BAB II LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian Umum
2.1.1 Pengertian Internal Audit
The Institute of Internal Auditor (IIA) mendefinisikan Internal
Audit sebagai
suatu fungsi penilai independent yang ditetapkan dalam suatu organisasi untuk
menguji
dan
mengevaluasi
aktivitas-aktivitas organisasi
sebagai
suatu
jasa
kepada
organisasi.
Definisi tersebut mengandung beberapa hal, yaitu: 1) Internal menunjukan
bahwa auditing adalah dikerjakan dalam suatu organisasi oleh para internal auditor,
2) Fungsi penilai independen membuat auditing menjadi jelas bahwa tidak ada
keterbatasan atau
rintangan
pada
pertimbangan
auditor,
3)
ditetapkan
menyatakan
bahwa entitas secara khusus memberikan kewenangan terhadap fungsi internal audit,
4) menguji dan mengevaluasi serta menjelaskan sifat  internal auditing, yang pertama
mencari fakta dan yang kedua evaluasi hasil, 5) aktivitas menunjukan bahwa seluruh
aktivitas  organisasi  berada  dalam 
lingkung 
internal  audit,  dan  6)  jasa  kepada
organisasi mengindikasikan bahwa internal auditing ada untuk membantu atau
memberi manfaat kepada organisasi.
7
  
8
Sebagai suatu profesi, ciri utama auditor
internal adalah kesediaan menerima
tanggung
jawab
terhadap
kepentingan
masyarakat
dan
pihak-pihak
yang
dilayani.
Agar
dapat
mengemban
tanggung jawab
ini
secara
efektif,
auditor
internal
perlu
memelihara  standar  perilaku  dan  memiliki  standar  praktik  pelaksanaan  pekerjaan
yang handal.
2.1.2 Pengawasan Intern Pemerintah
Pengawasan intern pemerintah merupakan fungsi manajemen yang penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik.
Dalam rangka
mewujudkan kepemerintahan yang baik, berdaya
guna, berhasil
guna,
bersih dan bertanggung jawab diperlukan adanya Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah
(APIP)
yang
berkualitas
dan auditor
yang
profesional.
Melalui
pengawasan
intern
dapat
diketahui
apakah suatu
instansi
pemerintah
telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien,
serta sesuai dengan rencana, kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan.(Standar
Audit APIP, 2008).
Pengawasan intern di lingkungan Departemen, Kementerian
dan Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal dan
Inspektorat
Utama/Inspektorat
untuk kepentingan
Menteri/Pimpinan
LPND
dalam
upaya
pemantauan
terhadap
kinerja
unit organisasi
yang
ada
dalam
kendalinya.
Pelaksanaan fungsi Inspektorat Jenderal dan Inspektorat Utama tidak terbatas pada
fungsi audit tetapi juga fungsi pembinaan terhadap pengelolaan keuangan negara.
(Standar Audit APIP, 2008).
  
9
Hasil kerja APIP diharapkan bermanfaat bagi pimpinan dan
unit-unit kerja
serta pengguna lainnya untuk meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan.
Hasil kerja ini akan dapat digunakan dengan penuh keyakinan jika pemakai jasa
mengetahui dan mengakui tingkat profesionalisme auditor yang bersangkutan. Untuk
memastikan  dan  memberikan  jaminan  yang  memadai  (quality  assurance)  apakah
audit yang dilaksanakan telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan maka perlu
dilakukan  pengendalian  mutu  terhadap  mutu  audit 
yang  dilakukan  oleh  APIP.
Dengan diikutinya standar tersebut, maka perencanaan,
pelaksanaan
dan
pelaporan
audit
akan
memberikan
hasil
yang
dapat diyakini
validitas
dan
keakuratannya.
(Standar Audit APIP, 2008).
Menurut 
Peraturan 
Pemerintah  Nomor 
60 
Tahun 
2008 
tentang  Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah :
” Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi,
pemantauan
dan
kegiatan
pengawasan
lain
terhadap
penyelenggaraan
tugas
dan
fungsi
organisasi
dalam rangka
memberikan
keyakinan
yang
memadai
bahwa   kegiatan   telah   dilaksanakan   secara   efektif   dan   efisien   untuk
kepentingan pimpinan dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik”
Inspektorat Jenderal atau
nama
lain yang
secara
fungsional
melaksanakan
pengawasan intern
adalah
Aparat
Pengawasan
Intern
Pemerintah
yang
bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga”
2.2
Program Quality Assurance Fungsi Audit Internal.
2.2.1 Kualitas dan Quality Assurance
Secara kualitas
mencakup kualitas produk, kualitas pelayanan, kualitas kerja,
kualitas informasi, kualitas individu, kualitas sistem dan proses, kualitas divisi, serta
segala hal lainnya yang bertujuan untuk peningkatan dalam kriteria tertentu. Dengan
  
