BAB 2
L ANDASAN TEORI
2.1 Sistem Informasi Akuntansi
Sistem informasi akuntansi memanfaatkan teknologi informasi dalam
menyediakan informasi bagi para pengguna melalui pengolahan data. Sistem
informasi akuntansi merupakan bagian daripada sistem informasi perusahaan
yang memiliki tujuan, kegunaan, dan komponen yang mendukungnya, serta
siklus transaksi yang terdapat pada sistem informasi akuntansi.
2.1.1 Pengertian Sistem Informasi Akuntansi
Gelinas dan Dull (2008: 14) mengemukakan bahwa, Accounting
information system (AIS) is a specialized subsystem of the IS. The
purpose of this separate AIS was to collect, process, and report
information related to the financial aspects of business events.
C onsidine, Parkes, Olesen, Blount, dan Speer (2012: 12)
berpendapat bahwa, Accounting Information
System is the application
of technology to the capturing, verifying, storing, sorting, and reporting
of data relating to an organisations activities.
Setelah memahami beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa sistem informasi akuntansi adalah suatu siste
informasi berbasis
komputer yang mengumpulkan, memverifikasi, memprose
menyimpan,
mengurutkan, dan melaporkan data keuangan den ga
tujuan untuk
menghasilkan informasi keuangan yang
berguna untu
mendukung
proses pengambilan keputusan.
2.1.2 Kegunaan Sistem Informasi Akuntansi
M. Slamet Wibowo menerjemahkan kegunaan sistem informasi
akuntansi menurut Rama, Dasaratha V dan Frederick L.Jones (2008: 6),
yaitu:
1. Membuat laporan yan g berisi informasi yang berguna bagi pihak
eksternal perusahaan seperti para investor, kreditur, dinas pajak,
badan-badan pemerintah, dan yang lainnya.
|
10
2. Membantu para manajer dalam melakukan aktivitas rutin operasional
dalam suatu siklus operasi perusahaan.
3. Mendukung proses pengambilan keputusan pada seluruh tingkat
manajemen, baik yang dilakukan secara rutin maupun tidak.
4. Mendukung dalam pembuatan suatu perencanaan dan juga dalam
melakukan pengendalian terhadap setiap aktivitas yang dilakukan.
5. Mendukung p elaksanaan pengendalian internal yang meliputi
kebijakan, aturan, prosedur, dan sistem informasi yang digunakan
untuk melindungi aset perusahaan dari kerugian atau pencurian dan
menjaga keakuratan data keuangan perusahaan.
2.1.3 Komponen Sistem Informasi Akuntansi
Terdapat enam kompo nen yan g membentuk sistem informasi
akuntansi menurut R omney dan Steinbart (2006: 6) yaitu:
1. People (orang), yang berinteraksi langsung untuk mengoperasikan
sistem dan melakukan berbagai fungsi.
2. Procedures and instruction (prosedur dan instruksi), baik manual dan
otomatis mancakup pengumpulan, pemrosesan dan penyimpanan data
mengenai kegiatan organisasi.
3. Data (data), meliputi semua data transaksi yang terjadi mengenai
proses bisnis organisasi.
4. Software (perangkat lunak), yang digunakan untuk memproses dan
mengolah data organisasi.
5. Information technology infrastructure (infrastruktur teknologi
informasi), meliputi komputer, peralatan komunikasi jaringan dan
peralatan
lainn ya yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,
memproses data, serta kemudian mengirimkan d ata tersebut lengkap
dengan informasi yang dihasilkan.
6. Internal controls and security measures (pengen dalian internal dan
tingkat keamanan), yang menjaga keamanan data pada sistem.
2.1.4 Siklus Transaksi pada Sistem Informasi Akuntansi
Menurut Romney dan Steinbart (2006: 29), siklus pemrosesan
transaksi pada sistem merupakan suatu rangkaian aktivitas yan g
|
11
dilakukan perusahaan dalam melakuk an bisnisn ya, mulai dari proses
pembelian, produksi, hingga penjualan barang dan jasa. Siklus transaksi
pada perusahaan dapat dibagi kedalam lima subsistem, yaitu:
1. Revenue cycle (siklus pendap atan), yang terdiri dari transaksi
penjualan dan penerimaan kas.
2. Expenditure cycle (siklus pengeluaran), yang terdiri dari peristiwa
pembelian barang untuk dijual kembali atau bahan baku diproduksi
dan pen geluaran kas.
3. Human resource / payroll cycle (siklus penggajian / sumber daya
manusia), yang terdiri dari peristiwa yan g berhubungan dengan
perekrutan dan pembayaran atas pemakaian tenaga kerja.
4. Production cycle (siklus produksi), yan g terdiri dari peristiwa yang
berhubungan dengan pengubahan bahan mentah menjadi barang jadi
yang siap dipasarkan.
5. Financing cycle (siklus pembiayaan), yang terdiri dari transaksi
dimana perusahaan men jual bagian kepemilikan perusah aan kepada
investor, perusahaan meminjam sejumlah uang kepada kreditor, dan
membayar sejumlah dividen kepada investor, serta membayar
pinjaman beserta bun ga kepada kreditor.
2.2 Teori-teori Produksi
Proses produksi merupakan proses yang paling utama dalam perusahaan
yang bergerak di bidang manufaktur. Proses produksi dilakukan untuk
mengubah bahan baku menjadi barang jadi yang nantinya akan dipasarkan ke
masyarakat. Sebelum melakukan proses produksi, perlu adanya perencanaan
dan pengendalian atas produksi agar perusahaan mampu mengelola harga
pokok produksi seminimal mungkin.
2.2.1 Pengertian Produksi
Menurut Groover (2005: 1), produksi merupakan suatu kegiatan
yang berisi kumpulan orang, peralatan, dan aturan-aturan yang dikelola
sedemikian rupa untuk melaksanakan operasi-operasi manufaktur dalam
sebuah pabrik.
|
12
Hall (2013: 15) menjelaskan bahwa aktivitas produksi terjadi di
dalam siklus pengkonversian bahan baku, tenaga kerja, dan aktiva tetap
yang digunakan untuk menghasilkan suatu bar ang jadi.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
produksi merupakan proses mengubah bahan baku, tenaga kerja dengan
menggunakan peralatan dalam rangka untuk menghasilkan barang jadi.
2.2.2 Pengertian Harga Pokok Produksi
Harga pokok produksi menurut Hansen dan Mowen yang
diterjemahkan oleh Deny Arnos Kwary (2009: 60), yakni harga pokok
produksi mencerminkan total biaya barang yang diselesaikan selama
periode yang berjalan. Biaya yang dibebankan pada barang yang telah
selesai hanya biaya manufaktur yan g terdiri dari biaya bahan langsung,
biaya tenaga kerja lan gsung, dan biaya overhead.
Menurut Raiborn dan Kinney yan g diterjemahkan oleh Rahmat
Hilman (2011: 61), harga pokok produksi sama dengan biaya yan g ada
pada area konversi pada permulaan periode ditambah biaya produksi
(bahan baku langsun g, tenaga kerja lan gsung, dan overhead) yan g terjadi
selama periode dikurangi biaya barang yang belum terselesaikan yan g
ada pada area konversi di akhir period e. Harga pokok produksi
ditunjukkan pada laporan manajemen internal yang disebut laporan harga
pokok produksi; jumlahn ya sama d engan harga pokok pembelian dalam
sebuah perusahaan ritel. Jika harga pokok p roduk si ditambahkan dengan
persediaan bar ang jadi maka dapat ditentukan biaya barang yang tersedia
untuk dijual pada periode berjalan; biaya barang
yang tersedia untuk
dijual dikurang d engan saldo persediaan barang jadi akhir merupakan
harga pokok penjualan pada laporan laba ru gi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa harga pokok produksi adalah biaya
yang keluar untuk menghasilkan suatu barang jadi dan menjadi landasan
dalam menetapkan harga jual suatu produk.
2.2.3 Fungsi Harga Pokok Produksi
Menurut Mulyadi (2005: 65) harga pokok produksi yang
dikalkulasi pada jangka waktu tertentu yang sudah ditentukan merupakan
|
13
sebuah informasi, dimana informasi tersebut bermanfaat bagi manajemen
untuk:
1. Menentukan Harga Jual Produk
Biaya produksi dihitung d alam jangka waktu tertentu untuk
mengh asilkan informasi biaya produksi per satuan produk. Dalam
penetapan harga jual, biaya produksi per unit merupakan salah satu
informasi yan g dipertimbangkan disamping informasi biaya lain serta
informasi nonbiaya.
2. Memantau Realisasi Biaya Produksi
Jika rencana produksi untuk jangka waktu tertentu telah ditetapkan,
maka manajemen memerlukan informasi biaya produksi yang
sesungguhn ya dikeluarkan di dalam pelaksanaan rencana produksi
tersebut. Maka dari itu, akuntansi biaya digunakan untuk
mengumpulkan informasi terkait biaya produksi yang keluar dalam
jangk a waktu tertentu untuk memantau apakah proses produksi
mengkonsumsi total biaya produksi sesuai dengan yang
diperhitungkan sebelumn ya.
3. Menghitung Laba atau Rugi Kotor
Untuk mengetahui apakah sebuah kegiatan produksi dan pemasaran
dalam periode waktu tertentu mampu menghasilkan laba bruto atau
rugi bruto, maka manajemen membutuhkan informasi biaya produksi
yang telah dikeluarkan untuk memproduksi produk dalam periode
tertentu.
