Bab 2
LANDASAN TEORI
2.1  Pengertian Hinshi
Mengenai hinshi, Kato (2008:6) memberikan pernyataan sebagai berikut: 
( , 2008:6) 
Terjemahan: 
Hinshi  (parts  of  speech)  sebagai  “bagian  dari  kata-kata”,  merupakan  konsep 
yang  sangat  ber guna  dalam  penelitian  dan  pengajaran  bahasa  sejak  zaman 
dahulu.  Selain  bersifat  norma  pada  tata  bahasa  yan g  digunakan  dalam 
pendidikan, juga diperlukan sebagai prinsip secara luas. 
2.1.1 Jenis-Jenis Hinshi
Dalam  pembagian  jenis-jenis  hinshi,  berbagai ahli  memberikan pernyataan  yang 
berbeda-beda.  Dari  pernyataan  tersebut,  Kato  (2003:9)  menyimpulkan  jenis-jenis 
hinshi  dengan  men ggolongkan  meishi,  doushi,  keiyoushi  ke  dalam  kategori  utama 
dari  semua  hinshi.  Sedangkan  jenis-jenis  hinshi  lainnya  dimasukkan  ke  dalam 
kategori  kecil.  Kemudian,  Kato  menarik  kesimpulan  mengen ai  kategori  hinshi
sebagai berikut: 
1. 
  
2. 
  
3. 
  
4. 
  
Terjemahan: 
1. Tidak  terd apat  perbedaan  pendapat  dalam  menetapkan  meishi,  keiyoushi, 
doushi sebagai kategori u tama hinshi seperti yan g  disebutkan.
2. Tampak adanya perbedaan pada penentuan keiyoudoushi. 
3. Mengenai kategori kecil hinshi, yang disebut sebagai jenis ji apakah 
sepakat disamakan dengan jenis shi menjadi sebuah permasalahan. 
4. Mengenai fukushi, setsuzokushi, kandoushi, rentaishi yang termasuk dalam 
kategori  kecil  hinshi,  terdapat  tingkat  yang  b agaimanakah  juga  menjadi 
  
10 
titik perbedaan.  Perbedaan  penentuan  tersebut  mempengaruhi  keseluruhan 
sistem pada kategori hinshi yang seharusn ya ditetapkan. 
2.2  Teori Meishi
Shouji  (2008:24)  menyimpulkan  bahwa  ciri-ciri  meishi  pada  umumnya  sebagai 
berikut: 
1. 
2. 
3. 
Terjemah an: 
1. Kata yang menunjukkan konsep substantif 
2. Kata  yan g  digunakan  secara  bebas  (kata  yan g  berubah  menjadi 
pen yempurna  predikat  setelah  ditempel  dengan  kakujoshi:  partikel  yan g 
ditempel pada nomina) 
3. Kata  yan g  dapat  menjadi  subjek  (kata  yang  menjadi  pelaku,  subjek 
terhadap predikat)  
2.2.1 Fungsi Meishi 
Menurut  Shin’ya  (2003:  134-135),  kata  benda  atau meishi dalam Bahasa Jepan g 
memiliki fungsi sebagai berikut. 
1. 
  
Hogo, sebagai pelengkap  atau komplemen yan g digunakan bersamaan dengan 
kakujoshi seperti  ,  ,  ,  dan  lainnya  sehingga menjadi  berfungsi sebagai
subyek, ob yek, dan kata keteran gan. 
2.   
Jutsugo,  sebagai  predikat  yang  digunakan  bersamaan  dengan  
kopula (kata  kerja penghubung)  dalam Bahasa Jepang,  seperti  ,  , 
, dan  . Pada kalimat percakapan atau hanashi kotoba, meishi 
juga bisa b efungsi tanpa dikenakan dengan kopula. 
3.   
Rentaishuushokugo  merupakan  penggunaan  dimana  meishi  berfungsi  untuk
memodifikasi  meishi  yang  lainnya,  dengan  pada  suatu  meishi  dikenakan 
dan  . 
4.   
  
