BAB II
Landasan Teori
2.1   Pragmatik
Definisi  pragmatik  sudah  banyak  dikenalkan  oleh  para  ahli  bahasa.  Yule 
menjelaskan  bahwa  pragmatik  adalah  studi  tentang  hubungan  antara  bentuk  linguistik 
dan  pemakaian  bentuk-bentuk  tersebut.  Manfaat  belajar  bahasa  melalui  pragmatik 
adalah  seseorang  d apat  bertutur  kata  tentang  makna  yang  dimaksudkan,  asumsi-asumsi 
mereka,  tujuan  atau  maksud  dari  tuturan   mereka,  dan  berbagai  jenis  tindakan  yang 
mereka perlihatkan kepada orang lain ketika mereka sedang berbicara.  
Menurut purwo (1990:2) pragmatik merupakan b agian  dari kajian linguistik yan g 
mengkaji  makna  tuturan  yang  berhubungan  dengan  konteks  tuturan,   pengetahuan, 
komunikasi,  serta  situasi  pemakaian  bahasa  dalam  sebuah  tuturan  yang  dilakukan  oleh 
penutur  dan  mitra  tutur.  Pragmatik  pada  dasarnya  men yelidiki  makna  d ibalik  sebuah 
tuturan  yang  terikat  pada  suatu  konteks  di  luar  bahasa  sehingga  dasar  dari  pemahaman 
pragmatik adalah adanya hubungan antara konteks dan bahasa. 
Yule  (200:3-4)  menjelaskan  tentang  empat  ruang  lingkup  yang  ada  di  dalam 
pragmatik,  yaitu  :  (1)  pragmatik  adalah  studi  ten tang  maksud/tujuan  dari  penutur,  (2) 
pragmatik  juga  merupakan  studi  tentang  konstektual,  (3)  p ragmatik  juga  studi  tentang 
cara  untuk  men yampaikan  sesuatu  lebih  banyak  daripada  menuturkan  sesuatu,  (4) 
pragmatik merupakan studi tentang ungkapan dari jarak hubun gan.  
Dalam  studi  pragmatik,  ada  beberapa  hal  yang akan  dibahas,  yakni  tindak  tutur, 
konsep  wajah  dan  kesantunan,  strategi  dalam  bertindak  tutur,  serta  faktor-faktor  yan g 
mempengaruhi tingkat kesopanan dalam berbahasa Jepang. Koizumi (2007:83) membagi 
tindak tutur menjadi  tiga  macam,  yaitu tindak  tutur  lokusi ,  ilokusi
, dan perlokusi . 
2.1.1  Teori Tindak Tutur
Austin  (dalam  Koizumi  2007:81)  merupakan  orang  pertama  yan g 
mengungkapkan  bahwa  bahasa  juga  dapat  digunakan  untuk  melalukan  suatu  tindakan 
melalui  perbedaan  antara  tuturan  konstantif  (constantive)  dan  ujaran   performatif 
(performative).  Tuturan  konstantif  adalah  tuturan  yang  isinya adalah  untuk  menuturkan 
  