4. Menentukan Harga Poko k Persediaan Produk Jadi dan Produk Dalam
Proses Disajikan dalam Neraca
Dalam tugasn ya manajemen memili
pertanggungjawaban terhadap
keuan gan periodik, yakni dala
menyajikan laporan keuangan,
diantaran ya n eraca dan laporan laba rug
Di dalam neraca,
manajemen harus menyajikan harga poko
persediaan produk jadi
|
14
2.2.4 Sistem Perhitungan Harga Pokok Produksi
Menurut Witjaksono (2006: 25), Sistem perhitungan harga pokok
membahas mengenai tata cara atau metode penyajian informasi biaya
produk dan jasa berdasarkan informasi dari sistem akumulasi biaya dan
sistem biaya. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam alternatif
sistem perhitungan h arga pokok, yakni:
1. Full Costing / Absorption Costing
Di dalam sistem perhitungan full costing / absorption costing, seluruh
biaya produksi variabel dan biaya produksi tetap dibebankan ke
produk.
2. Variabel Costing
Di dalam sistem perhitugan variabel costing, hanya biay
produksi
variabel saja yang dibebankan ke produk.
2.3 Sistem Produksi
Aktivitas produksi pada suatu perusahaan tidak terlepas dari penggunaan
sistem yang mendukung. Terdapat beberapa jenis proses manufaktur yang akan
dijelaskan berikut ini.
2.3.1 Pengertian Sistem Produksi
Goldberg dan Askin (20 06: 19) mengemukakan bahwa The set of
resources and procedures involved in converting raw material into
products and delivering them to customers defined the production
system, yakni sistem produksi adalah suatu set sumber daya dan
prosedur yang terlibat dalam mengkonversi bahan baku menjadi produk
dan memberikannya kep ada pelanggan.
2.3.2 Jenis Proses Manufaktur
Menurut Hansen dan Mowen yang diterjemahkan oleh Deny Arnos
Kwary (2009: 306), dalam perusahaan dengan sistem proses, maka unit-
unit produksi umumnya melalui setiap departemen atau proses. Dalam
setiap departemen, bahan baku, tenaga kerja, dan overhead mungkin
dibutuhkan. Saat penyelsaian proses tertentu, barang setengah jadi
dipindahkan ke departemen berikutnya. Setelah melewati departemen
|
![]() 15
terakhir, barang selesai diproduksi. Berikut adalah jenis-jenis proses
manufaktur:
1. Proses berurutan (sequential processing), yaitu pola pemrosesan
dengan unit yang melewati dari suatu proses ke proses lainnya dalam
serangkaian susunan.
Gambar 2.1 Proses Manufaktur Berurutan
Sumber: Hansen dan Mowen (2009: 306)
2. Proses paralel (parallel processing), yaitu pola pemrosesan dengan
dua atau lebih proses berurutan yang disyaratkan untuk menghasilkan
sebuah bar ang jadi.
Gambar 2.2 Proses Manufaktur Paralel
Sumber: Hansen dan Mowen (2009: 307)
2.4 Biaya
Kegiatan produksi yang dilakukan perusaahaan tentu memunculkan
biaya. Biaya tersebut dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk. Berikut
ini adalah penjelasan mengenai biaya dan pen gelompokan biaya, serta sistem
perhitungan biaya.
2.4.1 Pengertian Biaya
Pengertian biaya menur ut Mursyidi (2010: 213) adalah su atu
pengorbanan yang dapat men gurangi kas atau harta lainn ya untuk
mencapai tujuan, baik yang dapat dibebankan pada saat ini maupun pada
saat yang akan datang.
|
16
Menurut Carter yang diterjemahkan oleh Krista (2009: 30),
akuntan telah mendefinisikan biaya sebagai suatu nilai tukar,
pengeluaran, atau pengorbanan yang dilakukan untuk menjamin
perolehan manfaat. Dalam akuntansi keuangan, pengeluaran atau
pengorbanan pada tanggal akuisisi dicerminkan oleh penyusutan atas kas
atau aset lain yang terjadi pada saat ini atau di masa yang akan datang.
Menurut Hansen dan Mowen yang diterjemahkan oleh Deny Arnos
Kwary (2009: 47), biaya adalah kas atau setara kas yang dikorbankan
untuk mendapatkan bar ang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat
saat ini atau di masa depan bagi organisasi.
Dapat disimpulkan bahwa biaya adalah sesuatu berupa kas atau
setara kas yang dikorbankan untuk memperoleh barang atau jasa yan g
diharapkan dapat membawa manfaat bagi organisasi untuk mencapai
tujuannya.
2.4.2 Klasifikasi Umum Biaya
Menurut Gar rison, Norren, dan Brewer (2013: 26) yang
diterjemahkan oleh Kartika Dewi, terdapat beberapa klasifikasi umum
biaya yang meliputi: klasifikasi biaya menurut fungsi pokok p erusahaan,
konsep akuntansi keuangan, komponen laporan keuangan, prediksi
perilaku biaya, pembebanan biaya ke obyek biaya, dan pembuatan
keputusan.
2.4.2.1 Klasifikasi Biaya Menurut Fungsi Pokok Perusahaan
Garrison, Norren, dan Brewer (2013: 26) yan g
diterjemahkan oleh Kartika Dewi menyatakan bahwa terdapat
beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur
yang membagi
biaya produksinya ke dalam 2 (dua) kategori
besar, antara lain:
1. Biaya Produksi
Perusahaan manufaktur membagi biay
produksi ke dalam
tiga kategori:
|
17
a. Bahan Lan gsung (Direct Material)
Merupakan bahan baku yan g digunakan untuk
menghasilkan produk. Bahan baku merupakan semua jenis
bahan yang digunakan dalam pembuatan produk. Bahan
langsun g merupakan bahan yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari produk jadi, dan dapat ditelusuri secara
fisik dengan mudah ke produk tersebut.
b. Tenaga kerja langsung (Direct Labor)
Istilah tenaga kerja langsung (Direct Labor) digunakan
untuk merepresentasikan biaya tenaga kerja yang dapat
ditelusuri dengan mudah ke produk jadi. Sedan gkan, biaya
tenaga kerja yang tidak dapat ditelusuri secara fisik dalam
pembuatan produk disebut tenaga kerja tidak langsung dan
diperlakukan sebagai bagian biaya overhead pabrik.
Sebutan lain dari tenaga kerja langsung adalah tenaga
kerja manual (touch labor) karena dengan upaya atau
sentuhan tenaga kerja tersebut, maka proses produksi
berlangsung.
c. Biaya overhead pabrik (Manufacturing Overhead)
Biaya ini mencakup seluruh biaya produksi yang tidak
termasuk dalam bahan langsung dan ten aga kerja
langsun g. Biaya overhead pabrik terdiri dari bahan tidak
langsun g, tenaga kerja tidak langsung, listrik dan
penerangan, pemeliharaan dan perbaikan peralatan
produksi, depresiasi, pajak properti, asu ransi fasilitas-
fasilitas produksi, dan lain-lain. Han ya biaya-biaya yang
berkaitan den gan operasi pabrik yang termasuk ke dalam
kategori biaya overhead produksi. Bila biaya overhead
pabrik ditambah dengan biaya tenaga kerja langsung,
maka akan menjadi biaya konversi ( conversion cost).
Istilah tersebut muncul dari fakta bahwa biaya tenaga
kerja langsung dan biaya overhead pabrik terjadi dalam
proses konversi. Gabungan antara biaya tenaga kerja
|
18
langsung den gan bahan langsung disebut biaya utama
(prime cost).
2. Biaya No nproduksi
Terdapat klasifikasi secara umum mengenai biaya
nonproduksi, yaitu:
a. Biaya pemasaran atau penjualan
Mencakup seluruh biaya yang timbul untuk menangani
pesanan konsumen dan upaya menyampaikan produk atau
jasa kepada konsumen . Biaya-biaya tersebut disebut
pemerolehan pesanan (ordergetting) dan pemenuhan
pesanan (order-filling). Biaya pemasaran meliputi
pengiklanan, pengiriman, perjalanan dalam rangka
penjualan, komisi penjualan, gaji untuk bagian penjualan,
dan biaya penyimpanan (gudang) produk jadi.
b. Biaya administrasi
Meliputi pengeluaran eksekutif, organisasional, dan
klerikal yang berkaitan dengan manajemen umum
organisasi. Contoh dari biaya administrasi ini adala
gaji
eksekutif, akuntansi umum, kesekretariatan, huma
dan
biaya sejenis yang terkait den gan administra
umum
organisasi secara keseluruhan.
|
![]() 19
Gambar 2.3 Ringkasan Terminologi Biaya
Sumber: Garrison, Norren, dan Brewer (2010: 29)
2.4.2.2 Klasifikasi Biaya Menurut Konsep Akuntansi Keuangan
Garrison, Norren, dan Brewer (2013: 28) yang
diterjemahkan oleh Kartika Dewi mengklasif ikasikan biaya
menurut konsep akuntansi keuangan menjadi:
1. Biaya Produk (Product Cost)
Biaya produk meliputi seluruh biaya yang berhubungan
dengan proses p emerolehan atau pembuatan suatu produk.
Dalam kasus manufaktur, biaya ini terdiri atas bahan
langsung, tenaga kerja langsung, dan overhead pabrik. Biaya
produk dianggap melekat pada unit produk pada saat barang
dibeli atau diproduksi, dan biaya tersebut tetap melekat pada
barang yang k emudian menjadi persediaan yang menunggu
untuk dijual.
2. Biaya Periodik (Period Cost)
Biaya periodik adalah semua biaya yang tidak termasuk ke
dalam biaya p roduk. B iaya periodik akan dimasukkan ke
dalam laporan laba rugi dan diakui beban pada periode
terjadinya dengan menggunak an peraturan akuntansi akrual.
|
20
Biaya periodik tidak termasuk biaya pembelian maupun
produksi barang. Contoh biaya
periodik adalah sewa kantor,
komisi penjualan, dan seluruh beban penjualan dan
administrasi.
