BAB II
Landasan Teori
2.1 Pragmatik
Definisi pragmatik sudah banyak dikenalkan oleh para ahli bahasa. Yule
menjelaskan bahwa pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk linguistik
dan pemakaian bentuk-bentuk tersebut. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik
adalah seseorang d apat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan, asumsi-asumsi
mereka, tujuan atau maksud dari tuturan mereka, dan berbagai jenis tindakan yang
mereka perlihatkan kepada orang lain ketika mereka sedang berbicara.
Menurut purwo (1990:2) pragmatik merupakan b agian dari kajian linguistik yan g
mengkaji makna tuturan yang berhubungan dengan konteks tuturan, pengetahuan,
komunikasi, serta situasi pemakaian bahasa dalam sebuah tuturan yang dilakukan oleh
penutur dan mitra tutur. Pragmatik pada dasarnya men yelidiki makna d ibalik sebuah
tuturan yang terikat pada suatu konteks di luar bahasa sehingga dasar dari pemahaman
pragmatik adalah adanya hubungan antara konteks dan bahasa.
Yule (200:3-4) menjelaskan tentang empat ruang lingkup yang ada di dalam
pragmatik, yaitu : (1) pragmatik adalah studi ten tang maksud/tujuan dari penutur, (2)
pragmatik juga merupakan studi tentang konstektual, (3) p ragmatik juga studi tentang
cara untuk men yampaikan sesuatu lebih banyak daripada menuturkan sesuatu, (4)
pragmatik merupakan studi tentang ungkapan dari jarak hubun gan.
Dalam studi pragmatik, ada beberapa hal yang akan dibahas, yakni tindak tutur,
konsep wajah dan kesantunan, strategi dalam bertindak tutur, serta faktor-faktor yan g
mempengaruhi tingkat kesopanan dalam berbahasa Jepang. Koizumi (2007:83) membagi
tindak tutur menjadi tiga macam, yaitu tindak tutur lokusi , ilokusi
, dan perlokusi .
2.1.1 Teori Tindak Tutur
Austin (dalam Koizumi 2007:81) merupakan orang pertama yan g
mengungkapkan bahwa bahasa juga dapat digunakan untuk melalukan suatu tindakan
melalui perbedaan antara tuturan konstantif (constantive) dan ujaran performatif
(performative). Tuturan konstantif adalah tuturan yang isinya adalah untuk menuturkan
|
sesuatu, misalnya
peristiwa atau kejadian di dunia. Kemudian yang dimak sudkan dengan
tuturan performatif adalah tuturan yang digunakan untuk melakukan sesuatu.
Koizumi (2007:83) menggolongkan tiga jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur
lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak tutur lokusi merupakan tindak dasar tuturan yang
menghasilkan ungkapan lingustik yang b ermakna. Yule (1996:84) menjelaskan bahwa
tindak tutur ilokusi dinyatakan dengan penekanan komunikatif suatu tuturan. Ilokusi
yang dimaksudkan ialah seperti melarang, memerintah, memberitahu, mengingatkan,
melaksanakan, dan lain sebagainya. Adapun tindak perlokusi ialah tindak tutur yang
bermaksud untuk mempengaruhi mitra tuturnya yang berupa meyakinkan, membujuk,
atau menghalangi (Koizumi 2007:86)
Koizumi (2007:92) membagi makro fungsi dari tindak tutur ilokusi menjadi lima
bagian, yaitu
1. Declarative ( )
Yan g dimaksudkan dengan tindak tutur deklarasi adalah
tindak tutur yang dapat
mengubah dunia dengan kata-kata yang diujarkan. Misalnya, seperti saya yakin, saya
mengundurkan diri.
2. Representative ( )
Tindak tutur representatif merupakan tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang
diyakini oleh penutur seperti mendeskripsikan, menuntut, memprediksikan.
3. Commisive ( )
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yan g bersifat mengikat penutur di
masa depan seperti berjanji, menawarkan, mengancam, meolak, memperlihatkan, dan
bekerja suk a rela.