10
kata lain kualitas merupakan sesuatu korelasi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi bahkan melebihi yang
diharapkan (Tjiptono dan Diana, 2001).
Beberapa rangkuman definisi dan pengertian dari kualitas menurut beberapa
ahli antara lain :
(Juran , 1962)
” Kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan dan manfaatnya”
(Deming, 1982)
”Kualitas
harus
bertujuan
memenuhi kebutuhan
pelanggan
sekarang dan di
masa mendatang”
The
Juran
Trilogi
merupakan
ringkasan
dari tiga
fungsi
manjerial
utama
(Bounds 1994 : 76). Pandangan Juran terhadap fungsi-fungsi ini dijelaskan sebagai
berikut :
1.   Perencanaan Kualitas
Perencanaan kualitas meliputi pengembangan produk, sistem, dan proses yang
dibutuhkan untuk memenuhi atau melampaui harapan klien. Langkah-langkah
yang dibutuhkan untuk itu adalah sebagai berikut:
a.  Menentukan siapa yang menjadi klien.
b.
Mengidentifikasi kebutuhan klien.
c.
Mengembangkan  sistem
dan  proses  yang  memungkinkan  organisasi  untuk
menghasilkan keistimewaan tersebut.
d.
Menyebarkan rencana kepada level operasional.
2.   Pengendalian Kualitas
Pengendalian kualitas meliputi langkah-langkah berikut :
a.
Menilai kinerja kualitas aktual.
b.
Membandingkan kinerja dengan tujuan.
c.
Bertindak berdasarkan perbedaan antara kinerja dan tujuan.
  
11
3.   Perbaikan Kualitas
Perbaikan kualitas harus dilakukan secara on-going dan terus menerus, langkah-
langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a.
Mengembangkan
infrastruktur
yang
diperlukan
untuk
melakukan
perbaikan
kualitas setiap tahun.
b. Mengidentifikasi  
bagian-bagian  
yang  
membutuhkan   perbaikan  
dan
melakukan proyek perbaikan.
c.
Membentuk suatu tim proyek yang bertanggungjawab dalam
menyelesaikan
setiap proyek.
d. Memberikan  tim-tim  tersebut 
apa 
yang 
mereka  butuhkan 
agar 
dapat
mendiagnosis masalah guna menentukan sumber penyebab utama,
memberikan solusi, dan melakukan pengendalian.
Crosby
terkenal
dengan
anjuran
manajemen
Zero
Defect
dan pencegahan.
Selain
itu
Crosby
juga
terkenal
dengan
Quantity
Vaccine
dan
Crosby’s
Fourteen
Steps
to
Quality
Improvement.
Pandangan
Crosby
dirangkumnya
dalam ringkasan
yang disebut dalil-dalil manajemen kualitas : ( Nasution, 2001 : 38)
1.   Dalil –dalil manajemen kualitas
Dalil pertama : Definisi kualitas adalah sama dengan persyaratan Pada awalnya,
kualitas
diterjemahkan
sebagai
tingkat kebagusan
atau
kebaikan
(good-ness).
Definisi ini memiliki kelemahan, yaitu tidak menerangkan secara spesifik
baik/bagus
itu
bagaimana.
Definisi
kualitas
menurut
Crosby
adalah
memenuhi
atau sama dengan persyaratan (conformance to requirements). Kurang sedikit saja
persyaratannya, maka suatu barang atau jasa dikatakan tidak berkualitas.
Dalil
kedua
:
Sistem kualitas
adalah
pencegahan. Dalam suatu proses
pasti
ada
input dan output. Didalam proses kerja internal sendiri ada empat kendali input di
mana   proses   pencegahan   dapat   dilakukan,   yaitu   pada   :   1)Fasilitas   dan
  
