa tahapan, antara lain: 
a.  Mengembangkan hardware dan software 
b.  Menguji  sistem,  dan  melatih  orang-orang  untuk  mengoperasikan  dan 
menggunakannya.  
c.  Melakukan konversi ke sistem bisnis  yang baru. 
d.  Mengelola pengaruh perubahan sistem terhad ap pengguna akhir. 
5.  Pemeliharaan Sistem 
Produk yang  dihasilkan adalah sistem yang diperbaiki. Untuk  mendapatkan 
hasil tersebut, diperlukan tahapan  yakni: 
a.  Mengawasi,  mengevaluasi,  dan  memodifikasi,  serta memelihara  sistem 
bisnis agar sesuai dengan kebutuhan.  
2.9  Modeling and The Requirement Dicipline
2.9.1  Requirement Dicipline
2.9.1.1  System Requirements
Dalam  proses  pengembangan  suatu  sistem,  kebutuhan 
penggun a  serta  fungsi  yang  diharapkan  pengguna  harus 
diidentifikasi  secara  jelas.  Semua  kebutuhan  pengguna  dan 
fungsi  yang  harus  ada  pada  sistem  disebut  system 
requirements.  Menurut  Satzinger,  Jackson,  dan  Burd  (2005: 
130),  secara  umum  system  requirements  terbagi  ke  dalam  2 
(dua) kategori, antara lain: 
  
37 
1.  Functional Requirement 
Meliputi  semua  aktivitas  yang  harus  ditangani  oleh  sistem 
atau fun gsi-fun gsi  yang harus ada di dalam sistem. 
2.  Nonfunctional Requirement 
Meliputi  karakteristik  sistem  selain  aktivitas  yang  harus 
ada  pada  sistem.  Nonfunctional  requirement  terbagi 
menjadi 5 (lima) bagian,  yaitu: 
a.  Technical Requirement 
Mendefinisikan karakteristik operasional  terkait dengan 
lingkungan organisasi, hardware, dan software. 
b.  Performance requirement 
Mencakup  karakteristik  operasional  yang  berhubungan 
dengan pengukuran beban kerja, seperti waktu respon. 
c.  Usability Requirement 
Menjelaskan  karakteristik  operasional  yang  terkait 
dengan  user,  seperti  user  interface,  prosedur  kerja, 
bantuan online, dan dokumentasi. 
d.  Reliability Requirement 
Mencakup  karakteristik  operasional  yang  terkait 
dengan  ketergantun gan  suatu  sistem, pencatatan  semua 
kejadian  atau  event,  pemrosesan  kesalahan,  serta 
deteksi dan perbaikan kesalahan. 
e.  Security Requirement 
Menjelaskan  pembagian  akses  setiap  user  pada  fungsi-
fungsi yang ada di dalam sistem. 
2.9.1.2  Activity Diagram
Menurut  Satzinger,   Jackson,  dan  Burd  (2005:  144), 
activity  diagram  ad alah   diagram  alur  kerja  sederhana  yang 
menggambarkan  aktivitas  dari  user  (atau  sistem)  yang 
berbeda-beda,  pihak  yang  melakukan  tiap  aktivitas,  dan  aliran 
yang b erurutan dari aktivitas  dan  ke  aktivitas  tersebut. Activity 
adalah  langkah  terkecil  yang  terdapat  dalam  sebuah  prosedur 
yang  membahas  mengenai  pekerjaan  atau  hal  yang  dilakukan
  