2.4.2.3 Klasifikasi Biaya untuk Memprediksi Perilaku B iaya
Menurut Carter yang diterjemahkan oleh Krista (2013: 30),
perilaku biaya umumnya dibagi menjadi 3 (tiga), antara lain:
1. Biaya Tetap
Biaya tetap merupakan biaya yang secara total tidak berubah
walaupun aktivitas bisnis meningkat atau menurun. Misaln ya
overhead pabrik memasukkan item seperti supervisi,
penyusutan, sewa, asuransi properti, pajak properti.
2. Biaya Variab el
Biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang secara total
meningkat secara proporsional terhadap p eningkatan dalam
aktivitas dan menurun secara proporsional terhadap
penurunan dalam aktivitas. Misalnya, biaya bahan baku
langsung, tenaga kerja langsung, beberapa perlengkapan,
beberapa tenaga kerja tidak langsung, alat-alat kecil,
pengerjaan ulang, dan unit-unit yan g rusak. Biaya variabel
biasanya dapat diidentifikasikan langsung d engan aktivitas
yang menimbulkan biaya.
3. Biaya Semivariabel
Biaya semivariabel adalah biaya yan
memperlihatkan baik
karakteristik-karakteristik dari biaya teta
maupun biaya
variabel. Contoh biaya tersebut ad ala
biaya listrik, air, gas,
bensin, perlengkapan, pemeliharaan, beberap
tenaga kerja
tidak langsung, asuransi jiwa kelompo
|
21
2.4.2.4 Klasifikasi Biaya untuk Pembebanan Biaya ke Obyek Biaya
Menurut Horngren, Datar, dan Foster yang diterjemahkan
oleh Desi Adhariani (2013: 46), penelurusan biaya serta
pengalokasian biaya terbagi menjadi:
1. Biaya Langsung
Biaya langsung terk ait dengan suatu obyek biaya dan dapat
dilacak ke obyek biaya tertentu dengan cara yang layak secara
ekonomi (biaya efektifitas). Istilah biaya terlacak (cost
tracing) digunakan untuk menggambarkan pemb ebanan biaya
langsung atas suatu obyek biaya.
2. Biaya Tidak Langsung
Biaya tidak langsung berkaitan dengan suat
obyek biaya
namun tidak dapat dilacak ke ob yek biay
tertentu dengan
cara yan g layak secara ekonomis (biay
efektifitas). Istilah
alokasi biaya (cost allocation) digunakan untuk
menggambarkan p embebanan biaya tidak langsun
pada suatu
obyek biaya.
2.4.2.5 Klasifikasi Biaya untuk Penga mbilan Keputusan
Garrison, Norren, dan Brewer (2013: 47)
mengklasifikasikan biaya yang dipergunakan untuk mengambil
suatu keputusan yaitu:
1. Biaya Diferensial (Differential Cost)
Keputusan
dibuat selalu berkaitan dengan proses pemilihan
satu alternatif dari berbagai alternatif yang ada. Setiap
alternatif memiliki pertimbangan biaya d an manfaat yang
harus dibandingkan dengan alternatif yang lainn ya. Perbedaan
biaya antara dua laternatif disebut biaya diferensial.
Perbedaaan penghasilan antara dua alternatif disebut
pendapatan diferensial.
Biaya diferensial disebut juga dengan biaya inkremental
(incremental cost). Meskipun secara teknis
yang dimaksud
dengan biaya inkremental adalah biaya-biaya yang berkaitan
dengan kenaikan biaya yang terjadi akibat adanya perubahan
|
22
dari suatu alternatif ke alternatif lainnya. Sedangkan
penurunan biaya ser ing disebut biaya dekremental
(decremental cost).
2. Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)
Biaya kesempatan atau biaya peluang merupakan manfaat
potensial yang akan hilang bila salah satu alternatif telah
dipilih dari sejumlah alternatif yang tersedia. Biaya
kesempatan tidak selalu dicatat dalam catatan akuntansi, tetapi
merupakan biaya yang harus selalu dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan. Setiap alternatif biaya memiliki biaya
kesempatan yang melekat padanya.
3. Biaya Tertanam (Sunk Cost)
Biaya tertanam merupakan biaya yang telah terja
dan tidak
dapat diubah oleh keputusan apa pun yang dibu
saat ini
ataupun masa yang akan datang. Biaya tertana
bukanlah
biaya diferensial, oleh karenanya biaya tertanam dapat
diabaikan dalam pembuatan keputusan.
2.4.3 Sistem Akumulasi Biaya
Menurut Carter yang diterjemahkan oleh Krista (2009: 174), tujuan
penting dari sistem akumulasi atau perhitungan biaya adalah untuk
menentukan berapa besaran biaya dari suatu barang atau jasa yan g
dihasilkan oleh perusahaan. Sistem perhitungan biaya sebaikn ya
ekonomis untuk dioperasikan dan membebankan sejumlah biaya ke
setiap produk sedemikian rupa sehingga merefleksikan biaya dari sumber
daya yang digunakan untuk memproduksi produk tersebut. Sistem
akumulasi biaya terdiri dari job order costing dan process costing.
2.4.3.1 Job Order Costing
Menurut Hansen dan Mowen yang diterjemahkan oleh
Deny Arnos Kwary (2009: 290), job order costing merupakan
suatu sistem perhitungan biaya yang memungkin kan suatu biaya
dikumpulkan dan dibebankan ke dalam unit produksi untuk setiap
pekerjaan atau pesanan.
|
![]() 23
Menurut Carter dan Usry yang diterjemahkan oleh Krista
(2009: 124) men gemukakan bahwa job order costing merupakan
metode perhitungan biaya yang mengakumulasikan biaya untuk
setiap pesanan, setiap batch, atau setiap lot.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa job order costing melakukan perhitun gan biaya produksi
dengan cara mengak umulasikan biaya-biaya berdasarkan
pekerjaan atau pesanan. Untuk men ghitung biaya berdasarkan
pesanan secara efektif, p esanan tersebut harus dapat diidentifikasi
secara terpisah agar rin cian atau d etail dari perhitungan biaya
berdasarkan pesanan sesuai dengan usah a yang dikeluarkan atau
diperlukan, dan harus menjelaskan perbedaan penting dalam
biaya per unit suatu pesanan dengan pesanan lain.
Gambar 2.4 Arus Dokumen dalam Sistem Perhitungan Biaya Berdasarkan Pesanan
Sumber: Garrison, Norren, dan Brewer (2010: 99)
2.4.3.2 Process C osting
Menurut Carter yang diterjemahkan oleh Krista (2009:
124), sistem perhitungan biaya berdasarkan proses (process
costing) adalah suatu metode dimana biaya diakumulasikan
berdasarkan proses produksi atau berdasarkan dep artemen.
Menurut Hansen Mowen yang diterjemahkan oleh Deny
Arnos Kwar y (2009: 291), sistem perhitungan biaya berdasarkan
proses adalah suatu proses yang mengakumulasikan biaya
produksi berdasarkan proses untuk satu periode waktu tertentu.
|
24
Output proses dalam periode tersebut akan diukur dan biaya per
unit dihitung dengan membagi biaya p rosesnya dengan output
pada periode terkait.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa process costing adalah
sistem perhitungan biaya berdasarkan proses, dimana komponen-
komponen biaya seperti bahan baku, tenaga kerja, dan overhead
pabrik dibebankan ke pusat biaya. Biaya yang dibebankan ke
setiap unit ditentukan dengan membagi total biaya yang
dibebankan ke pusat biaya dengan total unit yang diproduksi.
Pusat biaya biasanya berupa departemen, tetapi bisa juga pusat
pemrosesan dalam satu departemen.
2.5 Metode Tradisional
2.5.1 Pengertian Metode Tra disional
Dalam sistem biaya tradisional, menurut Bustami dan Nurlela
(2012: 23) biaya bahan baku langsung, biaya tenaga kerja langsun g,
biaya o verhead pabrik baik bersifat variabel maupun tetap, menjadi biaya
produk. Sistem biaya tradisional mengasumsikan produk-produk dan
volume produksi yang terkait merupak an penyeb ab timbulnya biaya.
Sistem akuntansi biaya tradisional mengklasifikasikan biaya
menjadi biaya langsun g dan biaya tidak lan gsung, dan untuk pembebanan
biaya menggunakan ukuran volume produksi, jam kerja langsung atau
jam mesin. Dalam pengalokasian biaya overhead pabrik ke p roduk,
dilakukan sistem pembebanan dua tahap. Tahap pertama ad alah estimasi
biaya overhead pabrik dalam pusat biaya (cost centre) atau departemen,
baik departemen produksi maupun departemen jasa, kemudian biaya
dalam pusat biaya atau
departemen jasa dialokasikan ke departemen
produksi dengan menggunakan metode alokasi bertahap tidak timbal
balik, atau metode alokasi kontinyu, dengan pengukuran dan dasar
alokasi tertentu. Pada tahap kedua, biaya departemen
jasa yan g telah
dialokasikan ke departemen produksi, akan ditentukan pemicu biaya
yang tepat untuk tiap-tiap departemen produksi, umumnya pada metode
ini menggunakan unit related, seperti: jumlah unit yang diproduksi, jam
kerja langsung, atau jam mesin.
|
25
2.5.2 Kelemahan Metode Tradisional
Menurut Rudianto (2013: 159), dengan berkembangnya dunia
tekhnologi, mulai dirasakan bahwa sistem akuntansi biaya tradisional
tidak mampu lagi menghasilkan biaya produk yang akurat. Hal ini terjadi
karena beberapa hal, antara lain:
1. Sistem akuntansi biaya tradisional terlalu menekankan pada tujuan
penentuan harga pokok yang dijual. Akibatn ya, sistem ini hanya
menyediakan informasi yang relatif sangat sedikit untuk mencapai
keunggulan dalam persaingan global.
