BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pasar Modal
Pengertian Pasar Modal menurut undang-undang tentang pasar modal nomor
8
tahun
1995
adalah:
kegiatan
yang
bersangkutan dengan
penawaran
umum
dan
perdagangan efek,
perusahaan publik
yang
berkaitan
dengan
efek
yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Seorang
pemodal
dapat
melakukan investasi
pada
aktiva
riil
seperti
membangun pabrik, membuat produk baru atau pada financial assets seperti membeli
sertifikat deposito, saham, obligasi, sertifikat reksadana.
Pasar modal adalah pasar
untuk berbagai sekuritas jangka panjang
yang bisa
diperjualbelikan, baik
yang
diterbitkan oleh
pemerintah
maupun
perusahaan swasta.
Pasar
modal
dijumpai
pada
banyak
negara
yang
menjalankan fungsi
ekonomi
dan
keuangan.
Dalam
menjalankan
fungsi
ekonominya,
pasar
modal
menyediakan
fasilitas untuk memindahkan dana dari si pemberi pinjaman (investor) ke si peminjam
(emiten).
Dengan
menginvestasikan kelebihan
dana
yang
dimiliki
si
pemberi
pinjaman,
diharapkan
akan
memperoleh
imbalan
dari
penyerahan dana
tersebut.
Sebaliknya si peminjam dapat melakukan investasi tanpa harus menunggu
tersedianya dana
dari
hasil
operasi perusahaan. Fungsi
ekonomi dilakukan dengan
menyediakan dana yang diperlukan oleh para peminjam dari si peminjam, tanpa harus
terlibat langsung dalam pemilikan aktiva riil yang diperlukan untuk investasi tersebut.
8
|
9
Indeks
LQ45 pertama kali diperkenalkan di
Bursa
Efek Jakarta
(BEJ) pada
tanggal 24 Februari 1997. Seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan indeks
Pasar
modal
adalah
bagian
alamiah
dari
teori
permintaan
dan
pengadaan
dana. Disanallah
satu
sisi,
akan
ada
pihak
yang
kekurangan dana
(perusahaan go
public) dan disisi
lain,
ada
pihak
yang
kelebihan
dana
(investor).
Mereka
bertemu
dalam suatu tempat pertukaran yang disebut pasar modal. Investor akan menyerahkan
dananya
untuk
mendapatkan bukti
kepemilikan
perusahaan,
dinyatakan
lewat
lembaran
saham
yang
diterbitkan oleh
perusahaan go
public. Sebagai
imbalannya,
investor akan
dapat
menikmati keuntungan perusahaan
yang akan
dibagikan dalam
bentuk dividen.
Pasar
modal
sendiri
terbagi
menjadi
dua
bagian
utama,
pasar
perdana
dan
pasar sekunder. Pada pasar perdana, untuk pertama kalinya dana masyarakat ditarik.
Di pasar perdana
inilah sebuah perusahaan yang akan melakukan go public pertama
kali
menjual
sahamnya
(disebut
pasar
perdana).
Masyarakat yang
telah
membeli
saham perdana
ini
untuk selanjutnya dapat
memilih
untuk
tetap
menjadi pemegang
saham
tersebut, atau
menjualnya kepada
orang
lain
melalui
pasar
sekunder.
Inilah
pasar
yang
sesungguhnya,
dimana
para
pialang
saham (sebagai wakil
dari
para
investor), bisa menjual dan / atau membeli saham perusahaan yang terdaftar di bursa.
Pasar sekunder ini dijalankan mirip dengan sebuah sistem lelang. Pembeli dan
penjual dipertemukan secara terus menerus sehingga terjadi transaksi.
2.2
Penjelasan Indeks LQ45
|
![]() 10
sektoral yang lebih dulu dibuat, indeks LQ45 ini pun diciptakan untuk menjadi tolak
ukur
dalam
memantau
kecenderungan pasar
dan
perkembangan
harga
saham
yang
diperdagangkan.
Seperti
diketahui, angka
indeks
dalam
notasi
statistik
dibuat
untuk
membandingkan perkembangan suatu
kegiatan, apakah
itu
perkembangan produksi,
harga, jumlah penjualan,
termasuk tingkat keuntungan. Demikian pula
indeks LQ45
ini diharapkan dapat digunakan sebagai pembanding.
Indeks
ini terdiri dari 45 saham yang dipilih setelah melalui beberapa kriteria
sehingga indeks ini terdiri dari saham-saham yang
mempunyai likuiditas yang tinggi
dan juga mempertimbangkan kapitalisasi pasar dari saham-saham tersebut.
Kriteria pemilihan saham indeks LQ45 :
1. Masuk
dalam top 60
dari total
transaksi
saham di pasar reguler (rata-rata nilai
transaksi selama 12 bulan terakhir).
2. Masuk dalam
ranking
yang
didasarkan
pada
nilai
kapitalisasi
pasar
(rata-rata
kapitalisasi pasar selama 12 bulan terakhir).
3. Telah tercatat di BEJ sekurang-kurangnya 3 bulan.
4. Kondisi keuangan perusahaan,
prospek
pertumbuhan
perusahan,
frekuensi
dan
jumlah transaksi di pasar reguler.
Evaluasi Indeks dan Pergantian Saham
BEJ secara
terus
menerus
memantau
perkembangan komponen
saham
yang
masuk dalam perhitungan Indeks LQ45. Setiap 3 bulan, direview pergerakan ranking
saham yang
masuk
dalam
perhitungan
indeks
LQ45.
Pergantian saham akan
|
11
investor
mengambil
risiko
menderita rugi
dengan
harapan
mendapat
untung
yang
setimpal.
dilakukan setiap 6 bulan sekali,
yaitu pada setiap awal bulan Februari dan Agustus.
Bila ada saham yang tidak memenuhi kriteria, saham tersebut akan dikeluarkan dari
perhitungan indeks dan digantikan dengan saham yang memenuhi kriteria.