38 
seseoran g  pada  bagian  tertentu  di  perusahaan.  Adapun 
beberapa  simbol  yan g  digunakan  dalam  mendesain  activity 
diagram, yaitu: 
1.  Swimlane,  merupakan  suatu  bentuk  persegi  yang 
merepresentasikan  aktivitas-aktivitas  yang  diselesaikan 
setiap agen. 
2.  Synchronization  Bar,  merupakan  n otasi  yang  memiliki 
fungsi  untuk  memisahkan  (split)  atau  men yatukan  (join) 
urutan jalur aktivitas .  
3.  Starting  Activity  (Pseudo),  merupakan  notasi  yang 
menunjukkan dimulainya suatu aktivitas. 
4.  Transition  Arrow,  merupakan  notasi  berbentuk  anak 
panah  yang mendeskripsikan  arah  perpindahan  dari suatu 
aktivitas ke aktivitas berikutnya. 
5.  Activity,  merupakan  notasi  yang  mendeskripsikan 
aktivitas-aktivitas. 
6.  Ending  Activity  (Pseudo),  merupakan  notasi  yan g 
menunjukkan diakhirinya suatu aktivitas. 
7.  Decision  Activity,  merupakan  notasi  yan g 
mendeskripsikan kondisi dari suatu aktivitas. 
Jones  dan  Rama  (2008:  61)  men yatakan  bahwa  activity 
diagram  dibagi  ke  dalam  dua  jenis,  yaitu  overview  activity
diagram dan detailed activity diagram.
1.  Overview Activity Diagram 
Overview  diagram  menampilkan  gambaran  tingkat  tinggi 
dari  proses  bisnis  dengan  mendokumentasikan  beberapa
event  utama,  urutan  dari  event-event  tersebut,  dan  arus 
informasi di antara event tersebut.
2.  Detailed activity diagram 
Detailed  activity  diagram  menampilkan  gambaran  yang 
lebih  detil  dari  aktivitas  yang  merupakan  bagian dari satu 
atau  dua  event  yang  ada  di  dalam  overview  activity
diagram. 
  
39 
Gambar 2.6 Activity Diagram Symbols 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 145) 
  
Gambar 2.7 Activity Diagram 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 146) 
  
40 
2.9.2  Event Table and Domain Classes
2.9.2.1  Event Table
Menurut Satzinger, Jackson,  dan  Burd  (2005:  167) event 
adalah  sesuatu  yang  terjadi  pada  suatu  waktu   dan  tempat 
tertentu  yang  dapat  digambarkan  dan  b erharga  untuk  diingat. 
Event dikelompokkan ke  dalam 3 (tiga) tipe, antara lain: 
1.  External Event
Event  yang terjadi diluar  sistem, dan  biasanya  dimulai oleh
external  agent.  External  agent  adalah  orang  atau  unit 
organisasi  yang  men yediakan  atau  menerima  data  dari 
sistem,  tetapi  belum  tentu  mereka  adalah  pengguna  sistem 
secara  langsun g.  C ontoh  dari  external  event  adalah 
“pelanggan  mendaftar  sebagai  member”.  Pelanggan 
merupakan  external  agent,  dan  mendaftar  sebagai  member 
adalah kegiatan yang mempengaruhi sistem.
2.  Temporal Event 
Event  yang  terjadi  kar ena  tercapain ya  suatu  titik  waktu 
tertentu.  Sistem  akan  menghasilkan  output  yang 
dibutuhkan  tanpa  harus  diperintah.  Den gan  kata  lain,
external  agent  tidak membuat  permintaan ke sistem,  tetapi 
sistem harus menghasilk an output ketika  informasi tersebut 
dibutuhkan.  Contoh  dari  temporal  event  adalah  sistem 
penjualan  yang  menghasilkan  laporan  penjualan  bulanan, 
dengan  event  berupa  “saat  untuk  menghasilkan  laporan 
penjualan.”
3.  State Event 
Event  yang  terjadi  ketika  sesuatu  kondisi  terjadi  di  dalam 
sistem  sehingga  memicu  adanya  kebutuhan  untuk 
pemrosesan.  Sebagai  contoh,  jika  stok  persediaan  berada 
dibawah 
reorder  point,  maka  state  event  yang  dihasilkan 
dapat berupa “telah mencapai reorder point.”'
Menurut Satzinger,  Jackson, dan Burd (2005: 174), event 
table  adalah  sebuah  katalog  dari  use  case  yang  mendaftar
event- event  ke  dalam  baris  dan  informasi  mengenai  setiap
  
