BAB 2
Landasan Teori
Bahasa  sebagai  alat  komunikasi  manusia  dapat  dikaji  secara  internal  maupun 
eksternal.  Pengkajian  secara  internal  dilakukan  terhadap  struktur  intern  bahasa  itu 
saja,  seperti  fonologi,  morfologi,  atau  sintaksis.  Sedangkan  kajian  secara  eksternal 
dilakukan  terhadap  hal-hal  atau  faktor-faktor  yang  berada  di  luar  bahasa  yang 
berkaitan  dengan  pemakaian  bahasa  itu  oleh  para  penuturnya  di  dalam  kelompok-
kelompok  sosial  kemasyarakatan.  Pengkajian  secara  ekstern al  tidak  hanya 
menggunakan  teori  dan  prosedur  linguistik  saja,  tetapi  juga  teori  dan  prosedur  lain 
seperti  sosiologi,  psikologi,  dan  antropologi.  Contohnya  adalah  sosiolingu istik  yang 
merupakan gabungan antara sosiologi dengan linguistik. 
2.1 Teori Sosiolinguistik 
Seperti  yang  telah  disebutkan  di  atas,  sosiolinguistik  merupakan  gabungan 
antara sosiologi  dan linguistik. Sosiologi adalah k ajian objektif dan  ilmiah  mengenai 
manusia  di  dalam  masyarakat,  dan  mengenai  lembaga-lembaga,  dan  proses  sosial 
yang  ada  di dalam  masyarakat.  Sedan gk an  linguistik  adalah  ilmu  yang  mempelajari 
bahasa  sebagai  objek  kajiannya.  Dengan  demikian,  dapat  disimpulkan  bahwa 
sosiolinguistik  adalah  bidang  ilmu  antardisiplin  yang  mempelajari  bahasa  dalam 
kaitannya  dengan  penggunaan  bahasa  itu  di  dalam  masyarakat.  Dittmar  (dalam 
Chaer  2004:5)  mengatakan  bahwa  istilah  sosiolinguistik  baru  muncul  p ada  tahun 
1952  dalam  karya  Haver  C. Currie yang menyarankan perlunya  penelitian  mengenai 
hubungan antara perilaku ujaran den gan status sosial.
“Sociolinguistics is  the study of the characteristics of language  varieties, the 
characteristics of their functions,  and the characteristics of their speakers  as 
these  three  constantly  interact,  change  and  ch ange  one  another  within  a 
speech community”(J. A Fishman dalam Chaer dan Agustina 2004:3). 
Terjemahan:
“Sosiolinguistik  adalah  ilmu  yang  mempelajari  karakteristik  ragam  bahasa, 
karakteristik  dari  fungsi  ragam  bahasa,  serta  karakteristik  dari  si  penutur 
  
karena ketigan ya saling berinteraksi, b erubah dan saling mengubah satu sama 
lain dalam suatu masyarakat.” 
  Chaer  dan  Agustina  (2004:4)  men yimpulkan  bahwa  sosiolinguisti
adalah 
cabang  ilmu  linguistik  yang  bersifat  interdisipliner  dengan  ilm
sosiologi,  dengan 
objek  penelitian  hubungan  antara  bahasa  dengan   faktor-faktor  sosi
di  dalam  suatu 
masyarakat tutur. 
2.1.1 Masalah-masalah Sosiolinguistik
Konferensi  sosiolinguistik  pertama  yang  berlangsung  di  University  of 
California,  Los  Angeles  pada  tahun  1964,   merumuskan  tujuh  dimensi  dalam 
penelitian  sosiolinguistik.  Ketujuh  dimensi  yang  merupakan  masalah  dalam 
sosiolinguistik itu adalah: 
1.  identitas sosial dari penutur 
2.  identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi 
3.  lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi 
4.  analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial 
5.  penilaian  sosial  yang  berbeda  oleh  penutur  akan  perilaku  bentuk-bentuk 
ujaran 
6.  tingkatan variasi dan ragam linguistik 
7.  penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik 
Identitas  sosial  penutur  dan  pendengar  antara  lain  dapat  diketahui  dari 
pertanyaan  apa  dan  siapa  penutur  tersebut,  dan  bagaiman a  hubungannya  den gan 
lawan tuturnya.  Identitas penutur    dan  pendengar  dapat mempengaruhi  pilihan  kode 
dalam bertutur. 
Lingkungan  sosial  tempat  peristiwa  tutur  terjadi  juga  dapat  mempengar uhi 
pilihan  kode  dan  gaya  dalam  bertutur.  Misalnya,  saat  di  perpustakaan  kita  harus 
berbicara  dengan  suara  pelan,  sedangkan  di  lap angan  sepak  bola  kita  justru  harus 
berbicara dengan suara keras agar dapat didengar oleh lawan bicara kita. 
Analisis  diakronik  dan sinkronik dari dialek-dialek  sosial  berupa  deskripsi  pola-pola 
dialek-dialek sosial itu, baik yang berlaku  pada  masa tertentu atau  yang berlaku pada 
masa  yang  tidak  terbatas.  Dialek  sosial  ini  digunak an  para  penutur  sehubungan 
dengan  kedudukan  mereka  sebagai  anggota  kelas-kelas  sosial  tertentu  di  dalam 
masyarakat. 
  
