balikan
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Customer Perceived Value
Definisi Customer perceived value menurut Kotler (2003, p.60) adalah :
Customer
perceived
value
is
the difference
between
the perspective customers
evaluation of all benefits and all the costs of an offering and the perceived alternatives.
Definisi customer perceived value menurut Zeithaml (1988.p.14) adalah
Perceived
value is
the
consumers
overall
assessment
of
the
utility of a
product
based on perception of what is received and what is given.
Kutipan diatas mempunyai arti bahwa perceived value konsumen adalah keseluruhan
penilaian konsumen terhadap kegunaan suatu produk atas apa yang diterima
dan yang
diberikan oleh produk itu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa perceived
value
konsumen
merupakan
penilaian
konsumen yang dilakukan dengan cara
membandingkan antara manfaat/keuntungan yang akan diterima dengan pengorbanan yang
dikeluarkan untuk memperoleh sebuah produk/jasa. Namun demikian perceived value
konsumen dapat juga berarti usaha konsumen membandingkan produk/jasa dari perusahaan
tertentu dengan perusahaan pesaing ditinjau dari manfaat, kualitas, harga.
Customer value berkaitan dengan konsekuensi yang dapat berupa keuntungan atau
pengorbanan, konsumsi atau penggunaan (Woodruff dan
Gardial 1996). Konsekuensi
merupakan dampak yang dirasakan individu atau suatu kelompok sebagai akibat dari adanya
7
konsumsi barang/jasa, sebagai ke
dari pemberian sifat dari barang itu
sendiri
|
(Reynold dan Gutman,1988). Saat ini para pelanggan dihadapkan pada melimpahnya
serbuan produk serta pilihan, harga, penyedia merek (Kotler,1996). Pelanggan akan
mendapatkan dari perusahaan kenyataan bahwa mereka masih menawarkan nilai tertinggi
(Kotler,1996). Pelanggan akan membentuk suatu pengharapan akan nilai dan bertindak
untuk mendapatkannya. Pada akhirnya, hal tersebut akan mempengaruhi kepuasan
pelanggan
dan
peluang
pembelian
kembali oleh
pelanggan
(Kotler,1996).
Nilai
yang
diperoleh merupakan perihal yang berkaitan dengan persepsi dan penilaian dari pelanggan,
tidak berkaitan dengan harga moneter yang dibayarkan atau biaya moneter (Kotler,1995).
Menurut Weinstein dan
Johnson (1999), value
diberikan kepada pelanggan dengan
salah satu cara berikut ini :
1. Perusahaan dapat memilih untuk mendapatkan produk yang terbaik.
2. Biaya total yang terbaik (keunggulan operasional)
3. Solusi total terbaik (keintiman dengan pelanggan)
Dodds, Monroe, dan Grewal (1991) dan Zeithaml (1988) telah mendefinisikan nilai
perolehan yang dirasakan sebagai keuntungan bersih yang diterima dikaitkan dengan produk
atau jasa
yang didapatkan. Nilai perolehan yang dirasakan dari
suatu produk
secara positif
akan dipengaruhi oleh keuntungan yang diyakini oleh pembeli bisa ia dapatkan dengan cara
memperoleh dan mempergunakan produk tersebut, dan secara negatif dipengaruhi oleh uang
yang harus dibayarkan untuk membeli produk tersebut. Beberapa istilah telah
mengkonseptualisasikan
nilai perolehan dengan
istilah
bargain
value,
perceived value
(Dodds,Monroe, dan Krishnan & Urbany, Bearden, dan Weil baker), harga yang dirasakan
(Szybillo dan Jacoby) sebagaimana dikutip oleh Zhan Chen (2003),faedah perolehan, dan
|
![]() kesadaran akan nilai.(Lichtenstein,Netemeyer,
dan
Burton,1990;
Lichtenstein, Ridgeway,
Netemeyer,1993).
Menurut Zeithaml (1988) perceived value adalah kemudahan secara
menyeluruh
dari penggunaan sebuah produk yang didasarkan pada apa yang telah mereka terima dan apa
yang diberikan kepada mereka. Perceived value merupakan
hal
yang sangat penting
yang
menentukan intensitas loyalitas konsumen (Parasuraman1997,Woodruff 1997).