41 
event  k e  dalam  kolom-kolom.  Informasi  yang  terdapat  dalam
event  table  merupakan  aspek  penting  atas  peristiwa  tertentu 
dan menghasilkan use case.
Diawali  dan  diakhirin ya  event  ditandai  dengan 
telah 
berakhirnya  tanggung  jawab  atas  apa  yang  dilakukan  orang 
atau  aktor  yang  melakukan  event  dan  adanya  rentang  waktu 
antara suatu event dan event berikutnya.  
Kolom-kolom  yan g  berisi  informasi  yang  ditampilkan 
dalam event table terdiri dari: 
1.  Event:  peristiwa  yang  men yebabkan  sistem  melakukan 
respon. 
2.  Trigger:  sinyal  yang  memberitahu  sistem  bahwa  event 
telah  terjadi  karen a  adanya  data  yang  harus  diproses  atau 
karena suatu titik waktu tertentu. 
3.  Source:  pihak  external  agent  atau  aktor  yang  memberikan 
data ke dalam sistem. 
4.  Use Case: apa yang dilakukan sistem ketika event terjadi. 
5.  Response: output yang dihasilkan sistem. 
6.  Destination: external agent menerima hasil atau output dari 
sistem. 
 
Gambar 2.8 Event Table 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 175) 
  
42 
2.9.2.2  Domain Model Class Diagram
Menurut  Satzinger,  Jackson  dan  Burd  (2005:  184), 
domain model class diagram merupakan sebuah d iagram UML 
yan g  menunjukkan hal-hal  yang  penting dalam  pekerjaan  user 
seperti: domain classes, asosiasi, dan atributnya. 
Dalam  class  diagram,  sebuah  class  digambarkan  dengan 
bentuk  kotak.  Kotak  ini  terdiri  dari  dua  bagian,   yaitu  nama 
class 
di  bagian  atas  dan  atribut-atribut  dari  class  tersebut  di 
bagian  bawah.  Sedangkan  hubungan  antar  class  digambarkan 
dengan garis pen ghubun g antar class. 
  
Gambar 2.9 UML Domain Class Symbol with names and 
attributes
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 185) 
  
Gambar 2.10 Domain Model Class Diagram 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 187) 
  
43 
Hubungan  antar  class  yang  digambarkan  dengan  garis 
penghubung  disebut  mu ltiplicity  of  association,  yan g  dapat 
dibedakan menjadi enam jenis dalam gambar sebagai berikut: 
  
Gambar 2.11 Multiplicity of Association 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 186) 
Dalam  class  diagram,  juga  dikenal  hierarki  berdasarkan 
karakteristik  class  yang  sama.  Hierarki  b erguna  untuk 
menyusun  class  mulai  dari  karakteristik  yang  umum  hingga 
karakteristik  yang  khusus.  Class  yang  memiliki  karakteristik 
umum  disebut  superclass.  Sedangkan  class  yang  memiliki 
karakteristik  khusus  disebut  subclass.  Sebuah  subclass  dapat 
memiliki  karakteristik  superclassnya  dengan  penurunan 
karakteristik atau inheritance. 
Generalization  adalah  pen gelompokan  hal-hal
berdasarkan  jenis  yang  sama,  contohnya  ada  banyak  jenis 
kendaraan  seperti  mobil,  motor,  sepeda,  pesawat,  dan 
sebagainya.  Sedangkan  specialization  adalah  pengkategorian 
jenis-jenis  hal  yang  berbeda,  sebagai  contoh  jenis  khusus  dari 
mobil  adalah  mobil  sport,  sedan,  jeep,  dan  sebagainya.
Generalization  /  specialization  hierarchy  digunakan  untuk 
mengurutkan hal-hal umum menjadi khusus.
  
44 
  
Gambar 2.12 Generalization / Specialization Hierarchy 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 190) 
Satzinger,  Jackson,  dan  Burd  (2005:  191) 
mengungkapkan  pula  bahwa  dalam  hierarki  class  diagram 
terdapat whole-part  hierarchies  yang  merupak an hierarki yang 
menyusun  class-class  sesuai 
den gan  komponen-komponen 
yan g  terkait.  Whole-part  hierarchies  sendiri  dapat  dibedakan 
menjadi dua jenis, yaitu: 
1.  Aggregation
Hubungan  antara  ob yek  dengan  bagian-b agiann ya  dimana 
setiap bagian dapat terpisah-pisah. 
  