Penilaian  sosial  yang  berbeda  oleh  penutur  terhadap  bentuk-bentuk  perilaku 
ujaran. Setiap penutur tentunya mempun yai kelas sosial tertentu di dalam  masyarak at. 
Maka,  berdasarkan  kelas  sosialnya,  setiap  orang  memiliki  penilaian  tersendiri 
terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran  yang berlangsung. 
Tingkatan  variasi  atau   linguistik,  maksudnya,  bahwa  sehubungan  d engan 
heterogennya  anggota  suatu  masyarak at  tutur,  adanya  berbagai  fungsi  sosial  dan 
politik  bahasa,  serta  adanya  tingkatan  kesempurnaan  kode,  maka  bahasa  menjadi 
sangat bervariasi, dan setiap variasi memiliki fungsi sosialnya masing-masing.
Penerapan  praktis  dari  penelitian  sosiolinguistik  merupakan  topik  yang 
membicarakan  kegunaan  penelitian  sosiolinguistik  untuk  mengatasi  masalah-
masalah  praktis  dalam  masyarakat.  Misalnya,  masalah  pen gajaran  bahasa, 
pembakuan  bahasa,  penerjemahan,  mengatasi  konflik  sosial  akibat  konflik  bahasa, 
dan sebagainya. 
2.1.2 Kegunaan Sosiolinguistik
Dalam  penggunaann ya,  sosiolinguistik  memberikan  pengetahuan  bagaimana 
menggunakan  bahasa  dalam  aspek  atau  segi  sosial  tertentu.  Sosiolinguistik  akan 
memberikan  pedoman  dalam  berkomunikasi  dengan  menunjukkan  bahasa,  ragam 
bahasa  atau  gaya  bah asa  apa  yang  harus  kita  gunakan  jika  kita  berbicara  dengan 
orang tertentu. 
Di  negara-negara  yan g  multilingual  seperti  Indonesia,  Malaysia,  Singapura 
dan  sebagainya  muncul  masalah-masalah  politis  sehubungan  dengan  pemilihan 
bahasa  untuk  keperluan  menjalankan  administrasi  kenegaraaan  dan  pembinaan 
bangsa.  Dengan  demik ian,  dapat  dikatakan  pemahaman  akan  prinsip-prinsip 
sosiolinguistik akan membantu mengatasi ketegangan politik akibat persoalan bahasa. 
2.2 Bilingualisme
Macnamara  dalam  Hamers  dan  Blanc  (1993:6)  mengatakan,  “bilingual  is 
anyone  who  possesses a  minimal  competence  in  one  of the  four  language  skills,  i.e. 
listening comprehension,  speaking, reading and writing in a language other  than his 
mother  tongue.”– Bilingual adalah  seseorang  yang bisa  men gu asai minimal satu  dari 
empat  kemampuan  ber bahasa,  misalnya  kemampuan  mendengarkan,  berbicara, 
membaca, dan menulis dalam suatu bahasa selain bahasa asalnya.
  