4. Expressive ( )
Tindak tutur ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan perasaan
yang dirasakan oleh penutur seperti perasaan bersalah, mengagumi, memberikan selamat,
menyayangkan, dan menyesali.
5. Directive ( )
Dalam bentuk tindak tutur menyuruh ini Yule (1996:93) menjelaskan bahwa
tindak tutur menyuruh digunakan penutur untuk men yuruh orang lain atau mitra tuturnya
untuk melakukan sesuatu.
|
Seperti yang sudah dibahas sebelumn ya, bahwa dalam kesantunan memiliki
hubungan yang erat dengan tindak tutur. Yule ( 1996:104) menekankan bahwa dalam
kehidupan bersosialisasi, kesantunan merupakan salah satu wujud yang penting dalam
berinteraksi yang digunakan seb agai alat kesad aran tentang wajah seseorang. Wajah
merupakan wujud pribadi dalam masyarakat. Muka mengacu pada makna sosial dan
emosional itu sendiri yang setiap orang memiliki dan mengharapkan agar orang lain juga
mengetahui hal tersebut.
2.2 Konsep Wajah dan Kesantunan
Cutting (2008:43) menghubungkan antara kesantunan dengan konsep muka
(face). Berikut konsep wajah yang dikemukakan oleh Cutting.
In order to enter into social relationships, we have to acknowledge and show
an awareness of the face, the public self-image, the sense of self, of the people
we address. It is an universal characteristic across cultures tht speakers should
respect each others expectations regarding self-image, take account of their
feelings and avoid Face Threatening Acts (FTAs)
Terjemahan:
Ketika kita ingin memasuki hubungan sosial, kita harus mengetahui dan
menunjukkan kepedulian kita terhadap wajah, citra diri seseorang, p erasaan
seseorang yang kita ingin dekati. Itu adalah sebuah karakteristik yan g bersifat
universal dalam budaya bahwa penutur h arus saling menghormati dan
menghargai diri gambaran diri seseorang, dan mengerti perasaan mereka, serta
menghindari tindak pengancaman wajah.
Koizumi (2007:134) membagi konsep wajah menjadi dua, yaitu wajah negatif
dan wajah positif. Berikut penjelasan wajah negatif dan wajah positif menurut Koizumi.
2
Negative Face
Positive Face
Independence
Terjemahan :
Yang dimaksudkan den gan wajah ialah gambaran diri seseorang yang dimiliki
oleh orang-orang dan berhubungan dengan masyarakat. Wajah yang
dimaksudkan ialah wajah negatif (negative face) dan wajah positif (positive face).
Wajah positif ialah keinginan seseorang untuk tidak dihalangi, ingin dihargai
|
![]() orang lain, dan ingin diperlakukan sebagai teman baik. Kemudian yang
dimaksudkan dengan wajah negatif adalah keinginan seseorang untuk bebas.
Untuk mengu rangi ancaman wajah pada mitra tutur, Kozumi (2007:135)
menjelaskan terd apat lima strategi saat bertutur. Adapun kelima strategi itu adalah (1)
bertutur dengan tegas tanpa basa basi (bald on record), (2) bertutur menggunakan basa
basi dengan kesantunan positif (positive politeness), (3) bertutur men ggunakan basa
basidengan kesantunan negatif (negative politeness), (4) off record dan (5) yang terakhir
yaitu strategi bertutur dalam hati (dont do the FTA).
Berikut adalah bagan strategi yang diuraikan oleh Koizumi (2007:135)
Without redressive action, baldly
)
(
On record
(
Positive politeness
)
( )
Do the FTA
(FTA )
With redressive action
( )
Off record
Negative politeness
( )
( )
Dont do the FTA
FTA
2.2.1 Strategi Dalam Tindak tutur
Cutting (2008:44) menjabarkan strategi dalam bertindak tutur sebagai berikut
1. Bald on Record
Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics (1996:109) juga menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan strategi bald on record adalah suatu tuturan dalam bentuk
menyuruh atau memohon yang ditujukan secara langsung kepada orang lain.