Saham-saham yang masuk dalam kriteria ranking 1-35 dikalkulasikan dengan
cepat dalam perhitungan indeks. Sedangkan saham
yang masuk
pada ranking 36-45
tidak perlu dimasukan dalam perhitungan indeks. Hari Dasar Indeks LQ45 dan Awal
Perhitungan (13 Juli 1994-1996). Indeks LQ45 dihitung
mundur hingga tanggal 13
Juli 1994 sebagai Hari Dasar, dengan nilai dasar 100. Untuk seleksi awal digunakan
data
pasar
Juli
1993-Juni
1994.
Hasilnya,
ke-45 saham
tersebut
meliputi
72%
total
market kapitalisasi pasar dan 72.5% nilai transaksi di pasar reguler.
2.3 Risiko
2.3.1 Definisi Risiko Investasi
Menurut Brigham dan
Houston
(2004,
p170), Risk
is refers to
the
chance
that some unfavorable event will occur (a hazard, a peril, exposure to loss or injury).
If you invest in speculative stocks (or really, any stock), you are taking a risk in the
hope of making an appreciable return. Resiko didefinisikan sebagai bahaya, petaka,
kemungkinan mengalami
kerugian
atau
kerusakan.
Jadi
risiko
mengacu
pada
kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak menguntungkan.
Jika investasi
dilakukan dengan membeli saham spekulatif (atau bahkan setiap jenis saham), maka
|
12
Definisi
risiko pada
umumnya
selalu berkonotasi buruk
atau
negatif.
Tetapi
menurut Damodaran (2001, p150), In finance, our definition of risk is both different
and broader. Risk, as we see it, refers to the like hood that we will receive a return on
an
investment that
is
different
from
the
return
we
expected
to
make.
Thus,
Risk
includes not only the bad outcomes, that is, returns are lower than expected, but also
good
outcomes, that
is,
returns
that
are
higher than expected. Risiko
tidak selalu
dapat dikaitkan dengan sesuatu yang buruk. Dalam bidang keuangan, risiko memiliki
arti
yang berbeda dan lebih
luas. Risiko lebih berkaitan dengan kemungkinan untuk
mendapatkan imbalan (return) yang tidak sesuai dengan apa yang investor harapkan.
Ketika investor mendapatkan imbal hasil yang lebih kecil dari yang diharapkan, atau
sebaliknya, maka itulah yang dinamakan risiko.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa risiko merupakan gabungan dari bahaya dan
peluang dimana
dalam
bidang
keuangan, kata
bahaya
diartikan
sebagai
risiko
sedangkan peluang diartikan sebagai imbal hasil. Berikut adalah petikannya : Risk is
a
mix of danger, and opportunity. In financial terms, we term the danger to be Risk
and the opportunity to be Expected Return. So, in any investment, we will convert
the danger into opportunity.
Dengan demikian, dapat dikatakan secara garis besar bahwa
risiko
investasi
terkait
dengan
kemungkinan
mendapatkan tingkat
imbal
hasil
yang
tidak
sesuai
dengan apa yang diharapkan semakin besar tingkat pengembalian yang diharapkan,
semakin besar pula risiko yang harus ditanggung.
|
![]() 13
2.3.2 Pengukuran Risiko
Dalam aktivitas
investasi,
baik
investasi pada
financial assets
seperti
saham
dan
obligasi,
maupun
real
assets
seperti
tanah
dan
bangunan, pada
umumnya
mengandung dua
hal
yang
perlu
diperitmbangkan
,
yaitu
risiko
(risk)
dan
tingkat
imbal hasil (return).
Bilamana
suatu
investasi
memiliki
risiko,
berarti
bahwa
investasi
tersebut
tidak
dapat
memberikan keuntungan
yang
pasti.
Dalam
keadaan
ini,
pemodal
(investor)
hanya
akan
mengharapkan
untuk
dapat
memperoleh
suatu tingkat
imbal
hasil
tertentu.
Risiko
(risk)
merupakan
peyimpangan (deviasi)
antara tingkat
imbal
hasil yang diperoleh terhadap imbal hasil yang diharapkan. Oleh karenanya, dimensi
risiko
terbagi
menjadi
dua,
yaitu
menyimpang
lebih
kecil
atau
menyimpang lebih
besar.
Risiko
merupakan variabilitas tingkat
imbal
hasil
realisasi
terhadap
tingkat
imbal hasil yang diharapkan. Risiko diwujudkan dalam bentuk standar deviasi
(ukuran penyebaran) yang digunakan untuk
mengetahui seberapa jauh kemungkinan
tingkat
imbal
hasil
yang
akan
diperoleh
menyimpang
terhadap tingkat
imbal
hasil
yang diharapkan.
Rumusan untuk standar deviasi, adalah :
n
?
(ri - ri)
2
s
=
i
=1
n
-
1
Dimana :
s
= standar deviasi
|
![]() 14
r
i
= tingkat imbal hasil (return) realisasi pada saham i
r
i
= tingkat rata-rata imbal hasil (return) realisasi pada saham i
n
= jumlah observasi
2.3.3 Jenis-Jenis Risiko Investasi
Keown,
Martin, Petty, Scott (2005, p193),
We can divide the total risk in
two types of risk : (1) firm-specific or company-unique risk and (2) market-related
risk. Company-unique risk might also be called diversifiable risk, because it can be
diversified away. This diversifiable risk is the result f factors that are unique to the
particular
firm.
Market
risk
is
nondiversifiable
risk;
it
cannot
be
eliminated,
no
matter how much we diversify. Total risiko dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu :
(1) risiko yang tergantung dari jenis dan spesifikasi perusahaan dan (2) risiko yang
berhubungan dengan pasar. Risiko yang tergantung dari jenis dan spesifikasi
perusahaan
disebut sebagai
risiko yang
bisa didiversifikasi.
Sedangkan risiko
pasar
adalah risiko yang tidak dapat didiversifikasi; risiko pasar tidak dapat dihilangkan.