sesuatu, misalnya
peristiwa atau kejadian di dunia. Kemudian yang dimak sudkan dengan 
tuturan performatif adalah tuturan yang digunakan untuk melakukan sesuatu.  
Koizumi  (2007:83)  menggolongkan   tiga  jenis  tindak  tutur,  yaitu    tindak  tutur 
lokusi,  ilokusi, dan  perlokusi.  Tindak  tutur lokusi  merupakan  tindak  dasar  tuturan  yang 
menghasilkan  ungkapan  lingustik  yang  b ermakna.  Yule  (1996:84)  menjelaskan  bahwa 
tindak  tutur  ilokusi  dinyatakan  dengan  penekanan  komunikatif  suatu  tuturan.  Ilokusi 
yang  dimaksudkan  ialah  seperti    melarang,  memerintah,  memberitahu,  mengingatkan, 
melaksanakan,  dan  lain  sebagainya.  Adapun  tindak  perlokusi  ialah  tindak  tutur  yang 
bermaksud  untuk  mempengaruhi  mitra  tuturnya  yang  berupa  meyakinkan,  membujuk, 
atau menghalangi (Koizumi 2007:86) 
Koizumi (2007:92) membagi makro fungsi dari tindak tutur ilokusi  menjadi lima 
bagian,  yaitu  
1.  Declarative ( ) 
Yan g  dimaksudkan  dengan  tindak tutur  deklarasi  adalah 
tindak  tutur  yang  dapat 
mengubah  dunia  dengan  kata-kata  yang  diujarkan.  Misalnya,  seperti  ‘saya  yakin’,  ‘saya 
mengundurkan diri’. 
2.  Representative ( ) 
Tindak tutur  representatif merupakan tindak  tutur  yang menyatakan sesuatu yang 
diyakini oleh penutur seperti mendeskripsikan, menuntut, memprediksikan. 
3.  Commisive ( ) 
Tindak  tutur  komisif  merupakan  tindak  tutur  yan g  bersifat  mengikat  penutur  di 
masa  depan  seperti  berjanji,  menawarkan,  mengancam,  meolak,  memperlihatkan,  dan 
bekerja suk a rela. 
4.  Expressive ( ) 
Tindak  tutur  ekspresif  merupakan  jenis  tindak  tutur  yang  menyatakan  perasaan 
yang dirasakan oleh penutur seperti perasaan bersalah, mengagumi, memberikan selamat, 
menyayangkan, dan menyesali. 
5.  Directive ( ) 
Dalam  bentuk  tindak   tutur  menyuruh  ini  Yule  (1996:93)  menjelaskan  bahwa 
tindak tutur menyuruh digunakan penutur untuk men yuruh orang lain atau mitra tuturnya 
untuk melakukan sesuatu.  
  
Seperti  yang  sudah  dibahas  sebelumn ya,  bahwa  dalam  kesantunan  memiliki 
hubungan  yang  erat  dengan  tindak  tutur.  Yule  ( 1996:104)  menekankan  bahwa  dalam 
kehidupan  bersosialisasi,  kesantunan  merupakan  salah  satu  wujud  yang  penting  dalam 
berinteraksi  yang  digunakan  seb agai  alat  kesad aran  tentang  wajah  seseorang.  Wajah 
merupakan wujud pribadi dalam masyarakat. Muka mengacu pada  makna  sosial  dan 
emosional itu sendiri  yang setiap orang memiliki dan mengharapkan  agar orang lain juga 
mengetahui hal tersebut. 
2.2   Konsep Wajah dan Kesantunan
Cutting  (2008:43)  menghubungkan  antara  kesantunan  dengan  konsep  muka 
(face). Berikut konsep wajah  yang dikemukakan oleh Cutting. 
“ 
In  order  to  enter  into  social  relationships,  we  have  to  acknowledge  and  show 
an  awareness  of  the  face,  the  public  self-image,  the  sense  of  self,  of  the  people 
we  address.  It  is  an  universal  characteristic  across  cultures  tht  speakers  should 
respect  each  others’  expectations  regarding  self-image,  take  account  of  their 
feelings and avoid Face Threatening Acts (FTAs)” 
Terjemahan: 
Ketika  kita  ingin  memasuki  hubungan  sosial,  kita  harus  mengetahui  dan 
menunjukkan  kepedulian  kita  terhadap  wajah,  citra  diri  seseorang,  p erasaan 
seseorang  yang  kita  ingin  dekati.  Itu  adalah  sebuah  karakteristik  yan g  bersifat 
universal  dalam  budaya  bahwa  penutur  h arus  saling  menghormati  dan 
menghargai  diri  gambaran  diri  seseorang,  dan   mengerti  perasaan  mereka,  serta 
menghindari tindak pengancaman wajah. 
Koizumi  (2007:134)  membagi  konsep  wajah  menjadi  dua,  yaitu  wajah  negatif 
dan wajah positif. Berikut penjelasan wajah negatif dan wajah positif menurut Koizumi.  
2
Negative  Face
Positive  Face
Independence
Terjemahan : 
Yang  dimaksudkan  den gan  wajah  ialah  gambaran  diri  seseorang  yang  dimiliki 
oleh  orang-orang  dan  berhubungan  dengan   masyarakat.  Wajah  yang 
dimaksudkan ialah wajah negatif  (negative  face)  dan wajah positif (positive  face). 
Wajah  positif  ialah  keinginan  seseorang  untuk  tidak  dihalangi,  ingin  dihargai 
  