2.3 Alih Kode dan Campur Kode
2.3.1 Alih Kode
Appel  (dalam  Chaer  dan  Agustina  2004:107)  mendefinisikan  alih  kode 
sebagai  gejala  peralihan  bahasa  karena  berubahnya  situasi.  Berbeda  dengan  Appel 
yang  mengatakan  alih  kode  itu  terjadi  antarb ahasa,  Hymes  (dalam  Chaer  dan 
Agustina  2004:107)  menyatakan  alih  kode  bukan  hanya  terjadi  antarbahasa,  tetapi 
dapat  juga  terjadi  antara  ragam-ragam  atau  gaya-gaya  yang  terdapat  dalam  satu 
bahasa.  Lengkapnya  Hymes  mengatakan  “code  switching  has  become  a  common 
term for  alternate us of two  or  more  language,  varieties of language, or even speech 
styles”- Alih kode menjadi hal yang biasa dalam penggunakan dua atau lebih
bahasa, 
ragam bahasa, atau bahkan gaya bicara. 
Aslinda  dan  Syafyah ya  (2010:85)  menjelaskan bahwa di samping  perubahan 
situasi,  alih  kode  juga  dapat  terjadi  kar ena  beberapa  faktor.  Faktor-faktor  yang 
menyebabkan terjadinya  alih kode antara lain: 
1.  siapa yang berbicara 
2.  dengan bahasa ap a 
3.  kepada siapa 
4.  kapan 
5.  dengan tujuan apa 
Lawan  bicara  dapat  menyeb abkan  terjadinya  alih  kode,  misalnya  karena  si 
pembicara ingin mengimbangi  kemampuan berbahasa si  lawan  bicara.  Dalam hal ini 
biasanya  kemampuan  berbahasa  si  lawan  bicara  kurang  atau  agak  kurang  karen a 
memang  mun gkin  bukan  bahasa  utamanya.  Kalau  si  lawan  bicara  berlatar  belakang 
bahasa  yang  sama  dengan  si  pembicara,   maka  alih  kode  yang  terjadi  hanya  berupa 
peralihan v arian   (baik  regional  maupun  sosial),  ragam,  gaya,  atau  register.  Kalau  si 
lawan  bicara  berlatar  belakang  bahasa  yang  tidak  sama  dengan  si  pembicara,  maka 
yang terjadi adalah per alihan bahasa. 
Kehadiran  orang  ketiga  atau  orang  lain  yan g  tidak  berlatar  belakang  bah asa 
yang  sama  dengan  bahasa  yang  sedang  digunak an  oleh  pembicara  dan  lawan  bicara 
  
dapat  men yebabkan  terjadin ya  alih  kode.  Status  orang  ketiga  dalam  alih  kode  juga 
menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan. 
Soewito  dalam  Chaer  dan  Agustina  (2004:114)  membedakan  adanya  dua 
macam  alih  kode,  yaitu   alih  kode  intern  dan  alih  kode  ekstern.  Yang  dimaksud 
dengan  alih  kode  intern   adalah  alih  kode  yang  berlangsung  antar  bahasa  sendiri, 
seperti  dari  bahasa  Indonesia ke  Jawa atau  sebaliknya.  Sedan gk an  alih  kode  ekstern 
terjadi  antar a  bahasa  sendiri  (salah  satu  bahasa  atau  ragam  yan g  ada  dalam  verbal 
repertoir masyarakat tuturnya) den gan bahasa asing. 
Sementara  itu  Poedjosoedarmo  dalam  Rahardi  (2010:24)  menjelaskan  dua 
macam  alih  kode,  yaitu  alih  kode  sementara  (temporary  code-sw itching)  dan  alih 
kode permanen (permanent code-switching). Alih kode sementara  adalah  pergantian 
kode  bahasa  yang  dipakai  oleh  seorang  penutur  yang  berlangsun g  sebentar  atau
sementara  saja.  Alih  kode  ini  biasanya  terjadi  pada  percak apan  yan g  berlangsung 
singkat  seperti  kegiatan  tawar-menawar  antara  penjual  dengan pembeli  yang  datang 
dari  luar  kota.  Sedangkan  alih  kode  permanen  adalah  alih  kode  yang  berlangsung 
secara  permanen. Alih kode  ini  biasan ya berkaitan den gan peralihan sikap  hubungan 
antara penutur dan lawan tutur dalam suatu masyarakat. 
2.3.2 Pembagian Alih Kode
4
  
(A) 
  
(B) 
  
(C) 
  
(D)  2
Azuma, 1997:27-28  
Terjemahan:
Alih kode dibagi menjadi 4 kategori, yaitu  
  
