BAB
2
LANDASAN TEORI
2.1
Maskapai Penerbangan
2.1.1 Konsep Umum Bisnis Penerbangan
Manurung (2010) menjelaskan bahwa jasa komersial angkutan udara di dunia
dimulai
di
Amerika Serikat
(AS) pada
tahun
1938.
Amerika Serikat
mengadakan
kongres
yang hasilnya
mempermudah entry
usaha
penerbangan
swasta.
Deregulasi
tersebut
membuat
industri
penerbangan
tumbuh
dengan
cepat.
Antara tahun
1945
sampai 1951 muncul 90 perusahaan penerbangan
lokal yang mendapatkan sertifikat
Civil Aeronautics Board (CAB). Hal tersebut mengakibatkan adanya persaingan yang
ketat di antara perusahaan-perusahaan penerbangan di pasar yang sama di AS.
Awalnya,
industri
penerbangan
memiliki
regulasi
yang ketat
dari
otoritas
penerbangan
pemerintah.
Namun
pada tahun
1978
di
AS
muncul
deregulasi
penerbangan
khusus kebebasan
dalam kebijakan
harga.
Persaingan tarif pun
mulai
terjadi
sehingga munculah
penerbangan
bertarif
rendah
(low
fare
airlines). Agar
mencapai  keuntungan 
yang  diharapkan,  perusahaan  penerbangan  pun  berupaya
meningkatkan
volume
penjualan.
Upaya-upaya
yang
dilakukan
tersebut
14
  
15
mengakibatkan
persaingan yang
keras
untuk
memperebutkan pasar angkutan
udara
(Manurung, 2010).
Manurung (2010) kembali menjelaskan, perubahan lingkungan dalam industri
penerbangan seperti yang disebutkan di atas
mengarahkan harga tiket ke
harga yang
lebih rendah. Namun ada juga perubahan
lingkungan yang membawa
harga menjadi
lebih
tinggi. Pada tahun 1973, embargo Arab atas minyak dunia
membawa dampak
yang luar biasa
pada
industri
penerbangan.
Harga
minyak
melonjak tajam
hingga
mencapai 222%. Padahal proporsi fuel cost pada biaya penerbangan telah
mencapai
20%-30% dan biaya tenaga kerja mencapai 45% dari total biaya operasi perusahaan
penerbangan.
Perubahan
pada
faktor
biaya
minyak
dan
tenaga
kerja
merupakan
masalah
bagi industri penerbangan di AS. Dengan kondisi persaingan yang ketat lalu ditambah
dengan
kenaikan kedua
faktor biaya tersebut,
pemerintah
AS
kembali
melakukan
deregulasi  di  tahun  1978.  Tujuan  deregulasi  tersebut  adalah  untuk  menjadikan
industri  penerbangan 
menjadi 
lebih 
mermutu 
dengan 
memperhatikan 
efisiensi,
inovasi,
harga rendah,
dan
pilihan
layanan.
Ternyata
deregulasi
baru tersebut
mendorong perusahaan
meningkatkan
frekuensi
penerbangan
untuk
mencapai
skala
ekonomi,
sehingga
tekanan
persaingan
semakin  tinggi
di
industri
ini
(Manurung,
2010).
Untuk
mengantisipasi
pertumbuhan trafik
tersebut,
mendorong industri
lain
yang
sejenis
untuk
mengambil
langkah
penyesuain.
Contohnya pada
perusahaan
pesawat
terbang
lain,
perusahaan
memproduksi
pesawat
jet berbadan
lebar
(wide-
body  aircraft)  sehingga
mampu 
mengangkut 
penumpang 
lebih  banyak. 
Tetapi
  
16
kebijakan ini tidak memperbaiki kondisi, karena berakibat load factor rata-rata anjlok
menjadi
50%
di
tahun 1970
dari
70%
sebelumnya di tahun 1950.
Demikian
yang
disebutkan oleh Chan dan Barry (2005) dalam buku Manurung (2010).
Hal
tersebut
merupakan
masalah
yang ketiga,
yaitu
kemerosotan
utilitas
kapasitas
perusahan
penerbangan. Ketiga masalah tersebut
menurunkan
pendapatan
perusahaan penerbangan
dan meningkatkan
pengeluaran
investasi pada
pembelian
pesawat
baru berbadan
lebar. Posisi
ini
yang
menjadikan para pemain pada industri
penerbangan mengalami stuck-in-the-middle” (Manurung, 2010).
Di  tengah  permasalahan  tersebut,  muncullah  maskapai  Southwest  Airlines
pada tahun 1970-an. Perusahaan maskapai ini menampilkan model baru pada industri
penerbangan.
Inovasi
yang dijalankan
berorientasi
pada
low
fare
airlines.
Bentuk
pelayanan yang
diberikan
sangat berbeda dengan full service
carrier yang
berelaku
pada
saat  itu.  Mulai  dari  rute
terbang  yang
pendek  dari  poin  ke
poin,  memiliki
pesawat dengan tipe yang sama, tidak
memiliki
nomor tempat duduk,
tanpa adanya
agen penjualan, dan tidak menyajikan makanan dan minuman yang menjadikan harga
menjadi lebih murah (Carpenter dan Sanders, 2007 dalam buku Manurung, 2010).
Manurung (2010) mengatakan dalam bukunya, walaupun
model bisnis serba
minim
dan
hanya pada
pasar
domestik di
AS,
Southwest
Airlines
membangkitkan
kekuatan persaingan
pada sektor
industri
penerbangan
untuk
meraih
profit
yang
konsisten. Perusahaan
tersebut
menduduki
peringkat
10
di
antara perusahaan
penerbangan dunia dalam hal passenger-kilometres pada tahun 2004, dan di peringkat
ke-3
sesudah Delta Airline
dan
American
Airlines
dalam
hal
jumlah
penumpang.
Southwest
Airlines
dapat
dijadikan
panutan
bagi
perusahaan
penerbangan  global,
  
17
terutama bagi new entrants seperti Lion Air di Indonesia, Air Asia di Malaysia, Jet
Star dan Virgin Blue di Australia, Ryanair dan Eastjet di Eropa, dan lainnya.
Dengan demikian, bagi perusahaan penerbangan ada 3 dominan logic strategi,
yaitu
low
fare
airlines,
full
service
airlines, dan
campuran
antara
keduanya
(Manurung, 2010).
2.1.2 Low Fare Airlines
Konsep
penerbangan
”tanpa embel-embel” telah
ada cukup
lama,
bahkan
sudah  berkembang  selama  beberapa  tahun  terakhir.  Maskapai  yang  pertama  kali
mulai  mengoperasikan  konsep  ini  adalah  maskapai  dari  AS  pada  tahun  1970.
Beberapa tahun setelah maskapai ini berkembang di AS, beberapa maskapai di Eropa,
Amerika Selatan, dan
Asia
Pasifik
mulai
mengikuti
strategi
ini.
Walaupun banyak
yang
menganggap
pasar
low cost carrier sebagai pasar yang
sukses,
namun banyak
perusahaan maskapai yang mengalami kegagalan di tengah kompetisi dan permintaan
pasar (Doring, 2009).
Menurut Doring (2009), ”No-Frills” (penerbangan ”tanpa embel-embel”) atau
low
fare
airlines
dapat
didefinisikan
sebagai
tindakan
pengoperasian
untuk
biaya
yang lebih rendah. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengirimkan inti produk, di
kasus penerbangan ini adalah untuk menerbangkan penumpang dari A ke B, dan tidak
fokus pada keutamaan tertentu seperti tempat duduk yang nyaman atau makanan yang
enak. Tujuan dari konsep ini adalah harga murah bagi para konsumennya, dan untuk
  
18
membentuk keunggulan kompetitif dibandingkan
maskapai
lainnya. Poon & Waring
(2010) juga menjelaskan,
model
bisnis
penerbangan
low
fare
airlines
merupakan
istilah untuk maskapai yang mengurangi pelayanan di dalam pesawat, perjalanan dari
poin ke
poin, pemanfaatan
pesawat yang tinggi, hanya
memiliki
satu tipe
pesawat,
meminimalisir reservasi tiket dengan teknologi IT, dan para karyawannya melakukan
multi role dalam pekerjaannya.
2.1.2.1 Model Bisnis Low Fare Airlines
Dalam
memilih
strategi
yang kompetitif,
kunci
dari
pertimbangan
untuk
strategi perusahaan adalah bagaimana mengkonfigurasikan persamaan nilai, sehingga
dapat
memenuhi
tuntutan
pelanggan dengan
yang terbaik.
Untuk
strategi
low fare
airlines, berarti perusahaan berusaha untuk mencapai harga serendah mungkin untuk
layanan mereka. Struktur biaya merupakan perbedaaan yang jelas antara LCC dengan
maskapai yang menggunakan full service airlines (Lawton dan Salomko, 2005).
Selain itu, Lawton dan Salomko (2005) menunjukkan bahwa perbedaan utama
antara maskapai
yang
menggunakan full service airlines
dan
LSA
adalah
struktur
biaya,
yang
dapat
dibagi
menjadi
tiga
bagian,
yaitu
layanan
tabungan
(contohnya
tanpa  ada  makanan  dan  minuman  gratis),  penghematan  operasional  (contohnya
terbang  dari  poin  ke  poin),  dan  overhead  saving  (contohnya  penjualan  melalui
internet dan birokrasi yang efisien).
  
19
Doganis
(2001)
dalam
Manurung (2010)
berpendapat
bahwa
LSA
memulai
dengan
dua
keunggulan
biaya
yang timbul
dari
sifat
pengoperasian
LSA,
yaitu
kepadatan tempat
duduk
yang tinggi
dan
pemanfaatan
pesawat terbang
yang lebih
tinggi 
sehari-harinya. 
Dengan     menghapus 
kelas  bisnis  dan  konfigurasi 
ulang
pesawat, FSA secara
signifikan dapat
meningkatkan jumlah kursi di dalam pesawat.
Secara  keseluruhan,  Doganis  menghitung  bahwa  FSA  harus  mampu  beroperasi
dengan
biaya
kursi
yang hanya
terisi
40%—50%
dari
keseluruhan.
Jika
hal
ini
dikombinasikan
dengan
differensiasi
factor
beban
yang dignifikan
dan
rendahnya
biaya distribusi, maka
biaya penumpang
FSA dapat
turun
menjadi sekitar sepertiga
dari penerbangan tradisional atau full service airlines.
2.1.2.2 Strategi Pemasaran Low Fare Airlines
Low
fare
airlines
telah
merevolusi
industry penerbangan
di
Indonesia
dan
membuat seluruh lapisan masyarakat mampu
menggunakannya.
Tidak ada keraguan
bahwa  maskapai  LFA  di  Indonesia  telah  luar  biasa  sukses,  tetapi  tidak  semua
maskapai telah sukses berkompetisi di pasar ini.
Daniel
Doring (2009)
berpendapat
bahwa
maskapai-maskapai
yang
berkompetisi dengan konsep
LFA telah ada sejak pertengahan tahun 90-an, dengan
menyederhanakan
model
bisnisnya jika dibandingkan
denga maskapai
tradisional.
Maskapai dengan konsep low fare airlines telah
menjadi sukses karena keuntungan
dari biaya per unit, yang memberikan kemungkinan untuk menawarkan harga murah.
  