orang  lain,  dan  ingin  diperlakukan  sebagai  teman  baik.  Kemudian  yang 
dimaksudkan dengan wajah negatif adalah keinginan seseorang untuk bebas. 
Untuk  mengu rangi  ancaman  wajah  pada  mitra  tutur,  Kozumi  (2007:135) 
menjelaskan  terd apat  lima  strategi  saat  bertutur.  Adapun  kelima  strategi  itu  adalah  (1) 
bertutur  dengan  tegas tanpa basa  basi  (bald  on  record),  (2)  bertutur  menggunakan  basa 
basi  dengan  kesantunan  positif  (positive  politeness),  (3)  bertutur  men ggunakan  basa 
basidengan  kesantunan negatif  (negative  politeness), (4) off record dan (5)  yang terakhir 
yaitu strategi bertutur dalam hati (don’t do the FTA). 
Berikut adalah bagan strategi yang diuraikan oleh Koizumi (2007:135) 
       Without redressive action, baldly
(
                  On record 
    ( 
Positive politeness
                     )       
( ) 
Do the FTA                            
(FTA )                                                                     
                   
With redressive action 
                                                              
(  )        
                                               
   Off record 
Negative politeness
        ( ) 
( ) 
Don’t do the FTA 
FTA 
2.2.1   Strategi Dalam Tindak tutur
  Cutting (2008:44) menjabarkan strategi dalam bertindak tutur sebagai berikut 
1.  Bald on Record 
Yule  dalam  bukunya  yang  berjudul  Pragmatics  (1996:109)  juga  menegaskan 
bahwa yang  dimaksud dengan strategi bald on  record adalah suatu tuturan dalam  bentuk 
menyuruh atau memohon yang ditujukan secara langsung kepada orang lain.  
Contoh : Give
me a pen 
2.  Positive Politeness
  Cutting  (2008:44)  menjelaskan  bahwa  strategi  basa-basi  dengan  kesantunan  positif 
ditujukan  untuk  menyelamatkan  wajah  positif  dengan  mendemonstrasikan  kedekatan
  
dan  solidaritas,  ketertarikan  pada  hubungan  pertemanan,  membuat  orang  lain  merasa 
nyaman,  dan  menekankan  bahwa  kedua  pembicara,  baik  penutur  maupun  mitra  tutur 
memiliki  tujuan  yang  sama.  Watts  (2003:89-90)  menjabarkan  ada  15  sub  strategi  yang 
terdapat pada strategi basa-basi dengan kesantunan positif.  
Sub  strategi  tersebut  ialah  memusatkan  perhatian  kepada  lawan  tutur,  memberi 
perhatian  lebih,  memberikan  pengakuan  atau  simpati  kepada  lawan  tutur, 
mengintensifkan  perhatian  kepada  lawan  tutur,  menggunak an  penanda  keakraban 
kelompok,  menemukan    kesepakatan,  menghindarkan  konflik,  menyamakan  anggap an 
menjadi  pendapat  umum,  berkelakar,    menambahkan  atau  menyetujui  pendapat  lawan 
tutur,  menawarkan  bantuan  atau  janji,  bersikap  optimis,  melibatkan  penutur  dan  lawan 
tutur  dalam  kegiatan,  memberikan  atau  menan yakan  alasan  tertentu,  mengasumsikan 
atau menampilkan kesamaan tindakan, memberikan hadiah. 
3. Negative politeness 
Basa-basi  dengan  kesantunan  negatif  digunak an  untuk  wajah  negatif  dengan 
mendemonstrasikan  jarak  antara  mitra  tutur  dan   menghindari  gangguan  pada  teritorial 
mitra  tutur.  Penutur  menggun akan  strategi  ini  untuk  menghindari  pemaksaan  dan 
memberikan  pilihan  kepada  pendengar  atau  mitra  tutur.  Watts  (2003:90-91) 
menguraikan  sepuluh  sub  stategi  yang  terdapat  pada  strategi  basa  basi  dengan 
kesantunan negatif. Adapun sub strategi tersebut  ialah menyatakan secara tidak langsung, 
mengajukan  pertanyaan  atau  men gelak,  bersikap  pesimis,  mengecilkan  beban 
permintaan,  merendahkan  diri,  meminta  maaf,  personalisasi  penutur  dan  mitra  tutur, 
menempatkan  tindak an  pengancaman  muka  sebagai  peraturan  yang  berlaku  umum, 
nominalisasi, dan menjelaskan bahwa mitra tutur sangat berharga bagi penutur. 
4. Off record 
  Penutur  dapat  mengutarakann ya  dengan  pilihan,  melakukan  tindakan  mengancam 
wajah  dengan on  record  atau  off  record.  Jika  penutur melakukannya  dengan off  record, 
maka  penutur  dapat  meminta  bantuan  dengan  bentuk  tidak  langsung.  Baresov a 
(2008:56-61) menjelaskan terdapat 15 sub strategi dalam strategi off record. Adapun sub 
strategi  itu  ialah  memberi  petunjuk  den gan  mengemukakan  alasan,  mengasosiasikan 
petunjuk,  mempresuposisikan  maksud  penutur,  mengimplikasikan  sesuatu  yang  buruk, 
membesar-besarkan  keadaan,  men gunlang-ulang  sebuah  tuturan,  menggunakan 
  