Bodie, Kane, Marcus (2005, p224), The risk that remains even after
extensive diversification is called market risk, risk that is attributable to marketwide
risk sources. Such risk is also called systematic risk, or nondiversifiable
risk. In
contrast, the risk that can be eliminated by diversification is called unique risk, from
specific risk, non systematic risk, or diversifiable risk. Risiko yang akan selalu ada
walaupun dengan adanya diversifikasi disebut sebagai
risiko pasar
yaitu risiko yang
diakibatkan
oleh
risiko
dari
pasar.
Dengan
demikian
risiko
pasar
disebut
sebagai
|
15
risiko sistematis atau risiko yang tidak dapat didiversifikasi. Sedangkan risiko yang
dapat dihilangkan dengan diversifikasi disebut unique risk, disebut juga sebagai
risiko spesifik, risiko tidak sistematis, atau risiko yang bisa didiversifikasi.
2.3.4 Beta Coefficient
Beta
menurut Houston and Brigham (2004, p189) Beta coefficient, a
measure of market risk, which is the extend to which the returns on a given stock
move with the stock market, jadi beta sebagai alat ukur risiko pasar, dimana tingkat
pengembaliannya
berubah
bersama
dengan
perubahan
pasar.
Atau
dalam Scott,
Martin, Petty, and Keown (2005, p199) Beta, a measure of the relationship between
an investments return and the markets returns. This is a measure of the investments
nondiversifiable risk. Beta,
sebagai alat
untuk
mengukur
hubungan
antara
tingkat
pengembalian investasi dengan tingkat pengembalian pasar, sebagai ukuran risiko
sistematis
yang
tidak
dapat
didiversifikasi.
Menurut
Brigham and
Gapenski
(1997,
p165) The tendendcy of a stock to move up and down with the market is reflected in
its beta coefficient, (ß)
yang berarti kecenderungan dari naik turunya harga saham
seiring keadaan pasar tercermin dari beta coefficient (ß).
Beta digunakan untuk menghitung bagaimana individual stocks return
dibedakan dari market return. Beta juga mengukur sensitivitas dari individual stocks
return
dengan
perubahan
pasar
yang ada. Pengukuran beta dilakukan
dengan
menggunakan analisa regresi. Dimana beta pasar sama dengan 1, maka secara umum
dapat dilihat bahwa :
|
16
Perusahaan
yang
memiliki
beta
=
1
mengindikasikan
risiko
pasar
rata-rata.
Harga
sahamnya tidak lebih bergejolak ataupun lebih kecil dari risiko pasar yang ada.
Perusahaan dengan Beta > 1 mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan
dengan risiko pasar (contohnya : perusahaan teknologi).
Perusahaan dengan
Beta
<
1
mempunyai risiko
dibawah
risiko
pasar (contohnya
:
perusahaan utilities).
2.3.4.1
Metode untuk Menghitung Beta
Damodaran (2001, p196-210), Ada tiga
pendekatan metode yang dapat
digunakan untuk menghitung Beta. Yang pertama, dengan menggunakan data historis
harga pasar. Yang kedua, dengan menggunakan analisa fundamental dan yang
terakhir, dengan
menggunakan data
akuntansi. Ketiganya akan
dibahas
lebih detail
berikut ini :
1. Beta Historis (Historical Market Beta)
Indeks
beta
dapat
dihitung
dengan
membandingkan fluktuasi indeks saham
individual terhadap fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Garis
regresi
harus
dicari
antara
indeks
saham
individual
dengan
IHSG.
Persamaan
yang digunakan, merupakan persamaan regresi linier sederhana, yang bisa
dipecahkan dengan rumus regresi, seperti berikut :
R
j
= alpha + beta (
R
m
) + ?
Keterangan :
R
j
= Return dari saham individual
|
17
alpha
= Intercept dari persamaan garis regresi (intercept from the regression)
Beta
= Kemiringan dari persamaan garis regresi (slope of the regression)
R
m
= Return dari saham pasar (IHSG)
e
= Standard error of the beta estimate.
Beta
menunjukan
kemiringan
(slope)
garis
regresi dan
alpha
menunjukan
intercept
dengan
sumbu
R
m
.
Semakin
besar
beta,
semakin curam kemiringan
garis regresi. Penyebaran titik-titik pengamatan di sekitar garis regresi,
menunjukan risiko sisi. Semakin menyebar titik-titik tersebut, semakin besar
risiko sisanya.
2. Beta Fundamental (Fundamental Beta)
Dalam
metode
ini, beta diukur dengan menggunakan variabel
fundamental
perusahaan, yaitu :
a. Tipe dari bisnis perusahaan (Type of Business or businesses the firm is in)
Dengan berasumsi bahwa segala sesuatu adalah tidak berubah (other things
remaining
equal),
perusahaan
yang
musiman
(cyclical
firms)
akan
mempunyai beta yang lebih tinggi/besar dibandingkan dengan perusahaan
non-cyclical. Misalnya, perusahaan otomotif akan
lebih sensitive terhadap
keadaan
perekonomian
makro.
Jika
perekonomian
sedang
membaik,
maka
penghasilan
perusahaan
otomotif
akan
naik,
sebaliknya
jika
perekonomian
sedang lesu (resesi) maka penghasilan otomotif akan turun lebih tajam (lebih
berisiko) dibanding perusahaan
lain yang non-cyclical. Jadi, dapat dikatakan
bahwa sektor bisnis perusahaan juga turut mempengaruhi
nilai
Beta. Firms
|
![]() 18
whose products are much discretionary to their customers should have higher
betas
than firms
whose
products
are
viewed
as
necessary
or
less
discretionary. Perusahaan
yang memproduksi barang kebutuhan sehari-hari
dianggap
memiliki
beta
yang
lebih kecil,
karena
lebih
bersifat
defensive
terhadap perubahan kondisi perekonomian. (Damodaran, 2001, p202).
b. Tingkat Leverage Operasi (The Degree of Operating Leverage of the Firm
DOL)
Tingkat
leverage
operasi
(DOL) merupakan
fungsi
dari
struktur
modal
perusahaan dan biasanya dikaitkan dengan biaya tetap (fixed cost) dan total
biaya (total cost). A firm that has fixed costs relative to total costs is said to
have high operating leverage. A firm with high operating leverage will also
have higher variability in operating income than would a firm producing a
similar product
with low operating leverage.