20
Melalui strategi tersebut mereka telah merangsang permintaan pasar, dan menaikkan
pendapatan. LFA telah
menciptakan pasar yang sangat kompetitif,
yang
juga sangat
mempengaruhi maskapai tradisional.
Daniel
Doring (2009)
juga
mengatakan
bahwa
maskapai
pertama
menggunakan
strategi
ini
dengan
sukses
adalah
Southwest
Airline
di
AS.
Strategi
LFA yang orisinil adalah sebagai berikut:
1)
Harga rendah
2)
Tingginya jumlah penerbangan
3)
Pelayanan dari poin ke poin
4)
Tidak ada makanan atau minuman gratis dalam pesawat
5)
Tidak ada nomor kursi
6)
Penerbangan jarak pendek
7)
Penerbangan bukan ke airport utama
Penerbangan
jarak pendek disini
diartikan
dalam
buku Manurung (2010)
sebagai
rute
yang berjarak
400-600
mil
atau
600-900km.
Biasanya
jarak
tersebut
ditempuh dalam waktu 3-3,5 jam.
Beberapa maskapai
bertujuan
untuk
menawarkan
harga
yang
sangat
rendah
agar dapat berkompetisi dengan transportasi
yang
lain, seperti kereta api, kapal laut,
dan
lainnya. Untuk
itu,
maskapai
tersebut
memiki
focus
utama pada
pemotongan
biaya di setiap bagian dari industri tersebut (Daniel Doring, 2009).
  
21
2.1.3 Full Service Airlines
Menurut
Manurung (2010), konsep full service
lebih dikenal dengan
model
bisnis penerbangan tradisional (legacy carriers).
Dalam konsep
ini, yang ditekankan
adalah
layanan
yang lengkap
dan
berkualitas
juga
dengan
harga
yang
premium.
Layanan yang
diberikan
dilakukan
secara
menyeluruh,
frekuensi
penerbangan
yang
fleksibel,
adanya
pemberian fasilitas
lounge, pemberian makanan dan
minuman,
tempat
duduk
yang longgar
dengan
fasilitas
televisi,
dan
sebagainya.
Untuk
mendukung layanan
yang
berkualitas, bandara
yang
digunakan pun
adalah
bandar
udara utama.
Untuk operasional
pemasaran masih
mengandalkan agen tiket sebagai
mitra
penjualan. Jumlah tempat
duduk dan tiket yang dijual
pun sudah diatur. Hal
inilah
yang menjadikan
sistem
reservasi
dan
rute
penumpang pada
full
service
sangat
kompleks.
Agar
tercipta
desain
layanan
yang berkualitas dan
fleksibel,
konsep
ini
menggunakan
jenis
pesawat
besar
atau berbadan
lebar, dengan
tipe pesawat
yang
berbeda pula, sehingga utilisasi rata-rata hanya 60% dari maksimum jam penerbangan
per hari (Manurung, 2010).
2.1.4 Low Fare Airlines Versus Full Service Airlines
Ada berbagai macam hal yang membedakan konsep low fare airlines dan full
service airline seperti dalam tabel di bawah ini:
  
22
Table 2.1
Karakteristik Low Fare Airlines dan Full Service Airlines
Features
Low Fare Airlines
Full Service Airlines
Generic Strategy
Cost leadership
Differentiation
Jenis Pesawat
Umumnya kecil, tetapi
pemain utama
Tipe pesawat besar
Model Operasional
-
Point to point jarak
pendek (400-600
nautical miles)
-
Rute utamanya short
haul
-
Tipe pesawat seragam
-
Utilisasi tinggi (70%-
80%)
-
Rute gabungan short
haul/medium dan long-haul
-
Tipe pesawat dan mesin
bermacam-macam
-
Utilisasi moderate (^)%)
Pasar
Cheap travel sector of
the market,
segmentation by time of
booking dan pilihan
penerbangan dengan
kuliatas dan jasa dasar,
seperti:
Normally in competition with other
FSCs, leading to differentiation by
class (quality) of service, with high
service image, including:
-
Frekuensi  schedule dan
fleksibilitas penerbangan.
-
Layanan dalam penerbangan
  
23
-
Tidak ada catering
(harus membayar)
-
Pengguna airport
typically secondary
extensive.
-
Pengguna airport utama.
Inventory
Management
Inventory management
simplified: direct or
online bookings, ticket
less, no use of travel
agents.
Pre arranged tickets and seats:
reservation system complex, due to
feeder routes: use of travel agents.
Sumber: Manurung (2010)
Penerbangan
jarak pendek disini
diartikan
dalam
buku Manurung (2010)
sebagai
rute
yang berjarak
400-600
mil
atau
600-900km.
Biasanya
jarak
tersebut
ditempuh dalam waktu 3-3,5 jam.
2.1.5 PT. Indonesia AirAsia
PT. Indonesia AirAsia adalah salah satu maskapai yang menggunakan konsep
penerbangan  berbiaya  rendah  (low fare airlines). Indonesia  AirAsia  membawa
konsep
penerbangan
berbiaya
rendah
yang sebelumnya
telah
dikembangkan
oleh
maskapai
penerbangan
South
West
di
Amerika
dan
Ryan Air
di
Eropa.
Mengacu
pada kesuksesan mereka, induk perusahaan AirAsia yang berada di Malaysia tertarik
untuk
mengembangkan
konsep
itersebut di Indonesia.
AirAsia
masuk pada
tahun
  
24
2004 dengan menggunakan maskapai penerbangan Awair (Air Wagon International)
yang sedang bermasalah dan berhenti beroperasi. Awair berubah nama menjadi PT.
Indonesia AirAsia
pada
tanggal 1 Desember
2005 dan diluncurkan
kembali
pada
tanggal 8
Desember 2005
sebagai
maskapai penerbangan
berbiaya rendah dengan
menggunakan konsep yang sama dengan Grup AirAsia (AirAsia, 2007).
Visi dari AirAsia adalah menjadi maskapai penerbangan berbiaya rendah yang
terbesar
di
Asia
dan
melayani
3
milyar
orang
yang sekarang dilayani
dengan
konektivitas yang kurang baik dan tarif yang mahal.
Misi dari AirAsia adalah:
  
Untuk 
menjadi 
perusahaan 
terbaik 
untuk 
bekerja 
dimana  karyawan
diperlakukan sebagai bagian dari keluarga besar.
  
Menciptakan brand ASEAN yang diakui secara global.
  
Mencapai  biaya
terendah,
sehingga
setiap  orang
dapat
terbang
dengan
AirAsia.
  
Mempertahankan   produk   berkualitas   tinggi,   menggunakan   teknologi
untuk mengurang biayam dan meningkatkan kualitas layanan.
Nilai
perusahaan
AirAsia adalah
dengan
membuat
model
berbiaya
rendah
melalui penerapan strategi utama berikut:
-
Safety  first, bermitra dengan provider  pemeliharaan paling  terkenal di
dunia dan sesuai dengan operasi penerbangan dunia.
-
Pemanfaatan pesawat tinggi
  
25
Ada beberapa
faktor keberhasilan
AirAsia yang disebutkan oleh Sen
Ze dan
Jayne Ng (2007) dalam bukunya, yaitu:
1.   Model bisnis yang menguntungkan.
Dengan modal
capital
yang begitu besar
diperlukan untuk
mendapatkan
pesawat dan membayar pilot beserta staf lain, selain itu pula untuk memenuhi
biaya
bahan
bakar
yang meningkat,
dan
biaya
lainnya,
AirAsia
mampu
mendapatkan keuntungan dalam tahun pertama
operasinya.
Ini
merupakan
langkah yang diperlukan keahlian dan keberanian. Berikut model bisnis yang
menguntungkan yang menjadi salah satu faktor keberhasilan AirAsia:
Perjalanan adalah industri besar
Di seluruh dunia, milyaran orang berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya
dengan
alasan
masing-masing dan
hal
ini
akan
terus
berlangsung sampai akhir masa. Jika memulai suatu bisnis, salah satu
cara untuk meningkatkan peluang keberhasilan adalah dengan berkerja
dalam
suatu
industri
yang menjanjikan
banyak
prospek.
Industri
perjalanan tidak diragukan lagi sebagai bisnis besar yang memberikan
peluang
tersebut, dan AirAsia sadar
akan hal
ini. Dengan cerdasnya,
AirAsia menawarkan
produk dan
jasanya kepada konsumen
yang
menginginkan tarif murah.
Orang selalu terbang
Tidak
ada bisnis
yang
lebih
baik
dari
bisnis
yang berulang, dimana
konsumen yang sama merasa puas. Dalam industri perjalanan berbiaya
tinggi, 
konsumen 
yang 
berulang 
adalah 
yang 
selalu 
diharapkan.
  
26
Dengan
adanya
permintaan
untuk
transportasi
secara terus-menerus,
maka masuk
akala jika penyedia jasa
perjalanan
melihat
pada
konsumen berulang sebagai pendukungnya.
Cara AirAsia
melakukannya
adalah dengan
menawarkan
diskon dan promosi tarif
rendah.
Asia adalah pasar besar
Asia merupakan
benua
terbesar
di
dunia, dengan
penduduk
daratan
yang padat
di
dunia.
Begitu
juga
dengan
Indonesia
yang dengan
penduduk terbanyak keempat di
dunia. AirAsia
tahu, dalam jangka
waktu yang lama ke depan cukup untuk dinikmati hasilnya.
AirAsia bertahan sebagai model bisnis yang mapan
Model
maskapai
udara
berbiaya rendah
AirAsia
merupakan
hasil
salinan
dari
Eropa
dan
Amerika.
AirAsia
memilih
model
yang telah
terbukti keberhasilannya dengan biaya
yang rendah dalam pasar yang
besar
dan
menggunakan
model
yang benar
juga
dengan
mengontrol
biaya, membuat AirAsia meraih keberhasilannya.
Model
armada
biaya rendah
menjaga
biaya
tetap
rendah
sampai
di
tingkat minimum
Berikut beberapa cara AirAsia menurunkan biaya:
 
Dengan
meniadakan
makanan,
namun
tetap
menjualnya
bagi
mereka yang membutuhkan.
 