kontradiksi  atau  pertentangan,  menggunakan  sindiran,  menggunakan  konotasi  untuk 
menyembunikan  makna  sebenarn ya,  menggunakan  pertan yaan  retorik,  menggunakan 
tuturan  bermakna  ganda,   menggunakan  tuturan  yang  samar-samar,  mengeneralisasikan 
sesuatu  secara  berlebihan,  menggantikan  posisi  lawan  tutur,  menggungkapkan  tuturan 
secara tidak lengkap, dan menggun akan elipsis. (Baresova 2008:56-61). 
5. Don’t do the FTA 
Mizutani (1991:3-14) mengemuk akan bahwa dalam  Bahasa Jepang, terdapat faktor-
faktor  yang  menentukan  tingkatan  kesantunan.  Adapun  faktor-faktor  tersebut  adalah 
faktor ditemukan dalam budaya Jepang yang memengaruhi kesantunan dalam berbicara. 
2.2.3   Faktor Penentu Tingkat Kesantunan Dalam Bahasa Jepang 
Mizutani  (1991:3-14)  men yatakan  bahwa  ketika  bertutur  dalam  Bahasa  Jepang, 
ada 7 faktor penentu tin gkat kesantunan. Ketujuh faktor tersebut adalah sebagai berikut
1.  Familiarity
Faktor  pertama  dalam  menentukan  tingkatan  dalam  bertutur  ini  sama  seperti 
dalam  Bahasa  In ggris  yaitu  tingkat  keintiman  dan  perkenalan.  Ketika  seseorang 
berbicara  kepada  orang  asing  atau  orang  yang  baru  pertama  kali  ia  temui,  biasanya 
menggunakan  bentuk  yang  sopan.  Hal  itu  muncul  ketika  memperkenalkan  diri,  saat 
menelepon,  atau  saat  berbicara  di  depan  umum,  misalnya  dalam  acara  televise  atau 
siaran radio biasan ya selalu menggunakan bentuk yang sopan, seperti 
Contoh  
  
    Selamat Malam. Saatnya berita untuk pukul 7 malam. 
2.  Age  
Faktor  kedua  pen entu  tingkat  kesantunan  adalah  umur.  Seperti  yang  sudah 
ditentukan,  orang  yang  lebih tua  akan  berbicara dengan cara  yang  lebih  familiar kepada 
yang lebih muda sebaliknya,  yang lebih muda akan berbicara  dengan sopan kepada yang 
lebih  tua.  Dalam  kondisi  masih  anak-anak  yang  dibawah  umur,  mereka  belum  dilatih 
untuk  berbicara  dengan  sopan  kepada  orang  lain.  Namun,  ada  beberapa  oran g  tua  yang 
sudah mengajarkan anaknya  untuk  berbicara  sop an pada  umur dini.  Biasanya  anak-anak 
mulai 
diajari  untuk  menggunakan  bahasa  yang  sopan  ketika  sudah  mulai  memasuki 
sekolah  dasar.  Pada  umumnya,  anak  sekolah  dasar  akan  mempelajari  bagaimana  cara  
berbicara  dengan  sopan  selama  enam  tahun  ada  di  sekolah  dasar  dan  ketika  mereka 
  