45 
Gambar 2.13 Whole-part Hierarchy (Aggregation) 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 192) 
2.  Composition
Hubungan  dimana  bagian-bagian  yang  ada  tidak  dapat 
dipisahkan dengan obyek nya. 
  
Gambar 2.14: Whole-part Hierarchy (Composition) 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 193) 
2.9.3  Use Case Modeling and Detailed Requirements
2.9.3.1.  Use Case Diagram
Use  case  merupakan  pendekatan  visual  yang  dapat
digunakan  untuk  proses  pemodelan  dalam  pengembangan 
sistem.  Use case  menurut  Satzinger, Jackson,  dan  Burd  (2005: 
166) merupakan aktivitas yang dilakukan sistem yang biasanya 
berupa respon terhadap permintaan pengguna. 
Dalam  penggambaran  use  case  diagram,  digunakan 
beberapa  simbol  atau  notasi  untuk  merepresentasikan  setiap 
  
46 
penggun a  dan  apa  yang  dilakukan  sistem  untuk  merespon 
permintaan pen ggun a. 
  
Gambar 2.15 Use Case Notation 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 215) 
  
Gambar 2.16 Use Case Diagram 
Sumber : Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 216) 
2.9.3.2.  Use Case Description
Menurut  Satzinger,  Jackson  dan  Burd  (2005:  220)  use 
case  description  adalah  penjelasan  terperinci  mengenai  proses 
dari  suatu  use  case.  Terdapat  3  (tiga)  jenis  pendeskripsian 
dalam use case description yaitu:
  
47 
1.  Brief Description
Brief  description  digunakan  untuk  use  case  yang  san gat 
sederhana  dan  diperuntukkan  sistem  yang  dibangun 
berskala k ecil. 
  
Gambar 2.17 Brief Description Use Case 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005:221) 
2.  Intermediate Description 
Intermediate  description  merupakan  pengemban gan  dari
brief  description untuk  menggambarkan  alira
internal dari 
aktifitas  untuk  sebuah  use  case.  Exceptio
dapat 
didokumentasi jika diperlukan. 
  
Gambar 2.18 Intemediate Description Use Case 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005:222) 
  
48 
3.  Fully Developed Description 
Fully  developed  description  merupakan  sebua
metode 
yang  paling  formal  yang  digunakan   dalam 
mendokumentasikan use case. 
  
Gambar 2.19 Fully Developed Description Use Case 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 223)  
2.9.3.3.  System Sequence Diagram
Menurut Satzinger, Jackson  dan Burd (2005: 213 ) system 
sequence  diagram  adalah  diagram  yan g  menggambarkan 
urutan-urutan  pesan  antar aktor  yang menggunakan sistem dan
  
49 
sistem  utama.  System  sequence  diagram  digunakan  untuk 
menjelaskan  alur,  baik  ke  dalam  ataupun  ke  luar,  informasi 
dari  sistem  yang  telah  diautomisasi.  Sistem  itu  sendiri 
diperlakukan  sebagai  object  tunggal  yang  dinamakan  dengan 
:System.  Penggunaan  notasi  dalam  sequence  diagram  terdiri 
dari: 
1.  Lifeline 
Merupakan  garis  vertikal  yang  membentang  untuk 
menunjukkan waktu hidup dari sebuah ob yek. 
2.  Object 
Merupakan  simbol  yang menggambarkan  pengguna sistem 
atau sistem yang telah ter otomatisasi. 
3.  Input message 
Merupakan  garis  horizontal  yang  menunjukkan  pesan 
masuk dari pengguna atau user. 
4.  Output message 
Merupakan garis horizontal putus-putus  yang men unjukkan 
respon dari pesan  yang dimasukkan oleh pengguna. 
  