Sebagian
besar penerbangan
butuh
waktu
3
sampai
3,5
jam
perjalanan, 
yang  memungkinkan  untuk  menggunakan  awak
  
27
kabin
yang sama
untuk
penerbangan
balik
dari
tujuan
kedatangan
kembali
ke tujuan
pemberangkatan dengan
penumpang baru.
Hal
ini dapat
menurunkan biaya
gaji
awak
kabin.
 
Tidak  ada  biaya  yang  dimasukkan  untuk  akomodasi  awak
kabin  pada 
tujuan  kedatangan  karena 
mereka  kembali  ke
rumah di hari yang sama.
 
AirAsia   merencanakan   tujuannya   dengan   cermat,   dengan
terbang hanya
ke
tempat-tempat
yang dapat
dicapai
dalam 3
sampai 3,5 jam.
 
Konsumen didorong untuk membeli tiket pada
internet untuk
mengurangi  kebutuhan  akan  konter
tiket  dan  staf,  dan  juga
tanpa adanya tiket,
tetapi
hanya kode tiket
dan
rincian
penerbangan yang dapat dicetak sendiri oleh pelanggan.
 
AirAsia mencari landasan termurah.
 
Jika ada rute penting
dan
tidak
dapat
menghindari
landasan
yang mahal,
maka
tidak
semua
fasilitas
digunakan,
seperti
jembatan layang.
Parkiran pesawat
pun berada
di
samping
ruangan terjauh dari pusat bandara.
Melakukan hedging terhadap biaya bahan bakar
Bahan
bakar dapat
mengabiskan
60% dari
total
biaya operasional.
AirAsia   membayar   bahan   bakar   dimuka   untuk   menjaga   harga
terendah, sehingga meminimalkan resiko kenaikan harga bahan bakar.
  
28
Model bisnis yang menguntungkan
Pesawat
tidak
membawa
muatan penuh setiap
harinya,
maka AirAsia
menawarkan tiket rendah.
Dan kunci
untuk mendapatkan keuntungan
yang
lebih
besar
bagi
AirAsia adalah
dengan
lebih
banyak
rute dan
lebih banyak pesawat.
Dengan harga rendah semacam itu, setiap orang dapat terbang
Maskapai berbiaya rendah dapat memasuki sumber prospek baru yang
belum  pernah  ada  sebelumnya,  contohnya  penumpang  yang  tidak
dapat  bepergian  dengan  maskapai 
layanan  penuh. 
Hanya  dengan
beberibu
rupiah
saja
(jika
orang tersebut
bersabar
menunggu
harga
promosi)  orang  yang  sebelumnya  tidak  mampu  bepergian  dengan
pesawat udara, sekarang dapat bepergian sesuai tujuan mereka.
Media menyukai kisah AirAsia
AirAsia mendapat
publisitas
gratis
di
media karena kisah
keberhasilannya. Selain itu Tony Fernandes, CEO AirAsia mengetahui
bagaimana masuk ke dalam kekuatan media.
2.   Menghasilkan keuntungan walaupun menjual tiket dengan harga murah.
AirAsia
menjual
tiket dengan
harga
yang
sangat
murah
secara
reguler
dan
tetap dapat menghasilkan ratusan milyar. Tidak setiap tempat duduk di setiap
pesawat
akan
terisi,
namun
AirAsia tahu berdasarkan
pengalaman
rute-rute
mana
yang
paling
sibuk.
Daripada
membiarkan
tempat
duduk
itu
kosong,
lebih baik AirAsia menawarkan dengan harga yang sedemikian rendah. Bukan
merupakan masalah menjual tempat duduk sekali jalan dengan harga Rp 2.475
  
29
jika
memang tempat duduk
tersebut
tidak akan ditempati. Sehingga AirAsia
mengumumkan harga ini ke masyarakat umum dan mendapatkan manfaat dari
publisitas
yang
beredar.
Kalaupun
tempat
duduk
itu
tidak
terjual,
AirAsia
tetap
memperkuat posisinya dalam benak konsumen sebagai
maskapai biaya
rendah
yang sebenarnya.
Ringkasnya,
dengan
mengiklankan
tempat
duduk
yang sangat murah untuk tujuan tertentu, AirAsia:
Menjual tempat duduk yang jika tidak ditawarkan pun akan kosong
Pesawat yang terisi penuh dapat memberikan kesan lebih baik kepada
penumpang, 
yang 
meyakinkan 
bahwa  maskapai  tersebut 
berjalan
dengan baik.
Menjual tempat duduk berminggu-minggu sebelumnya, mengisi penuh
pesawat lebih dari yang dapat dilakukan sebelumnya
Banyak
konsumen
yang
memesan
tiket
berbulan-bulan sebelumnya
untuk dapat terbang ke tujuan tertentu, sehingga dapat menikmati tarif
yang jauh lebih murah walaupun mereka tidak yakin dapat pergi pada
tanggal tersebut. Namun
tidak masalah kehilangan Rp 50.000 dalam
suatu kegiatan yang tidak dapat mereka hadiri pada tanggal tersebut.
Menarik keingintahuan dari prospek yang bahkan tidak akan berpikir
untuk terbang
Setiap
orang terbiasa
akan
harga
tinggi
untuk
sebuah
tiket
udara,
sehingga
ketika
harga
tiket
lebih
murak  daripada
harga
bus,  maka
orang akan tertarik untuk terbang.
  
30
Menggiring  sebagian  prospek 
menjadi  pelanggan 
yang  membayar
harga reguler jika tempat duduk termurah habis
Dapat
memungkinkan
untuk
menggiring konsumen
untuk
membeli
tiket harga
reguler
yang
masih
jauh
lebih murah
daripada tiket yang
ditawarkan maskapai udara lain.
Memungkinkan para peragu untuk mengalami layanannya
AirAsia memberikan
pengalaman
terbang
yang menyenangkan
walaupun
dengan
model
harga
yang rendah.
Hal
ini
penting untuk
menunjukkan
bahwa tingkat
kenyamanan
dan
kepuasan
tidak
diperuntukkan demi keuntungan semata.
Lebih jauh memperkuat posisinya sebagai maskapi biaya rendah
Iklan
reguler
tentang harga
yang rendah
merupakan
hal
kuat
yang
secara permanen akan melekatkan nama maskapai di benak pelanggan.
Menciptakan 
pemasaran 
mulut 
ke 
mulut 
melalui 
iklan 
dan 
dari
pengalaman pelanggan
Jika  konsumen  puas,  maka  merupakan 
iklan 
yang  potensial  bagi
AirAsia, yang menyebarkan kata kepada ratusan teman dan kontak.
Dengan mudah meraih kesadaran cepat diingat, perlahan menyisihkan
pesaing dari benak prospek dan pelanggan
AirAsia
memperoleh keberhasilan
karena
pemahamannya
yang
tepat,
dan
dengan pemasaran
yang agresif
serta
kampanye
publisitas
yang
terus mengisi media secara reguler.
  
31
3.   Keuntungan sebagai yang pertama bergerak.
Model
maskapai berbiaya rendah bukan
model yang baru dan teruji.
AirAsia
hanya
menyesuaikan
model
yang teruji
oleh
Ryanair
dan
Easyjet.
Dengan
model
yang dimiliki
ini, AirAsia
mencanangkan dengan sebuah
tagline
yang
sederhana dan efektif Now Everyone Can Fly (Sekarang Setiap Orang Dapat
Terbang).” Strategi
sederhana
ini
member keuntungan
kepada penggerak
pertama
dalam
sebuah
pasar
yang
didominasi oleh
maskapai
udara layanan
penuh
uang menetapkan
tarif
udara
yang
terlampau
tinggi.
AirAsia
mengiklankan ongkos rendahnya secara teratur di media, terutama surat kabar.
Tony Fernandes
juga
memberikan
wawancara
secara
berkala
mengenai
kemajuan AirAsia.
2.1.6 PT. Garuda Indonesia
Sejarah
penerbangan
komersial
di
Indonesia
berada pada masa perjuangan
rakyat Indonesa dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Penerbangan
komersial pertama menggunakan pesawat DC-3 Dakota dengan registrasi RI 001 dari
Calcutta
ke Rangoon
pada tanggal
26
Januari
1949
dan
diberi
nama
“Indonesian
Airways”. Selanjutnya pada tanggal 28 Desember 1949, pesawat tipe Douglas DC-3
Dakota dengan registrasi PK-DPD yang sudah dicar dengan logo “Garuda Indonesian
Airways”
terbang
dari Jakarta
ke
Yogyakarta untuk
menjemput Presiden
Soekarno.
Ini adalah penerbangan yang pertama kali dengan nama Garuda Indonesian Airways.
  
32
Pada tahun 1950, Garuda Indonesia resmi
menjadi Perusahaan Negara. Saat
itu perusahaan memiliki 38 buah pesawat yang terdiri dari 22 jenis DC3, 8 pesawat
laut Catalina, dam 8 pesawat jenis Convair 240. Untuk pertama kalinya, pada tahun
1956,
Garuda
Indonesia
membawa penumpang
jamaah
haji
ke Makkah,
dan
pada
tahun   1965   memulai   perjalanan   terbangnya   ke   Eropa   dengan   tujuan   akhir
Amsterdam.
Sepanjang tahun 80an, armada Garuda Indonesia dan kegiatan operasionalnya
mengalami restrukturisasi besar-besaran. Pada masa itu, perusahaan mendirikan Pusat
Pelatihan Karyawan, Garuda Training Center yang terletak di Jakarta
Barat. Selain
pusat  pelatihan, 
Garuda  Indonesia  juga  membangun  Pusat  Perawatan  Pesawat,
Garuda Maintenance Facility (GMF) di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Garuda Indonesia menyusun strategi jangka panjang sampai tahun 2000 pada
awal tahun 90an. Selain itu juga perusahaan meningkatkan jumlah armada, sehingga
Garuda Indonesia termasuk dalam 30 besar maskapai penerbangan di dunia.
Di
awal
tahun 2005,
Garuda Indonesia di bawah kendali
manajemen
yang
baru,
membuat
perencanaa baru
bagi
masa depan
perusahaan.
Upaya
membangun
kekuatan keuangan perusahaan, Garuda Indonesia memiliki hutang sewa pembiayaan
dengan  Europian Export Credit Agency (ECA)  yang  merupakan  bagian  terakhir
dalam restrukturisasi dan diselesaikan pada tanggal 21 Desember 2010.
Per  akhir  Desember  2010,  struktur  kepemilikan  saham  perusahaan  adalah
85,8% milik Pemerintah Republik Indonesia, 10,6% milik PT.
Bank Mandiri, 1,4%
milik PT. Angkasa Pura, dan 2,2% milik PT. Angkasa Pura II.
  