12
perlengkapan,  2)  Pelatihan  dan  pengetahuan,  3)  Prosedur,  pedoman/manual,
standar dan pedoman standar kualitas dan 4) Standar kinerja/prestasi.
2.   Crosby’s Quality Vaccine
Crosby’s 
Quality 
Vaccine 
terdiri 
dari 
tiga 
unsur,  yaitu 
determinasi
(determination), pendidikan (education), dan pelaksanaan (implementation).
Menurut
Crosby,
setiap entitas
harus
divasinasi
agar
memiliki
antibodi
untuk
melawan
ketidaksesuaian
terhadap
persyaratan
(Performance).
Ketidaksesuaian
ini merupakan penyebab sehingga harus dicegah dan dihilangkan.
3.   Crosby’s Fourteen Steps to Quality Improvement.
Empat
belas
langkah
untuk
perbaikan
kualitas
menurut Crosby
adalah
sebagai
berikut:
(V. Daniel Hunt, 1993 :64).
1.   Komitmen   manajemen,   yaitu   menjelaskan   bahwa   manajemen   bertekat
meningkatkan kualitas untuk jangka panjang.
2.   Membentuk tim kualitas antardepartemen.
3.   Mengidentifikasi sumber terjadinya masalah saat ini dan masalah potensial.
4.   Menilai  biaya  kualitas  dan 
menjelaskan  bagaimana  biaya  itu  digunakan
sebagai alat manajemen.
5.   Meningkatkan
kesadaran
akan
kualitas
dan
komitmen
pribadi
pada
semua
karyawan.
6.   Melakukan  tindakan  dengan  segera 
untuk 
memperbaiki 
masalah-masalah
yang telah diidentifikasi.
7.   Mengadakan program zero defect.
8.   Melatih  para  penyelia  untuk  bertanggung  jawab  dalam  program  kualitas
tersebut.
9.   Mengadakan zero defect day untuk menyakinkan seluruh karyawan agar sadar
akan adanya arah baru.
10. Mendorong individu dan tim untuk membentuk tujuan perbaikan pribadi dan
tim.
11. Mendorong
para
karyawan
untuk
mengungkapkan
kepada
manajemen
apa
hambatan yang mereka hadapi dalam upaya mencapai tujuan kualitas.
12. Mengakui/menerima para karyawan yang berpartisipasi.
13. Membentuk dewan kualitas
untuk mengembangkan komunikasi secara
terus
menerus.
14. Mengulangi setiap tahap tersebut untuk menjelaskan bahwa perbaikan kulitas
adalah proses yang tidak pernah berakhir.
  