2. Dalam kaitannya dengan biaya overhead, sistem akuntansi biaya
tradisional terlalu memusatkan pada distribusi dan alokasi biaya
overhead ketimbang berusaha keras mengurangi pemborosan dengan
menghilangkan aktivitas yang tidak berniai tambah.
3. Sistem akuntansi biaya tradisional beranggapan bahwa biaya
ditimbulkan oleh faktor tunggal, seperti volume produk atau jam kerja
langsung sehingga tidak mencerminkan sebab akibat biaya.
4. Sistem pembebanan biaya yang selama ini dilakukan pada akuntansi
biaya tradisional menimbulkan adan ya distorsi biaya, ini terlihat pada
penggunaan unit related, padahal pada kenyataannya ada aktivitas
yang dikendalikan oleh batch related dan products sustaining related,
seperti setup dan inspeksi. Penyebab distorsi lainn ya ad alah, adanya
perbedaan rasio konsumsi atau jasa yan g diberikan oleh departemen
jasa untuk setiap macam produk yang dihasilkan. Distorsi tersebut
mengakibatkan konflik pada kegiatan pembuatan keputusan.
5. Sistem biaya tradisional memang memperhatikan biaya total
perusahaan, tetapi men gabaikan below the line expenses, seperti
biaya penjualaan, biaya distribusi, biaya riset dan pengembangan,
serta biaya administrasi. Biasanya biaya-biaya ini tidak dibebankan ke
pasar, pelanggan, salur an distribusi, atau bahkan produk yang
berbeda.
|
26
2.6 Activity Based Costing
2.6.1 Pengertian A ctivity Based Costing
Menurut Carter yang diterjemahkan oleh Krista (2009: 528),
perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (Activity Based Costing ABC)
didefinisikan sebagai suatu metode perhitungan biaya dimana tempat
penampun gan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu
dialokasikan menggunakan dasar yang memasukkan satu atau lebih
faktor yang tidak berk aitan dengan volume (non-volume-related factor).
Jika dibandingkan dengan akuntansi biaya tradisional, ABC mewakili
penerapan penelusuran biaya yang lebih menyeluruh dan mendetail.
Perhitungan biaya produk dengan metode tradisional menelusuri han ya
biaya bahan baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung ke setiap
unit output. Tetapi, ABC mengakui bahwa banyak biaya-biaya lain yan g
pada kenyataannya dapat ditelusuri, tidak ke unit output, tetapi ke
aktivitas yan g diperlukan untuk memproduksi output.
Menurut Raiborn dan Kinney yan g diterjemahkan oleh Rahmat
Hilman (2011: 150), Activity Based Costing (ABC) adalah sistem
akuntansi biaya yang berfokus pada aktivitas organisasi dan
pengumpulan biaya-biaya berdasarkan sifat poko k yang masih mendasari
tingkat beberapa overhead yang telah ditetapkan kemudian dihitung
menggunakan b erbagai macam pemicu biaya dalam aktivitas suatu
organisasi.
Dapat disimpulkan bahwa activity based costing merupakan salah
satu metode perhitungan biaya dimana biaya overhead dialokasikan
sesuai dengan aktivitas masing-masing kegiatan sehingga biaya yan g
dihasilkan lebih akurat dan mencerminkan biaya yang sesun gguhn ya.
2.6.2 Tingkatan Biaya dan Pemicu pada Activity Based Costing
Dalam Activity Based Costing (ABC), dasar yang digunakan untuk
mengalokasikan biaya overhead disebut sebagai penggerak atau pemicu
(driver). Pemicu sumber daya (resource driver) adalah dasar yan g
digunakan untuk mengalokasikan biaya dari suatu sumber daya ke
berbagai aktivitas berbeda yang menggunakan sumber daya tersebut.
Pemicu aktivitas (a ctivity driver) adalah suatu dasar yang digunakan
|
27
untuk mengalokasikan biaya dari suatu aktivitas ke produk, pelanggan,
atau objek biaya final (final cost object) lainnya. Menurut Carter yang
diterjemahkan oleh Krista (2009: 528), tingkatan biaya yan g ada pada
Activity Based Costing (ABC), yakni:
1. Tingkat Unit
Biaya tingkat unit (unit-level cost) adalah biaya yang pasti akan
meningkat ketika satu unit diproduksi. Biaya ini adalah satu-satunya
biaya yang selalu dapat dengan akurat dibebankan secara
proporsional terhadap volume. Contoh-contoh dar i biaya tingkat unit
mencakup biaya listrik, jika mesin-mesin bertenaga listrik digunakan
untuk memproduksi setiap unit, biaya pemanasan jika setiap unit
mengalami proses pemanasan, dan biaya petugas inspeksi jika setiap
unit memerlukan inspeksi. Pemicu tingkat unit (unit-level driver)
merupakan ukuran aktivitas yang bervariasi dengan jumlah unit yang
diproduksi dan dijual.
2. Tingkat Batch
Tingkatan agregasi yang lebih tinggi berikutnya adalah batch. Biaya
tingkat batch (batch-level cost) adalah biaya yang disebabkan oleh
jumlah batch yan g diproduksi dan dijual. Contoh dari biaya tingkat
batch mencakup biaya persiapan d an sebagian besar dari biaya
penanganan bahan baku. Pemicu tingkat batch (batch-level driver)
adalah ukuran aktivitas yan g bervariasi dengan jumlah batch yang
diproduksi dan dijual. Contoh dari pemicu tingkat batch adalah
persiapan, jam persiapan, pesanan p roduksi, dan permintaan bahan
baku.
3. Tingkat Produk
Tingkatan berikutnya di atas batch adalah produ
Biaya tingkat
produk (product-level cost) adalah biaya yang terja
untuk
mendukung sejumlah pro duk berbeda yang dihasilkan. Biay
tersebut
tidak harus dipengaruhi oleh produksi dan penjualaan
da
satu batch
atau satu unit lebih banyak. Pemicu tingkat pro du
|
28
4. Tingkat Pabrik
Beberapa tingkatan biaya dan pemicu dapat terjadi di atas tingkatan
produk. Hal ini mencakup tingkat lini produk, tingkat proses, tingkat
departemen, dan tingkat pabrik. Biaya tingkat pabrik (plant-level
cost)
adalah biaya untuk memelihara kapasitas di lokasi produksi.
Luas lantai yang ditempati sering kali disebut dengan pemicu tingkat
pabrik (plant-level driver)untuk membebankan biaya tingkat pabrik.
2.6.3 Perbandingan antara Activity Based Costing dengan Sistem
Perhitungan Biaya Tradisional
Tanpa memedulikan jumlah departemen, tempat penampungan
biaya overhead, maupun dasar alokasi berbeda yang digunakan, sistem
perhitunga biaya tradisional ditandai oleh penggunaan yang eksklusif
dari ukuran yang berkaitan dengan volume atau ukuran tingkat unit
sebagai d asar untuk mengalokasikan overhead ke output. Oleh karena itu,
sistem tradisional juga disebut dengan sistem berbasis unit (unit-based
system).
Menurut Carter yang diterjemahkan oleh Krista (2009: 532) Sistem
ABC mengharuskan penggunaan tempat penampungan overhead lebih
dari satu, tetapi tidak setiap sistem dengan tempat penampun gan biaya
lebih dari satu merupakan sistem ABC.
Perbedaan lain antara sistem tradisional dan sistem ABC. Jumlah
tempat penampungan biaya overhead dan dasar alokasi cenderung lebih
banyak di sistem ABC, tetapi hal ini sebagian besar diseb abkan karena
banyak sistem tradisional menggunakan satu tempat penampungan biaya
atau satu dasar alokasi untuk semua tempat penampungan biaya.
Perbedaan umum antara sistem ABC
dan sistem tradisional adalah
homogenitas dari biaya dalam satu tempat penampungan biaya. ABC
mengharuskan perhitungan tempat penampungan biaya dari suatu
aktivitas, maupun identifikasi atas suatu pemicu aktivitas untuk setiap
aktivitas yang signifikan dan mahal. Perbedaan lain antara sistem ABC
dengan sistem tradisional adalah bahwa semua sistem ABC merupakan
sistem perhitungan biaya dua tahap, sementara sistem tradisional bisa
merupakan sistem perhitungan satu atau dua tahap.
|
29
2.6.4 Manfaat Activity Based Costing
Bustami dan Nurlela (2012: 29) mengungkap kan bahwa p ara
manajemen puncak akan setuju untuk menerap kan suatu sistem yang
baru di lingkungan organisasi mereka, jika mereka percaya bahwa
mereka akan memperoleh manfaat yan g lebih, jika dibandingkan dengan
sistem yang lama. Manfaat yan g diperoleh dalam pener apan Activity
Based Costing (ABC), antara lain:
1. Memberi kemudahan dalam pengambilan keputusan karena Activity
Based Costing (ABC) menyediakan informasi biaya yang
berhubungan dengan berbagai aktivitas untuk menghasilkan produk
atau jasa layanan, b agi manajemen akan memperoleh kemudahan
dalam mendapat informasi yan g relevan dalam pen gambilan
keputusan yang akan d iambil dalam aktivitas perusahaan secara
menyelu ruh.
2. Memperbaiki kualitas pengambilan keputusan. Para manajemen
puncak yang telah menerapkan Activity Based Costing (ABC),
percaya bahwa semakin akurat perhitungan biaya atau jasa layanan
yan g digunakan Activity Based Costing (ABC), akan mengurangi
kemungkinan k esalah an dalam pengambilan kepu tusan.