33
Sampai  akhir  2010,  Garuda  Indonesia  mengoperasikan  89  pesawat  yang
terdiri
dari
3
pesawat
jenis
Boeing 747-400,
6
pesawat
jenis
Airbus
330-300,
5
pesawat jenis
Airbus 330-200, dan 33 pesawat
jenis Boeing 737 Classic (seri 300,
400, 500) dan 42 pesawat Boeing 737-800 NG.
Armada pesawat
ini terbang ke 36
rute penerbangan domestic dengan rata-rata 434 kali penerbangan per minggu dan 25
rute internasional
dengan
338
kali
penerbangan
per minggu
dengan
12,5
juta
penumpang. Perusahaan
memiliki 6.273
karyawan, termasuk 537 orang
siswa yang
tersebar di kantor pusat maupun kantor cabang.
Garuda
Indonesia
memiliki
4
anak
perusahaan
untuk
mendukung kegiatan
operasionalnya,  yang  focus  pada  produk  atau  jasa  pendukung  bisnis  perusahaan
induk,
yaitu
PT. Abacus
Distribution
System,
PT. Aero Wisata,
PT. Garuda
Maintenance Facility Aero Asia, dan PT. Aero Systems Indonesia.
Visi dari Garuda Indonesia adalah:
“Menjadi perusahaan penerbangan yang handal dengan menawarkan
layanan yang
berkualitas
kepada
masyarakat
dunia
menggunakan
keramahan Indonesia.”
Sedangkan misi Garuda Indonesia adalah:
“sebagai perusahaan penerbangan pembawa bendera bangsa
(flag
carrier)  Indonesia  yang  mempromosikan  Indonesia  kepada  dunia
guna menunjang pembangunan ekonomi nasional dengan memberikan
pelayan yang professional.”
Selain itu, Garuda Indonesia juga memiliki nilai perusahaan, yakni:
“Tata nilai perusahaan yang disebut sebagai ‘Fly-Hi’ terdiri dari:
  
34
Efficient & effective, loyalty, customer centricity, honesty & openness,
dan integrity,”
Garuda Indonesia juga memiliki tujuan perusahaan, yaitu:
“Untuk mencapai
visi
perusahaan
maka
tujuan
perusahaan
adalah
menjadi
maskapai
penerbangan
terkemuka dengan reputasi
yang
sejajar
dengan maskapai
kelas
dunia
lainnya.
Sedangkan
sasaran
perusahaan  yang  hendak  dicapai  adalah  menciptakan  perusahaan
yang terus tumbuh
dan berkembang
dengan keuntungan
berkelanjutan.”
Dalam  mewujudkan  sasaran-sasaran  strategi  pertumbuhan  Quantum Leap
2015,
Garuda
Indonesia
telah
mendapatkan
beberapa
pencapaian
penting
di
tahun
2010, yaitu:
-
Memperoleh pengakuan sebagai 4-Star Airline dan penghargaan The Worlds
Most Improved Airline dari Skytrex serta Airline Turnaround of the Year dari
Center of Asia Pasific Aviation (CAPA).
-
Memperoleh perpanjangan sertifikasi IOSA (IATA Oparational Safety Audit)
sampai
tahun
2012 dan
menerapkan
Integrated Operational
Control System
(IOCS)
yang mengintegrasikan sistem
guna
memonitor
pergerakan
pesawat,
jadwal penerbangan, dan juga pergerakan anak pesawat.
-
Menandatangani perjanjian untuk
bergabung dengan
aliansi
global
SkyTeam
dimana Garuda
Indonesia
diwajibkan
untuk
memenuhi
persyaratan
dari
SkyTeam dan pada tahun 2012, akan menjadi anggota penuh.
  
35
-
Dengan
mengeluarkan
seragam
baru
bagi
awak
kabin
dan frontliners
yang
menciptakan citra dengan
menampilkan desain batik khas Indonesia, Garuda
Indonesia menyempurkan konsep layanan Garuda Indonesia Experience.
-
Telah menyelesaikan restrukturisasi hutang dengan seluruh kreditur termasuk
Europian Export Credit Agency (ECA).
-
Telah 
melakukan  persiapan  akhir 
untuk  go public dan  siap  melakukan
penawaran
umum perdana saham di
Bursa Efek
Indonesia pada awal
tahun
2011.
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Factors Influencing Mode Selections of Low-cost
Carriers and a Full-service Airline in Thailand (Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Low-cost Carriers dan
Full Service Airline di Thailand)
Dalam
jurnal
Thanasupsin,
Chaichana,
&
Pliankarom
(2010)
yang
berjudul
Factors
Influencing Mode Selections of Low-cost Carriers and a Full-service Airline in Thailand atau
“Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan
Low-cost
Carriers
dan
Full Service Airline
di
Thailand,”
disebutkan
ada
beberapa
penelitian lain
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keputusan
konsumen dalam membeli
tiket maskapai
low fare airlines atau full
service airline, yaitu sebagai berikut:
  
36
1.   Pada penelitian Mason (2001), para pebisnis yang melakukan perjalanan jarak
pendek
sangat
sensitive
mengenai
harga
tiket
pesawat
yang
harus
dibayar.
Para pebisnis
yang menggunakan
low
fare
airlines
sangat
mengacu
pada
seberapa besarnya perusahaan tempat mereka bekerja, proses pemesanan tiket,
saluran 
untuk 
memesan  tiket, 
harga, 
layanan  di  dalam  pesawat,  skema
frequent flyer, dan business lounges.
2.   Pada penelitian lain di Afrika oleh Fourie dan Lubbe (2006), disebutkan ada
beberapa
faktor yang
mempengaruhi
para business
traveler
dalam
pemilihan
FSA dan
LFA. Di antaranya adalah program
frequent
flyer,
jadwal/jumlah
penerbangan, makanan dan
minuman dalam pesawat,
fasilitas airport lounge,
adanya pilihan tempat
duduk
business
class,
dan
pilihan pre-seating.
Hal
tersebut 
menunjukkan 
bahwa 
harga 
bukanlah 
factor 
penting  dalam
menentukan FSA atau LFA.
3.   AirAsia (2006) melakukan survey terhadap konsumen mengenai penerbangan
jarak
pendek.
Hasil
survey tersebut
mengungkapkan
bahwa
yang
menjadi
perhatian
konsumen
dalam
memilih maskapai
penerbangan
adalah
harga,
jumlah
dan  rute
penerbangan,  dan  waktu  perjalanan,  bukan  poin  frequent
flyer, makanan, ataupun kemudahan pemesanan.
4.   Pada  penelitian  O’  Connell  and  Williams  (2005)  juga  telah  mempelajari
persepsi penumpang FSA dan
LFA yang
melibatkan
Ryan Air, Aer Lingus,
AirAsia,   dan   Malaysia   Airlines.   Dilaporkan   bahwa   penumpang   yang
bepergian
dengan
maskapai
yang menggunakan
model FSA
memperhatikan
kelebihan, kualitas, jadwal penerbangan, koneksi, program frequent flyer, dan
  
37
kenyamanan, sedangkan
konsumen
yang
menggunakan LFA
focus
terhadap
harga.
Pada penelitian
Thanasupsin,
Chaichana,
&
Pliankarom (2010)
sendiri
menyimpulkan bahwa
alasan
pemilihan
model
maskapai
udara pada
masyarakat
Thailand adalah:
1) 
harga,
2) 
keamanan,
3) 
kenyamanan,
4) 
pelayanan,
5) 
saluran distribusi pembelian tiket, dan
6) 
ketepatan waktu.
Disebutkan
pula,
bahwa
faktor yang
paling
mempengaruhi
penumpang
FSA
dalam
memilih
tiket adalah ketepatan waktu, dimana itu merupakan kelemahan dari
LFA.  Sedangkan  faktor  yang  paling  mempengaruhi  keputusan  penumpang  LFA
adalah
harga,
dimana
harga
yang merupakan kekuatan
dari
LFA. Dikatakan
pula,
apabila
LFA dalam
melakukan
ketepatan
waktu
dalam
penerbangan
dengan
level
yang
sama
dengan
LFA,
maka
konsumen
akan
ada
kenaikkan
penumpang
sekitar
40%.
  
38
2.2.2 How do Consumers Value Airline Services Attributes? A
Stated Preferences
Discrete
Choice
Model
Approach
(Bagaimanakah Konsumen Menilai
Atribut
Layanan
Sebuah Maskapai Penerbangan?)
Dalam
jurnal
Pereira,
Almeida,
Menezes,
dan
Vieira
(2007)
yang
berjudul
How do Consumers Value Airline Serivces Attributes? A Stated Preferences Discrete
Choice Model Approach atau
“Bagaimanakah
Konsumen Menilai
Atribut
Layanan
Sebuah
Maskapai
Penerbangan?” telah
diadakan
penelitian
factor-faktor
yang
mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli tiket maskapai penerbangan.
Penelitian  tersebut  dilakukan  pada  calon  penumpang 
maskapai  penerbangan  di
bandara
Funchal,
Portugis
kepada 325
orang
calon
penumpang.
Atribut
yang
digunakan
untuk
mengukur
factor-faktor
yang mempengaruhi
keputusan pembelian
tiket
tersebut
adalah
harga,
penalty pada
perubahan
tiket,
ketepatan
waktu,
kenyamanan, dan frekuensi penerbangan.
Atribut
yang digunakan
pada
variabel-variabel
dalam
penelitian
ini
adalah
sebagai berikut:
1) 
harga,
2) 
penalty untuk perubahan tiket,
3) 
makanan,
4) 
kenyamanan: ruang kaki di antara kursi (leg-room),
5) 
frekuensi penerbangan: 2, 4, dan 6 kali penerbangan per hari,
  