Gambar 2.20 S ystem Sequence Diagram 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005, 229) 
  
50 
  
Gambar 2.21 System Sequence Diagram for Repeating Message  
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 230)  
2.10  Design Dicipline
2.10.1  Design Activities and Environment
2.10.1.1 Deployment Environment
Deployment  environment terdiri  dari beberapa komponen
seperti  hardware,  software,  dan  n etworking  yang  membuat 
suatu  sistem  dapat  berjalan.  Satzinger,  Jackson,  dan  Burd 
(2005:  270)  mengelompokkan  deployment  environment  ke 
dalam 2 (dua) bagian, antara lain: 
  
51 
1.  Single Computer Architecture 
Merupakan  suatu  perangkat  sistem  kompute
yang 
menjalankan software secara tunggal.  Adapun ka
akteristik 
sistem  informasi yang dijalankan  pada  arsitektu
ini  adalah 
mudah dirancan g, dibangun, dioperasikan da
dikelola. 
  
Gambar 2.22 Single Computer Architecture 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 271) 
2.  Multitier Computer Architecture 
Merupakan  tipe arsitektur yan g  mengeksekusi  suatu  proses 
dalam  beberapa  komputer.  Jenis  arsitektur  ini  terbagi 
menjadi 2 (dua) b agian,  yaitu : 
a.  Clustered Architecture 
Merupakan  arsitektur  yang  menggunaka
beberapa 
komputer dengan model dan produksi yang sama. 
  
Gambar 2.23 Clustered Architecture 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd  (2005: 271) 
  
52 
b.  Multicomputer Architecture 
Merupakan  arsitektur  yan g  menggunakan  beberapa
komputer dengan spesifikasi yang berbeda-beda. 
  
Gambar 2.24 Multicomputer Architecture 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 271) 
Deployment  architecture  dikelompokkan  menjadi  dua
bagian  menurut  Satzinger,  Jackson,  dan  Burd  (2005:  272), 
yaitu: 
1.  Centralized Architecture 
Arsitektur  yang  menggambarkan  distribusi  sistem 
komputer  pada  suatu  lokasi.  Arsitektur  ini  umumnya 
digunakan  untuk  proses  aplikasi  berskala  besar,  seperti 
real-time application.
2.  Distributed Architecture 
Arsitektur  yang  menggambarkan  distribusi  sistem 
komputer  pada  beberapa  lokasi  dengan  menggunakan
jaringan komputer.  
2.10.1.2 Software Architecture
Satzinger,  Jackson,  dan  Burd  (2005:  277)  membagi 
software architecture ke  dalam 2 (dua) bagian, yaitu: 
1.  Client/server Architecture
Arsitektur  jenis  ini  membagi  software  ke  dalam  dua 
bagian,  yaitu  client  dan  server.  Server  berfungsi  sebagai 
  
53 
alat  untuk  mengolah  sumber  informasi,  sedan gkan  client 
berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan server. 
2.  Three-layer Client/server Architecture 
Arsitektur  ini  merupakan  pengembangan  dari  arsitektur 
client/server yang terbagi menjadi 3 lapisan, yaitu:
a.  Data Layer 
Merupakan  layer  untuk  mengatur  pen yimpanan  data 
pada suatu database. 
b.  Business Logic Layer 
Merupakan  layer  yang  mengimplementasikan  aturan 
dan prosedur dari suatu proses bisnis. 
c.  View Layer 
Merupakan  layer  yang  menerima  input  dan 
menampilkan  output  sebagai  hasil  dari  proses  yang 
berjalan. 
  
Gambar 2.25 Three-layer Architecture 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 280) 
2.10.2  Use Case Realization: The Design Discipline within UP Iterations
2.10.2.1  First-C ut Design Class Diagram
Menurut  Satzinger,  Jackson, dan  Burd (2005: 309),  first-
cut  class  diagram  adalah  pengembangan  dari  domain  class 
diagram  setelah  melalui  dua  tahap,   yaitu  dengan 
mendeskripsikan  atribut  dengan  tipe  dan  nilai  awal  dan 
menambahkan  navigation  visibility  arrows,  yang  merupakan 
arah  untuk  menunjukkan  kemampuan  suatu  ob yek  yang  dapat 
berinteraksi dengan obyek lain.
  
54 
  
Gambar 2.26 First-cut Class Diagram 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 311) 
Penggunaan  navigation  visibility  terbagi  ke  dalam  2 
(dua) bagian,  yaitu: 
1.  Attribute Navigation Visibility 
Terbentuk  ketika  class  memiliki  atribut  yan g 
mereferensikan obyek lain. 
  