11 
Dokuritsugo  ini  merupakan  salah  satu  fun gsi  yang  umum  digunakan,  yang 
tidak  termasuk  dalam  hogo,  shuushokugo,  dan  jutsugo.  Contohnya  seperti
5.   
Meishiku keisei, terdapat keishiki meishi yang membuat kalimat  berkonjugasi 
mengalami  perubahan  menjadi  meishi.  Contohn ya
6.   
Renyouku  keisei,  terdapat  keishiki  meishi  yang  menyambung  pada  kalimat 
akhir  konjugasi  dan  menyebabkan  kalimat  tersebut  menjadi  kalimat  yang
bersambung,  atau  kalimat    majemuk.  C ontohnya
7.   
Jutsubu  keisei,  terdapat  keishiki  meishi  yan g  membentuk  gramatikal  pada 
akhir dari predikat. Contohnya
  
Salah  satu  jenis  dari  meishi  yaitu  keishiki  meishi,  dapat  berfungsi  sep erti  pada 
nomor 5, 6, dan 7 di atas. 
2.3 Teori Keshikimeishi
Definisi keishiki meishi menurut Ide (dalam Shouji 2008:28) yakni: 
Terjemahan: 
Kata  yang  apabila  adnominal  pada  frasa  sebelumny
diubah  dengan  sesuatu 
kapasitas  substantif,  maka  pada  waktu  bersamaan  aka
membuat  kata  itu 
berfungsi terhadap kategori tertentu. 
Ide  (dalam  Shouji,  2008:24-25)  membagikan  keishiki  meishi  menjadi  dua  belas 
kategori,  yaitu  manusia,  benda,  hal,  waktu,  tempat,  keadaan,  tingkat,  tujuan, 
penyebab dan  alasan, keinginan, kemungkinan,  dan  pengganti.  Di dalamnya terdapat 
kata wake  sebagai bagian dari kategori penyebab dan alasan.  
  
12 
2.3.1 Pola Ungkapan Keishiki Meishi
Shouji  (2008:27-29)  menyimpulkan  pola  dalam  ungkapan  keishiki  meishi  yang 
pada kalimat-kalimat  yang muncul  dalam buku  pelajaran Bahasa Jepang  untuk orang 
asing berjudul Shokyuu  Nihongo, menjadi tiga po la sebagai berikut. 
A. 
  
B. 
  
C. 
  
Terjemahan: 
A. Yan g dikenak an dengan kakujoshi  dan menjadi hogo dari predikat. 
B. Kalimat fukushi (yang menunjukkan tujuan atau k eadaan pada predikat). 
C. Format akhiran kalimat “~da”. 
2.4 Teori Wake
Seperti  yang  telah  disinggung  pad a  poin  2.3.1  mengenai  bentuk  kalimat  yan g 
mengandun g  keishiki  meishi,  pada  pola  ketiga  yang  diakhiri  dengan  da  setelah  
keishiki  meishi. 
Wakeda  termasuk  dalam  pola  tersebut  dengan  struktur  seperti  di 
bawah ini:
(keishiki meishi (wake) + (da)) 
Dengan  struktur  tersebut,  keishiki  meishi  wake  pun  menjadi  bentuk  wakeda. 
Dalam  kalimat  struktur  tersebut,  dengan  sifat  dari  keishiki  meishi,  klausa  depan  di 
bagian  predikat  diubah  menjadi  setara  den gan  kata  benda,  lalu  klausa  yan g 
berstruktur  keishiki  meishi  wake  +  da  dianggap  setara  dengan  predikat  dari  kalimat 
predikat utama. (Nagatani, 2001) 
Zhang  (2011:295-296)  mengatakan  b ahwa  bentuk  negatif  atau  bentuk  kalimat 
penyangkalan  dari  wakeda  ada  dua,  yaitu  wakedewanai  dan  wakeganai.  Dalam 
skripsi ini, penulis tidak membahas mengenai wakeganai. 
2.4.1 Bentuk Wakeda dan Penggunaannya
Yokota  (2001:56-60)  membagi  penggunaan  bentuk  Wakeda  menjadi  lima  jenis, 
sebagai berikut: 
1.  I      Kesimpulan  I sebagai Akibat 
Pola:  Kalimat  atau  Situasi  Pendahulu.  (Dakara)  Kalimat  Akibat  + 
wakeda.
  