3. Memungkinkan manajamen melakukan perbaikan secara terus
menerus. Ban yak perusahaan berusaha untuk mengurangi biaya, guna
menawarkan produk atau jasa layanan beraneka yang diin ginkan oleh
pelanggan. Tetapi untuk menghasilkan produk atau jasa layanan yang
beraneka akan meningkatkan biaya. Dengan menggunakan Activity
Based Costing (ABC), biaya yang dikeluarkan akan terlihat dengan
jelas pada setiap aktivitas, dimana biaya yang tid ak mempun yai nilai
tambah bagi pelanggan akan di eliminasi lebih cepat.
4. Activity Based Costing ( ABC) menyajikan biaya produk yang lebih
akurat dan informatif, yang menuju pad
pengukuran kemampuan
peroleh laba atas produk yang lebih akur
dan keputusan-keputusan
strategis yang diinformasikan dengan lebih bai
mengenai har ga jual,
|
30
2.6.5 Kelemahan Activity Based Costing
Menurut Bustami dan Nurlela (2012:29), men gimplementasikan
Activity Based Costing (ABC) adalah sebuah tantangan yang mana akan
terdapat berbagai kendala, seperti:
1. Penerapan Activity Based Costing lebih mahal.
Dibandingkan dengan sistem biaya tradisional, ABC membutuhkan
berbagai ukur an aktivitas yan g harus dikumpulkan, diperiksa, dan
dimasukkan ke dalam sistem. Hal ini mungkin kurang
sebanding
dengan tingkat keakuratan yang didapat, sehingga mengakibatkan
biaya yang tinggi.
2. Sulitnya merubah pola k ebiasaan manajer.
Membutuhkan waktu untuk dapat merubah pola kebiasaan manajer
karena para man ajer sudah terbiasa menggunakan sistem biaya
tradisional dalam operasin ya, maka den gan perubahan pola ini
kadangkala mendapat perlawanan dari para karyawan. Kalau hal ini
terjadi maka penerapan Activity Based Costing (ABC) akan mengami
kegagalan.
2.6.6 Tahapan Penerapan Activity Based Costing
Garrison dan Noreen (2010: 319) mengemukakan bahwa tahapan
untuk menerapkan Activity Based C osting yakni:
1. Mendefinisikan Aktivitas, Pul Biaya Aktivitas, dan Pengukuran
Aktivitas.
Langkah utama yang pertama dalam menerapkan sistem ABC ad alah
mengidentifikasikan aktivitas yan g akan menjadi dasar sistem
tersebut. Prosedur umum untuk melakukannya adalah melakukan
wawan cara terhadap semua orang yang terlihat atau setidaknya
semua supervisor dan manajer dalam departemen yang menimbulkan
overhead dan meminta mereka untuk menggambarkan aktivitas
utama yang mereka lakukan. Biasanya akan diperoleh aktivitas
dengan jumlah yan g banyak, dimana pada sistem ABC, semakin
banyak jumlah aktivitas semakin akurat p erlak uan terhadap biaya.
Sebaliknya, diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk merancang,
menerapkan, memelihara, dan men ggunakan sistem yang kompleks
|
31
yang melibatkan sejumlah besar aktivitas. Konsekuensinya, aktivitas
yang ban yak tersebut dikurangi d engan menggabungkan aktivitas-
aktivitas yang sejenis. Ketika mengombinasikan aktivitas dalam
sistem ABC, aktivitas seharusnya digabung bersamaan pada level
yang sesuai. Aktivitas tingkat batch tidak sharusnya dikombinasikan
dengan aktivitas tingk at unit atau aktivitas tingkat produk dengan
tingkat batch.
2. Membebankan Biaya ke Pul Biaya Aktivitas.
Alokasi tahap pertama (first-stage allocation) dalam sistem ABC
adalah proses pembebanan biaya overhead
fungsional yang berasal
dari jurnal umum perusahaan ke pul aktivitas. Alokasi tahap pertama
biasanya berdasarkan hasil tanya jawab dengan p egawai yan g terkait
langsung dengan aktivitas.
3. Menghitung Tarif Aktivitas
Tarif aktivitas akan didapat setelah total biaya dari masing-masing
pul biaya aktivitas diketahui. Setelah itu, akan dihitung besarnya tarif
dengan cara membagi total biaya per pul biaya aktivitas dengan
penggerak biayan ya. Tarif aktivitas akan digun akan untuk
membebankan biaya overhead setiap produk.
4. Membebankan Biaya Overhead ke Objek Biaya Menggunakan Tarif.
Langkah ke empat dalam penerapan ABC disebut alokasi tahap
kedua (second-stage allocation). Dalam alokasi tahap k edua, tarif
aktivitas digunakan untuk membebankan biaya overhead masing-
masing produk.
5. Menyiapkan Laporan Manajemen.
Pada tahap ini, laporan manajemen yang berkaitan dengan hasil
perhitungan menggunak an metode ABC disiapkan. Laporan ini
membantu perusahaan dalam merumuskan rencana strategis
mengenai produk.
2.7 Analisis dan Perancangan Berorientasi Obyek
Pendekatan beriorientasi obyek sendiri menurut Satzinger, Jackson, dan
Burd (2005: 60) adalah suatu pendekatan pengembangan sistem yang
|
32
memandang sistem informasi sebagai seku mpulan obyek yang saling
berinteraksi dan bekerja sama untuk menyelesaik an tugas-tu gas.
Menurut Satzinger, Jackson dan Burd (2005: 60), analisis dan
perancan gan berorientasi obyek (Object Oriented Analysis and Design
OOAD) antara lain merupakan kombinasi komponen berikut:
1. Object-Oriented Analysis (OOA) mendefinisikan semua jenis ob yek yang
melakukan pekerjaan dalam sistem dan menunjukkan interaksi pengguna
yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tersebut.
2. Object-Oriented Design (OOD) mendefinisikan semua jenis ob yek yang
diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang dan perangkat yang ada
dalam sistem serta men unjukkan bagaimana obyek -ob yek tersebut saling
berinteraksi dalam menyelesaikan tugas.
3. Object-Oriented Programming (OOP) adalah pembuatan bahasa
pemrograman yang menggambarkan setiap aktifitas yang dilakukan oleh
obyek. Selain itu, dalam object oriented progra mming terjadi pengiriman
pesan antar ob yek yang saling berhubungan.
2.7.1 Unified Modeling Language (UML)
Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 48) mendefinisikan Unified
Modeling Language (UML) sebagai seperangkat mod
konstruksi dan
notasi yang dibuat dalam pengembangan berorientasi obyek. Mod
yan g
dicakup dalam metode pengemban gan sistem adalah perumpamaa
input,
output, proses, data, obyek, interaksi antar obyek, lokas
jaringan, dan
peralatan.
2.7.2 Unified Process (UP)
Unified Process (UP) adalah salah satu metode yang digunakan
dalam pengembangan sistem, yang merupakan sebuah metode
pengembangan sistem berorientasi obyek. Metode ini sudah menjadi
salah satu metode yang ban yak digunakan dalam pengembangan sistem
berorientasi obyek.
Perancangan Unified Process (UP), Unified Modeling Language
(UML) models, tools, dan teknik-teknik bermanfaat untuk memperkuat
|
![]() 33
contoh praktik terbaik dari ban yak metode yang digunakan dalam
pengembangan sistem, seperti:
1. Pengembangan secara iteratif
2. Penjabaran dan pengelolaan system requirements
3. Pengunaan arsitektur komponen
4. Pembuatan model visual
5. Verifikasi kualitas
6. Pengendalian perubahan
UP memperkenalkan pendekatan b aru untuk siklus hidup
pengembangan sistem, dimana pendekatan tersebut menggabungkan
perulangan (iterations) dan tahapan (phases), yang disebut dengan siklus
hidup UP (UP life cycle). UP mendefinisikan empat tahapan siklus hidup
yaitu: inception, elaboration, construction, dan transition.
Gambar 2.5 UP Disciplines
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 264)
1. Business Modeling
Tujuan utama dari business modeling discipline adalah untuk
memahami dan mengkomunikasikan sifat dari lingkungan bisnis
dimana sistem tersebut akan dibuat. Analis harus memahami masalah
saat ini dan perbaikan yang memungkinkan dari sistem yang baru.
Tiga aktivitas utama dalam business modeling:
|
34
a. Memahami lingkungan bisnis
b. Membuat system vision
c. Membuat business models
2. Requirements
Tujuan utama dari requirements discipline adalah untuk memahami
dan mendokumentasikan kebutuhan bisnis dan persyar atan proses
sistem yang baru. Aktivitas yang termasuk dalam requirements
discipline adalah:
a. Mengumpulkan info rmasi secara detil
b. Mendefinisikan kebutuhan / persyaratan fungsional
c. Mendefinisikan kebutuhan / persyaratan non fungsional
d. Memprioritaskan kebutuhan
e. Membangun user interface dialogs
f. Mengevaluasi kebutuhan dengan users
3. Design
Tujuan dari design discipline adalah untuk merancang sistem
berdasarkan k ebutuhan yang telah didefinisikan sebelumnya. High-
level design terdiri dari kegiatan membangun struktur arsitektural
untuk komponen software, databases, user interface, dan lingkungan
operasional. Low-level design memerlukan atau membutuhkan
pemban gunan detailed classes, methods, d an struktur yan g
dibutuhkan dalam pembangunan software. Terdap at beberapa
aktivitas di dalam design dicipline. 6 (enam) aktivitas utama dalam
design discipline tersebut antara lain:
a. Merancang support service architecture dan deployment
environment
b. Merancang software architecture
c. Merancang use case realizations
d. Merancang database
e. Merancang system and user interfaces
f. Merancang keamanan sistem dan kontrol
4. Implementation
Implementation discipline adalah tahap mengimplementasikan sistem
yang telah dirancang. Hal ini terdiri dari aktivitas membangun
|
35
komponen software, memperoleh komponen software, dan
mengintegrasikan komponen software.