Menurut Al-sabbahy et al. (2004) monetary price :
the monetary price represent the major sacrifice by a consumer
in a purchasing
transaction.
Biaya tidak hanya terbatas pada monetary price, tetapi juga mencerminkan behavior
price, yaitu opportunity cost, time, energy (Keller 1998;Kotler 1999;Petrick 2002)
Tabel 2.1
PERBEDAAN MONETARY PRICE DAN BEHAVIOR PRICE
Benefit components (monetary price)
Sacrifice component (behavior price)
Economic benefits
Price sacrifices
Emotional benefits
Time sacrifices
Social benefits
Effort sacrifies
Relationship benefits
Risk
Inconvenience
Sumber: Sanchez et al. (2006:395)
|
Komponen manfaat (monetary price) terdiri dari :
1.
Economic benefits: Berhubungan dengan apa yang didapatkan oleh konsumen dari merek
tersebut.
2.
Emotional benefit: Menunjukan keuntungan afektif yang didapatkan konsumen dari
merek tersebut.
3.
Social
benefit:
Menunjukan
pengakuan
positif
terhadap
merek
yang
akan
merekomendasikan kepada kerabat/teman.
4.
Relationship benefit : Keadaan dimana harapan dari konsumen sesuai dengan kebutuhan
konsumen.
Komponen pengorbanan (behavior price) terdiri dari :
1. Price sacrifice : Berkaitan dengan biaya moneter
seperti yang dirasakan oleh konsumen.
2. Time sacrifice : Berkaitan dengan konsumen dalam menghabiskan waktu ntuk
mencari,membeli atau mengkonsumsi produk/jasa.
3. Effort
sacrifice
:
Berkaitan
dengan
energi
yang
dikeluarkan
konsumen
untuk
menemukan,membeli produk/jasa.
4. Risk : Probabilitas konsekuensi negatif
dari pembelian produk/jasa
5. Inconvenience : Berkaitan dengan konsumen memiliki pengalaman yang tidak baik dari
pembelian produk/jasa.
if the monetary price is higher than what consumers expected, the monetary price
is not the only sacrifice consumers have to pay to acquire product/service. There are also
non
monetary price costs such
as
behavioral
price,
which refers
to
the time
and
effort
|
spent
to
acquire
product.monetary
and
non monetary
price,reputation
and
quality
of
product/service
are
part of the
variables
that influence
the perceived
value
construct
(Petrick 2003).
2.2. Merek / Brand
Definisi Merek atau Brand menurut David A. Aaker (1996) adalah
Nama atau simbol
yang
bersifat membedakan
(contohnya
logo,
cap, atau
kemasan) dengan
maksud mengidentifikasikan barang atau
jasa dari
seseorang
penjual
atau seorang kelompok penjual tertentu, dengan demikian membedakannya dari barang-
barang dan jasa yang dihasilkan para kompetitor.
Merek merupakan salah satu komponen utama dalam suatu product strategy.
Dalam buku
Marketing
Management
karangan
Kotler
(2003,
p
418),
The
American
Marketing Association mendefinisikan merek sebagai berikut, Merek adalah nama,
istilah symbol atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk
mengidentifikasikan barang atau jasa dari seseorang atau sekelompok penjual dan untuk
membedakannya dari produk pesaing.
Merek
sebenarnya
merupakan
janji
penjual
untuk
secara
konsisten
memberikan
fitur, manfaat, dan jasa tertentu pada pembeli. Merek-merek terbaik memberikan jaminan
kualitas, tetapi merek lebih dari sekedar symbol.
Menurut Kotler (2003:418) merek dapat memiliki enam level pengertian, yaitu
sebagai berikut :
1. Attribut (attributes)
Merek mengingatkan pada suatu atribut-atribut tertentu.
|
2. Manfaat (benefits)
Merek bukan hanya sekedar dari atribut semata, dalam hal ini konsumen tidak
membeli atribut melainkan mereka membeli manfaat. Atribut-atribut perlu
diterjemahkan ke dalam manfaat emosional dan fungsional.
3. Nilai (value)
Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
4. Kebudayaan (culture)
Merek juga mewakili budaya tertentu.
5. Kepribadian (personality)
Merek juga mencerminkan kepribadian tertentu.
6. Pemakai (user)
Merek menunjukan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut.