1.  Alih  kode  yang  digunakan  pada  perubahan  situasi,  kondisi,  dan 
topik. 
2.  Alih kode yang digunakan untuk meyakink an pendengar 
3.  Alih  kode  yang  digunakan  sebagai  sarana  negosiasi  hak  dan 
kewajiban antara p endengar dan pembicar a  
4.  Alih  kode  yang  digunakan  untuk  memastikan  bahasa  mana  yang 
sebaiknya 
digunakan  ketika  seseorang  bingun g  harus  memilih 
satu dari dua bah asa. 
2.3.3 Campur Kode
Pembicaraan  mengenai  alih  kode  biasanya  diikuti  dengan  p embicaraan 
mengenai  campur  kode.  Kedua  peristiwa  yang  sering  terjadi  dalam  masyarakat 
bilingual ini mempunyai kesamaan  yang  besar, sehingga seringkali sukar d ibedakan. 
Kesamaan  antara  alih  kode  dan  campur  kode  adalah  digunakann ya  dua  bahasa  atau 
lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Perb edaann ya 
adalah  dalam  alih  kode  setiap  bahasa  atau  ragam  bahasa  yang  digunakan  masih 
memiliki  fungsi  otonomi  masing-masing,  dilakukan  dengan  sadar,  d an 
sengaja 
dengan sebab-sebab  tertentu. Sedangkan  dalam campur  kode ada sebuah kode  utama 
atau  kode  dasar  yan g  digunakan  dan  memiliki  fungsi  dan  keotonomiannya, 
sedangkan  kode-kode  lain  yang  terlibat  dalam  peristiwa  tutur  itu  hanyalah  berupa 
serpihan-serpihan  saja,  tanpa  ada  fungsi  atau  keotonomian  sebagai  seb uah  kode. 
Misalnya  seoran g  penutur  bahasa  Indonesia  yang  men yelipkan  bahasa  daerahnya 
saat sedang berbicara.  
Rohmadi  (2004:59-65)  membagi  campur  kode  menjadi  4  jenis  berdasar kan 
wujudnya, yaitu: 
1.  Campur kode berwujud kata 
Contoh:  “Idealnya  memang  pemilihan  Ketua  SM  UNS  harus  diulang,  tetapi 
saya  kira  impossible  untuk  dilakukan”  (RWSNS,  1  April  1998  dalam 
Rohmadi). 
Kalimat  tersebut  mengalami  peristiwa  campur  kode  ke  luar  yang  b erwujud 
kata.  Peristiwa  campur  kode  ke  luar  adalah  peristiwa  campur  kode  yang 
bersumber  dari  bahasa  asing,  yaitu  bahasa  Inggris.  Kata  yang  mengalami 
percampuran  kode  adalah  kata  “impossible”  yang  dalam  bahasa  Indonesia 
  
berarti mustahil  atau tidak mungkin. Pemilihan unsur  bahasa  Inggris tersebut 
bertujuan  untuk  lebih  meyakinkan  pembaca  yang  dianggap  memiliki 
pengetahuan bahasa Inggris. 
2.  Campur kode berwujud kata ulang 
Contoh:  “Susah  mencari  makan  di  solo,  mencari  rokok  saja  harus  mubeng-
mubeng (berkeliling) kota Solo” (RWSNS, 3 Juni 1998 dalam Rohmadi). 
Kalimat  tersebut  mengalami  peristiwa campur  kode  ke dalam yan g  berwujud 
kata  ulang.  Peristiwa  campur  kode  ke  dalam  yang  terjadi  pada  kalimat 
tersebut  adalah campur  kode  yang bersumber dari bahasa Jawa  yang  ditandai 
dengan  kata  “mubeng-mubeng”.  Tujuan  penulis  melakukan  campur  kode 
adalah  untuk  mengekspresikan  perasaan  dan  untuk  lebih  meyakinkan 
pembaca.  Selain  itu  peristiwa  campur  kode  dalam  kalimat  tersebut 
disebabkan  oleh  latar  belakang  sosial  budaya  penulis,  yaitu  budaya  Jawa, 
sehingga pemakaian bahasanya pun dipengaruhi oleh bahasa Jawa. 
3.  Campur kode berwujud idiom 
Contoh:  “Lagi pula  orang  bawah  bingung  dengan  omongan orang-orang  atas 
sana, mikir kehilangan kerjaan  aja  mumet kok. Selain itu kesabaran ju ga amat 
diperlukan  untuk  mengatasi  hal  ini  dan  jangan  emosi,  ana  rembug  padha 
dirembug  dan  jangan  saling  hantam.”  (RWSNS,  20  Mei  1998  dalam 
Rohmadi). 
Kalimat  tersebut  mengalami  peristiwa campur  kode  ke dalam yan g  berwujud 
idiom  bahasa Jawa,  yaitu ana  rembug  padha dirembug yang  memiliki makna 
jika  ada  masalah  harus  dibicarakan  bersama.  Penulis  bermaksud 
mengingatkan  kepada  para  pembaca  agar  tetap  bersabar  dalam  menerima 
cobaan.  Peristiwa  campur  kode  pada  kalimat  tersebut  disebabkan  oleh  latar 
belakang  sosial  budaya  penulis,  pembaca,  dan  situasinya,  yaitu  konteks 
budaya  Jawa.  Oleh  karena  itu  penulis  memanfaatkan  idiom  bahasa  Jawa 
karena  penulis  menganggap  idiom  itu  akan  lebih  halus  untuk  menasihati 
pembaca dibanding jika menggunakan bah asa lain. 
4.  Campur kode berwujud klausa 
Contoh:  “Selama  ini  kalau  ada  bentrokan  antara  pengunjuk  rasa 
dengan 
aparat keamanan, orang  akan  berkata wah  medeni  tenan  kok  mas.”  (RWSNS, 
22 April 1998 dalam Rohmadi). 
  