5. Testing
Pada tahap testing, dilakukan proses p engecekan atau pengetesan
terhadap sistem yang telah diimplementasikan. Terdiri dari unit
testing, integration testing, usability testing, dan user acceptance
testing.
6. Deployment
Deployment discipline mengacu kepada aktivitas yang dibutuhkan
agar sistem berjalan secara operasional. Terdiri dari aktivitas
memeperoleh hardware dan software sistem, package and install
komponen, melatih user, dan convert and initialize data.
2.8 System Development Life Cycle
OBrien (2006: 510) menjelaskan bahwa biasanya System Development
Life Cycle (SDLC) ini digunakan untuk pengembangan sistem yang besar,
dimana SDLC merupakan serangkaian tahapan-tahapan pekerjaan yang
dilakukan oleh analis sistem dan programmer dalam membangun sebuah
sistem. SDLC juga meru pakan alat untuk manajemen proyek yang bermanfaat
untuk merencanakan, memutuskan, dan mengontrol proses pengembangan
suatu sistem. Tahapan-tahapan siklus pengembangan sistem informasi ini
adalah:
1. Inv estigasi sistem
Produk yang dihasilkan adalah berupa studi kelayakan. Untuk mendapatkan
hasil tersebut, diperlukan beberapa tahapan, antara lain:
a. Menentukan bagaimana cara untuk menanggapi peluang dan prioritas
bisnis.
b. Melakukan studi kelayakan untuk menentukan apakah sistem bisnis
yang baru merupakan solusi yang layak dan lebih baik.
c. Mengembangkan rencana manajemen
proyek dan mendapatkan
persetujuan manajemen.
2. Analisis sistem
Produk yang dihasilkan adalah persyaratan fungsional. Untuk mendapatkan
hasil tersebut, diperlukan beberapa tahapan, antara lain:
|
36
a. Menganalisis kebutuhan sistem informasi kar yawan, pelanggan, dan
pemilik kepentingan bisnis lainnya.
b. Mengembangkan persyaratan fungsional sistem yang dapat memenuhi
prioritas bisnis dan kebutuhan semua pemilik kepentingan.
3. Desain sistem
Produk yang dihasilkan adalah spesifikasi sistem. Untuk mendapatkan hasil
tersebut, diperlukan tahapan yakni:
a. Mengembangkan spesifikasi hardware, software, orang-orang,
jaringan, dan data, serta produk informasi yang dapat memenuuhi
persyaratan fungsional dari sistem yan g diusulkan.
4. Implementasi Sistem
Produk yang dihasilkan adalah berupa sistem operasional. Untuk
mendapatkan hasil tersebut, diperlukan beberapa tahapan, antara lain:
a. Mengembangkan hardware dan software
b. Menguji sistem, dan melatih orang-orang untuk mengoperasikan dan
menggunakannya.
c. Melakukan konversi ke sistem bisnis yang baru.
d. Mengelola pengaruh perubahan sistem terhad ap pengguna akhir.
5. Pemeliharaan Sistem
Produk yang dihasilkan adalah sistem yang diperbaiki. Untuk mendapatkan
hasil tersebut, diperlukan tahapan yakni:
a. Mengawasi, mengevaluasi, dan memodifikasi, serta memelihara sistem
bisnis agar sesuai dengan kebutuhan.
2.9 Modeling and The Requirement Dicipline
2.9.1 Requirement Dicipline
2.9.1.1 System Requirements
Dalam proses pengembangan suatu sistem, kebutuhan
penggun a serta fungsi yang diharapkan pengguna harus
diidentifikasi secara jelas. Semua kebutuhan pengguna dan
fungsi yang harus ada pada sistem disebut system
requirements. Menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2005:
130), secara umum system requirements terbagi ke dalam 2
(dua) kategori, antara lain:
|
37
1. Functional Requirement
Meliputi semua aktivitas yang harus ditangani oleh sistem
atau fun gsi-fun gsi yang harus ada di dalam sistem.
2. Nonfunctional Requirement
Meliputi karakteristik sistem selain aktivitas yang harus
ada pada sistem. Nonfunctional requirement terbagi
menjadi 5 (lima) bagian, yaitu:
a. Technical Requirement
Mendefinisikan karakteristik operasional terkait dengan
lingkungan organisasi, hardware, dan software.
b. Performance requirement
Mencakup karakteristik operasional yang berhubungan
dengan pengukuran beban kerja, seperti waktu respon.
c. Usability Requirement
Menjelaskan karakteristik operasional yang terkait
dengan user, seperti user interface, prosedur kerja,
bantuan online, dan dokumentasi.
d. Reliability Requirement
Mencakup karakteristik operasional yang terkait
dengan ketergantun gan suatu sistem, pencatatan semua
kejadian atau event, pemrosesan kesalahan, serta
deteksi dan perbaikan kesalahan.
e. Security Requirement
Menjelaskan pembagian akses setiap user pada fungsi-
fungsi yang ada di dalam sistem.
2.9.1.2 Activity Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 144),
activity diagram ad alah diagram alur kerja sederhana yang
menggambarkan aktivitas dari user (atau sistem) yang
berbeda-beda, pihak yang melakukan tiap aktivitas, dan aliran
yang b erurutan dari aktivitas dan ke aktivitas tersebut. Activity
adalah langkah terkecil yang terdapat dalam sebuah prosedur
yang membahas mengenai pekerjaan atau hal yang dilakukan
|
38
seseoran g pada bagian tertentu di perusahaan. Adapun
beberapa simbol yan g digunakan dalam mendesain activity
diagram, yaitu:
1. Swimlane, merupakan suatu bentuk persegi yang
merepresentasikan aktivitas-aktivitas yang diselesaikan
setiap agen.
2. Synchronization Bar, merupakan n otasi yang memiliki
fungsi untuk memisahkan (split) atau men yatukan (join)
urutan jalur aktivitas .
3. Starting Activity (Pseudo), merupakan notasi yang
menunjukkan dimulainya suatu aktivitas.
4. Transition Arrow, merupakan notasi berbentuk anak
panah yang mendeskripsikan arah perpindahan dari suatu
aktivitas ke aktivitas berikutnya.
5. Activity, merupakan notasi yang mendeskripsikan
aktivitas-aktivitas.
6. Ending Activity (Pseudo), merupakan notasi yan g
menunjukkan diakhirinya suatu aktivitas.
7. Decision Activity, merupakan notasi yan g
mendeskripsikan kondisi dari suatu aktivitas.
Jones dan Rama (2008: 61) men yatakan bahwa activity
diagram dibagi ke dalam dua jenis, yaitu overview activity
diagram dan detailed activity diagram.
1. Overview Activity Diagram
Overview diagram menampilkan gambaran tingkat tinggi
dari proses bisnis dengan mendokumentasikan beberapa
event utama, urutan dari event-event tersebut, dan arus
informasi di antara event tersebut.
2. Detailed activity diagram
Detailed activity diagram menampilkan gambaran yang
lebih detil dari aktivitas yang merupakan bagian dari satu
atau dua event yang ada di dalam overview activity
diagram.
|
![]() 39
Gambar 2.6 Activity Diagram Symbols
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 145)
Gambar 2.7 Activity Diagram
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 146)
|
40
2.9.2 Event Table and Domain Classes
2.9.2.1 Event Table
Menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 167) event
adalah sesuatu yang terjadi pada suatu waktu dan tempat
tertentu yang dapat digambarkan dan b erharga untuk diingat.
Event dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tipe, antara lain:
1. External Event
Event yang terjadi diluar sistem, dan biasanya dimulai oleh
external agent. External agent adalah orang atau unit
organisasi yang men yediakan atau menerima data dari
sistem, tetapi belum tentu mereka adalah pengguna sistem
secara langsun g. C ontoh dari external event adalah
pelanggan mendaftar sebagai member. Pelanggan
merupakan external agent, dan mendaftar sebagai member
adalah kegiatan yang mempengaruhi sistem.
2. Temporal Event
Event yang terjadi kar ena tercapain ya suatu titik waktu
tertentu. Sistem akan menghasilkan output yang
dibutuhkan tanpa harus diperintah. Den gan kata lain,
external agent tidak membuat permintaan ke sistem, tetapi
sistem harus menghasilk an output ketika informasi tersebut
dibutuhkan. Contoh dari temporal event adalah sistem
penjualan yang menghasilkan laporan penjualan bulanan,
dengan event berupa saat untuk menghasilkan laporan
penjualan.
3. State Event
Event yang terjadi ketika sesuatu kondisi terjadi di dalam
sistem sehingga memicu adanya kebutuhan untuk
pemrosesan. Sebagai contoh, jika stok persediaan berada
dibawah
reorder point, maka state event yang dihasilkan
dapat berupa telah mencapai reorder point.'
Menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 174), event
table adalah sebuah katalog dari use case yang mendaftar
event- event ke dalam baris dan informasi mengenai setiap
|
![]() 41
event k e dalam kolom-kolom. Informasi yang terdapat dalam
event table merupakan aspek penting atas peristiwa tertentu
dan menghasilkan use case.
Diawali dan diakhirin ya event ditandai dengan
telah
berakhirnya tanggung jawab atas apa yang dilakukan orang
atau aktor yang melakukan event dan adanya rentang waktu
antara suatu event dan event berikutnya.
Kolom-kolom yan g berisi informasi yang ditampilkan
dalam event table terdiri dari:
1. Event: peristiwa yang men yebabkan sistem melakukan
respon.
2. Trigger: sinyal yang memberitahu sistem bahwa event
telah terjadi karen a adanya data yang harus diproses atau
karena suatu titik waktu tertentu.
3. Source: pihak external agent atau aktor yang memberikan
data ke dalam sistem.