13
Kualitas
melibatkan kesesuaian dengan produk atau jasa terhadap spesifikasi
tertentu  untuk  memenuhi  keinginan  dan  harapan  klien.  Terdapat  dua  pendekatan
dalam kesesuaian dengan spesifikasi kualitas (Blocher, 2002) :
1.   Goalpost Conformance atau Zero Defect Conformance
Adalah  ukuran  keseuaian  dimana  standar  kualitas  ditentukan  dengan  cara
berada   di   dalam   kisaran   spesifikasi   yang   ditargetkan.   Keseuaian   ini
menginginkan kualitas produk atau kualitas jasa yang dihasilkan berada dlam
batasan tertentu.
2.   Absolute Conformance atau Robust Quality Conformance
Adalah  ukuran  kesesuaian  di  mana  standar  kualitas  ditentukan  jika  dapat
memenuhi spesifikasi secara tepat pada target value.
Kualitas memerlukan suatu proses perbaikan yang terus menerus (continuous
improvement
process) yang dapat diukur, baik secara
individual,
organisasi,
dan
kinerja secara keseluruhan. Dukungan manajemen dan karyawan untuk perbaikan
kualitas  
adalah  
penting bagi kemampuan berkompetisi  
secara efektif di era
globalisasi  (Flynn, Schroder and Sakakibara,1994)
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian
Intern
Pemerintah,
bahwa kegiatan
audit,
reviu,
evaluasi
dan
pemantauan merupakan kegiatan yang berkaiatan langsung dengan penjaminan
kualitas (quality assurance).
Ketika
audit
internal
mendapatkan
peran
yang
lebih
besar
dalam menilai
operasi organisasi, serta pimpinan juga bergantung kepada staf audit internal mereka
untuk memberikan proteksi dan informasi yang diinginkan untuk pengambilan
keputusan
manajemen,
maka
timbul
kebutuhan
terhadap assurance
yang
semakin
tinggi bahwa manajemen dan pimpinan telah dilayani secara baik oleh staf audit
yang`profesional. Hal ini tentu tidak dapat dipenuhi oleh pernyataan yang dikeluarkan
  
14
oleh
staf
audit
itu
sendiri.
Dibutuhkan sebuah
assurance
yang
objektif
dan
dapat
dipercaya,
yang
hanya
dapat
dipenuhi
melalui peer
reviu atau
penelaahan
quality
asssurance. Penelaaahan seperti ini dirancang untuk dapat memberikan analisis yang
independen mengenai apakah : (Sawyer’s,  2006 : 190)
1.   Audit
telah
memenuhi
kebutuhan
dari
pihak-pihak
yang
bergantung
kepadanya.
2.   Operasi audit telah dilaksanakan dengan benar.
3.   Apakah audit dapat dilakukan dengan lebih baik.
4.   Adakah pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat ditambahkan lagi.
5.   Diperoleh
nilai maksimal untuk setiap rupiah
yang dikeluarkan oleh
internal
audit.
6.   Audit internal telah memenuhi standar profesional yang berlaku.
(Sutton, 1993) mendeteksi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas
audit dengan menggunakan metode teknik kelompok
nominal
pada
auditor
yang
berpengalaman. Ukuran yang digunakan (Sutton ,1993) adalah gabungan dari proses
dan ukuran hasil yaitu :
1.   Ukuran  proses  berfokus  pada  pekerjaan  yang  diakukan  oleh  auditor  dan
ketaatan kepada standar yang ditetapkan.
2.   Ukuran hasil berfokus kepada keyakinan yang meningkat yang diperoleh dari
laporan auditor oleh pengguna laporan keuangan.
Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas audit adalah  
faktor-faktor      yang  
berhubungan      dengan     lingkungan
klien. 
Fokus dari proses audit pada lingkungan klien sangat berpengaruh   
secara
signifikan terhadap kualitas audit (Roos, 2005 : 8)
Program Jaminan
Kualitas,
berdasarkan
standar
kualitas
tertentu, harus
menggambarkan
sistem
yang
mengendalikan penyusunan dan penerapan
proses-
proses perawatan dan pengujian berkala. Ketetapan Program Jaminan Kualitas harus
didasarkan pada tiga kategori fungsional aspek berikut: manajemen, pelaksanaan dan
  