Kalimat tersebut  mengalami peristiwa  campur kode ke  dalam  yan
berwujud 
klausa  bahasa  Jawa,  yaitu  medeni  tenan  kok  mas  yang  berar
menakutk an 
sekali  mas.  Peristiwa  campur  kode  pada  kalimat  terseb
bertujuan  untuk 
meyakinkan  pembaca  bahwa  bentrokan  yang  terjadi  antar
pengunjuk  rasa 
dengan aparat keamanan  sangat menakutkan. 
2.3.4  Fungsi Alih Kode dan Campur Kode
Berikut  adalah  contoh  alih kode dan campur  kode  dalam  bahasa Jepang oleh 
Nishimura dalam Azuma (1997:25) 
VY  
drive I was in the fast lane. Of 
course speed 
  
MN  Yeah. 
VY:  there was a car in the left, right lane. 
MN:   
VY : Two
Side. 
MN : Uh-huh 
VY : So, I was in the  left lane. 
  
MN : Violet, drive   
VY : Half-way 
After lunch 
car he came out right. No 
signal or anything. 
Gee. 
brake
Oh , gee. 
MN :  those 
it’s not your fault, eh? 
When you have an accident. 
Azuma  mengatakan  bahwa  percakapan  di  atas  tidak  bisa  terjadi  pada 
sembarang waktu maupun sembarang orang. Jika seandain ya lawan  bicaranya adalah 
orang  Amerika  yang  hanya  bisa  menggunakan  bahasa  Inggris,  maka  percakapan  di 
atas  ak an  berubah  menjadi  percakapan   yang  seluruhn ya  menggunakan  bahasa 
Inggris.  Syarat  utama  untuk  melakukan  alih  kode  adalah  kedua  belah  pihak  yang 
  
sedang  melakukan  percakapan  harus  menguasai  setidaknya  dua  bahasa,  dan  dalam 
percakapan di atas kedua bahasa tersebut adalah bahasa Jepang dan bahasa  In ggris. 
Azuma  (1997:27)  menjelaskan  bahwa  alih  kode  dan  campur  kode  memiliki 
dua  fungsi,  yaitu  fungsi  referensial  (referential  function)  dan  fungsi  direktif 
(directive  function).  Fungsi  referensial  yaitu  untuk  membicarakan  objek  atau 
informasi  kepada  target  pembicara  tanpa  menunjukkan  subjek  tertentu.  Sedangkan 
fungsi  direktif ad alah  untuk membuat pendengar  yang tidak memahami suatu  bahasa 
menjadi  bisa  ikut  berpartisipasi  dalam  percakapan  melalui  bahasa  yang  ia  mengerti. 
Selain  itu,  fungsi  direktif  juga  memiliki  fungsi  yang  sebalikn ya,  yaitu  untuk 
menyembunyikan  makna  sebenarnya  dari  suatu  kata.  Hal  ini  terjadi  ketika  si 
pembicara  tidak  ingin  isi  pembicaraannya  diketahui  oleh  beberap a  pendengar, 
sehingga  ia  sengaja  men gganti  bahasanya  dengan  bahasa  yang  tidak  dimengerti  si 
pendengar. 
Rohmadi  mengatakan  bahwa  campur  kode  sangat  mendukung  penulis 
maupun  pembaca.  Bagi  penulis,  campur  kode  bisa  digunaka
untuk  menyampaikan 
maksud  secara  halus  atau  tersirat.  Sedangkan  bagi  pembac
campur  kode  sangat 
membantu untuk menafsirkan maksud-maksud penulis berdasarka
konteks tuturan.