Other things
remaining equal,
the higher variance in operating income will lead to a higher beta for the firm
with the high operating leverage, Damodaran (2001, p202). Perusahaan yang
mempunyai tingkat leverage
operasi
yang
tinggi menandakan bahwa
persentase perubahan laba operasi yang sensitive, sehingga akan
meningkatkan nilai Beta.
DOL =
%
Perubahan Laba Operasi
=
%
Perubahan Penjualan
%
Change in Operating Pr ofit
%
Change in sales
c. Tingkat Leverage Keuangan (The Firms Financial Leverage)
Perusahaan
yang
menggunakan hutang adalah perusahaan yang
mempunyai
financial leverage. Semakin
besar proporsi
hutang semakin besar
financial
|
![]() 19
leverage, semakin besar
Beta Equity. Berikut
merupakan kutipan
yang
diambil
dari
Damodaran (2001,
p2003),
Other
things
remaining
equal,
an
increase in financial leverage will increase the beta of the equity in a
firm.
Intuitively, we would expect that the fixed interest payments on debt to result
in high net income in good times and negative net income and makes equity
investment in the firm riskier. Rumus
matematiknya dinyatakan seperi
berikut :
Levered Beta = Unlevered Beta x
[¹ + (1 - tax rate)(Debt / Equity)
]
Unlevered Beta =
Current Beta
1
+
(1 - tax rate)( Average Debt / Equity)
Unlevered Beta
suatu
perusahaan ditentukan
oleh
sektor
dimana
bisnis
perusahaan
beroperasi dan
juga
ditentukan oleh
tingkat
operating
leverage.
Karena
unlevered
beta
ditentukan
oleh
aset
perusahaan, maka
seringkali
disebut juga
Assets
Beta.
Sedangkan, Levered
Beta
seringkali
disebut juga
sebagai
Equity
Beta,
karena
levered
beta
ditentukan oleh
risiko
dimana
perusahaan beroperasi dan juga tingkat financial leverage.
3. Beta Akuntansi (Accounting Beta).
Jika
beta
historis mencari garis
regresi
linier
antara
indeks
saham individual
dengan
Indeks
Harga
Saham
Gabungan (IHSG)
maka
Beta
Akuntansi mencari
garis regresi linier antara laba akuntasi perusahaan (accounting earnings) dengan
Indeks
Harga
Saham
Gabungan
(IHSG).
Beta
akuntansi
memfokuskan kepada
perubahan
laba
akuntansi
(changes
in
earnings
at
a
division
or a
firm)
yang
terjadi di setiap divisi atau di perusahaan, baik secara triwulanan atau tahunan,
|
20
lalu dibandingkan dengan perubahan pendapatan (changes in earning for market)
yang
terjadi
di
pasar
pada
periode
yang
sama.
Jadi,
beta
akuntansi tidak
membandingkan indeks saham individual, tetapi
membandingkan laba akuntansi.
Accounting Beta is used to estimate the market risk parameters from accounting
earnings rather than from traded prices, Damodaran (2001, p209)
2.4
Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Dalam Scott,
Martin,
Petty,
and
Keown
(2005,
p205)
The
capital
asset
pricing model is an equation that equates the expected rate of return on a stock to the
risk-free rate plus a risk premium for the stocks systematic risk. CAPM merupakan
sebuah persamaan yang
menyamakan tingkat imbal hasil yang diharapkan dari
sebuah
saham
dengan
risk-free
rate
ditambah
dengan
risk
premium dari
risiko
sistematis saham.
CAPM
memberikan pendekatan intuitif
bagi
pemikiran
tentang
imbal hasil yang seharusnya diperoleh investor dari sebuah investasi, dengan melihat
risiko sistematis atau risiko pasar dari aset.
Persamaan
:
CAPM :
k
j
=
k
rf
+
ß
j
(
k
m
-
k
rf
)
Keterangan
:
k
j
= tingkat imbal hasil yang diperlukan untuk sekuritas j (required rate of return
for the j security)
k
rf
= risk-free rate
k
m
= imbal hasil yang diharapkan pasar (expected return for the market)
ß
= risiko sistematis dari asset
|
21
2.4.1 Hubungan
antara
Risiko
dan
Imbal
Hasil
Berdasarkan
CAPM
Menurut
Fardiansyah
(2002,
p48)
beta diartikan
sebagai
suatu
ukuran
kepekaan sebuah saham terhadap risiko pasar atau besarnya kontribusi risiko sebuah
saham terhadap
risiko
pada portofolio
pasar.
Kalau
beta
sebuah
saham
adalah
nol
artinya saham tersebut bebas risiko (tingkat
imbal
hasil
yang diperoleh sebesar risk-
free rate).
Walaupun
indeks
mengalami penurunan, maka saham
dengan beta sama
dengan
nol
tidak
akan
mengalami
perubahan
harga,
dengan
kata
lain tidak
terpengaruh dengan risiko pasar. Jika beta adalah satu, artinya, harga saham tersebut
akan
naik dan turun sebanding dengan
naik turunnya
indeks. Dan kalau beta adalah
negatif, artinya pergerakan harga saham tersebut akan berlawanan dengan pergerakan
indeks. Makin besar beta suatu saham akan semakin besar risiko saham tersebut, dan
semakin
besar
premi
risiko
yang
diharapkan oleh
investor
yang
akhirnya
akan
memperbesar
tingkat
imbal
hasil,
sebaliknya semakin kecil beta akan semakin kecil
risiko sebuah saham. Misalkan sebuah saham dengan beta 1.5 artinya jika indeks naik
sebesar 10% maka harga saham tersebut akan naik 15% dan kalau indeks turun 10%
harga saham tersebut akan turun 15%.