15
pengkajian:  (a)  Manajemen  menyediakan  sarana  dan  dukungan  untuk  mencapai
tujuan;
(b)
Personil
yang
melaksanakan pekerjaan
memenuhi
kualitas;
dan
(c)
Efektivitas proses manajemen dan pelaksanaan pekerjaan dikaji. (
Guna penerapan
Program Jaminan
Kualitas
yang
memadai,
ketiga
kategori
fungsional yang disebutkan di atas perlu diperhatikan.
Aspek
manajemen
Program
Jaminan Kualitas arus mencakup: kebijakan kualitas;
struktur organisasi;
tanggung
jawab
fungsional;
kebutuhan
pelatihan; tingkat kewenangan dan antar muka untuk
personil yang mengatur, melaksanakan dan mengkaji kecukupan pekerjaan. (
Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa profesi harus dijaga. Karena itu
setiap profesi harus memiliki kendali mutu. Kendali mutu ini harus dilakukan dalam
upaya pencapaian standar audit
yang mengharuskan auditor
menggunakan keahlian
profesional dengan cermat dan seksama. Program
jaminan kualitas
harus diciptakan
untuk mempertahankan kepercayaan
masyarakat
terhadap
mutu
jasa audit. Program
jaminan kualitas untuk masing-masing APIP dapat dibangun sendiri sesuai dengan
karakteristik APIP yang bersangkutan. (Pusdiklawas BPKP, 2005)
Menurut Standar IIA, 1300- Program Quality Assurance dan Perbaikan
“Direktur Audit harus mengembangkan dan mempertahankan suatu program
quality
assurance dan
perbaikan
yang
mencakup
semua
aspek
audit
internal
secara
terus
menerus
memonitor
efektivitasnya.
Program tersebut
harus
dirancang untuk membantu aktivitas audit internal memberi nilai tambah dan
memperbaiki operasi organisasi serta untuk memberikan assurance
bahwa
aktivitas audit internal sesuai dengan Standar dan Kode Etik”
  
16
Menurut  Standar 
Audit  APIP  1170  -  Melakukan  Pengembangan  Program  dan
pengendalian Kualitas.
”APIP
harus
mengembangan
program dan
mengendalikan
kualitas
audit.
Program pengembangan
kualitas
mencakup
seluruh
aspek
kegiatan
audit
di
lingkungan APIP. Program tersebut dirancang untuk mendukung kegiatan audit
APIP, memberikan
nilai tambah dan
meningkatkan kegiatan operasi organisasi
serta memberikan jaminan bahwa kegiatan audit di lingkungan APIP sejalan
dengan Standar Audit dan Kode Etik”
Program
dan
pengendalian tersebut
harus
dipantau efektifitasnya
secara terus-
menerus, baik oleh internal APIP maupun pihak lain sesuai kebijakan yang ditetapkan
oleh Menteri berwenang untuk merumuskan kebijakan nasional dan
mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan.
Kelemahan-kelemahan
yang dijumpai
pada
program maupun
pelaksanaannya
harus
senantiasa dikurangi dan dihilangkan. (Standar Audit APIP, 2008).
Pimpinan audit internal harus menetapkan dan mengembangkan program
pengendalian mutu untuk
mengevaluasi berbagai kegiatan dari bagian audit internal.
(Tugiman, 1997 :91 )
Tanggung
jawab
Organisasi
Pemeriksa yaitu mempunyai tanggung jawab
untuk menyakinkan bahwa 
:
(1) independensi dan objektifitas dipertahankan dalam
seluruh tahap pemeriksaan, (2) pertimbangan profesional (professional judgment )
digunakan
dalam perencanaan
dan
pelaksanaan
hasil
pemeriksaan, (3)
pemeriksaan
dilakukan oleh personil yang mempunyai kompetensi profesional dan secara kolektif
mempunyai
pengetahuan
yang
memadai,
dan
(4)
peer reviu yang
independen
dilaksanakan secara periodik dan menghasilkan suatu pernyataan, apakah sistem
pengendalian   mutu   organisasi   pemeriksa   tersebut   dirancang   dan   memberikan
  