Contoh : Give
me a pen
2. Positive Politeness
Cutting (2008:44) menjelaskan bahwa strategi basa-basi dengan kesantunan positif
ditujukan untuk menyelamatkan wajah positif dengan mendemonstrasikan kedekatan
|
dan solidaritas, ketertarikan pada hubungan pertemanan, membuat orang lain merasa
nyaman, dan menekankan bahwa kedua pembicara, baik penutur maupun mitra tutur
memiliki tujuan yang sama. Watts (2003:89-90) menjabarkan ada 15 sub strategi yang
terdapat pada strategi basa-basi dengan kesantunan positif.
Sub strategi tersebut ialah memusatkan perhatian kepada lawan tutur, memberi
perhatian lebih, memberikan pengakuan atau simpati kepada lawan tutur,
mengintensifkan perhatian kepada lawan tutur, menggunak an penanda keakraban
kelompok, menemukan kesepakatan, menghindarkan konflik, menyamakan anggap an
menjadi pendapat umum, berkelakar, menambahkan atau menyetujui pendapat lawan
tutur, menawarkan bantuan atau janji, bersikap optimis, melibatkan penutur dan lawan
tutur dalam kegiatan, memberikan atau menan yakan alasan tertentu, mengasumsikan
atau menampilkan kesamaan tindakan, memberikan hadiah.
3. Negative politeness
Basa-basi dengan kesantunan negatif digunak an untuk wajah negatif dengan
mendemonstrasikan jarak antara mitra tutur dan menghindari gangguan pada teritorial
mitra tutur. Penutur menggun akan strategi ini untuk menghindari pemaksaan dan
memberikan pilihan kepada pendengar atau mitra tutur. Watts (2003:90-91)
menguraikan sepuluh sub stategi yang terdapat pada strategi basa basi dengan
kesantunan negatif. Adapun sub strategi tersebut ialah menyatakan secara tidak langsung,
mengajukan pertanyaan atau men gelak, bersikap pesimis, mengecilkan beban
permintaan, merendahkan diri, meminta maaf, personalisasi penutur dan mitra tutur,
menempatkan tindak an pengancaman muka sebagai peraturan yang berlaku umum,
nominalisasi, dan menjelaskan bahwa mitra tutur sangat berharga bagi penutur.
4. Off record
Penutur dapat mengutarakann ya dengan pilihan, melakukan tindakan mengancam
wajah dengan on record atau off record. Jika penutur melakukannya dengan off record,
maka penutur dapat meminta bantuan dengan bentuk tidak langsung. Baresov a
(2008:56-61) menjelaskan terdapat 15 sub strategi dalam strategi off record. Adapun sub
strategi itu ialah memberi petunjuk den gan mengemukakan alasan, mengasosiasikan
petunjuk, mempresuposisikan maksud penutur, mengimplikasikan sesuatu yang buruk,
membesar-besarkan keadaan, men gunlang-ulang sebuah tuturan, menggunakan
|
kontradiksi atau pertentangan, menggunakan sindiran, menggunakan konotasi untuk
menyembunikan makna sebenarn ya, menggunakan pertan yaan retorik, menggunakan
tuturan bermakna ganda, menggunakan tuturan yang samar-samar, mengeneralisasikan
sesuatu secara berlebihan, menggantikan posisi lawan tutur, menggungkapkan tuturan
secara tidak lengkap, dan menggun akan elipsis. (Baresova 2008:56-61).
5. Dont do the FTA
Mizutani (1991:3-14) mengemuk akan bahwa dalam Bahasa Jepang, terdapat faktor-
faktor yang menentukan tingkatan kesantunan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah
faktor ditemukan dalam budaya Jepang yang memengaruhi kesantunan dalam berbicara.