Dalam
membentuk portofolio saham
tentunya
investor
bisa
memilih
saham-
saham sesuai dengan posisi preferensinya terhadap risiko. Logikanya, semakin besar
risiko
akan
semakin
tinggi
tingkat
imbal hasil
yang
diharapkan.
Semakin
berani
investor
menanggung
risiko
tentunya
saham-saham yang
dipilihnya
adalah
saham
dengan beta
yang besar,
yang akan dikompensasi dengan tingkat imbal
hasil yang
|
22
besar pula dan
sebaliknya
investor bisa
memilih
saham dengan beta
yang kecil jika
semakin takut menanggung risiko, tetapi tentunya dengan tingkat imbal hasil yang
lebih kecil.
2.5 Struktur Modal
Secara
umum,
perusahaan
dapat
memilih
dari
begitu banyak
kombinasi
struktur modal guna memaksimalkan nilai perusahaan, mulai dari menerbitkan saham
preferen dengan bunga mengambang, obligasi, warrants, convertible bonds, dan lain-
lain. Namun kombinasi dari struktur
modal tersebut jarang terjadi pada pasar
modal
Indonesia sehingga struktur modal yang kita fokuskan hanyalah kombinasi antara
hutang dan saham.
2.5.1 Teori Struktur Modal
Teori-teori
struktur
modal
seperti yang diungkapkan oleh
Brigham dan
Houston (2003, pp 498), terbagi atas :
1. Modigliani and Millers ; Theory 1
Teori struktur
modal
modern
yang
dicetuskan
oleh
Modiglani
and Miller
(disingkat MM), terkenal sebagai salah satu teori struktur modal yang paling
berpengaruh pada dunia keuangan. MM mengungkapkan bahwa dibawah
beberapa
asumsi, nilai perusahaan tidak berpengaruh oleh struktur modal yang
dimilikinya. MM
juga
mengatakan
bahwa
walau
bagaimanapun
perusahaan
membiayai operasionalnya, hal itu tidak akan mempengaruhi struktur modalnya.
|
23
Asumsi-asumsi yang diungkapkan oleh MM pada teori pertamanya ini adalah
sebagai berikut :
Tidak ada biaya perantara (brokerage costs)
Tidak ada pajak (taxes)
Tidak ada biaya kebangkrutan (bankruptcy cost)
Semua
investor
mempunyai
informasi
yang
sama
tentang
peluang
investasi
perusahaan dimasa yang akan datang.
Pendapatan operasional
(EBIT) tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah
hutang yang digunakan perusahaan dalam struktur modalnya.
Terlepas dari tidak realistiknya asumsi-asumsi yang diungkapkan oleh MM
diatas, perlu diakui bahwa hasil yang didapat (walaupun tidak realistik) adalah
penting, karena dengan
tidak realistiknya teori
struktur
modal diungkapkan oleh
MM, malah memberikan petunjuk tentang apa saja yang dibutuhkan agar struktur
modal
menjadi
relevan
sehingga
pada akhirnya
akan
mempengaruhi
nilai
perusahaan.
2. Modigliani and Millers ; Theory 2 The Effects of Taxes
Pada tahun 1963, MM mulai menyadari bahwa tidak adanya pajak perusahaan
(Corporate
taxes)
adalah
tidak
mungkin, sehingga
pada
revisi
teorinya
yang
pertama, MM mulai menghilangkan asumsi tersebut. Pengeluaran bunga sebagai
faktor pengurang dari pendapatan operasional yang menyebabkan berkurangnya
pajak
yang
dibayarkan
perusahaan mendorong
perusahaan
untuk
lebih
banyak
menggunakan
hutang dibandingkan
dengan
menerbitkan
saham
karena
dengan
|
24
menerbitkan saham, perusahaan harus membayarkan dividen, dan karena dividen
tidak bisa menjadi faktor pengurang dari pendapatan operasional, maka
seberapapun
dividen
yang
dibayarkan
perusahaan tidak akan mempengaruhi
jumlah pajak yang harus dibayarkan perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, MM
mengungkapkan bahwa asumsi pada teori pertama (tidak termasuk pajak
perusahaan) struktur modal perusahaan yang optimal adalah 100% hutang.
Namun, kembali beberapa
tahun kemudian, teori MM disempurnakan oleh
Merton Miller (yang kali ini tanpa Prof. Modigliani), dimana dia mengungkapkan
bahwa pajak individu (Personal Taxes) juga berpengaruh terhadap struktur modal
suatu perusahaan. Miller juga mengungkapkaan bahwa dengan kondisi pajak yang
terjadi
pada
saat
itu,
para
investor
relatif
akan
bersedia menerima
imbal
hasil
sebelum pajak (before-tax-returns) pada saham dibandingkan dengan
imbal
hasil
sebelum pajak
pada
hutang.
Sehingga
Miller
mengungkapkan
dua
poin penting
pada revisi teori struktur modalnya sebagai berikut :
Pembayaran bunga yang dapat mengurangi pajak yang harus dibayarkan
perusahaan membuat pembiayaan melalui hutang adalah yang lebih baik.
Pengenaan pajak yang rendah pada penerbitan saham berbanding dengan
pajak pada hutang menyebabkan rendahnya imbal hasil yang diinginkan oleh
para pemegang saham membuat pembiayaan melalui penerbitan saham
menjadi lebih baik.
3. The Effect of Potential Bankruptcy Theory
|
25
Hasil
yang tidak relevan
sebagai
akibat
dari
asumsi yang
juga
tidak
relevan,
dimana
MM mengungkapkan
bahwa
perusahaan
tidak
akan
mengalami
kebangkrutan,
sehingga MM tidak memperhitungkan biaya kebangkrutan
(Bankruptcy Cost). Pada kenyataannya, biaya kebangkrutan ternyata memang ada
dan terkadang bisa jadi biaya yang sangat mahal.