39
6) 
reliability (jaminan ketepatan waktu): ada atau tidaknya kompensasi untuk
keterlambatan, ada atau tidaknya tiket gratis untuk perjalanan yang sama,
dan tiket diganti uang kembali.
Kesimpulan
yang didapatkan
pada
penelitian
ini
bahwa
para
konsumen
di
bandara
Funchal,
Portugis
bersedia membayar
dengan
harga lebih
tinggi
demi
mendapatkan pelayanan dan ketepatan waktu keberangkatan.
2.2.3 Service
Quality, Satisfaction,
and Behavioural
Intention:
A
Study 
of 
Low-cos 
Airline 
Carriers 
in 
Thailand
(Kualitas 
Pelayanan, 
Kepuasan  dan 
Perilaku
Keinginan: Penelitian Low-cost Carriers di Thailand)
Saha
dan
Theingi
(2009)
dalam
jurnalnya
yang berjudul
Service
Quality,
Satisfaction,
and
Behavioural
Intention: A
Study
of
Low-cos
Airline
Carriers
in
Thailand
atau
”Kualitas
Pelayanan,
Kepuasan  dan
Perilaku
Keinginan:  Penelitian
Low-cost
Carriers
di
Thailand”
menuliskan
bahwa kualitas
pelayanan
sangat
berhubungan dengan kepuasan konsumen dan
keuntungan perusahaan.
Dimensi
kualitas
pelayanan
yang tradisional,
yaitu
reliability
(kehandalan),
assurance
(jaminan),
tangibility
(berwujud), empathy (empati), dan
responsiveness
(responsif)
telah dikembangkan pada penelitian ini agar sesuai dalam mengukur kualitas layanan
  
40
dalam
pembahasan low service
airlines dan disimpulkan
menjadi
4
(empat)
faktor
yang luas, yaitu:
1)
tangible
factors
(faktor-faktor
yang berwujud),
seperti
baru/tidaknya
pesawat, tempat duduk, dan air conditioning (AC),
2) flight
schedule
factors
(faktor-faktor
jadwal
penerbangan),
seperti
kenyamanan jadwal
dan ketepatan waktu
keberangkatan dan kedatangan
penerbangan,
3) flight
attendants 
(pramugara/i), 
seperti 
pakaian 
dan 
penampilan,
pengetahuan dalam memberikan pelayanan,
dan keramahan pada
penumpang, dan
4)
ground
staff
(staf
lapangan),
menyangkut
hal-hal
yang digunakan
oleh
pramugara/i.
Keempat faktor tangible factors, flight schedule factors, flight attendants, dan
ground
staff
tersebut
dikatakan akan
mempengaruhi
kepuasan konsumen. Saha dan
Theingi kembali mengukur dimensi kepuasan dengan 3 (tiga) hal, yaitu:
1) 
kepuasan dengan harga,
2) 
kepuasan dengan pelayanan, dan
3) 
kepuasan secara keseluruhan dengan maskapai.
Apabila konsumen mendapatkan kepuasan, maka akan mendorong konsumen
untuk
melakukan
keputusan
pembelian lagi
di
masa
yang
akan
datang.
Sehingga,
dalam penelitian ini disimpulkan bahwa kualitas pelayanan
mempengaruhi kepuasan
konsumen, dan kepuasan konsumen mempengaruhi keputusan pembelian.
  
41
Hasil yang diungkapkan dalam penelitian ini bahwa variabel jadwal memiliki
pengaruh
positif
yang
paling kuat
dan
memiliki
perbedaan
yang
signifikan
dibandingkan
variabel
lainnya
terhadap
kepuasan
penumpang dan
juga
terhadap
keputusan pembelian.
2.2.4
Service
Quality
and Satisfaction for
Low
Cost
Carriers
(Kualitas Pelayanan
dan
Kepuasan
untuk
Low
Cost
Carriers)
Ariffin, et al (2010) menuliskan dalam jurnal Service Quality and Satisfaction
for
Low
Cost
Carriers
atau ”Kualitas
Pelayanan
dan
Kepuasan
untuk
Low
Cost
Carriers”
bahwa
sebagian
besar
penumpang
melihat
suatu
maskapai
penerbangan
dari kualitas
pelayanannya
sebagai variabel multi-dimensi,
yang terdiri dari
kehandalan (reability),
jaminan (assurance),
berwujud/nyata
(tangibles),
empati
empathy), dan responsif (responsiveness).
Dimensi
yang digunakan
untuk
mengukur kualitas
pelayanan
Ariffin,
et
al
adalah:
1) 
Caring (kepedulian) dan tangible (berwujud)
-
Tingkat
pengetahuan
karyawan
dalam
menanggapi
pertanyaan-
pertanyaan penumpang
-
Kenyamanan dari kursi maskapai
-
Tingkat komunikasi dalam situasi yang tidak biasa
  
42
-
Keramahan karyawan
-
Fleksibilitas dari tiket yang dibeli
-
Profesionalisme dalam menangani bagasi
-
Tingkat kepercayaan yang ditransmisikan ke penumpang
-
Penampilan karyawan secara keseluruhan
-
Perilaku para wisatawan lainnya
2) 
Reliability (kehandalan)
-
Keterlambatan kedatangan pesawat
-
Penundaan waktu keberangkatan
-
Waktu menunggu untuk klaim bagasi
-
Antrian penumpang hingga duduk di pesawat
3) 
Responsiveness (responsif)
-
Pemesanan tiket melalui call center
-
Pemesanan tiket di konter tiket
-
Pemesanan tiket melalui situs web
-
Respon awak kabin terhadap permintaan penumpang
4) 
Affordability (keterjangkauan)
-
Harga tiket
5) 
Visual Attractiveness (daya tarik visual)
-
Material yang
menunjang daya tarik
visual (desain exterior dan
interior, desain tempat duduk, konter tiket, dll.
  
43
Penelitian
ini
mengungkapkan
bahwa
caring
dan
tangible,
reliability, dan
responsiveness
merupakan
faktor
yang paling
penting
yang dapat
membantu
mendapatkan kepuasan penumpang. Walaupun maskapai penerbangan dengan konsep
Low Fare Airlines harus fokus pada atribut yang menciptakan keunggulan kompetitif
seperti
harga,
perusahaan
maskapai penerbangan
juga harus
memperhatikan
faktor-
faktor lainnya.
2.2.5 How
Much
Airline
Customers
are
Willing
to
Pay:
An
Analysis
of
Price
Sensitivity
in Online
Distribution
Channels
(Seberapa
besar konsumen
maskapai
penerbangan
ingin
membayar: analisis
sensitivitas
harga pada saluran distribusi secara online)
Dalam
jurnal
Garrow,
Jones, dan
Parker
(2006)
yang berjudul
How
Much
Airline Customers
are
Willing to Pay: An
Analysis
of
Price Sensitivity
in
Online
Distribution Channels atau
”Seberapa besar konsumen maskapai penerbangan
ingin
membayar:
analisis
sensitivitas
harga pada
saluran
distribusi
secara
online,”
mengatakan
bahwa pada
penelitian
tersebut
memfokuskan
pada
pemahaman
akan
kesediaan para wisatawan yang akan bepergian untuk membayar jasa pesawat terbang
dan kesediaan
mereka untuk
membayar beberapa
layanan tertentu di pasar Amerika
Serikat.
  
44
Pada
penelitian
ini,
ada
beberapa
hal
yang digunakan
untuk
meneliti
faktor
yang mempengaruhi keinginan konsumen untuk membayar, yaitu:
1) 
Harga: ketika harga mengalami penurunan
2) 
Pelayanan: 
penerbangan 
non-stop 
vs 
connecting 
flight 
(penerbangan
dengan transit)
3) 
Adanya pilihan jadwal penerbangan (waktu keberangkatan dikatakan lebih
penting dari
waktu
kedatangan,
dan
tidak
disukainya
penundaan
waktu
keberangkatan).
4) 
Perilaku pembelian secara online.
Kesimpulan
yang didapat
pada
penelitian
tersebut
adalah
bahwa
pada
penumpang
yang akan
melakukan perjalanan bisnis
lebih mementingkan
layanan
dibandingkan penumpang yang akan liburan, seperti memilih penerbangan non-stop.
Sedangkan para penumpang yang akan
liburan
melakukan pemesanan secara online
dan lebih sensitif terhadap harga.
2.2.6 Pemahaman
terhadap
Segmentasi
Pelanggan: Suatu
Usaha
untuk
Meningkatkan Efektifitas
Pemasaran Jasa
Penerbangan
Dalam
jurnal
Natalisa
(1999),
dikatakan
bahwa konsumen
dalam
industri
maskapai penerbangan
dibagi menjadi 3 (tiga)
segmen,
yaitu konsumen
yang
mengadakan perjalanan bisnis, perjalanan wisata, dan yang mengunjungi teman dan
  
45
kenalan. Hasil
dari
penelitian
tersebut
menunjukkan
bahwa tingkat
kepuasan
dan
ketidakpuasan konsumen
maskapai
penerbangan domestik tidak dibedakan oleh
variabel harga, tetapi dibedakan oleh variabel:
1) 
Persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan,
2) 
Kesesuaian antara kualitas layanan dengan promosi, dan
3) 
Faktor situasi (on time performance).
Temuan  lain  yang  diperoleh  pada  penelitian  tersebut  yang  menggunakan
obyek
penelitian
dari
ketiga segmen konsumen
(bisnis, wisatawan,
dan kunjungan
teman dan kenalan) menunjukkan bahwa:
1) 
Variabel persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan merupakan variabel
yang paling signifikan yang mempengaruhi kepuasan konsumen.
2) 
Variabel
situasi
(on
time
performance)
merupakan
variabel
yang
mempengaruhi kepuasan pada segmen perjalanan bisnis.
3) 
Variabel harga tidak terbukti sebagai
variabel yang
mempengaruhi kepuasan
konsumen pada segmen wisatawan dan kunjungan teman dan kenalan.
2.3 Konsep Penelitian
Dari keenam jurnal yang telah dijelaskan sebelumnya, terlihat dimensi
yang
paling banyak digunakan
untuk
mengukur keputusan pembelian
tiket dalam
model
bisnis full service airlines dan low fare airlines adalah harga,dan kualitas pelayanan
seperti pada tabel 2.1. Dimensi harga dan kualitas pelayanan juga merupakan dimensi
yang
paling
banyak
digunakan juga
berpengaruh
paling signifikan pada
keputusan
  
46
pembelian tiket dalam
model bisnis full
service airlines dan low fare airlines. Dan
jika dikaitkan
dengan kondisi keselamatan
dan keamanan maskapai penerbangan di
Indonesia
yang masih
sangat
mengkhawatirkan,
maka
selain
harga dan
kualitas
pelayanan,
dalam penelitian ini
penulis menambahkan dimensi
keamanan untuk
mengukur sejauh mana pengaruhnya dalam keputusan pembelian tiket.
Tabel 2.2
Dimensi yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian Tiekt dalam Model Bisnis Full
Service Airlines dan Low Fare Airlines
Dimensi
Jurnal
1
Jurnal
2
Jurnal
3
Jurnal
4
Jurnal
5
Jurnal
6
Harga
v
V
V
v
v
v
Keamanan
v
Kualitas Pelayanan
v
v
V
v
v
v
Sumber: Hasil pengolahan penulis (2011)
Keterangan:
Jurnal  1 :   Factors
Influencing
Mode Selections
of
Low-cost
Carriers
and
a
Full-
service Airline in Thailand
Jurnal 2  :   How  do  Consumers  Value  Airline  Serivce Attributes?  Stated
Preferences Discrete Choice Model Approach
  