17
keyakinan 
memadai 
sesuai 
dengan 
Standar 
Pemeriksaan.(Standar 
Pemeriksaan
Keuangan Negara, 2007)
Sifat dan lingkup sistem pengendalian mutu organisasi pemeriksa bergantung
pada beberapa faktor, seperti ukuran dan tingkat otonomi kegiatan yang diberikan
kepada
pemeriksa
dan
organisasi
pemeriksa,
sifat
pekerjaan,
struktur organisasi,
pertimbangan mengenai segi biaya dan manfaatnya. Dengan demikian , sistem
pengendalian mutu yang disusun oleh organisasi pemeriksa secara individu akan
bervariasi, begitu pula mengenai dokumentasinya. (Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara, 2007)
(Sawyer’s,
2006
:
187)
Tujuan
dari quality
assurance adalah untuk
memberikan kenyakinan memadai bahwa pekerjaan audit yang dilaksanakan telah
sesuai
dengan
Standar
yang
ada.
Sebuah
program quality
asssurance
sebaiknya
mencakup unsur-unsur di bawah ini:
1.   Supervisi
2.   Reviu/Penilaian/Penelaahan Internal
3.   Reviu/Penilaian/Penelaahan Eksternal.
2.2.2 Supervisi
Supervisi
atas pekerjaan internal auditor sebaiknya dilaksanakan secara terus
menerus untuk menjamin adanya kesesuaian dengan standar audit internal, kebijakan-
kebijakan aktivitas dan program audit. (Sawyer’s, 2006 : 187)
Pada setiap tahap audit kinerja, pekerjaan auditor harus disupervisi secara
memadai
untuk
memastikan
tercapainya sasaran,
terjaminnya
kualitas,
dan
meningkatnya   kemampuan   auditor.   Supervisi   merupakan   tindakan   yang   terus
menerus  selama  pekerjaan  audit, 
mulai  dari  perencanaan 
hingga  diterbitkannya
  
18
laporan
audit.
Supervisi
harus
diarahkan
baik
pada
substansi
maupun
metodologi
audit dengan tujuan antara lain untuk mengetahui : (Standar Audit APIP, 2008)
1.   Pemahaman anggota tim audit atas rencana audit
2.   Kesesuaian pelaksanaan audit dengan standar audit.
3.   Kelengkapan  bukti  yang  terkandung  dalam  Kertas  Kerja  Audit  untuk
mendukung kesimpulan dan rekomendasi sesuai dengan jenis audit.
4.   Kelengkapan 
kesimpulan 
dan 
akurasi 
laporan 
audit 
yang 
mencakup
terutama pada kesimpulan audit dan rekomendasi sesuai dengan jenis audit.
Semua
pekerjaan
anggota
tim audit
harus
direviu
oleh
ketua
tim,
semua
pekerjaan ketua
tim
audit
harus
direviu
oleh atasan
langsungnya
sebelum
laporan
audit dibuat. (Standar Audit APIP, 2008).
2.2.3 Penelaahan Internal.
Reviu adalah penelaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan
untuk memastikan
bahwa 
kegiatan 
tersebut 
telah 
dilaksanakan 
sesuai 
dengan  ketentuan,  standar,
rencana, atau norma yang telah ditetapkan. (Pusdiklatwas BPKP : 2003)
Penelaahan internal hanyalah sebuah penilaian mengenai seberapa baik para
auditor dan supervisor telah memenuhi kebijakan dan prosedur aktivitas serta praktik
professional yang ada. Penelaahan internal adalah penilaian atas sebuah sampel
laporan audit dan kertas kerja pendukungnya. (Sawyer’s,  2006 :202)
Penelaahan internal hendaknya dilaksanakan secara berkala atau sekali waktu
oleh seorang staf auditor senior atau seorang supervisor
untuk menilai kualitas
pelaksanaan audit
internal. Penelaahan ini sebaiknya dilaksanakan dengan cara
yang
sama dengan audit internal yang lain. (Sawyer’s,  2006 :202)
  