Pemakai adalah orang-orang yang menghargai nilai, budaya, dan kepribadian produk
tersebut.
Dengan
demikian
dapat
diketahui adanya ikatan emosional
yang tercipta
antara
konsumen
dengan
perusahaan
penghasil produk
melalui
merek.
Pesaing
dapat
menyamakan dengan menghasilkan produk yang mirip, namun merek tidak mungkin
menawarkan janji yang emosional yang sama. Suatu merek pada akhirnya akan memberi
tanda
pada
konsumen
mengenai
sumber
produk tertentu dan melindungi produsen dan
konsumen dari para kompetitor yang berusaha memberikan produk-produk yang tampak
identik.
|
2.2.1
Manfaat Merek
Didalam pemberian
merek
pada suatu
produk, banyak
memberikan
manfaat bagi
konsumen maupun bagi produsen.
1. Manfaat merek bagi konsumen
Menurut Schewe dan Smith (2001:263), Manfaat merek bagi konsumen adalah:
a.
Merek
yang
mudah
diidentifikasi,
yang
juga memudahkan konsumen pada saat
pembelian.
b. Merek memberi jaminan kepada konsumen dengan kualitas yang tetap. Pengalaman
yang baik terhadap suatu merek dapat menjadikan konsumen loyal atau setia
terhadap
merek
tersebut,
tetapi
jika
tidak
terdapat
pengalaman
yang
tidak baik
terhadap merek tersebut, maka akan menyebabkan konsumen tidak lagi loyal atau
setia terhadap merek tersebut.
c. Suatu merek juga menjamin kualitas yang sebanding kepada konsumen, tidak peduli
dimana
produk
tersebut
dibeli.
Sebagai
contoh televisi merek Sony, harus tetap
memberikan kualitas produk yang baik sekalipun dibeli dari toko discount.
d.
Merek dapat menyediakan penambahan pada kepuasan psikologi. Yang dimaksud
disini adalah merek memberikan kepuasan intangible dalam bentuk perwujudan self
image. Konsumen tidak hanya membeli jasa atau fisik dari produk tersebut,
melainkan
juga
status
sosial
berikut pengakuan dan penghargaan yang dapat
diharapkan dari merek tersebut.
e. Dengan produk yang bermerek ada kecenderungan untuk meningkatkan kualitas
setiap tahunnya. Dorongan untuk dapat memberikan kepuasan kepada konsumennya,
|
perusahaan harus dapat mempertahankan dan menciptakan inovasi-inovasi baru
terhadap merek tersebut.
2. Manfaat merek bagi produsen
Menurut Kotler (2003:408), Manfaat merek bagi penjualan adalah :
a. Merek
memberikan
kemudahan
bagi
penjual
untuk
memproses
pesanan
dan
menelusuri masalah.
b. Nama merek dan tanda merek memberikan perlindungan hukum atas produk-produk
yang unik.
c. Merek memberikan kesempatan pada penjual
untuk
menarik pelanggan
yang
setia
dan
menguntungkan.
Kesetiaan
merek
memberikan
penjual
perlindungan dari
pesaing
serta pengendalian yang lebih besar dalam perencanaan program
pemasarannya.
d. Merek membantu penjual melakukan segmentasi pasar.
e.
Merek yang kuat membangun citra perusahaan, memudahkan perusahaan dalam
meluncurkan merek-merek baru yang mudah diterima oleh para distributor dan
pelanggan.
2.3 Brand Trust
Menurut pendapat para ahli, dikatakan bahwa merek memiliki respon yang potensial
untuk
menciptakan
pengaruh
dan
kepercayaan
dari
konsumen.
Oleh
karena itu perlu
diketahui secara jelas apakah yang dimaksud dengan brand trust dalam penelitian ini. Bagi
perusahaan,
kepercayaan konsumen
terhadap
suatu
merek
merupakan
suatu
target
yang
|
penting untuk dicapai. Kelangsungan
hidup baik perusahaan atau produk hasil dari
perusahaan tersebut sangat bergantung pada kepercayaan konsumen.
Menurut Hosmer (1995), definisi trust adalah :
Trust is not only been recognized as a very important human behavior but also been
broadly discussed both in the fields of phychology, sociology, and economics and in the
topics of management and marketing practices.