47
Jurnal 3  : Service Quality, Satisfaction, and Behavioural Intention: A Study of Low-
cos Airline Carriers in Thailand
Jurnal 4  : Service Quality and Satisfaction for Low Cost Carriers
Jurnal 5  : How
Much Airline Customers are Willing to
Pay: An Analysis of Price
Sensitivity in Online Distribution Channels
Jurnal 6  :   Pemahaman   terhadap   Segmentasi   Pelanggan:   Suatu   Usaha   untuk
Meningkatkan Efektifitas Pemasaran Jasa Penerbangan.
2.3.1 Harga
Dalam penelitian
Dinawan (2010),
menurut sudut pandang konsumen,
harga
adalah sesuatu yang diberikan atau dikorbankan untuk memperoleh suatu (Zeithaml,
1998).
Sedangkan
menurut
Ferdinand
(2000),
harga
merupakan
salah satu
variabel
penting
dalam
pemasaran,
di
mana
harga
dapat
mempengaruhi
konsumen
dalam
mengambil keputusan untuk membeli suatu prosuk karena
alasan-alasan tertentu.
Harga 
yang 
rendah 
atau 
harga 
yang 
kompetitif 
adalah  alasan 
ekonomis  dari
konsumen,
tetapi
harga juga
dapat
dijadikan
indikator kulaitis
jika dilihat
dari
sisi
alasan
psikologis.
Oleh
karena
itu,
harga
dirancang sebagai
salah
satu
instrumen
penjualan sekaligus sebagai kompetisi yang menentukan.
Sedangkan
menurut
Stanton
(1994), harga diartikan sebagai
sejumlah
nilai
uang ditukarkan konsumen dengan manfaat dari memiliki atau menggunakan produk
atau
jasa
yang ditetapkan
oleh
pembeli
atau
penjual
untuk
satu
harga
yang sama
terhadap  semua  pembeli. 
Disebutkan  pula  bahwa 
harga  adalah  sejumlah 
uang
  
48
(ditambah dengan produk jika memungkinkan) yang dibutuhkan untuk mendapatkan
sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanan (dalam Dinawan, 2010).
Harga  merupakan  indikator  seberapa  besar  pengorbanan  yang  diperlukan
untuk membeli suatu produk sekaligus dijadikan sebagai indikator. Harga dari sudut
pandang konsumen
seringkali digunakan sebagai indikator value jika
harga tersebut
dihubungkan
dengan
manfaat
yang dirasakan
atas
suatu
barang dan
jasa.
Value
didefinisikan sebagai
manfaat yang dirasakan terhadap
harga
(Zeithaml, 1988 dalam
Dinawan, 2010).
Harga
mahal,
murah,
ataupun
standar
dari kesan konsumen akan
mempengaruhi
kepuasan
dan
aktifitas pembelian selanjutnya.
Kesan
inilah
yang
menciptakan nilai persepsi konsumen terhadap suatu barang. Jika konsumen kecewa
setelah
membeli
produk
atau jasa,
maka kemungkinan selanjutnya konsumen tidak
akan membeli produk atau jasa tersebut, sehingga dapat beralih ke kompetitor. Kesan
konsumen terhadap harga dipengaruhi oleh harga produk atau jasa lain yang dijadikan
referensi
(reference price).
Reference price
merupakan
apapun bentuk
harga
yang
dapat dijadikan
konsumen sebagai
dasar
perbandingan
untuk
menilai
harga
barang
lain (Shiffman dan Kanuk, 2000 dalam Dinawan, 2010).
Dinawan
(2010)
menyebutkan,
Dharmmestha
(1999) menjelaskan
bahwa
konsumen  akan  menjadi  loyal  pada  merek  berkualitas,  bergengsi,  dan  eksklusif
apabila ditawarkan dengan harga yang wajar. Namun ada pula konsumen yang loyal
terhadapt produk atau jasa dengan harga yang murah. Namun, setelah ada merek lain
dengan harga yang lebih murah, konsumen akan beralih ke merek tersebut.
  
49
Harga
juga
merupakan
seberapa
besar
pengorbanan  (sacrifice)
yang
diperlukan
untuk
membeli
suatu
produk
dan
dijadikan
sebagai
indikator kualitas
(Monroe,
1990
dalam
Dinawan
2010).
Penelitian
Rao
dan
Monroe
(1989) dalam
Dinawan   (2010)   menyebutkan   bahwa   konsumen   memiliki   anggapan   adanya
hubungan yang positif antara harga dan kualitas
suatu produk,
makan
mereka akan
membandingkan antara produk yang satu dengan yang lainnya, kemudian konsumen
akan mengambil keputusan untuk membeli suatu produk.
2.3.2 Kualitas Pelayanan
2.3.2.1 Pelayanan
Kusumah (2011) menuliskan
dalam
penelitiannya,
menurut
Kotler (2005),
pelayanan adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak lain
dan pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
Natalisa
(2005)
menjelaskan
bahwa pelayanan
terhadap
pelanggan
yang
dilakukan suatu maskapai penerbangan  bertujuan untuk memuaskan konsumen pada
saat
melakukan
perjalanan.
Pelayanan
yang baik maka
akan
menjadikan konsumen
merasa
puas,
sehingga
akan
timbul
loyalitas
yang
tinggi,
dan
kemungkinan
besar
akan menarik konsumen lain yang potensial, yang akan meningkatkan penjualan atau
market share. Kemudian Natalisa (2005) membagi pelayanan maskapai penerbangan
berdasarkan jenisnya:
  
50
  
Pelayanan di tempat penjualan (point-of-sale service)
Pelayanan di tempat penjualan tiket memiliki peranan yang cukup penting
karena penumpang tidak
membeli
barang dan
jasa
yang dapat
disentuh
intangible product),
tetapi
membeli
tiket
dengan
berharap
untuk
mendapatkan
kepuasan.
Perencanaan
pada tempat
penjualan
tiket
diperlukan tiga kebijakan yang berbeda, yaitu:
i.
Tersedianya 
fasilitas 
bagi 
penumpang 
yang 
melakukan 
transaksi
langsung dengan maskapai penerbangan.
ii. 
Maskapai penerbangan
berjadwal
menjual sebagaian tiketnya
melalui
maskapai   lain.   Kondisi   ini   dapat   terjadi   ketika   penumpang
membeli sebuah tiket
untuk perjalanan multi sektor
yang
melibatkan lebih dari satu maskapai penerbangan.
iii. Maskapai   penerbangan   harus  
memberikan   kesempatan   kepada
penumpang untuk
melakukan
transaksi
dengan
agen
perjalanan
(travel
agent.
Setiap
maskapai
penerbangan
harus memberikan
pembinaaan
kepada staf
agen
perjalanan dan
memastikan
bahwa
agen perjalanan mendapatkan informasi
yang tepat
dan akurat
mengenai  produk  yang  ditawarkan  oleh  maskapai  penerbangan
yang bersangkutan.
  
51
  
Pelayanan di bandara
Pelayanan di bandara merupakan pelayanan sebelum keberangkatan pada
check-in
counter
dan
ruang
tunggu,
juga
pada saat
kedatangan
pada
transfer-desk dan tempat penyerahan bagasi.
i.  
Pelayanan check-in
Pada umumnya,
penumpang
menginginkan
penanganan
check-in
yang
cepat,
ramah, sopan,
dan
efisien dalam
penempatan
tempat
duduk, penanganan transfer, dan penanganan bagasi. Maskapai
penerbangan menyediakan beberapa
check-in counter dengan
mengelompokkan penumpang pada
tempat
yang terpisah dengan
tujuan untuk
memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada
penumpang. Penumpang kelas utama dan bisnis diberikan check-in
counter
yang terpisah
dari
penumpang kelas
ekonomi.
Untuk
beberapa kota besar, maskapai
penerbangan
bahkan
memberikan
kemudahan dengan
menyediakan city check-in. Penumpang dapat
melaporkan keberangkatannya dari kota tanpa
harus mengantri di
bandara
dengan
fasilitas
ini.
Garuda
Indonesia dan
Merpati
merupakan  maskapai  domestik  yang  menawarkan  city check-in
pada konsumennya.
ii. 
Transfer penumpang dan bagasi
Untuk
melakukan
transfer
penumpang dan
bagasi
yang akan
melanjutkan
perjalanannya
diperlukan
ketepatan,
kecepatan, dan
ketelitian.
  
52
iii.
Ruang tunggu
Maskapai
penerbangan
masing-masing menawarkan
kelebihan
fasilitas 
ruang  tunggu 
yang  dimilikinya, 
terutama 
untuk
penumpang kelas bisnis
dan
utama,
seperti
menyediakan
interior
ruang tunggu
yang nyaman,
makanan, serta
minuman cuma-cuma
yang istimewa, pelayanan superior, dan fasilitas yang lengkap.
iv.
Penyerahan bagasi
Setiap maskapai penerbangan harus memastikan agar bagasi segera
dapat diterima ketika penumpang tiba di tempat tujuan.
  
Pelayanan di udara (inflight service)
Inflight
service
juga
merupakan
produk
maskapai
yang sangat penting.
Komponen utama dalam inflight service, yaitu:
i.
Menu makanan dan minuman (meals and drinks)
Menu
makanan
dan
minuman
setidaknya
harus
diperhatikan cara
penyajian makanan,
rasa, jenis
makanan,
dan
kualitasnya
secara
keseluruhan. Rasa, kualitas, dan variasi untuk minuman juga harus
diperhatikan.
ii. 
Hiburan pada saat penerbangan (inflight entertainment)
Biasanya, hiburan
yang disediakan di pesawat
adalah musik dan
video.  Hiburan  ini  sangat  penting  terutama  untuk  penerbangan
jarak jauh.
  