2.2.3 Faktor Penentu Tingkat Kesantunan Dalam Bahasa Jepang
Mizutani (1991:3-14) men yatakan bahwa ketika bertutur dalam Bahasa Jepang,
ada 7 faktor penentu tin gkat kesantunan. Ketujuh faktor tersebut adalah sebagai berikut
1. Familiarity
Faktor pertama dalam menentukan tingkatan dalam bertutur ini sama seperti
dalam Bahasa In ggris yaitu tingkat keintiman dan perkenalan. Ketika seseorang
berbicara kepada orang asing atau orang yang baru pertama kali ia temui, biasanya
menggunakan bentuk yang sopan. Hal itu muncul ketika memperkenalkan diri, saat
menelepon, atau saat berbicara di depan umum, misalnya dalam acara televise atau
siaran radio biasan ya selalu menggunakan bentuk yang sopan, seperti
Contoh
Selamat Malam. Saatnya berita untuk pukul 7 malam.
2. Age
Faktor kedua pen entu tingkat kesantunan adalah umur. Seperti yang sudah
ditentukan, orang yang lebih tua akan berbicara dengan cara yang lebih familiar kepada
yang lebih muda sebaliknya, yang lebih muda akan berbicara dengan sopan kepada yang
lebih tua. Dalam kondisi masih anak-anak yang dibawah umur, mereka belum dilatih
untuk berbicara dengan sopan kepada orang lain. Namun, ada beberapa oran g tua yang
sudah mengajarkan anaknya untuk berbicara sop an pada umur dini. Biasanya anak-anak
mulai
diajari untuk menggunakan bahasa yang sopan ketika sudah mulai memasuki
sekolah dasar. Pada umumnya, anak sekolah dasar akan mempelajari bagaimana cara
berbicara dengan sopan selama enam tahun ada di sekolah dasar dan ketika mereka
|
sudah menyelesaikan sekolah dasar, mereka mulai mempraktekkan b erbicara dengan
bahasa yang sopan terhadap orang yang lebih tua.
Kemudian hubungan antara senpai dan kohai juga berpengaruh pada kesantunan
bertutur. Hubungan senpai dan kohai ini dapat ditemukan dalam sekolah. Sebutan senpai
dalam lingkungan sekolah ditujukan untuk anak yang satu tahun lebih tinggi. Kemudian
hubungan senpa dan kohai ini juga dapat ditemukan diantara murid yan g ada dalam
satu grup atau aktifitas lainnya. Biasanya, senpai akan berbicara den gan bentuk yang
biasa, sedangkan kohai menggunakan bahasa yang sopan terhadap senpai.
Selain itu, dalam hubungan kerja, hubungan ini juga sering ditemukan. Mereka
yang baru masuk dalam perusahaan itu disebut dengan kohai. Namun jika pada
kenyataannya kohai merupakan orang yang lebih tua, itu akan menyulitkan senpai untuk
menentukan cara berbicara. Pada kasus ini kedua faktor, baik faktor usia maupun
hubungan sosial harus diperhitungkan.
3. Social relation
Faktor ketiga ialah hubungan sosial. Hubungan sosial yang dimaksudkan ialah
hubungan antara atasan dan bawah an, pembeli dan penjual, guru dan murid. Ini juga
dapat disebut dengan hubungan profesional. Pada beberapa kasus, ada juga atasan dan
bawahan yang menggunakan bahasa formal. Namun untuk perusahan-p erusahaan besar,
biasanya bawahan menggunakan bahasa sopan terhadap atasann ya.
Dalam kasus pembeli dan penjual, biasanya penjual menggun akan bahasa sopan
terhadap pembeli. Namun ada beb erapa faktor yang men yebabkan penjual menggunakan
bahasa formal, sep erti ketika membicarakan harga. Jika yang dijual adalah mobil,
perhiasan, dan baju mahal, maka yang digunakan adalah bahasa sopan. Namun jika
penjual ikan, sayu r, dan lain-lain, biasan ya penjual menggunakan bahasa yang cukup
kasar. Selain itu, keakraban juga mempengaruhi penggunaan bahasa sopan. Misalnya
beberapa pembeli yang sudah biasa beli di sebuah toko.