sudah  menyelesaikan  sekolah  dasar,  mereka  mulai  mempraktekkan  b erbicara  dengan 
bahasa  yang sopan terhadap orang  yang lebih tua.  
Kemudian hubungan antara  senpai  dan  kohai juga  berpengaruh  pada kesantunan 
bertutur. Hubungan senpai dan kohai ini dapat ditemukan dalam sekolah. Sebutan senpai 
dalam  lingkungan  sekolah ditujukan untuk  anak  yang  satu tahun  lebih tinggi.  Kemudian 
hubungan  senpa  dan  kohai    ini  juga  dapat  ditemukan  diantara  murid    yan g  ada  dalam 
satu  grup  atau  aktifitas  lainnya.  Biasanya,  senpai  akan  berbicara  den gan  bentuk  yang 
biasa, sedangkan kohai menggunakan bahasa yang sopan terhadap senpai. 
Selain  itu,  dalam  hubungan  kerja,  hubungan  ini  juga  sering  ditemukan.  Mereka 
yang  baru  masuk  dalam  perusahaan  itu  disebut  dengan  kohai.  Namun  jika  pada 
kenyataannya kohai merupakan orang yang lebih  tua,  itu akan menyulitkan  senpai untuk 
menentukan  cara  berbicara.  Pada  kasus  ini  kedua  faktor,  baik  faktor   usia  maupun 
hubungan sosial harus diperhitungkan. 
3.  Social relation 
Faktor  ketiga  ialah  hubungan  sosial.  Hubungan  sosial  yang  dimaksudkan   ialah 
hubungan  antara  atasan  dan  bawah an,  pembeli  dan  penjual,  guru  dan  murid.  Ini  juga 
dapat  disebut  dengan  hubungan  profesional.  Pada  beberapa  kasus,  ada  juga  atasan  dan 
bawahan  yang  menggunakan  bahasa formal.  Namun  untuk  perusahan-p erusahaan  besar, 
biasanya bawahan menggunakan bahasa sopan terhadap atasann ya.  
Dalam kasus  pembeli  dan penjual, biasanya  penjual  menggun akan  bahasa sopan 
terhadap pembeli. Namun ada beb erapa  faktor  yang men yebabkan  penjual menggunakan 
bahasa  formal,  sep erti  ketika  membicarakan  harga.  Jika  yang  dijual  adalah  mobil, 
perhiasan,  dan  baju  mahal,  maka  yang  digunakan  adalah  bahasa  sopan.  Namun  jika 
penjual  ikan,  sayu r,  dan  lain-lain,  biasan ya  penjual  menggunakan  bahasa  yang  cukup 
kasar.  Selain  itu,  keakraban  juga  mempengaruhi  penggunaan  bahasa  sopan.  Misalnya 
beberapa pembeli yang sudah biasa beli di sebuah toko. 
4.  Social Status 
Status sosial sangat mempengaruhi cara berbicara seseorang. Khususnya sebelum 
perang,  masih  ban yak  kaum  bangsawan,  pangeran,  kaisar  beserta  keluarganya  yang 
menggunakan  cara  bebicara  sopan  yang  berbeda.  Pada  bidan g-bidang  khusus  seperti 
  