53
iii.
Awak kabin
Awak kabin sangat penting dalam sebuah penerbangan, baik untuk
pelayanan
selama
penerbangan
maupun untuk
keselamatan
penerbangan. Jumlah awak kabin harus disesuaikan dengan jumlah
penumpang
yang ada,
agar
mereka
dapat
membantu
penumpang
dalam
keadaan
darurat.
Awak
kabin
diharuskan
ramah, efisien,
bersikap   penolong,   dan   mampu   berkomunikasi   dengan   baik
dengan penumpang.
iv.
Interior pesawat
Interior pesawat
seperti
keadaan
kabin
dan
tempat
duduk,
kebersihan
di
dalam
pesawat,
dan
kebersihan
kamar kecil
juga
merupakan
hal-hal
yang
harus diperhatikan
pada
setiap
maskapai
penerbangan.
v.   Barang cetakan dan gift away
Membagikan  barang  cetakan  secara  cuma-cuma,  baik  majalah,
surat
kabar,
atau
barang
cetakan
lainnya
yang memuat
informasi
tentang perusahaan untuk memenuhi harapan konsumen.
2.3.2.2 Konsep Kualitas Pelayanan
  
54
Kualitas pelayanan merupakan
sikap
yang berhubungan
dengan keunggulan
suatu   jasa   pelayanan   atau   pertimbangan   konsumen   tentang   kelebihan   suatu
perusahaan (Parasuraman, et al, 1985 dalam Kusumah, 2011).
Parasuman,
Zeithmal,
dan
Berry (1985)
dalam
Kusumah
(2011)
mengembangkan pendekatan kualitas yang banyak dijadikan acuan dalam penelitian,
salah satunya adalah model SERVQUAL (Service Quality).
Disebutkan pula bahwa
SERVQUAL dibangun atas dua
faktor,
yaitu persepsi pelanggan atas
layanan
nyata
mereka
terima
dengan
layanan
yang sesungguhnya
diharapkan
atau
diinginkan.
Service Quality didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan
harapan pelanggan atas layanan yang mereka peroleh.
Dalam kualitas pelayanan, dibagi beberapa dimensi
menurut Zeithaml,
Bery,
dan Parasuraman dalam Kusumah (2011), yaitu:
1.   Bentuk fisik yang berwujud (tangibles)
Merupakan
kondisi
fisik
yang ada
dalam
memberikan
pelayanan
meliputi
fasilitas
fisik,
perlengkapan,
pegawai,
dan
sarana komunikasi.
Dimensi
ini
biasanya
digunakan
oleh
perusahaan
untuk
menaikkan image di
mata
konsumen.
2.   Kehandalan (reliabilty)
Merupakan 
kemampuan 
memberikan 
kinerja 
pelayanan 
yang 
dijanjikan
dengan handal dan akurat.
3.   Daya tanggap (responsiveness)
Merupakan keinginan para staf untuk
membantu pelanggan dan
memberikan
pelayanan yang cepat dan cepat.
  
55
4.   Jaminan (assurance)
Mencakup 
pengetahuan, 
kemampuan, 
kesopanan, 
dan 
sifat 
yang 
dapat
dipercaya dari para staf untuk membangun kepercayaan pelanggan.
5.   Empati (emphaty)
Merupakan perhatian secara individu yang diberikan oleh penyedia jasa agar
pelanggan merasa penting, dihargai dan dimengerti oleh perusahaan.
Dalam
jurnal Saha dan
Theingi
(2009), kelima
dimensi
tradisional
tersebut
(tangibles,
reliability,
responsiveness,
assurance,
dan
emphaty) disesuaikan
untuk
mengukur  kualitas  pelayanan 
dalam 
konteks 
maskapai 
penerbangan, 
dan
menghasilkan 4 (empat) dimensi kualitas pelayanan, yaitu:
1.   Tangible factors (faktor bentuk
fisik yang berwujud), seperti:
pesawat baru,
kenyamanan tempat duduk, dan alat pendingin (AC).
2.   Faktor   jadwal   penerbangan,   seperti:   kenyamanan   jadwal   penerbangan,
ketepatan waktu keberangkatan dan waktu tiba.
3.   Awak
kabin,
seperti:
pakaian
dan
penampilan,
pengetahuan
dalam
memberikan pelayanan, dan keramahan pada penumpang.
4.   Ground staff (staff bandara), seperti: melayani penumpang di bandara sampai
masuk ke dalam pesawat.
2.3.2.3
Hubungan
Kualitas
Pelayanan
dengan
Keputusan
Pembelian
  
56
Ada  tiga 
hal  penting  yang  harus  diperhatikan  dalam  kualitas  pelayanan
(Parasuraman, et al, 1985) dalam Kusumah (2011), yaitu:
1.   Dibandingkan
kualitas
barang,
kualitas pelayanan
lebih
sulit
dievaluasi
oleh pelanggan.
2.   Persepsi kualitas pelayanan dihasilkan dari perbandingan antara kepuasan
pelanggan dengan pelayanan yang diberikan secara nyata.
3.   Selain
diperoleh
dari
hasil
akhir
sebuah
layanan,
evalusi
kualitas
juga
mengikutsertakan evaluasi dari proses layanan tersebut.
Kusumah  (2011) 
juga 
menyebutkan 
menurut 
Brady  dan 
Cronin  dalam
Remiasa
dan
Lukman
(2007),
persepsi
pelanggan
terhadap
kualitas
layanan
terdiri
dari tiga kualitas, yaitu kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik dan kualitas hasil.
Ketiga kualitas ini membentuk pada keseluruhan persepsi pelanggan terhadap kualitas
layanan.
Dalam  merumuskan  strategi  dan  program  pelayanan,  setiap  pelaku  usaha
harus mengutamakan kepentingan pelanggan dan juga harus memperhatikan dimensi
kualitasnya.   Agar   pelanggan   tidak   mengurungkan   niatnya   ketika   melakukan
keputusan pembelian.
2.3.3 Keamanan
Kata ‘keamanan’ merupakan bentuk
kata benda
dari kata sifat
‘aman’
yang
berasal dari kata ‘security yang berarti bebas dari bahaya (Wojowasito, dkk, 2004).
Dimensi ini diwujudkan oleh konsumen dalam bentuk perasaan yang bebas akan rasa
  
57
bahaya,
resiko
yang dihadapi,
dan
keragu-raguan
dalam
melakukan
transaksi
yang
berhubungan dengan
atau melalui
perusahaan.
Keamaan didefinisikan oleh Crie
(2001) sebagai suatu
upaya
untuk memberikan perlindungan terhadap aset-aset agar
tidak   terjadi   atau   terhindar   dari   kerugian   atau   kehilangan   (Nugroho,   2006).
Sedangkan Sudjono (2009) menyebutkan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun
2009
tentang Penerbangan dijelaskan definisi keamanan
penerbangan adalah
suatu
keadaan
yang memberikan
perlindungan
kepada
penerbangan
dari
tindakan
melawan
hokum
melalui
keterpaduan
pemanfaatan
sumber daya
manusia,
fasilitas,
dan prosedur.
Menurut 
Rhoades 
Waguespack 
(1999), 
ada  4 
(empat) 
faktor 
yang
mempengaruhi keamanan operasi maskapai penerbangan, yaitu:
1) 
Stabilitas keuangan,
2) 
Kualitas perawatan pesawat,
3) 
Sikap manajemen, dan
4) 
Kemampuan pilot.
Jenis peristiwa yang terkait dengan keamanan, yaitu:
1) Kecelakaan,
merupakan
kejadian
yang
terkait
dengan
pengoperasian
pesawat
udara di
mana
setiap
orang mengalami
kematian
atau
cedera
serius.
2) Insiden,
merupakan
kejadian
selain
kecelakaan
yang
mempengaruhi
keselamatan operasi.
Contoh:
malfungsi
mekasik,
pemogokan burhu,
kebakaran atau asap di kabin, dll.
  
58
3) 
Tabrakan udara, merupakan peristiwa tabrakan yang
mungkin terjadi saat
ketinggian pesawat kurang dari 500 kaki.
4) 
Penyimpangan  yang  dilakukan  pilot,  merupakan  tindakan  pelanggaran
yang dilakukan pilot yang melewati batas wilayah udara yang ditentukan.
Contoh:
penyimpangan
ketinggian
udara,
operasi
yang dilakukan
tanpa
hati-hati, dll.
Semakin rendah jumlah peristiwa yang terkait dengan keamanan terjadi, maka
semakin baik pula suatu maskapai penerbangan.
2.3.4 Keputusan Pembelian Tiket
2.3.4.1 Keputusan Pembelian
Menurut  Setiadi  (2003), 
keputusan 
pembelian  merupakan 
keputusan
konsumen
mengenai
apa
yang dibeli,
membeli
atau
tidak,
kapan,
dimana,
dan
bagaiman cara membayarnya. Proses pembelian meliputi:
1.
Tahap
pra
pembelian,
dimana
perilaku
yang terjadi
meliputi
mencari
infornasi dan mengambil dana.
2.
Tahap
pembelian,
dimana perilaku konsumen
meliputi
tindakan
yang
berhubungan dengan toko,
mencari produk atau jasa, dan melakukan
transaksi.
Sedangkan menurut Howard dan Shay (1998) dalam Dinawan (2010), proses
membeli (buying intention) seorang konsumen melalui lima tahapan, yaitu:
1.   Pemenuhan kebutuhan (need).
  
59
2.   Pemahaman kebutuhan (recognition).
3.   Proses mencari barang (search).
4.   Proses evaluasi (evaluation).
5.   Pengambilan keputusan pembelian (decision).
Yang mendasari proses pembelian
adalah
informasi
mengenai suatu
produk
yang
juga
memunculkan suatu kebutuhan.
Konsumen
akan
mempertimbangkan
dan
memahami  kebutuhan  tersebut,  jika  penilaian  sudah  jelas,  maka  konsumen  akan
mulai mencari produk yang dibutuhkan tersebut
untuk dievaluasi dan pada akhirnya
akan terciptalah suatu pengambilan keputusan untuk membeli ataupun tidak membeli
sesuai dengan pertimbangan konsumen.
Dalam
Dinawan
(2010)
ada
dua
model
proses
pembelian
yang dilakukan
konsumen menurut Swasta (1990), yaitu:
1. 
Model
phenomenologis,
yaitu
model
perilaku
konsumen
yang berusaha
melibatkan perasaan mental dan emosional yang dialami konsumen dalam
memecahkan masalaha pembelian.
2. Mode 
logis, 
yaitu 
model 
perilaku 
konsumen 
yang 
berusaha
menggambarkan
struktur
dan
tahap-tahap
keputusan
yang diambil
konsumen mengenai:
a.   Jenis, bentuk, modal, dan jumlah yang akan dibeli.
b.   Tempat dan saat pembelian.
c.   Harga dan cara pembayaran.
Boyd
et
al
(2000) dalam
Dinawan
(2010)
menjelaskan, setelah
konsumen
mengumpulkan  
dan  
mendapatkan  
informasi   suatu  
produk,   konsumen  
akan
  