4. Use Case: apa yang dilakukan sistem ketika event terjadi.
5. Response: output yang dihasilkan sistem.
6. Destination: external agent menerima hasil atau output dari
sistem.
Gambar 2.8 Event Table
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 175)
|
![]() 42
2.9.2.2 Domain Model Class Diagram
Menurut Satzinger, Jackson dan Burd (2005: 184),
domain model class diagram merupakan sebuah d iagram UML
yan g menunjukkan hal-hal yang penting dalam pekerjaan user
seperti: domain classes, asosiasi, dan atributnya.
Dalam class diagram, sebuah class digambarkan dengan
bentuk kotak. Kotak ini terdiri dari dua bagian, yaitu nama
class
di bagian atas dan atribut-atribut dari class tersebut di
bagian bawah. Sedangkan hubungan antar class digambarkan
dengan garis pen ghubun g antar class.
Gambar 2.9 UML Domain Class Symbol with names and
attributes
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 185)
Gambar 2.10 Domain Model Class Diagram
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 187)
|
![]() 43
Hubungan antar class yang digambarkan dengan garis
penghubung disebut mu ltiplicity of association, yan g dapat
dibedakan menjadi enam jenis dalam gambar sebagai berikut:
Gambar 2.11 Multiplicity of Association
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 186)
Dalam class diagram, juga dikenal hierarki berdasarkan
karakteristik class yang sama. Hierarki b erguna untuk
menyusun class mulai dari karakteristik yang umum hingga
karakteristik yang khusus. Class yang memiliki karakteristik
umum disebut superclass. Sedangkan class yang memiliki
karakteristik khusus disebut subclass. Sebuah subclass dapat
memiliki karakteristik superclassnya dengan penurunan
karakteristik atau inheritance.
Generalization adalah pen gelompokan hal-hal
berdasarkan jenis yang sama, contohnya ada banyak jenis
kendaraan seperti mobil, motor, sepeda, pesawat, dan
sebagainya. Sedangkan specialization adalah pengkategorian
jenis-jenis hal yang berbeda, sebagai contoh jenis khusus dari
mobil adalah mobil sport, sedan, jeep, dan sebagainya.
Generalization / specialization hierarchy digunakan untuk
mengurutkan hal-hal umum menjadi khusus.
|
![]() 44
Gambar 2.12 Generalization / Specialization Hierarchy
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 190)
Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 191)
mengungkapkan pula bahwa dalam hierarki class diagram
terdapat whole-part hierarchies yang merupak an hierarki yang
menyusun class-class sesuai
den gan komponen-komponen
yan g terkait. Whole-part hierarchies sendiri dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu:
1. Aggregation
Hubungan antara ob yek dengan bagian-b agiann ya dimana
setiap bagian dapat terpisah-pisah.
|
![]() 45
Gambar 2.13 Whole-part Hierarchy (Aggregation)
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 192)
2. Composition
Hubungan dimana bagian-bagian yang ada tidak dapat
dipisahkan dengan obyek nya.
Gambar 2.14: Whole-part Hierarchy (Composition)
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 193)
2.9.3 Use Case Modeling and Detailed Requirements
2.9.3.1. Use Case Diagram
Use case merupakan pendekatan visual yang dapat
digunakan untuk proses pemodelan dalam pengembangan
sistem. Use case menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2005:
166) merupakan aktivitas yang dilakukan sistem yang biasanya
berupa respon terhadap permintaan pengguna.
Dalam penggambaran use case diagram, digunakan
beberapa simbol atau notasi untuk merepresentasikan setiap
|
![]() 46
penggun a dan apa yang dilakukan sistem untuk merespon
permintaan pen ggun a.
Gambar 2.15 Use Case Notation
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 215)
Gambar 2.16 Use Case Diagram
Sumber : Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 216)
2.9.3.2. Use Case Description
Menurut Satzinger, Jackson dan Burd (2005: 220) use
case description adalah penjelasan terperinci mengenai proses
dari suatu use case. Terdapat 3 (tiga) jenis pendeskripsian
dalam use case description yaitu:
|
![]() 47
1. Brief Description
Brief description digunakan untuk use case yang san gat
sederhana dan diperuntukkan sistem yang dibangun
berskala k ecil.
Gambar 2.17 Brief Description Use Case
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005:221)
2. Intermediate Description
Intermediate description merupakan pengemban gan dari
brief description untuk menggambarkan alira
internal dari
aktifitas untuk sebuah use case. Exceptio
dapat
didokumentasi jika diperlukan.
Gambar 2.18 Intemediate Description Use Case
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005:222)
|
![]() 48
3. Fully Developed Description
Fully developed description merupakan sebua
metode
yang paling formal yang digunakan dalam
mendokumentasikan use case.
Gambar 2.19 Fully Developed Description Use Case
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 223)
2.9.3.3. System Sequence Diagram
Menurut Satzinger, Jackson dan Burd (2005: 213 ) system
sequence diagram adalah diagram yan g menggambarkan
urutan-urutan pesan antar aktor yang menggunakan sistem dan
|
![]() 49
sistem utama. System sequence diagram digunakan untuk
menjelaskan alur, baik ke dalam ataupun ke luar, informasi
dari sistem yang telah diautomisasi. Sistem itu sendiri
diperlakukan sebagai object tunggal yang dinamakan dengan
:System. Penggunaan notasi dalam sequence diagram terdiri
dari:
1. Lifeline
Merupakan garis vertikal yang membentang untuk
menunjukkan waktu hidup dari sebuah ob yek.
2. Object
Merupakan simbol yang menggambarkan pengguna sistem
atau sistem yang telah ter otomatisasi.
3. Input message
Merupakan garis horizontal yang menunjukkan pesan
masuk dari pengguna atau user.
4. Output message
Merupakan garis horizontal putus-putus yang men unjukkan
respon dari pesan yang dimasukkan oleh pengguna.
Gambar 2.20 S ystem Sequence Diagram
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005, 229)
|
![]() 50
Gambar 2.21 System Sequence Diagram for Repeating Message
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 230)
2.10 Design Dicipline
2.10.1 Design Activities and Environment
2.10.1.1 Deployment Environment
Deployment environment terdiri dari beberapa komponen
seperti hardware, software, dan n etworking yang membuat
suatu sistem dapat berjalan. Satzinger, Jackson, dan Burd
(2005: 270) mengelompokkan deployment environment ke
dalam 2 (dua) bagian, antara lain:
|
![]() 51
1. Single Computer Architecture
Merupakan suatu perangkat sistem kompute
yang
menjalankan software secara tunggal. Adapun ka
akteristik
sistem informasi yang dijalankan pada arsitektu
ini adalah
mudah dirancan g, dibangun, dioperasikan da
dikelola.
Gambar 2.22 Single Computer Architecture
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 271)
2. Multitier Computer Architecture
Merupakan tipe arsitektur yan g mengeksekusi suatu proses
dalam beberapa komputer. Jenis arsitektur ini terbagi
menjadi 2 (dua) b agian, yaitu :
a. Clustered Architecture
Merupakan arsitektur yang menggunaka
beberapa
komputer dengan model dan produksi yang sama.
Gambar 2.23 Clustered Architecture
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 271)
|
![]() 52
b. Multicomputer Architecture
Merupakan arsitektur yan g menggunakan beberapa
komputer dengan spesifikasi yang berbeda-beda.
Gambar 2.24 Multicomputer Architecture
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 271)
Deployment architecture dikelompokkan menjadi dua
bagian menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 272),
yaitu:
1. Centralized Architecture
Arsitektur yang menggambarkan distribusi sistem
komputer pada suatu lokasi. Arsitektur ini umumnya
digunakan untuk proses aplikasi berskala besar, seperti
real-time application.
2. Distributed Architecture
Arsitektur yang menggambarkan distribusi sistem
komputer pada beberapa lokasi dengan menggunakan
jaringan komputer.
2.10.1.2 Software Architecture
Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 277) membagi
software architecture ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Client/server Architecture
Arsitektur jenis ini membagi software ke dalam dua
bagian, yaitu client dan server. Server berfungsi sebagai
|
![]() 53
alat untuk mengolah sumber informasi, sedan gkan client
berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan server.
2. Three-layer Client/server Architecture
Arsitektur ini merupakan pengembangan dari arsitektur
client/server yang terbagi menjadi 3 lapisan, yaitu:
a. Data Layer
Merupakan layer untuk mengatur pen yimpanan data
pada suatu database.
b. Business Logic Layer
Merupakan layer yang mengimplementasikan aturan
dan prosedur dari suatu proses bisnis.
c. View Layer
Merupakan layer yang menerima input dan
menampilkan output sebagai hasil dari proses yang
berjalan.
Gambar 2.25 Three-layer Architecture
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 280)
2.10.2 Use Case Realization: The Design Discipline within UP Iterations
2.10.2.1 First-C ut Design Class Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 309), first-
cut class diagram adalah pengembangan dari domain class
diagram setelah melalui dua tahap, yaitu dengan
mendeskripsikan atribut dengan tipe dan nilai awal dan
menambahkan navigation visibility arrows, yang merupakan
arah untuk menunjukkan kemampuan suatu ob yek yang dapat
berinteraksi dengan obyek lain.
|
![]() 54
Gambar 2.26 First-cut Class Diagram
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 311)
Penggunaan navigation visibility terbagi ke dalam 2
(dua) bagian, yaitu:
1. Attribute Navigation Visibility
Terbentuk ketika class memiliki atribut yan g
mereferensikan obyek lain.
Gambar 2.27 Attribute Navigation Visibility
Sumber: Satzinger, Jackson, dan Burd (2005: 307)
|
55
2. Parameter Navigation Visibility
Terbentuk ketika class sesuai dengan parameter yang
mereferensikan obyek lain. Parameter tersebut diteruskan
melalui method call.