Perusahaan
yang
mengalami
kebangkrutan
akan
mengalami
banyak
legal and
accounting expenses, dan
yang paling penting
adalah berapa banyak biaya
yang
harus dikeluarkan seiring dengan hilangnya kepercayaan dari konsumen, supplier
dan bahkan dari karyawannya sendiri.
Terlebih lagi, kebangkrutan seringkali
memaksa perusahaan untuk melikuidasi atau menjual aktiva yan dimilikinya
daripada meneruskan operasional perusahaan.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan kebangkrutan seringkali muncul
apabila perusahaan
lebih banyak
menggunakan
hutang
pada struktur modalnya.
Oleh karena itu, biaya kebangkrutan akan membuat perusahaan menurunkan
tingkat penggunaan hutang hingga pada level yang wajar.
Biaya kebangkrutan sendiri mempunyai dua komponen yaitu :
Kemungkinan terjadinya kebangkrutan itu sendiri.
Biaya yang harus dikeluarkan apabila timbulnya financial distress.
4. Trade Off Theory of Leverage
Teori yang diungkapkan oleh Stuart Myers ini menjelaskan bagaimana
perusahaan dapat melakukan trade off keuntungan-keuntungan dari penggunaan
hutang terhadap tingginya pengeluaran bunga dan biaya kebangkrutan.
|
26
Observasi yang dilakukan oleh para pencetus teori ini mengungkapkan hal-hal
seperti dibawah ini :
Pengeluaran bunga
yang menyebabkan penggunaan hutang
lebih
murah
daripada
menerbitkan
saham baik
saham biasa
atau saham preferen,
karena
dengan
penggunaan
hutang,
perusahaan mempunyai
tax
benefit.
Semakin
besarnya
hutang
yang
digunakan
dalam struktur
modal
perusahaan,
akan
semakin besar pula pendapatan bersih yang dimiliki perusahaan yang dapat
dinikmati
oleh para
investor,
yang
secara otomatis
akan
meningkatkan nilai
saham perusahaan tersebut.
Di dunia
nyata,
perusahaan
jarang
sekali
menggunakan
100%
hutang
dalam
struktur
modalnya
dengan
alasan
utama
yaitu
agar
dapat
menekan
jumlah
biaya kebangkrutan yang akan ditimbulkan apabila menggunakan hutang
terlalu besar.
Adanya ambang batas dalam penggunaan hutang.
5. Signaling Theory
Kembali, berdasarkan asumsi yang diungkapkan oleh MM bahwa para investor
mempunyai informasi yang sama seperti yang dimiliki oleh para manajer
(Symmetric
Information) adalah
tidak
demikian
adanya,
karena
pada
kenyataannya para manajer mempunyai informasi yang lebih baik daripada
informasi
yang
dimiliki
oleh
para
investor,
sehingga
terjadi
apa
yang disebut
Asymmetric Information,
dan
informasi
seperti
ini
mempunyai
pengaruh
yang
sangat penting pada struktur modal yang optimal.
|
27
Seorang
yang
mempunyai
informasi
mengenai
prospek
yang positif akan
cenderung berusaha menghindari penjualan saham sehingga secara tidak langsung
memaksa perusahaan
menggunakan
hutang
melebihi
dari
target
normal
dalam
struktur
modalnya.
Begitu
juga
sebaliknya,
apabila prospek
sebuah perusahaan
tersebut akan
go
public dengan
melakukan
stock
offering,
seringkali
dianggap
sebagai signal bahwa prospek kinerja perusahaan ke depan cenderung negatif.
Bagaimana implikasi teori ini terhadap struktur modal sebuah perusahaan ?.
Seperti diungkapkan diatas bahwa stock offering dianggap sebagai negatif signal
dan cenderung akan
menurunkan
harga saham (walaupun sebenarnya tidak
selamanya
kinerja
perusahaan
akan
buruk)
maka
perusahaan
pada
masa-masa
normal
harus
mempertahankan Reserver Borrowing Capacity, yaitu kemampuan
meminjam
uang
dengan
harga
yang
wajar pada
saat
munculnya peluang
berinvestasi.
Perusahaan
dalam kondisi
normal
akan
menggunakan
lebih sedikit
hutang
dari
apa yang diungkapkan oleh MM dalam teori optimal capital structure-nya
sebagai cadangan bahwa perusahaan masih bisa menggunakan tambahan hutang
tanpa
menyebabkan timbulnya a
cost of financial distress
karena
menggunakan
hutang secara berlebihan.
2.5.2 Batas Penggunaan Hutang
Penggunaan
hutang yang
mempunyai keuntungan pajak
membuat biaya
struktur
modal (cost of capital)
menjadi
lebih murah apabila dibandingkan dengan
|
28
pembiayaan
struktur
modal
melalui
penerbitan
saham. Namun dengan penggunaan
hutang
yang
berlebihan
akan
menyebabkan ketakutan
dari
para
investor,
apakah
perusahaan
mampu
membayar
hutang-hutangnya tersebut (cost of financial distress)
dan juga para investor akan beranggapan bahwa perusahaan mempunyai kinerja yang
buruk lambat laun akan mengalami kebangkrutan. Kehilangan kepercayaan ini akan
mendorong para investor untuk melakukan aksi jual saham yang dimilikinya sehingga
akan menurunkan harga saham yang berarti juga menurunkan nilai perusahaan.
Jadi secara
singkat dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan
hutang pada
level tertentu akan membuat biaya modal menjadi lebih murah namun apabila hutang
digunakan
melebihi
batas wajar, malah
akan
menyebabkan
menurunya
nilai
perusahaan.
Menurut
Ross,
Westerfield,
Randolph
(2002,
p425),
ada
beberapa cost
of
financial distress yang
harus dikeluarkan perusahaan apabila perusahaan mempunyai
hutang yang berlebihan yaitu :
1. Direct Cost of Financial
Distress : Legal and Administrative Cost of
Liquidation or Reorganization.