Gambar 2.27 Attribute Navigation Visibility 
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 307) 
  
55 
2.  Parameter Navigation Visibility 
Terbentuk  ketika  class  sesuai  dengan  parameter  yang 
mereferensikan  obyek  lain.  Parameter  tersebut  diteruskan 
melalui method call. 
Terdapat  beberapa  petunjuk  mengenai  penetapan 
navigation visibility seperti: 
1.  Hubungan  one-to-many  yan g  menandakan  adanya
superior  -  subordinate  relationship.  Nagivasi  berarah dari
superior  ke  subordinate.  Contohn ya:  dari  Order  ke 
OrderItem.
2.  Mandatory  relationships,  dimana  obyek  pada  class  tidak 
dapat berdiri  tanpa adanya  obyek  dari class  lain. Navigasi 
berarah  dari  independen  class  ke  dependen  class. 
Contohnya: dari Customer ke Order. 
3.  Saat  suatu obyek membutuhkan informasi dari obyek lain, 
maka  panah  navigasi  mengarah  kepada  ob yek  yang 
membutuhkan informasi. 
4.  Navigation  arrows 
mungkin  untuk  mengarah  kepada  dua 
arah. 
2.10.3  Designing The User Interface Layer
2.10.3.1  User Interface
Interface  merupakan  tempat  sistem  informasi
menangkap  input  dan  menghasilkan  output,  serta  terjadinya 
input  dan  output  antara  sistem  den gan  lingkungannya 
(Satzinger, Jackson dan Burd 2005: 442).  Terdap at 2 (du a) tipe
interface, yaitu:
1.  User Interface 
Merupakan  bagian  dari  sistem  informasi  yang 
membutuhkan interaksi dari user untuk  menghasilkan input 
dan output. 
2.  System Interface 
  
56 
Merupakan  bagian  dari  sistem  informasi  yang  melibatkan 
input dan output yang membutuhkan sedikit  campur tangan 
manusia. 
Ben  Shneiderman  memperkenalkan  sebuah  pedoman 
dalam  perancangan  interface  yang  dikenal  dengan  sebutan 
“The  Eight  Golden  Rules  for  Designing  Interactive  Interface” 
(Satzinger,  Jackson  dan  Burd  2005:  454). Adapu n 8  (delapan)  
aturan  emas  dalam  merancang  interface  yang  interaktif 
tersebut adalah sebagai berikut: 
1.  Strive for Consistency (konsistensi) 
Konsistensi  dilakukan  pada  urutan  tindakan,  perintah,  tata 
letak  menu, ukuran, bentuk  icon, form,  dan  tata  letak  layar 
bantuan 
2.  Enable  Frequent  Users  to  Use  Shortcuts  (memungkinkan  
pengguna untuk menggunakan shortcuts) 
Terdapat  kebutuhan  dari  pengguna  yang  sudah  ahli  untuk 
meningkatkan  kecepatan  interaksi  dan  mengurangi 
beberapa  tahapan  dalam  proses  interaksinya  ke  dalam 
sistem,  sehingga  diperlukan  singkatan,  tombol  fungsi, 
perintah tersembun yi, dan fasilatas makro. 
3.  Offers  Information  Feedback  (memberikan  umpan  balik 
yang informatif) 
Dalam  setiap  tindakan  yang  dilakukan  pengguna, 
sebaiknya  disertakan  suatu  sistem  umpan  balik  dari 
komputer  sehingga  pengguna  mengetahui  bahwa 
tindakann ya  terhadap  komputer  tersebut  berhasil  atau 
sebaliknya.  Untuk  tindakan  yang  sering  dilakukan  dan 
tidak  terlalu  penting,  dapat  diberikan  umpan  balik  yang 
sederhana.  Namun  ketika  tindakan  tersebut  merupakan  hal 
yang  penting,  maka  sebaiknya  umpan  balik  lebih 
substansial,  seperti  muncul  suatu  suara  ketika  salah 
menekan tombol atau muncul pesan kesalahannya. 
4.  Design  Dialogs  to  Yield  Closure  (merancang  dialog  untuk 
menghasilkan suatu penutupan) 
  