seorang dokter,  petinggi  dalam  pemerintahan,  profesor  sebuah  universitas,  atau  direktur 
perusahaan biasanya menggunakan cara bicara yang sopan.  
5.  Gender 
Jenis  kelamin  menjadi  salah  satu  faktor  yang  menentukan  tingkat  kesan tunan 
dalam  bertutur.  Tuturan  cenderun g  menjadi  lebih  familiar  ketika  tutur an  dituturkan 
antara  orang  yang  memiliki  kesamaan  jenis  kelamin  dibandingkan  tuturan  yang 
dituturkan oleh orang yang berbeda jenis kelamin . 
6.  Group membership  
Konsep  keanggotaan  ini  dibagi  menjadi  dua,  yaitu  in-group  and  out-group 
distinction.  Orang  jepang  terbiasa  menggunakan  ekspresi  yang  berbeda  dan  cara 
menghormati  seseorang  tergantung  pada  siapa  ia  berbicara.  Dalam  masyarakat  Jepang, 
ada  sedikit  bentuk  perbedaan  yan g  agak  menyulitkan.  Yang  pertama  adalah  in-group 
family  terms.  Misalnya  penggunaan  untuk  yang  lebih  tua  seperti  otoosan(polite), 
otoosama(more  polite),  otoochan  (familiar).  Untuk  anggota  keluarga  yang  lebih  muda 
ditambahkan  “san”  atau  “chan”.  Kemudian  yang kedua  adalah  out-group  family  terms. 
Bentuk yang disebutkan sebelumnya tidak selalu digunakan untuk menunjukkan anggota 
keluar ga dalam percakapan dengan anggota non keluarga. 
In-group dan out-group sering juga disebut den gan uchi soto. Menurut Shibata et
all  (2000:53),  dalam budaya Jepang, orang Jepan g  tidak  pernah  berbicara  menggun akan
sonkeigo  atau  kenjogo  ketika  berbicara  k epada  anggota  keluarga  sendiri.  Konsep  uchi
bukan  hanya  merujuk  pada  anggota  keluarga  yang  memiliki  hubungan  darah  saja, 
namun  juga  merujuk  p ada  orang-oran g  yang  berasal  dari  lin gkun gan  perusahaan  yang 
sama, atau lingkungan sekolah yang sama, atau sebuah organisasi yang sama. 
7.  Situation  
Faktor  penentu  terakhir  ialah  situasi.  Situasi  dibagi  menjadi  dua  macam,   yaitu 
situasi  yang  formal  dan  informal.  Formal  atau  tidaknya  sebuah  situasi dapat  dilihat  dari 
tempat berlangsungnya sebuat tuturan dan lawan bicara pada situasi tersebut. 
Situasi  ini  berpengaruh  cukup  besar  saat  bertutur.  Meskipun  berbicara  dengan 
orang  yang  sama,  cara  bertutur  dapat  berubah,  misalnya  ketika  sedang  marah,  mereka 
sering mengganti cara  berbicara  mereka, dari cara  bicara  yang sopan ke bentuk familiar, 
misalnya kaerimasu men jadi kaeru wa, atau juga sebalikn ya.  
  
2.3   Teori Mereikei ( )
Yokota  (2007:194)  menjelaskan  meirei 
( )  dalam  Bahasa  Jepang  sebagai 
berikut 
      
“ 
Terjemahan  
Yang  dimaksudkan  dengan  menyuruh  adalah  penu
menginginkan 
mitra  tutur  untuk  melakukan  tindakan  sesuai  deng
keinginan  penutur. 
Bentuk  kalimat  Meirei  mengandung  unsur  paksa
kepada  mitra  tutur 
untuk melakukan suatu tindakan.  
Pengertian meirei menurut Masuoka (1993:118) ialah sebagai berikut. 
Menyuruh  adalah  modus  untuk  memaksa  lawan  bicara  untuk  melakukan 
sesuatu.  Pembentukkan  kalimat  menyuruh  memerlukan  sebuah  tindak 
tutur  yan g  berdasarkan  pada niat  dari  penutur  dalam  menguatkan  isi  dari 
kalimat  suruhan  yan g  membuat  mitra  tutur  melakukan  suruhan  tersebut. 
Ungkapan kalimat  menyuruh  merupakan sebuah  bentuk tindak tutur yang 
menerangkan niat dari aktifitas tersebut. 
Yokota  (2007:196)  membagi  jenis-jenis  meirei  ke  dalam  tiga  bagian  yaitu, 
doushi , keiyoushi , dan meishi  ).
1.  Doushi 
a)
 
Bentuk  kata  kerja  ~te  (~te  kudasai)  berfungsi  untuk  menyuruh.  Contoh  1  dan  2 
menekankan  adanya  unsur  memaksa  yang  diberikan  oleh  guru  dan  orangtua  ketika 
men yuruh murid dan anaknya dengan menggunakan bentuk  /  . 
Contoh  
( )
  
(Guru kepada murid) baiklah anak-anak, duduk yang rapi.  
  