Menurut Morgan dan Hunt (2002:23), definisi brand trust adalah :
Brand
trust
is willingness of the
average
consumer
to
rely
on the
ability
of
the
brand to perform its stated function
Sedangkan Dooney dan Canyon (2001:37) mendefinisikan brand trust adalah:
It involve a calculative process based on the ability of an object or parts (brand) to
continue to meet its obligation and on an estimation of the cost versus rewards of straying
in the relationship.
Morman,
Zaltmen, dan Desphande
(2001), Dooneey dan Canyon (2001) keduanya
menekankan bahwa
pernyataan
percaya
hanya
relevan
terjadi
pada
situasi
yang
tidak
pasti (misalkan dimana terdapat perbedaan besar dan kecil pada suatu merek).
Secara keseluruhan Arjub Chanduri dan Moris B Hallbrook (2001:65) Menilai
kepercayaan
terhadap
merek
sebagai
bentuk proses
keterlibatan
yang
telah
diduga
sepenuhnya dan didasari secara mendalam.
Menurut John C Mowen dan Michael Minnar (2000:437) mengatakan bahwa bentuk
kepercayaan
konsumen terhadap suatu merek pada sebagian besar terjadi apabila merek
produk tersebut mampu memenuhi self concept, needs, dan value.
|
Self concept merupakan bentuk perasaan dan pekiraan secara keseluruhan dari
individu terhadap sebuah objek yang mencerminkan dirinya. Komponen self concept terdiri
dari :
1.
Actual self
Bagaimana seseorang atau individu sebenarnya memahami dirinya.
2.
Ideal self
Bagaimana seseorang atau individu akan dapat memahami tentang dirinya.
3.
Social self
Bagaimana seseorang atau individu percaya bahwa orang lain memahami dirinya.
4.
Ideal social self
Bagaimana seseorang atau individu menginginkan orang lain memahami dirinya.
5.
Expected self
Menjelaskan bagaimana seseoang akan bersikap atau bertindak.
6.
Situational self
Bagaimana sikap atau kepribadian seseorang pada situasi tertentu.
7.
Extended self
Konsep kepribadian seseorang atau individu yang termasuk mampu mempengaruhi
image kepribadian yang dimiliki individu tersebut.
8.
Possible self
Bagaimana seseorang atau individu ingin menjadi, akan menjadi, dan takut untuk
menjadi orang lain.
Sedangakan Needs (kebutuhan) konsumen berdasarkan teori Maslow terdiri dari lima
bagian , yaitu :
|
1.
Physiological needs (kebutuhan fisiologis)
Merupakan kebutuhan dasar dan merupakan tingkatan utama dari kebutuhan manusia.
2.
Safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman)
Kebutuhan
ini tidak hanya didasarkan atas pertimbangan keamanan
fisik, akan tetapi
juga
rasa
aman
atas
ketertiban,
stabilitas, dan pengendalian hidup seseorang dan
lingkungan.
3.
Social Needs (kebutuhan sosial)
Kebutuhan
ini mencakup kebutuhan akan rasa sayang,
rasa saling
memiliki, keinginan
untuk bisa diterima dalam lingkungan pergaulan atau lingkungan social.
4.
Egoistic needs (kebutuhan sifat ego)
Kebutuhan
ini dapat berupa orientasi kedalam atau inward orientation dan keluar atau
outward
orientation
atau
bahkan
keduanya.
Orientasi
kedalam mengarahkan
kepada
suatu gambaran kebutuhan individu akan kebebasan, kesuksesan, pengakuan diri,
penerimaan diri, dan kepuasan pribadi terhadap pekerjaan dan telah dilaksanakan.
Sedangkan orientasi keluar mengarahkan kepada suatu gambaran
terhadap kebutuhan
reputasi, status. Kesuksesan dan keberhasilan seseorang merupakan gambaran yang
merefleksikan dari orientasi keluar ini.
5.
Need for self actualitation
Kebutuhan ini mengarah pada keinginan individu untuk mewujudkan sesuatu hal yang
dapat dilakukan untuk dicapai atau mencapau kepuasan yang telah didambakan
Menurut John C Mowen dan Michael Minar (2001:226) value (nilai) yang diinginkan
oleh konsumen terhadap suatu produk meliputi :
|
1. Internal value
Nilai
internal
individu meliputi
kepuasan
pribadi
(self
fulfillment)
perasaan akan
kesempurnaan (sense of accomplishment), penghargaan diri (self respect) dan kesenangan
(excitement).