Biaya yang dikeluarkan untuk membayar pengacara yang terlibat pada tahap
sebelum dan
selama
proses
kebangkrutan
serta
biaya-biaya
administrasi
lainnya.
2. Indirect Cost of Financial Distress
Sulitnya mengembalikan kepercayaan investor dan supplier adalah biaya yang
paling
besar
yang
harus
dibayarkan
secara
tidak
langsung oleh
perusahaan,
|
![]() 29
karena biasanya penjualan akan menurun drastis akibat dari ketidakpercayaan
tersebut.
3. Agency Cost
Penggunaan hutang juga akan memicu conflicts of interest antara stockholders
dan bondholders,
dimana
masing-masing
pihak akan berusaha untuk
mendahulukan
kepentingannya
sendiri-sendiri apabila
terjadi financial
distress.
2.6
Rasio Keuangan
Rasio keuangan untuk mengidentifikasi tolak ukur kinerja sebuah perusahaan.
2.6.1 Debt to Total Asset Ratio
Menurut Keown, Martin, John (2004, pp80)
Debt to Total Asset Ratio =
Total Debt
Total Asset
Rasio ini mengukur sejauh mana
pembelian atau investasi atas aktiva
perusahaan didanai dengan hutang. Sedangkan menurut Eugene, Gapenski (1997,
p50), rasio total hutang dan total assets sering disebut sebagai debt ratio, mengukur
persentase dari pembiayaan yang disediakan oleh kreditur. Total hutang meliputi
hutang
lancar
(current
liabilities) dan
hutang
jangka
panjang
(long-term
debt).
Kreditur lebih menyukai debt ratio yang rendah, karena makin rendah
rasio,
makin
besar perlindungan terhadap risiko kerugian bagi kreditor dalam
hubungannya
|
![]() 30
dengan likuidasi. Di lain pihak, pemegang saham mendapatkan keuntungan dari
leverage karena penggunaan hutang memperbesar earning.
2.6.2 Debt to Equity Ratio
Menurut
Ross, Stephen,
Westerfield, Randolph (2002,
p35)
Debt to Equity
Ratio adalah sebagai berikut :
Debt to Equity Ratio =
Total Debt
Total Equity
Debt
to
Equity Ratio dapat
digunakan
sebagai
alat
ukur
dalam
menghitung
seberapa
besar
leverage yang digunakan
oleh perusahaan.
Sebuah
perusahaan
yang
mempunyai
Debt
to
Equity
Ratio
yang
besar
dapat
memberikan
imbal
hasil
yang
lebih
besar kepada shareholder
seiring dengan tingginya risiko yang dihadapi bila
dibandingkan dengan perusahaan
yang
mempunyai
Debt to Equity Ratio yang
lebih
kecil.
Menurut Werner, Jones (2004. p 480), Debt
to
Equity Ratio menunjukkan proporsi
hubungan antara hutang dan modal. Pihak keuangan menyebut rasio ini sebagai rasio
total
hutang
terhadap
nilai bersih. Makin rendah nilai
Debt
to
Equity
Ratio, makin
rendah
total
hutang
relatif
terhadap
total
modal.
Debt
to
Equity Ratio
seuatu
perusahaan
harus dievaluasi
dipandang
dari
sudut
perusahaan-perusahaan
sejenis
dalam
industri,
kemapanan
suatu
perusahaan
(the
maturity of the
company)
dengan
kecenderungan bisnis baru mempunyai lebih banyak hutang relatif terhadap modal,
dan
filsafat
manajemen
yang
memperhatikan
keseimbangan
yang tepat
antara
|
![]() 31
pembiayaan
dengan
hutang
(debt
financing) dan
pembiayaan
dengan
modal (equity
financing). Sedangkan
menurut
Palepu,
Healy,
Bernard
(2004,
p5)
Debt
to
Equity
Ratio merupakan
sebuah
indikasi berapa banyak dolar dari pembiayaan oleh
hutang
yang digunakan oleh perusahaan untuk tiap dolar yang diinvestasikan oleh pemegang
sahamnya.
2.6.3 Profit Margin Ratio
Rasio profitabilitas merupakan salah satu rasio keuangan yang menunjukkan
perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa rasio profitabilitas
ialah kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba selama periode tertentu.
Rasio profitabilitas yang akan digunakan dalam
penelitian
ini adalah Profit Margin
Ratio
(PM). Rasio
ini
merupakan
rasio
antara
laba
usaha
dengan
penjualan
yang
mengukur
laba
usaha
yang
dihasilkan
dari setiap
rupiah
penjualan.
Profit
margin
digunakan untuk menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan
laba usaha pada tingkat penjualan tertentu.
PM
=
laba usaha
penjualan
2.7
Leverage
Sesuai dengan CAPM, the required return hanya bergantung dari risiko yang
sistematis dari investasi. Dimana risiko yang sistematis dapat dibedakan menjadi dua.
Pertama, yang biasa disebut dengan risiko bisnis (business risk), atau operating risk.
|
32
Kedua,
menunjuk
pada
risiko
keuangan
(financial risk).
Sangatlah
penting
untuk
membedakan kedua tipe risiko ini, karena memberikan pengaruh pada require return
yang berbeda.
Sudah menjadi sifat dari investasi, bahwa perusahaan tidak dapat
mengendalikan
risiko binisnya.
Sebaliknya,
risiko keuangan perusahaan ditentukan
oleh jumlah debt yang dimiliki perusahaan,
yang disebut dengan financial leverage.
Lebih
banyak
leverage akan
menaikan
risiko.
Financial leverage
mengijinkan para
pemegang
saham
untuk
mengendalikan
lebih
banyak aset
dari
yang
dimungkinkan
jika mereka hanya
memakai modal
mereka.
Lebih
lanjut dari financial leverage, ada
tipe kedua dari leverage, yang disebut dengan operating leverage.