19
Menurut  Standar  Audit  Inspektorat  Jenderal  Departemen  Keuangan  tahun
2004, Penilaian Internal meliputi:
1.   Reviu secara terus menerus atas kinerja kegiatan audit internal di lingkungan
Inspektorat Jenderal.
2. 
Reviu periodik yang dilakukan melalui penilaian oleh diri sendiri atau oleh
orang
lain
dalam Inspektorat
Jenderal,
yang
memiliki
pengetahuan
tentang
praktik audit
internal
dan
standar. Maksudnya
reviu
intern
harus
dilakukan
secara
periodik
oleh auditor
lain
dari
unit
pengawasan
intern yang
bersangkutan untuk menjaga kualitas audit.
Penelaaahan internal
memiliki
tujuan
memberikan kepada
pimpinan
:
(Sawyer’s, 2006)
1.   Keyakinan bahwa aktivitas tersebut telah memenuhi standar.
2.   Keyakinan  bahwa 
aktivitas 
tidak 
membutuhkan 
campur 
tangan 
pribadi
pimpinan telah patuh terhadap kebijakan dan prosedur yang ada.
3.   Identifikasi tingkat efisiensi dan efektifitas audit.
4.   Informasi untuk pengembangan kegiatan operasi organisasi.
2.2.3 Penelahaan Eksternal
Penelahaan
eksternal
atas
aktivitas audit
internal
hendaknya
dilaksanakan
untuk menilai kualitas operasinya. Penelahaan ini sebaiknya dilakukan oleh seseorang
yang
memenuhi persyaratan dan independen terhadap organisasi dan tidak memiliki
konflik  kepentingan.  Penelahaan  seperti  ini  sebaiknya  dilaksanakan  paling  tidak
sekali tiap tiga (saat ini lima) tahun. Tujuan penelaahan eksternal adalah memberikan
sebuah evaluasi yang independent bagi manajemen. (Sawyer’s, 2006 : 187)
Organisasi pemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan Standar
Pemeriksaan
harus direviu paling
tidak sekali dalam 5 (lima) tahun oleh organisasi
pemeriksa ekstern yang kompeten, yang tidak
mempunyai kaitan dengan organisasi
pemeriksa yang direviu. (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, 2007)
  
20
Dalam
penulisan  tesis  ini,  penulis  hanya 
membatasi 
pada 
penerapan
pelaksanaan
program quality
assurance
untuk
supervisi
dan penelaahan
internal
di
lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Hukum dan HAM.
Selanjutnya akan dijelaskan tentang bagaimana penyusunan Kertas Kerja Audit
yang baik.
2.3 Kertas Kerja Audit
Berdasarkan SAS
(Statement on Auditing Standards) Nomor 41, Kertas Kerja
Audit (KKA) adalah :
”Catatan (dokumentasi) yang dibuat oleh auditor mengenai bukti-bukti yang
dikumpulkan, berbagai teknik dan prosedur audit yang diterapkan, serta
simpulan-simpulan yang dibuat selama melakukan audit”
Standar  Profesional  Akuntan  Publik  (SPAP)  SA  Seksi  339  (PSA  No.  15)
mengatur mengenai Kertas Kerja Audit :
”Kertas Kerja adalah catatan yang dipersiapkan dan disimpan oleh auditor yang
isinya
meliputi
prosedur
audit
yang diterapkan,
pengujian
yang
dilakukan,
informasi  yang  diperoleh  serta  kesimpulan  yang  dicapai  dalam  penugasan
audit”
Menurut  Standar Audit APIP 3400 Dokumentasi :
”Auditor harus mempersiapkan dan menatausahakan dokumen audit dalam
bentuk kertas kerja audit. Dokumen tersebut harus disimpan secara tertib dan
sistematis agar dapat secara efektif diambil kembali, dirujuk dan dianalisis”
Sedangkan
berdasarkan
Standar
Pemeriksaan
Keuangan
Negara
-
Standar
pelaksanaan tambahan kelima :
” Pemeriksa harus
mempersiapkan dan memelihara dokumentasi pemeriksaan
dalam bentuk
kertas
kerja
pemeriksaan.
Dokumentasi
yang
berkaitan dengan
perencanaan,  pelaksanaan  dan  pelaporan  audit  harus  berisi  informasi  yang
cukup   untuk   memungkinkan   auditor  
yang   berpengalaman   tetapi   tidak
  