57 
Rancan gan  dialog  harus  terorganisir  ke  dalam  sebuah 
urutan,  yakni  adan ya  awal,  tengah,  dan  akhir.   Sehingga 
pengguna  akan  terkonfirmasi  bahwa  tugasnya  telah  selesai 
dan  bisa  menjadi  acu an  pengguna  untuk  memulai  tugas 
berikutnya. 
5.  Offer  Simple  Errors  Handling  (memberikan  penanganan 
kesalahan yang sederhana) 
Sedapat  mungkin  sistem  dirancang  sehin gga  pengguna 
tidak  dapat  melakukan  kesalah  fatal.  Sistem  harus  dapat 
memberikan  peringatan  kesalahan  dan  mekanisme 
penangan an kesalahan yang sederhana kepada pengguna. 
6.  Permits  Easy  Reversal  of  Actionsm  (kemudahan  untuk 
kembali pada tindakan sebelumnya) 
Memungkinkan  p engguna  untuk  memilih  dan  mengambil 
keputusan  apakah  tindakannya  akan  dibatalkan  atau 
dikembalikan.  Sehingga  pen gguna  tidak  takut  untuk 
mengeksplorasi  pilihan-pilihan  lain  yang  b elum  biasa 
digunakan. 
7.  Support  Internal  Locus  of  Control  (mendukung  tempat 
pengendalian intern al) 
Pengguna  ingin  menjadi  pengotrol  sistem  dan  sistem  akan 
merespon  tindakan  yang  dilakukan  oleh  pengguna 
sehingga  pen gguna  tid ak  merasa  bahwa  sistem  yang 
mengontrol mereka. 
8.  Reduce  Short-term  Memory  Load  (mengurangi  beban 
ingatan jangka pendek)  
Keterbatasan  ingatan  manusia  menuntut  sebuah  sistem 
didesain dengan  tampilan  yang  sederhana  sehingga mudah 
diingat  oleh  pen ggun a  agar  tidak  menjadi  penghamb at 
kelancaran dari proses interaksi den gan sistem.  
2.11  Perancangan Basis Data
Basis  data  menurut  Conolly  dan  Begg  (2010:  15)  merupakan  suatu 
kumpulan  data  yang  saling  b erhubungan  secara  logis  yang  dipakai  bersama, 
  
58 
dan  deskripsi  dari  data  tersebut  dirancang  untuk  memenuhi  kebutuhan 
informasi suatu organisasi. 
Menurut  Conolly  dan  Begg  (2010:  354)  Entitiy  Relationship  Diagram 
(ERD)  adalah  jawaban  d ari  sebuah  kebutuhan  penyimpanan  data  berdasarkan 
cara  kerja  d ari  suatu  perusahaan  atau  organisasi  yang  b ebas  d ari  ambiguitas. 
ERD  digunakan dalam  rangka mengidentifikasikan  dan menjelaskan  mengenai 
hubungan   antara  data  yang  akan  disimpan,  diolah  dan  diubah  untuk 
mendukung  aktifitas  bisnis  suatu  organisasi.  Komponen-komponen  yang 
digunakan dalam ERD antara lain sebagai berikut: 
1.  Entity Set 
Entitiy set pada  Entity  Relationship Diagram (ERD)  digambarkan  dalam 
sebuah  bentuk  persegi  panjang.  Entity  set  merupakan  sebuah  simbol 
utama  dari  ERD.  Entity  itu  sendiri  merupakan  suatu  obyek  yang  ada 
dalam  sistem  nyata  maupun  abstrak  dimana  data  tersimpan  dan  diberi 
nama  dengan kata  benda.  Entity  set  adalah kumpulan entity yan g  sejenis.
Entity set dapat dikelompokkan dalam beberapa kelas, yaitu: ob yek, agen  
dan kejadian-kejadian yang ada pad a sistem.
2.  Relationship Set 
Setiap relationship  set  digambarkan  dalam  bentuk belah  ketupat,  dengan  
garis  yang  menghubungkan  entity  dengan  entity  lain  yang  terk ait. 
Relationship  set  merupakan  gabungan  dari  relationship  yan g  sejenis.  
Relationship  set  menunjukkan  hubungan  alamiah  yang  terjadi  pada
entity. Pada umumnya relationship set diberi nama dengan k ata kerja. 
3.  Attribute 
Secara  umum  attribute adalah  sifat  atau  karakteristik yang dimiliki setiap 
entity  maupun  relationship  yang  men yediakan  penjelasan  detail  tentang
entity  atau  relationship  tersebut,  sehingga  sering  dikatak an  sebagai 
elemen data dari entity d an relationship.
4.  Cardinality 
Merupakan  tingkat hubungan antara entitas  dan  dilihat dari segi  kejadian  
atau  banyaknya  hubungan  yang  terjadi  antara  entity  di  dalam  ERD.  Ada 
tiga kemungkinan tin gkat hubungan  yang ada,  yaitu: 
a.  One To One (1:1) 
  