13 
Kalimat  Pendahulu  berisi  penjelasan  dari  sesuatu  hal  sesuai  apa  yang 
diketahui  oleh  pembicara,  lalu  diikuti  akibat  yang  kemudian  terjadi  dalam 
kalimat  yang  merupakan  kesimpulan  yang  ditarik  oleh  pembicara  dan 
ditempelkan  kata  wakeda.  Antara  kedua  kalimat  tersebut,  seolah-olah 
terdapat k ata  seperti dakara yang bermaksud “oleh karena itu”. Selain  dakara, 
juga bisa disisipkan kata seperti nara, kara, ba, shitagatte, ja, dan lain-lain. 
Contoh:  
  
Terjemahan: 
Gelombang cukup kuat ya. Jadi hari ini tidak bisa mengeluarka
kapalkah? 
2.  I     Kesimpulan II sebagai Penyebab atau Alasan  
Pola: Kalimat atau Situasi Pendahulu. Kalimat Penyebab + wakeda. 
Kalimat  Pendahulu  menyatakan  apa  yang  terjadi,  sedan gkan  Kalimat 
Penyebab  merupakan  pernyataan  d ari  pembicara  mengenai  sebab  dan  alasan 
terjadinya apa  yang ada pada Kalimat Pendahulu sesuai penilaian pembicara. 
Contoh: 
  
Terjemahan: 
Dalam sekolah sepi ya. Oh, karena sudah masuk liburan musi
dingin  ya. 
3.    Persetujuan  
Pola:  Kalima t  atau  Situasi  Pendahulu.  Kalimat  Pernyataan  Setuju  + 
wakeda.
Adanya sesuatu  hal  yang terjadi (pada Kalimat Pendahulu). Lalu dari Kalimat 
Pendahulu  tersebut,  pembicara  men galami  suatu  hal  (yang  kemudian  nanti 
diucapkan  pada  Kalimat  Pernyataan  Setuju).  Setelah  pembicara  memahami 
apa  yang terjadi pada Kalimat Pendahulu dan hubungan dari hal pada Kalimat 
Pendahulu  dan  hal  yan g  dialami  pembicara,  pembicara  pun  men yetujui 
dengan Kalimat Pernyataan Setuju. 
Contoh: 
  
  
14 
Terjemah an: 
Akhir-akhir  ini  nilai  Yen meningkat, harga produk  impor  menuru
Makanya 
harga buku-buku ju ga jadi murah. 
4.    Pengertian Lain 
Pola: Kalimat atau Situasi Pendahulu. Kalimat Pengertian Pembicara + 
wakeda.
Dari suatu  fakta  yang ada, pembicara menangkap arti dari Kalimat Pendahulu 
tersebut,  lalu  dijelaskan ulang sudut pandang  yang  berbeda  dan  den gan  kata-
kata  pembicar a  sendiri  sesuai  pengertian  yang  dipahami  pembicara.  Dapat 
juga  berupa  ringkasan  dari  penjelasan  sebelumnya.  Dalam  pen ggunaannya,  
dapat disertai juga k ata seperti iikaeruto, yousuru ni, tsumari, dan lainnya. 
Contoh:  
  
Terjemah an: 
Ayah  dia  adalah  adik  laki-laki  dari  ibuku.  Dengan  kata  lain,  aku  dan 
dia 
adalah sepupu. 
5.    Turunan 
Penggunaan ini tidak ter dapat pola pen ggun aan tertentu. 
Merupakan  bentuk  penggunaan  turunan  dari  keempat  penggunaan  di  atas.  
Digunakan  pada  saat  pembicara  ingin  menyampaikan  sesuatu  yang  tidak 
ingin  diucapkan  secara  langsung  dari  kata-k ata.  Maksud  yang  ingin 
disampaikan  oleh  pembicara  terdapat  di  luar  dari  kata-kata  yang  muncul 
dalam  kalimat.  Hal  yang  disinggung  merupakan  hal  yang  sama-sama 
diketahui  oleh  pembicara  dan  pendengar  atau  hal  yang  pembicara  anggap 
diketahui oleh penden gar dan dirinya. 
Wa keda  pada  kalimat  dalam  penggunaan  ini  tidak  terdapat  makna  khusus. 
Hal  yang  disinggung  pembicara  merupakan  hal  yang  umum  dan  sewajarnya 
bagi pembicara. Pada percakapan, serin g muncul tanpa kesadaran pembicara. 
Pada keban yakan situasi, hal-hal tidak disampaikan dengan jelas.   
Contoh:
a. 
  
  
 itu.
15 
b. 
  