( )
  
(Ibu kepada anak) lakukan yan g benar. 
b) 
  
Bentuk    biasanya  digunakan  untuk  menunjukkan  sesuatu  yan g  lampau 
seperti 
,  yang  artinya  kemarin  saya  makan  dengan 
teman saya. Namun bentuk   juga dapat menu njukkan bentuk men yuru h, contoh 
(seseor ang yang sedan g  memisahkan sampah) hei minggir, minggir 
(Ketika melihat seorang anak  yang sedang mengutil) hei tunggu !  
Meskipun  bentuk  dan terlihat  seperti  bentuk  lampau, 
namun  sebenarnya  kedua  kata  itu  memiliki  makna  yang  sama  dengan  dan
yang merupakan bentuk menyu ruh. Menurut  Morita  (dalam Yokota 2007:197) 
penggunaan  bentuk seperti ini tidak selalu dapat digunakan. Bentuk menyuruh seperti ini 
dapat  digunak an  jika  ada  dalam  kondisi  yang  mendesak.  Jika  kondisi  tidak  mendesak, 
maka akan terlihat tidak alami. 
c) 
  
Bentuk   sering disebut  dengan bentuk kamus. Bentuk  kamus  atau  bentuk 
memiliki fungsi untuk memerintah.  
Contoh  
  
(Guru kep ada murid) baiklah, segera duduk di kursi ! 
d) 
  
Bentuk  juga  berfungsi  sebagai  kalimat  menyuruh.  Jika  dalam  kondisi 
seorang  atasan  memberikan  menyuruh  ataupun  teguran  secara  langsung,  maka  akan 
menjadi menyuruh. 
Contoh 
1.
  
     (Ketika sed ang rapat) jangan memakan cemilan  ! 
  
2.  Keiyoushi   
Bentuk kata sifat  dan  juga dapat berfungsi sebagai bentuk menyuruh. 
Contoh  
  
(Seseorang yang tidak menyadari sebuah mobil sedang melaju) Awas! 
(Murid-murid  yang sedang berisik ketika jam pelajaran) Diam! 
Dalam bentuk kalimat ini menunjukkan adanya bentuk menyuruh. Dalam tuturan
memiliki  makna  tersirat  yaitu,  yang  artin ya  menjadi  “Awas! 
Menyingkirlah!”.  Kemudian  dalam tuturan  ada makna  tersirat  yaitu 
yang artinya  menjadi  “Berisik! Diamlah!”.   Kemudian untuk  bentuk 
muncul  makna  dikarenakan  mitra  tutur  atau  lawan  bicara  tidak 
segera  melakukan  sesuatu  yang  disuruh  dengan  segera,  maka  muncullah  bentuk 
men yuruh seperti itu. 
Selain  itu,  ada  juga  kata  sifat    yang  berfungsi  untuk  menyuruh.  Contohnya 
seperti  yang  memiliki  arti  yang  sama  dengan  yan g 
berarti menyuruh seseorang untuk diam. 
3.  Meishi ( ) 
Kata benda kan tanda seru juga dapat menunjukkan adanya bentuk  menyuruh. 
Contoh  
  
(Atasan) Yokota  
  
(Seorang guru kepada siswa yang tertidur saat jam pelajaran) Hei ! 
Hidemitsu  (2004:187)  menjelaskan  bahwa  kata  kerja  dengan  akhiran  e/ro  juga 
berfungsi sebagai kalimat  menyuruh. Perubahan kata kerja  golongan I seperti yomu akan 
berubah  menjadi  yome  yang  artinya membaca.  Kemudian kata  kerja golongan II 
dengan 
akhiran  eru/iru  seperti  ta beru  berubah  menjadi  tabero¸  yan g artinya  mak an.  Kata  kerja 
golongan  III seperti suru akan berubah menjadi shiro, dan kuru berubah menjadi koi.  
  
  Menurut  Murakami  (dalam  Hidemitsu  2004:189)  bentuk  kata  kerja  d engan 
akhiran  e/ro   biasanya  digunakan oleh pria. Selain itu, bentuk kata  kerja dengan akhiran
e/ro  ini  juga  digunakan  oleh  penutur  yang  memiliki  usia  lebih  tua,  atau  penutur  yang 
memiliki  jabatan  yang  lebih  tinggi  dari  mitra  tuturnya.  Bentuk  meirei  dengan  akhiran
e/ro  juga  dapat  digunakan  penutur  apabilan
memiliki  hubungan  yang  dekat  dengan 
mitra tutur.