4. Social Status
Status sosial sangat mempengaruhi cara berbicara seseorang. Khususnya sebelum
perang, masih ban yak kaum bangsawan, pangeran, kaisar beserta keluarganya yang
menggunakan cara bebicara sopan yang berbeda. Pada bidan g-bidang khusus seperti
|
seorang dokter, petinggi dalam pemerintahan, profesor sebuah universitas, atau direktur
perusahaan biasanya menggunakan cara bicara yang sopan.
5. Gender
Jenis kelamin menjadi salah satu faktor yang menentukan tingkat kesan tunan
dalam bertutur. Tuturan cenderun g menjadi lebih familiar ketika tutur an dituturkan
antara orang yang memiliki kesamaan jenis kelamin dibandingkan tuturan yang
dituturkan oleh orang yang berbeda jenis kelamin .
6. Group membership
Konsep keanggotaan ini dibagi menjadi dua, yaitu in-group and out-group
distinction. Orang jepang terbiasa menggunakan ekspresi yang berbeda dan cara
menghormati seseorang tergantung pada siapa ia berbicara. Dalam masyarakat Jepang,
ada sedikit bentuk perbedaan yan g agak menyulitkan. Yang pertama adalah in-group
family terms. Misalnya penggunaan untuk yang lebih tua seperti otoosan(polite),
otoosama(more polite), otoochan (familiar). Untuk anggota keluarga yang lebih muda
ditambahkan san atau chan. Kemudian yang kedua adalah out-group family terms.
Bentuk yang disebutkan sebelumnya tidak selalu digunakan untuk menunjukkan anggota
keluar ga dalam percakapan dengan anggota non keluarga.
In-group dan out-group sering juga disebut den gan uchi soto. Menurut Shibata et
all (2000:53), dalam budaya Jepang, orang Jepan g tidak pernah berbicara menggun akan
sonkeigo atau kenjogo ketika berbicara k epada anggota keluarga sendiri. Konsep uchi
bukan hanya merujuk pada anggota keluarga yang memiliki hubungan darah saja,
namun juga merujuk p ada orang-oran g yang berasal dari lin gkun gan perusahaan yang
sama, atau lingkungan sekolah yang sama, atau sebuah organisasi yang sama.
7. Situation
Faktor penentu terakhir ialah situasi. Situasi dibagi menjadi dua macam, yaitu
situasi yang formal dan informal. Formal atau tidaknya sebuah situasi dapat dilihat dari
tempat berlangsungnya sebuat tuturan dan lawan bicara pada situasi tersebut.
Situasi ini berpengaruh cukup besar saat bertutur. Meskipun berbicara dengan
orang yang sama, cara bertutur dapat berubah, misalnya ketika sedang marah, mereka
sering mengganti cara berbicara mereka, dari cara bicara yang sopan ke bentuk familiar,
misalnya kaerimasu men jadi kaeru wa, atau juga sebalikn ya.
|
2.3 Teori Mereikei ( )
Yokota (2007:194) menjelaskan meirei
( ) dalam Bahasa Jepang sebagai
berikut
Terjemahan
Yang dimaksudkan dengan menyuruh adalah penu
menginginkan
mitra tutur untuk melakukan tindakan sesuai deng
keinginan penutur.
Bentuk kalimat Meirei mengandung unsur paksa
kepada mitra tutur
untuk melakukan suatu tindakan.
Pengertian meirei menurut Masuoka (1993:118) ialah sebagai berikut.
Menyuruh adalah modus untuk memaksa lawan bicara untuk melakukan
sesuatu. Pembentukkan kalimat menyuruh memerlukan sebuah tindak
tutur yan g berdasarkan pada niat dari penutur dalam menguatkan isi dari
kalimat suruhan yan g membuat mitra tutur melakukan suruhan tersebut.
Ungkapan kalimat menyuruh merupakan sebuah bentuk tindak tutur yang
menerangkan niat dari aktifitas tersebut.
Yokota (2007:196) membagi jenis-jenis meirei ke dalam tiga bagian yaitu,
doushi , keiyoushi , dan meishi ).