60
menggunakan informasi tersebut untuk mengevaluasi karakteristik produk, pelayanan
yang diberikan,
harga, kenyamanan, personil, dan
fisiknya. Konsumen biasaya akan
memilih yang memperlihatkan ciri yang paling penting bagi konsumen.
Dalam Dinawan (2010) menyebutkan pendapat Koeswara (1995) bahwa suatu
pembelian tidak langsung terjadi, tetapi dengan mengetahui, mengenal, dan kemudian
memiliki produk tersebut. Ada lima tahap dalam proses pembelian, yaitu:
1.   Mengetahui masalahnya (Recognation of problem)
2.   Mencari informasi (Search of information)
3.   Mengevaluasi setiap alternatif (Evaluation of alternative)
4.   Memilih salah satu alternatif (Choice)
5.   Menentukan hasil pilihan (Outcome)
Keputusan
atau
niat
untuk
membeli
merupakan
sesuatu
yang berhubungan
dengan
sencara
konsumen
untuk
membeli
produk tertentu
dan
juga berapa banyak
unit   yang   dibutuhkan   untuk   periode   tertentu.   Setiadi   (2003)   mendefinisikan
keputusan
pembelian
sebagai
pernyataan
mental
konsumen
yang merefleksikan
rencana pembelian
sejumlah
produk
dengan
merek
tertentu.
Pengetahuan
akan
keputusan pembelian sangat
diperlukan para
pemasar untuk
mengetahui niat
konsumen terhadap suatu produk maupun untuk memprediksikan perilaku konsumen
di
masa mendatang.
Keputusan
atau
niat
untuk
membeli
terbentuk
dari
sikap
konsumen terhadap produk keyakinan konsumen terhadap kualitas produk, sehingga
akan membatalkan keputusan atau niat membeli konsumen.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi
dan
membentuk
perilaku
keputusan
pembelian konsumen menurut Kismono (2001) adalah sebagai berikut:
  
61
-
Faktor
budaya
yang merupakan
penentu
yang paling fundamental
dalam
membentuk
keinginan dalam keputusan
pembelian karena
didasari
oleh
suatu persepsi, referensi, dan proses sosialisasi lingkungan.
-
Faktor sosial
yang merupakan faktor yang mempengaruhi teman, keluarga,
dan peranan sosial dalam masyarakat.
-
Faktor
kepribadian
yang perupakan
faktor
karakteristik
pribadi
yang
mempengaruhi tingkah laku.
-
Faktor
psikologis
yang terdiri
atas
motivasi, persepsi,
pembelajaran,
dan
keyakinan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk perilaku proses keputusan
menurut Angel (2001) adalah:
1.
Pengaruh lingkungan yang meliputi:
Budaya
Kelas sosial
Pengaruh pribadi
Sikap
Situasi
2.
Perbedaan individu yang sangat penting meliputi:
Sumber daya konsumen
Motivasi dan keterbatasan
Pengetahuan
Sikap
  
62
Kepribadian, gaya hidup, dan demografi
3.
Proses psikologis dasar, meliputi:
Pengelolaan informasi
Pembelajaran
Perubahan sikap dan perilaku
Suatu perusahaan
harus
mengidentifikasi
konsumen, sasarannya,
dan
proses
keputusan
mereka sebelum
menencanakan
pemasaran.
Program
pemasaran
perlu
dirancang untuk
menarik
dan
mencapai
kunci
keberhasilan
guna
menciptakan
keputusan pembelian konsumen.
2.3.4.2 Tiket
Tiket
merupakan
suatu
dokumen
perjalanan
yang dikeluarkan
oleh
sebuah
lembaga
atau
perusahaan
yang di
dalamnya
berisi
rute,
tanggal,
harga,
dan
data
penumpang
yang digunakan
untuk
melakukan
suatu
perjalanan.
Darsono
(2004)
berpendapat bahwa tiket adalah salah satu dokumen perjalanan yang dikeluarkan oleh
maskapai penerbangan dan merupakan kontrak tertulis dari salah satu pihak, yang di
dalamnya berisikan ketentuan yang harus dipenuhi oleh penumpang selama memakai
jasa penerbangan,
dan data
penerbangan
penumpang yang
mempunya
masa periode
waktu
tertentu.
Tiket
juga dapat diartikan sebagai suatu tanda terima atau kwitansi
  
63
dari
perusahaan
penerbangan
kepada
penumpang
atas
sejumlah
uang
yang
dibayarkan.
Saha dan
Theingi (2009)
mengukur dimensi keputusan pembelian tiket
yaitu
dengan:
1.
Membeli kembali tiket maskapai penerbangan yang sama.
2.
Membeli tiket maskapai penerbangan lain yang sejenis.
2.4
Teori Desain Penelitian
Untuk   membuat   suatu   penelitian,   diperlukan   menyusun   suatu   desain
penelitian sebelumnya.
Malhotra (2004) mendefinisikan
desain
penelitian
(research
design) sebagai kerangka kerja yang digunakan dalam
melakukan sebuah penelitian.
Research design memberikan prosedur yang penting secara detail untuk mendapatkan
informasi
yang dibutuhkan,
sehingga
dapat
menjawab
permasalahan
dari
riset
pemasaran.
Research design
diklasifikasikan menjadi
dua,
yaitu
exploratory dan conclusive
research design.             Menuru Santos dan  Tjipton (2004),  pad tahap  pertama
penelitian
dilakukan secara
exploratory.
Exploratory
research
design
dilakukan
dengan
menelaah
literature yang membahas kasus serupa.
Pada tahap
selanjutnya,
conclusive
research terbagi
menjadi dua, yaitu
data
yang bersifat deskriptif
(descriptive research) dan
causal  research.  Causal  research  bertujuan untuk mendapatkan bukti hubungan sebab-
akibat atau pengaruh dari variable-variabel penelitian.
  
64
Santoso
dan Tjiptono
(2004)
juga
menjelaskan
dalam
bukunya,
bahwa
penelitian
deskriptif
terbagi
menjadi dua
macam,
yaitu
cross-sectional
dan
longitudinal.
Pada
cross-
sectional,
informasi
yang
didapatkan
dari
sampel
tertentu
hanya
dikumpulkan
satu
kali.
Cross-sectional
terbagi
lagi
menjadi
dua macam,
yaitu
single
cross-sectional
dan
multiple
cross-sectional.  Dinamakan single 
cross-sectional  apabila
hanya  ada  satu 
sampel  dari
populasi
target
dan
informasi yang
dikumpulkan
dari
sampel
tersebut
hanya
satu
kali.
Sedangkan
apabila
ada
dua
sampel
atau lebih maka
disebut
multiple
cross-sectional.
Selanjutnya
pada
longitudinal, melibatkan
sampel
tetap
dari elemen populasi yang diukur
berulang kali.
Populasi
diartikan
sebagai
jumlah keseluruhan
semua
anggota yang
diteliti,
sedangkan sampel merupakan bagian yang diambil dari populasi (Istijanto, 2006).
Terdapat dua teknik pengambilan sampel, yaitu probability sampling dan non
probability
sampling.
Probability
sampling
adalah
metode
sampling
yang setiap
anggota
populasinya
memiliki
peluang spesifik dan bukan
nol
untuk dapat terpilih
sebagai
sampel. Sedangkan
non probability sampling,
setiap
unsur dalam
populasi
tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel, bahkan probabilitas
anggota populasi tertentu untuk terpilih tidak diketahui (Santoso dan Tjiptono, 2004).
Kedua
sampling tersebut
memiliki
jenis yang
berbeda. Probability sampling
terdiri
dari
simple random
sampling, stratified
random
sampling,
cluster
sampling,
systematic/quast random sampling, dan multistage sampling (Santoso dan Tjiptono,
2004).  Simple random sampling adalah  ketika  setiap  anggota  populasi  memiliki
kesempatan  yang sama
untuk
dipilih
sebagai
sampel.
Stratified
random
sampling
  
65
digunakan jika pengambilan sampel dilakukan berdasarkan ciri tertentu dari populasi
untuk keperluan penelitian. Pada cluster sampling, unsur-unsur populasi dibagi salam
sub
kelompok,
contohnya dengan
menggunakan
dasar wilayah
administrasi
pemerintahan atau batas alam. Sedangkan dalam systematic/quasi random sampling,
unsur-unsur populasi dipilih dengan jarak
interval yang
sama. Dan pada multistage
sampling, sampel dipilih secara bertahap (berulang kali) sampai pada keadaan dimana
dipandang telah cukup untuk mengambil keputusan.
Santoso
dan
Tjiptono
(2004) juga menyebutkan bahwa jenis-jenis
yang
terdapat pada non probability sampling yaitu quota sampling, convenience sampling,
purposive
sampling,
dan
snowball
sampling. Quota
sampling
merupakan
metode
memilih
sampel
yang mempunyai
cirri-ciri
tertentu dalam
jumlah
atau
kuota
yang
diinginkan. Pada convenience sampling sampel dipilih dari orang yang paling mudah
dijumpai,
misalnya di pusat perbelanjaan. Jika sampel
merupakan orang-orang
yang
memiliki
ciri-ciri
khusus,
maka dinamakan
purposive sampling.
Sedangkan
pada
snowball sampling meminta responden untuk memberikan informasi mengenai rekan-
rekan lainnya, sehingga didapatkan responden tambahan.
Pengelompokkan status
sosial
ekonomi
responden berdasarkan pengeluaran
belanja
kebutuhan
sehari-hari
per bulan
yang didapatkan dari
AC
Nielsen (2007),
yaitu:
SSE A1
: > Rp 3.000.000
SSE A2
: Rp 2.000.000 – Rp 3.000.000
SSE B
: Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000
SSE C1
: Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000
  
66
SSE C2
: Rp 700.000 – Rp 1.000.000
SSE D
: Rp 500.000 – Rp 700.000
SSE E
: < Rp 500.000
Sedangkan
pengelompokkan
umur
berdasarkan
Indonesia consumer survey
2011 dari AC Nielsen, yaitu 18-29 tahun, 30-45 tahun, 46-55 tahun, dan 56-65 tahun.
Secara
umum, Malhotra
(2004) membagi
marketing
research data
menjadi
data primer (primary data) dan data sekunder (secondary data). Primary data adalah
data yang dihasilkan secara
langsung oleh peneliti untuk
tujuan tertentu
guna untuk
menjawab
masalah
penelitian.
Sedangkan
secondary data
adalah
data
yang
dikumpulkan dari sumber-sumber yang sudah ada sebelumnya untuk berbagai macam
tujuan.