2. External Value
Nilai external individu meliputi perasaan memiliki (regards of sense belonging) perasaan
dihargai dengan baik (being well of respecting), dan keamanan (security).
3. Internal orientation value
Orientasi hubungan antar pribadi seperti rasa nikmat dan kesenangan .
2.4 Brand Affect
Penelitian Holbrook dan Hirschman (2001) menunjukan bahwa pada perilaku
konsumen, aspek emosi, kenikmatan dan kesenangan merupakan aspek yang mendukung
konsumen
dalam mengambil
keputusan
memilih
suatu
merek.
Terkait
dengan
hal
ini,
(Babin,BJ,Darden,W.R dan Griffin, 2000) membandingkan antara potensi nilai kesenangan,
kenikmatan dengan nilai manfaat saat konsumen memilih suatu merek, yaitu merek yang
dipilih hanya berdasarkan peningkatan kepuasan pribadi atau untuk pemenuhan kebutuhan
sehari-hari.
Aaker dan keller (2002),
menyatakan bahwa brand affect is trateted as a global
evaluative concept. Brand affect merupakan konsep penilaian secara global.
2.4.1 Penilaian Brand Affect
|
Konsumen
pada
umumnya
sulit
membedakan
antara
daya tarik
dengan
penerimaan
informasi produk pada saat mengadakan penilaian merek,
Daniel and Park (2002).
Ditegaskan penilaian brand affect dibagi menjadi dua kriteria :
1. Nilai hedonic (nilai yang berdasarkan emosi,kepuasan, dan kenikmatan)
Yaitu harapan konsumen untuk merasakan adanya kepuasan dan kenikmatan pada saat
menggunakan produk dengan pilihan merek tertentu. Konsumen yang memberikan
keputusannya berdasarkan kriteria hedonic relatif lebih dapat dipercaya karena nilai yang
langsung dialami oleh konsumen.
2. Nilai utilitarian (nilai yang berdasarkan asas manfaat)
Kriteria utilitarian menekankan kemampuan merek yang sesuai dengan fungsi kehidupan
konsumen sehari-hari. Konsumen yang mempunyai konsep berdasarkan kriteria
utilitarian tidak mengaitkan pengalaman informasi yang telah diterima sebelumnya
sebagai dasar keputusannya.
2.5 Brand Loyalty (Loyalitas Merek)
Brand loyalty dari sekelompok pelanggan seringkali merupakan inti dari brand
equity (Aaker 1991).
Dengan
demikian
inti dari
brand
loyalty
adalah
membeli
ulang
suatu
merek
yang
sama
suatu
produk
secara
kosisten.
Namun
demikian
pembelian
ulang
yang
dikatakan
loyal
menurut
pendapat
Oliver
(1999)
yang
menyatakan, Loyalty
is
a
deeply held
commitment to rebuy a preffered product/service consistently in the future, despite
situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching
|
behavior. Maksudnya loyalitas adalah komitmen mendalam
untuk
melakukan pembelian
ulang suatu produk/jasa yang disukai secara konsisten di waktu yang akan datang.
Brand loyalty sudah lama
menjadi gagasan sentral dalam pemasaran, merupakan
suatu
ukuran
keterkaitan
seorang pelanggan pada sebuah merek (Aaker 1991). Hal ini
mencerminkan bagaimana seorang pelanggan
mungkin akan beralih ke merek lain,
terutama
jika
merek
tersebut
membuat
suatu
perubahan,
baik
dalam
harga
atau
dalam
unsur-unsur
produk. Apabila
brand
loyalty meningkat , kerentanan
kelompok
pelanggan
dari serangan kompetitif
bisa dikurangi.
Pengelolaan dan pemanfaatan yang benar dari suatu strategi pemasaran, maka akan
membuat brand loyalty menjadi aset strategis bagi perusahaan. beberapa potensi yang
dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan yaitu reduced marketing costs,costs
trade leverage, attracting new customers, dan provide time to respond to competitive
threats (Aaker 1991,p.270).
Menurut Assael (1991), Brand loyalty represent a favorable attitude toward a
brand resulting in consistent purchase of the brand over time. Loyalitas merek mewakili
sikap yang positif terhadap sebuah merek yang mengakibatkan pembelian secara konsisten
terhadap merek tersebut sepanjang waktu.