1. Doushi
a)
Bentuk kata kerja ~te (~te kudasai) berfungsi untuk menyuruh. Contoh 1 dan 2
menekankan adanya unsur memaksa yang diberikan oleh guru dan orangtua ketika
men yuruh murid dan anaknya dengan menggunakan bentuk / .
Contoh
( )
(Guru kepada murid) baiklah anak-anak, duduk yang rapi.
|
( )
(Ibu kepada anak) lakukan yan g benar.
b)
Bentuk biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yan g lampau
seperti
, yang artinya kemarin saya makan dengan
teman saya. Namun bentuk juga dapat menu njukkan bentuk men yuru h, contoh
(seseor ang yang sedan g memisahkan sampah) hei minggir, minggir
(Ketika melihat seorang anak yang sedang mengutil) hei tunggu !
Meskipun bentuk dan terlihat seperti bentuk lampau,
namun sebenarnya kedua kata itu memiliki makna yang sama dengan dan
yang merupakan bentuk menyu ruh. Menurut Morita (dalam Yokota 2007:197)
penggunaan bentuk seperti ini tidak selalu dapat digunakan. Bentuk menyuruh seperti ini
dapat digunak an jika ada dalam kondisi yang mendesak. Jika kondisi tidak mendesak,
maka akan terlihat tidak alami.
c)
Bentuk sering disebut dengan bentuk kamus. Bentuk kamus atau bentuk
memiliki fungsi untuk memerintah.
Contoh
(Guru kep ada murid) baiklah, segera duduk di kursi !
d)
Bentuk juga berfungsi sebagai kalimat menyuruh. Jika dalam kondisi
seorang atasan memberikan menyuruh ataupun teguran secara langsung, maka akan
menjadi menyuruh.
Contoh
1.
(Ketika sed ang rapat) jangan memakan cemilan !
|
2. Keiyoushi
Bentuk kata sifat dan juga dapat berfungsi sebagai bentuk menyuruh.
Contoh
(Seseorang yang tidak menyadari sebuah mobil sedang melaju) Awas!
(Murid-murid yang sedang berisik ketika jam pelajaran) Diam!
Dalam bentuk kalimat ini menunjukkan adanya bentuk menyuruh. Dalam tuturan
memiliki makna tersirat yaitu, yang artin ya menjadi Awas!
Menyingkirlah!. Kemudian dalam tuturan ada makna tersirat yaitu
yang artinya menjadi Berisik! Diamlah!. Kemudian untuk bentuk
muncul makna dikarenakan mitra tutur atau lawan bicara tidak
segera melakukan sesuatu yang disuruh dengan segera, maka muncullah bentuk
men yuruh seperti itu.
Selain itu, ada juga kata sifat yang berfungsi untuk menyuruh. Contohnya
seperti yang memiliki arti yang sama dengan yan g
berarti menyuruh seseorang untuk diam.
3. Meishi ( )
Kata benda kan tanda seru juga dapat menunjukkan adanya bentuk menyuruh.
Contoh
(Atasan) Yokota
(Seorang guru kepada siswa yang tertidur saat jam pelajaran) Hei !
Hidemitsu (2004:187) menjelaskan bahwa kata kerja dengan akhiran e/ro juga
berfungsi sebagai kalimat menyuruh. Perubahan kata kerja golongan I seperti yomu akan
berubah menjadi yome yang artinya membaca. Kemudian kata kerja golongan II
dengan
akhiran eru/iru seperti ta beru berubah menjadi tabero¸ yan g artinya mak an. Kata kerja
golongan III seperti suru akan berubah menjadi shiro, dan kuru berubah menjadi koi.
|
Menurut Murakami (dalam Hidemitsu 2004:189) bentuk kata kerja d engan
akhiran e/ro biasanya digunakan oleh pria. Selain itu, bentuk kata kerja dengan akhiran
e/ro ini juga digunakan oleh penutur yang memiliki usia lebih tua, atau penutur yang
memiliki jabatan yang lebih tinggi dari mitra tuturnya. Bentuk meirei dengan akhiran
e/ro juga dapat digunakan penutur apabilan
memiliki hubungan yang dekat dengan
mitra tutur.
|