59 
Terjadi  bila  entitas  hanya  memiliki  sebuah  hubunga
dengan  entitas 
lainnya dan hubun gan tersebut dinyatakan satu pada sat
kejadian. 
  
Gambar 2.28 One-to One Relationship 
b.  One To Many atau Many To One (1:M / M;1) 
Terjadi  apabila satu entitas memiliki banyak hubu nga
dengan  entitas 
lain atau sebaliknya. 
  
Gambar 2.29 One-to Many Relationship 
c.  Many To Many (M:M) 
Terjadi  apabila k edua  buah  entitas  saling memili
banyak  hubungan 
diantara mereka. 
  
Gambar 2.30 Many-to Many Relationship 
Menurut  Connolly  (2010:  416)  tujuan  utama  dalam  pengembangan 
model  data  logical  pada  sistem  basis  relasional  adalah  untuk  menciptakan 
representasi  akurat  suatu  data,  keterhubungannya  dan  batasan-batasannya. 
Untuk  mencapai  tujuan  ini,  maka  harus  ditetapkan/diidentifikasi  sekumpulan 
relasi.  Empat  bentuk  normal  yang  biasa  digunakan  yaitu,  first  normal  form 
(1NF),  second  normal  form  (2NF)  dan  third  normal  form  (3NF)  dan  Boyce–
  
60 
Codd  normal  form  (BCNF).  Terdapat  bentuk  fourth  normal  form  (4NF)  dan 
fifth  normal  form  (5NF)  untuk  situasi  yang  jarang  terjadi.  Berdasarkan  pada
functional  dependencies  antar  atribut  dalam  relasi.  Sebuah  relasi  d apat 
dinormalisasi  kedalam  bentuk  tertentu  untuk  mengatasi  kemungkinan 
terjadinya  pen gulangan   dari  update  yang  tidak  baik.  Normalisasi  adalah  suatu 
teknik  untuk  menghasilkan  sekumpulan  relasi  dengan  sifat-sifat  (properties) 
yan g diinginkan, memenuhi kebutuhan data enterprise.
1.  Data Redudancy 
Menurut  Connolly  (2010:  418)  tujuan  utama  dari  desain  basis  d ata 
relasional  adalah  untuk  mengelompokkan atribut-atribut  ke d alam r elasi-
relasi  sehingga  meminimalisasi  redudansi  data  dan  mengurangi 
penggunaan   tempat  penyimpanan   yang  dibutuhkan  oleh  sebuah  relasi 
dasar.  
2.  Update Anomalies 
Menurut  Connolly  (2010:  419)  relasi  yan g  mengandung  informasi  yan g 
redundan  dapat  diakibatkan  oleh  update  anomalies.  Beberapa  tipe  dari 
update anomalies, diantaranya Insertion, Deletion, dan Modification.
3.  Functional Dependen cy 
Menurut  Connolly  (2010:  420)  merupakan  konsep  inti  yang  terkait 
dengan 
normalisasi.  Functional  dependency  menjelaskan  relationship 
antar atribut-atribut dalam relasi. 
  
61 
2.12  Kerangka Berpikir
Dalam  menentukan  langkah-langkah  penelitian,  maka  dibuat  kerangka 
berpikir dalam bentuk bagan sebagai berikut: 
  
Gambar 2.31 Kerangka Berpikir