Terdapat
dua
aspek dari
loyalitas merek, yaitu perilaku (behavioral)
dan
sikap
(attitude).
Perilaku
atau loyalitas
pembelian
,
meliputi
pembelian
secara
berulang
dari
sebuah merek, sedangkan sikap loyalitas merek meliputi tingkat komitmen akan nilai unik
yang diasosiasikan terhadap merek (Chaudhuri dan Holbrook, 2001).
Berikut beberapa fungsi dari brand loyalty (Durianto et al 2001).
1. Dapat mengurangi biaya pemasaran
|
2. Mampu meningkatkan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran.
3. Mampu menarik minat pelanggan baru.
4. Memberikan waktu untuk merespons ancaman persaingan.
Dalam kaitannya
dengan
loyalitas
merek
suatu
produk,
didapati
adanya
beberapa
tingkatan loyalitas merek. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran
yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan.
Adapun tingkatan loyalitas
merek menurut (Aaker 1996) tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Switcher (konsumen yang suka berpindah-pindah)
Tingkat
pertama
atau
paling
dasar
dari
piramida brand
loyalty
adalah
switcher.
Pelanggan
yang
masuk
pada
tingkat switcher
memiliki
perilaku
sering
berpindah-
pindah merek, yang disebabkan faktor harga. Hal ini mengindikasikan bahwa
pelanggan tersebut sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek-merek yang
dikonsumsi. Pada tingkatan ini merek apapun
yang
dikonsumsi
oleh
pelanggan
dianggap
memiliki
peranan
yang
sangat
kecil
dalam keputusan
pembelian
yang
dilakukan. Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah membeli suatu
produk karena harga yang
murah atau karena faktor insentif lainnya. pelanggan yang
sering berganti-ganti merek dapat juga dikarenakan tidak berhasilnya perusahaan
penghasil merek produk menerapkan switching barrier.
2.
Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)
Tingkat
kedua
dari
piramida brand
loyalty
adalah
habitual
buyer
.
habitual
buyer
merupakan
aktivitas
rutin
konsumen
dalam membeli
suatu
merek
produk,
meliputi
proses
pengambilan
keputusan
pembelian dan
kesukaan
terhadap
merek
produk
tersebut. Proses pengambilan keputusan pembelian dalam arti dapat
memakan waktu
|
yang lama atau relatif pendek, sedangkan kesukaan adalah setiap konsumen atas
produk yang dikonsumsi. Pelanggan yang loyal pada merek tidak akan membutuhkan
waktu yang lama untuk membuat keputusan pembelian. Hal ini dikarenakan pelanggan
sudah memiliki pengalaman yang baik dengan merek yang pernah dikonsumsi.
Sebaliknya pelanggan yang tidak loyal pada merek, membutuhkan waktu yang lama
untuk membuat suatu keputusan pembelian. Pelanggan masih memerlukan waktu
untuk menimbang-nimbang kualitas, produk, harga, dan kemungkinan-kemungkinan
yang buruk yang akan diterima apabila mengkonsumsi merek-merek baru.
Pelanggan yang berada pada
tingkatan habitual buyer didalam piramida brand
loyalty dapat dikategorikan sebagai pelanggan yang puas dengan merek produk yang
dikonsumsi
atau
setidaknya
pelanggan tidak
mengalami
ketidakpuasan
dalam
mengkonsumsi merek tersebut. Pada tingkatan ini, pada dasarnya tidak didapati alasan
yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli produk yang lain atau
berpindah merek terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya maupun
berbagai pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pelanggan dalam membeli suatu
merek
didasarkan
atas
kebiasaan
pelanggan
selama
ini.
Oleh
sebab
itu perusahaan
harus dapat meningkatkan kualitas
produk untuk membuat pelanggan puas, dan
menjadi terbiasa mengkonsumsi merek yang memiliki kualitas tersebut.
3. Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan)
Tingkat ketiga dari piramida brand loyalty adalah satisfied buyer. Pada saat
ini,
inti
dari kegiatan pemasaran adalah meningkatkan kepuasan pelanggan. Perusahaan yang
berorientasi pada pelanggan akan berusaha membuat keputusan pelanggan meningkat,
agar
pelanggan
menjadi
loyal dan
pada
akhirnya
dapat
menguntungkan.