Terdapat beberapa petunjuk mengenai penetapan
navigation visibility seperti:
1. Hubungan one-to-many yan g menandakan adanya
superior - subordinate relationship. Nagivasi berarah dari
superior ke subordinate. Contohn ya: dari Order ke
OrderItem.
2. Mandatory relationships, dimana obyek pada class tidak
dapat berdiri tanpa adanya obyek dari class lain. Navigasi
berarah dari independen class ke dependen class.
Contohnya: dari Customer ke Order.
3. Saat suatu obyek membutuhkan informasi dari obyek lain,
maka panah navigasi mengarah kepada ob yek yang
membutuhkan informasi.
4. Navigation arrows
mungkin untuk mengarah kepada dua
arah.
2.10.3 Designing The User Interface Layer
2.10.3.1 User Interface
Interface merupakan tempat sistem informasi
menangkap input dan menghasilkan output, serta terjadinya
input dan output antara sistem den gan lingkungannya
(Satzinger, Jackson dan Burd 2005: 442). Terdap at 2 (du a) tipe
interface, yaitu:
1. User Interface
Merupakan bagian dari sistem informasi yang
membutuhkan interaksi dari user untuk menghasilkan input
dan output.
2. System Interface
|
56
Merupakan bagian dari sistem informasi yang melibatkan
input dan output yang membutuhkan sedikit campur tangan
manusia.
Ben Shneiderman memperkenalkan sebuah pedoman
dalam perancangan interface yang dikenal dengan sebutan
The Eight Golden Rules for Designing Interactive Interface
(Satzinger, Jackson dan Burd 2005: 454). Adapu n 8 (delapan)
aturan emas dalam merancang interface yang interaktif
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Strive for Consistency (konsistensi)
Konsistensi dilakukan pada urutan tindakan, perintah, tata
letak menu, ukuran, bentuk icon, form, dan tata letak layar
bantuan
2. Enable Frequent Users to Use Shortcuts (memungkinkan
pengguna untuk menggunakan shortcuts)
Terdapat kebutuhan dari pengguna yang sudah ahli untuk
meningkatkan kecepatan interaksi dan mengurangi
beberapa tahapan dalam proses interaksinya ke dalam
sistem, sehingga diperlukan singkatan, tombol fungsi,
perintah tersembun yi, dan fasilatas makro.
3. Offers Information Feedback (memberikan umpan balik
yang informatif)
Dalam setiap tindakan yang dilakukan pengguna,
sebaiknya disertakan suatu sistem umpan balik dari
komputer sehingga pengguna mengetahui bahwa
tindakann ya terhadap komputer tersebut berhasil atau
sebaliknya. Untuk tindakan yang sering dilakukan dan
tidak terlalu penting, dapat diberikan umpan balik yang
sederhana. Namun ketika tindakan tersebut merupakan hal
yang penting, maka sebaiknya umpan balik lebih
substansial, seperti muncul suatu suara ketika salah
menekan tombol atau muncul pesan kesalahannya.
4. Design Dialogs to Yield Closure (merancang dialog untuk
menghasilkan suatu penutupan)
|
57
Rancan gan dialog harus terorganisir ke dalam sebuah
urutan, yakni adan ya awal, tengah, dan akhir. Sehingga
pengguna akan terkonfirmasi bahwa tugasnya telah selesai
dan bisa menjadi acu an pengguna untuk memulai tugas
berikutnya.
5. Offer Simple Errors Handling (memberikan penanganan
kesalahan yang sederhana)
Sedapat mungkin sistem dirancang sehin gga pengguna
tidak dapat melakukan kesalah fatal. Sistem harus dapat
memberikan peringatan kesalahan dan mekanisme
penangan an kesalahan yang sederhana kepada pengguna.
6. Permits Easy Reversal of Actionsm (kemudahan untuk
kembali pada tindakan sebelumnya)
Memungkinkan p engguna untuk memilih dan mengambil
keputusan apakah tindakannya akan dibatalkan atau
dikembalikan. Sehingga pen gguna tidak takut untuk
mengeksplorasi pilihan-pilihan lain yang b elum biasa
digunakan.
7. Support Internal Locus of Control (mendukung tempat
pengendalian intern al)
Pengguna ingin menjadi pengotrol sistem dan sistem akan
merespon tindakan yang dilakukan oleh pengguna
sehingga pen gguna tid ak merasa bahwa sistem yang
mengontrol mereka.
8. Reduce Short-term Memory Load (mengurangi beban
ingatan jangka pendek)
Keterbatasan ingatan manusia menuntut sebuah sistem
didesain dengan tampilan yang sederhana sehingga mudah
diingat oleh pen ggun a agar tidak menjadi penghamb at
kelancaran dari proses interaksi den gan sistem.
2.11 Perancangan Basis Data
Basis data menurut Conolly dan Begg (2010: 15) merupakan suatu
kumpulan data yang saling b erhubungan secara logis yang dipakai bersama,
|
58
dan deskripsi dari data tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan
informasi suatu organisasi.
Menurut Conolly dan Begg (2010: 354) Entitiy Relationship Diagram
(ERD) adalah jawaban d ari sebuah kebutuhan penyimpanan data berdasarkan
cara kerja d ari suatu perusahaan atau organisasi yang b ebas d ari ambiguitas.
ERD digunakan dalam rangka mengidentifikasikan dan menjelaskan mengenai
hubungan antara data yang akan disimpan, diolah dan diubah untuk
mendukung aktifitas bisnis suatu organisasi. Komponen-komponen yang
digunakan dalam ERD antara lain sebagai berikut:
1. Entity Set
Entitiy set pada Entity Relationship Diagram (ERD) digambarkan dalam
sebuah bentuk persegi panjang. Entity set merupakan sebuah simbol
utama dari ERD. Entity itu sendiri merupakan suatu obyek yang ada
dalam sistem nyata maupun abstrak dimana data tersimpan dan diberi
nama dengan kata benda. Entity set adalah kumpulan entity yan g sejenis.
Entity set dapat dikelompokkan dalam beberapa kelas, yaitu: ob yek, agen
dan kejadian-kejadian yang ada pad a sistem.
2. Relationship Set
Setiap relationship set digambarkan dalam bentuk belah ketupat, dengan
garis yang menghubungkan entity dengan entity lain yang terk ait.
Relationship set merupakan gabungan dari relationship yan g sejenis.
Relationship set menunjukkan hubungan alamiah yang terjadi pada
entity. Pada umumnya relationship set diberi nama dengan k ata kerja.
3. Attribute
Secara umum attribute adalah sifat atau karakteristik yang dimiliki setiap
entity maupun relationship yang men yediakan penjelasan detail tentang
entity atau relationship tersebut, sehingga sering dikatak an sebagai
elemen data dari entity d an relationship.
4. Cardinality
Merupakan tingkat hubungan antara entitas dan dilihat dari segi kejadian
atau banyaknya hubungan yang terjadi antara entity di dalam ERD. Ada
tiga kemungkinan tin gkat hubungan yang ada, yaitu:
a. One To One (1:1)
|
![]() 59
Terjadi bila entitas hanya memiliki sebuah hubunga
dengan entitas
lainnya dan hubun gan tersebut dinyatakan satu pada sat
kejadian.
Gambar 2.28 One-to One Relationship
b. One To Many atau Many To One (1:M / M;1)
Terjadi apabila satu entitas memiliki banyak hubu nga
dengan entitas
lain atau sebaliknya.
Gambar 2.29 One-to Many Relationship
c. Many To Many (M:M)
Terjadi apabila k edua buah entitas saling memili
banyak hubungan
diantara mereka.
Gambar 2.30 Many-to Many Relationship
Menurut Connolly (2010: 416) tujuan utama dalam pengembangan
model data logical pada sistem basis relasional adalah untuk menciptakan
representasi akurat suatu data, keterhubungannya dan batasan-batasannya.
Untuk mencapai tujuan ini, maka harus ditetapkan/diidentifikasi sekumpulan
relasi. Empat bentuk normal yang biasa digunakan yaitu, first normal form
(1NF), second normal form (2NF) dan third normal form (3NF) dan Boyce
|
60
Codd normal form (BCNF). Terdapat bentuk fourth normal form (4NF) dan
fifth normal form (5NF) untuk situasi yang jarang terjadi. Berdasarkan pada
functional dependencies antar atribut dalam relasi. Sebuah relasi d apat
dinormalisasi kedalam bentuk tertentu untuk mengatasi kemungkinan
terjadinya pen gulangan dari update yang tidak baik. Normalisasi adalah suatu
teknik untuk menghasilkan sekumpulan relasi dengan sifat-sifat (properties)
yan g diinginkan, memenuhi kebutuhan data enterprise.
1. Data Redudancy
Menurut Connolly (2010: 418) tujuan utama dari desain basis d ata
relasional adalah untuk mengelompokkan atribut-atribut ke d alam r elasi-
relasi sehingga meminimalisasi redudansi data dan mengurangi
penggunaan tempat penyimpanan yang dibutuhkan oleh sebuah relasi
dasar.
2. Update Anomalies
Menurut Connolly (2010: 419) relasi yan g mengandung informasi yan g
redundan dapat diakibatkan oleh update anomalies. Beberapa tipe dari
update anomalies, diantaranya Insertion, Deletion, dan Modification.
3. Functional Dependen cy
Menurut Connolly (2010: 420) merupakan konsep inti yang terkait
dengan
normalisasi. Functional dependency menjelaskan relationship
antar atribut-atribut dalam relasi.
|
![]() 61
2.12 Kerangka Berpikir
Dalam menentukan langkah-langkah penelitian, maka dibuat kerangka
berpikir dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Gambar 2.31 Kerangka Berpikir
|