Terjemahan: 
a.  Angin Topan sedang mendekat, tidak mungkin bisa memancing ‘kan? 
b.  Demikian, keduanya menikah dan hidup dengan bahagia. 
2.4.2 Bentuk Wakedewanai dan Penggunaannya
Teramura  (dalam  Zhang,  2011:296-298)  mengatakan  bahwa  dalam  bentuk 
wakedewanai,  pertama-tama  terdapat  pern yataan  yang  berup a  fakta  atau  suatu 
informasi  yang  diketahui  oleh  pembicara  dan  pendengar,  lalu  diikuti  kalimat  yang 
merupakan pernyataan pemikiran atau imajinasi  dari  pendengar, dan k alimat tersebut 
disangkal  atau  ditolak  oleh  pembicara.  Sehingga  pembicara  menggunakan  kalimat 
bentuk  wakedewanai  terhadap  pemikiran  si  pendengar yaitu  kalimat  yang dikenakan
wakedewanai.
Lalu  penggunaan  Wakedewanai  dibagi  menjadi  tiga  jenis,  beserta  contoh 
kalimatnya dapat dilihat di bawah ini: 
1.    Penyangkalan Kesimpulan 
Penggunaan  ini sesuai  dengan  jenis  penggunaan p ada  wakeda  yang berfungsi 
untuk  Kesimpulan  I,  khususnya  pada  kesimpulan  akibat.  Terdapat  kalimat 
pendahulu  yang  menjadi  dasar,  lalu  diikuti  suatu  kemungkinan  yang  mudah 
menjadi pemikiran bagi pendengar, dan dikenakan dengan wakedewanai  yang 
berguna menyangkali kemungkinan pemikiran pendengar. 
Pola:  Kalimat  Pendahulu.  Kalima t Penyangkal (kemungkinan pemikiran 
pendengar) + wakedewanai. 
Contoh: 
  
Terjemahan: 
Di Jepang, orang-orang yang  men yelesaika
pendidikan terakhir pada usia  18 
tahun  hingga  23-24 tahun  dan menikah pada usi
25-26 tahun merupakan hal 
biasa,  tetapi tidak 
berarti semua  orang  tumbu
dan berkemban g sama  seperti 
  
16 
2.    Pengertian Lain 
Pada  suatu  masalah  (kalimat  pendahulu)  yang  kemudian  disikapi  dengan  
kalimat  yang  diartikan  dalam  pengertian  lain  ( kalimat  penyangkal),  namun 
kedua kalimat tersebut tidak terdapat hubungan penalaran. 
Pola: Kalimat Pendahulu. Kalima t  Pengertian Lain + w akedewanai. 
Contoh: 
  
Makanan  yang paling  aku suka  adalah takoyaki. Tapi  bukan berarti aku  benci 
yakisoba lho.   
3.    Penyangkalan Penyebab atau Alasan 
Berbeda  dengan  fungsi  penggun aan  nomor  satu,  penggunaan  ini  berfungsi 
untuk  menambah  penjelasan  pada  suatu  alasan  yang  tampaknya  sudah  pasti 
atau  starndarn ya  akan  seperti  itu  terhadap  suatu  kenyataan  fakta.  Pembicara 
menyan gkal  pernyataan  alasan  yang  p ada  umumnya  orang-oran g  akan 
berpikir  seperti  itu.  Seolah-olah  pembicara  memiliki  alasan  yang  lain,  atau 
memiliki tambahan informasi dari penyebab terjadinya fakta tersebut (k alimat 
pendahulu).  
Pola:  Kalimat  Pendahulu.  Kalimat  Alasa n  yang  tampaknya  + 
wakedewanai. (Kalimat Penj elasan Tambahan.)
Contoh: 
A:
  
B:
  
Terjemah an: 
A: “Jago main tenis  ya. Apakah sering main?” 
B: “Tidak, tidak begitu sering main.”