2.7.1 The Degree of Operating Leverage
Salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
risiko bisnis
suatu
perusahaan
bisa
dilihat
dari
seberapa
besar
biaya tetap
dalam struktur biaya
perusahaan,
yang
digunakan dalam
operasi perusahaannya. Jika biaya tetap yang digunakan cukup
besar, maka
bila terdapat sedikit perubahan yang besar pada penjualan maka akan
berdampak
pada
perubahan
yang
besar
pada
Return
on Equity (ROE),
begitu juga
sebaliknya,
seperti
dalam Houston
and
Brigham (2004,
p482),
In
business
terminology, a high degree of operating leverage, other factors held constant, implies
that a relatively small changes in sales results in a large change in ROE.
Brigham and Gapenski (1997, p573), In business terminology, a high degree
of operating leverage, other
factors
held constant,
implies thar
a
relatively small
|
![]() 33
change
in sales result
in a large
change in ROE.
We can calculate
the
breakeven
quantity by
recognizing that
breakeven
occurs
when
ROE
=
0,
and
hence,
when
earnings before interest and taxes (EBIT) = 0.
EBIT = 0 = PQ VQ E
Emery and Finnerty (2004, p318), Operating leverage is the relative mix of
fixed and variable cost required to produce a product or service. Operating
leverage berhubungan
dengan
kombinasi
antara
biaya
tetap
dengan
biaya
variabel
yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produksi barang dan jasa.
Scott,
Martin,
Petty,
and
Keown
(2005,
p519),
Operating leverage is
the
responsiveness of
the
firms
EBIT
to
fluctuations in
sales.
Operating
leverage
bertanggung jawab pada besarnya EBIT, dalam hubungannya dengan perubahan
pernjualan. Persamaan DOL berdasarkan penjualan :
DOLs =
Change in EBIT
%
Change in
EBIT
=
EBIT
%
Change in Sales
Change in Sales
Sales
Jika dimiliki data dari biaya, maka dapat digunakan formula :
DOLs =
Sales - Variable Cost
=
EBIT
Q
(P - V)
Q
(P - V) - F
Dalam
menggunakan
persamaan
diatas,
diperlukan
data
biaya
untuk
mengetahui operating leverage. Tetapi bila hanya terdapat income statement, maka
dapat menggunakan persamaan :
DOLs =
Revenue Before Fixed Cost
EBIT
=
S
-
VC
S
-
VC - F
|
34
Dalam Scott, Martin, Petty and Keown (2005, p 522), The three versions of
the
operating
leverage measure
all produce the
same
result.
Data
availability
will
sometimes
dictate
which
formulation can
be
applied.
The
crucial
consideration,
though, is the you grasp what the measurement tells you.
2.7.2 The Degree of Financial Leverage
Emery and Finnerty (2004, p320), Operating risk depends principally on the
nature
of
the
investment and
to
a
lesser
extend
on
the firms
choice
of
operating
leverage.
In
contrast, financial
risk
depends
mostly
on
financial leverage.
When a
firm
has some debt
financing,
the
debt portion
of
its financing cost
is fixed rather
than
variable. Although
we
would
exect
a
larger
return
to
shareholders
than
ti
debtholders, shareholder return can vary from one period to the next without
affecting the operation of the firm. However, failure to make required debt payments
can result in bankruptcy. We could say, then, that financial leverage substitutes fixed
payments to debtholders for variable payments to shareholders.
Scott, Martin,
Petty, and
Keown
(2005, p524),
Financial
leverage
as
the
practice of financing a portion of the firms assets with securities bearing a fixed rate
of
return
in
hope
of
increasing
the
ultimate
return
to
the common
shareholders.
Financial
leverage dapat
difokuskan pada
hubungan
perubahan
antara
earning
per
share
dengan
EBIT
perusahaan.
Tingkat
pengembalian dari
common
shareholder
dapat
dipusatkan pada
earning
per
share,
tetapi
earning
per
share
juga
bukan
merupakan kriteria
yang tepat untuk
semua keputusan keuangan. Penggunaan
|
![]() 35
financial leverage dapat
menghasilkan pengaruh pada keputusan-keputusan tertentu
saja.
Untuk
mengukur
hubungan
antara earnings
per
share
dengan
naik
turunnya
EBIT, dapat dilihat dari persamaan :
DFL =
%
Change In EPS
%
Change In Ebit
Change In EPS
=
EPS
Change In EBIT
EBIT
Atau dapat juga menggunakan persamaan :
DFL =
EBIT
EBIT - I
Menurut
Keown,
John
(2005,
p525),
Perusahaan dikatakan
mempunyai
financial
leverage ketika asetnya didanai dengan surat berharga bependapatan tetap
(fixed rate of return) atau dengan kata lain, kehadiran hutang dan atau saham preferen
sebagai
sumber
pendanaan
aset
dapat
berarti
perusahaan sedang
menggunakan
financial
leverage.
Rasio
ini
mengukur
tingkat
sensitivitas laba
per
lembar
saham
(positif atau negatif) terhadap perubahan laba operasional (EBIT). Berdasarkan hasil
pengamatan, semakin besar degree of financial leverage, akan semakin besar
fluktuasi pendapatan per lembar saham (earning per share).
Berdasarkan Eugene,
Gapenski
(1997,
p48),
perluasaan
dari
penggunaan
pembiayaan oleh
hutang atau financial leverage, mempunyai tiga dampak penting
:
(1)
Dengan
meningkatkan pendanaan
melalui
hutang,
pemegang
saham
dapat
mengontrol perusahaan dengan investasi yang terbatas. (2) Kreditur melihat ke
modal, atau pendanaan
oleh pemilik, untuk menetapkan
batas aman (margin of
safety),
Jadi
jika
pemegang
saham
hanya
memberikan
sedikit
proporsi dari
total
|
36
pembiayaan, sebagian besar risiko dari perusahaan akan ditanggung oleh kreditur. (3)
Jika
perusahaan memperoleh lebih
banyak
pendanaan
melalui
investasi
dengan
meminjam dana
dan
membayar
bunga,
tingkat
pengembalian
pada
modal
pemilik
diperbesar, atau leverage.
|