Pada
|
hakikatnya
customer
satisfaction
adalah
reaksi
emosi
jangka
pendek,
sebagaimana
yang dikatakan oleh Lovelock dan Wright (2002),
customer satisfaction is a short
term emotional reaction to a specific product/service performance. Hal ini berarti
apabila pada saat ini pelanggan merasa puas, maka tidak dapat dipastikan dalan jangka
panjang
pelanggan
tersebut
akan
senantiasa merasa puas dengan produk/pelayanan
yang
pernah
dikonsumsi.
Jadi,
customer
satisfaction
adalah
masalah perasaan
dan
waktu yang relatif pendek, oleh sebab itu perusahaan harus terus menerus memuaskan
semua pelanggan agar dapat memenangkan persaingan bisnis yang sangat kompetitif.
4.
Likes the brand (menyukai merek)
Tingkat keempat dari piramida brand loyalty adalah liking of the brand. Liking
of
the
brand
yaitu tingkatan
kesukaan
pelanggan
pada
suatu
merek
meliputi
keterkaitan dan pengalaman. Adapun
yang dimaksud dengan keterkaitan
yaitu
hanya
menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk walaupun harga sejenis lain lebih
murah. Sedangkan yang dimaksud dengan pengalaman yaitu perasaan senang dan
nyaman dengan pengalaman menggunakan produk yang dikonsumsi.
Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan-perasaan hormat atau
bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam
perasaan
pelanggan. Akan sulit bagi merek lain untuk dapat menarik pelanggan yang sudah
mencintai
merek
hingga
pada
tahapan
ini. Pelanggan
dapat
saja
sekedar
suka
pada
suatu merek dengan alasan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui persepsi
dan
kepercayaan
yang
terkait
dengan
atribut merek.
Ukuran dari
rasa
suka
tersebut
dapat
dicerminkan
dengan
kemampuan
untuk
membayar
dengan
harga
yang
lebih
|
mahal
untuk
memperoleh
merek
tersebut,
karena
harga
bukan
merupakan
penentu
keputusan pembelian konsumen.
Pelanggan yang
masuk dalam kategori loyalitas liking of the brand
merupakan
pelanggan yang
sungguh-sungguh
menyukai
merek
tersebut.
Pada
tingkatan
ini
dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pelanggan bisa saja
didasari oleh asosiasi (hubungan ) yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman
dalam penggunaan sebelumnya, baik yang dialami pribadi
maupun oleh kerabat atau
pun disebabkan oleh perceived value yang tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa
suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dengan cermat untuk
dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik. Itulah sebabnya perusahaan harus dapat
menciptakan komunikasi pemasaran yang efektif dengan para pelanggannya, agar
pelanggan tidak lagi menggunakan logika untuk menentukan keputusan pembeliannya,
melainkan dengan emosionalnya.
5. Committed buyer (pembeli yang komit)
Tingkat kelima
dari piramida brand loyalty adalah committed buyer. Aaker
(1991)
memberikan
definisi commitment
yaitu
kepercayaan
bahwa
produk
yang
dikonsumsi
mampu
melahirkan
komunikasi
dan
interaksi
di
antara
pelanggan
yang
ada. Dalam suatu merek yang kuat terdapat pelanggan yang memiliki komitmen dalam
jumlah yang besar. Kesetiaan pelanggan akan timbul bila ada kepercayaan dari
pelanggan terhadap merek produk yang dikonsumsi
sehingga
ada
komunikasi
dan
interaksi diantara pelanggan, yaitu dengan membicarakan produk yang dikonsumsi
tersebut.
|
![]() Pada tahapan loyalitas committed buyer pelanggan merupakan pelanggan setia.
Pelanggan memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan
merek tersebut menjadi sangat penting bagi pelanggan dipandang dari segi fungsi
maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya dari pelanggan. Pada
tingkatan
ini
salah satu
aktualisasi
loyalitas
pembeli
ditunjukan
oleh
tindakan
merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.
Committed
Buyer Likes the
Brand Satisfied
Buyer
Habitual Buyer
Switcher/Price Buyer
2.1 Gambar Tingkatan Loyalitas Merk
|