21
mempunyai hubungan dengan audit tersebut dapat memastikan bahwa dokumen
audit tersebut dan menjadi bukti yang mendukung pertimbangan dan simpulan
pemeriksa. Dokumentasi pemeriksa harus mendukung opini, temuan, simpulan
dan rekomendasi pemeriksaan”
Ada
beberapa
alasan
mengapa
proses
memori
adalah aspek
penting
dari
pengakuan (regconition) reviewer berkaitan dengan reviu kertas kerja yaitu sebagai
berikut :
(
Moeckel dan Plumlee, 1989)
1.   Auditor tidak
mungkin
mencurahkan perhatian
yang sama ke semua
informasi
dalam kertas kerja, dan beberapa informasi kemungkinan lebih tersimpan dalam
memori dibandingkan dengan informasi lainnya.
2.   Baik selama
maupun setelah reviu kertas kerja, auditor harus bergantung pada
bukti yang sebelumnya ditemukan selama proses reviu. Selama audit seorang
auditor
harus
memahami apakah informasi tertentu adalah konsisten atau tidak
konsisten dengan bukti audit yang ditemukan sebelumnya. Bahkan ketika
dokumen sumber dan kertas
kerja terinci tersedia, seorang auditor harus
bergantung pada memori untuk menilai implikasi bukti audit berjalan.
Pada bagian Pendahuluan, SPAP - SA Seksi 339 dijelaskan bahwa :
“Auditor harus membuat dan memelihara kertas kerja, yang isi maupun
bentuknya harus didesain untuk memenuhi keadaan-keadaan yang dihadapinya
dalam perikatan
tertentu.
Informasi
yang
tercantum dalam kertas
kerja
merupakan
catatan
utama pekerjaan
yang telah
dilaksanakan
oleh
auditor
dan
kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya mengenai masalah-masalah yang
signifikan“.
Hal-hal yang harus dimuat dalam KKA adalah meliputi : 1) Tujuan, lingkup,
metodologi
audit,
termasuk
kriteria
pengambilan
uji
petik
yang digunakan; 2)
dokumentasi pekerjaan dilakukan untuk mendukung temuan signifikan dan
pertimbangan  profesional;  3)  bukti  tentang  reviu pengawasan  terhadap  pekerjaan
yang dilakukan; dan 4) penjelasan auditor mengenai standar yang tidak diterapkan,
apabila ada, berserta alasan dan akibatnya. (Standar  Pemeriksaan Keuangan Negara,
2007 : 42)
  
22
Setelah auditor menyelesaikan tugas audit, kertas kerja diarsipkan ke dalam
dua macam arsip (1) arsip kini (current file) dan (2) arsip permanen (permanent file).
Arsip kini
meliputi
informasi
dan
data
yang terkait secara
khusus
pada
perikatan
tahun berjalan dan digunakan untuk menyimpan kertas kerja yang hanya mempunyai
manfaat untuk tahun yang diaudit saja, sedangkan arsip permanen berisi data historis
mengenai auditan yang tetap relevan bagi audit dan yang mempunyai manfaat lebih
dari satu tahun audit. (Rai, 2008)
2.3.1 Tujuan dan Manfaat Dokumentasi Audit
Tujuan umum dari penggunaan kertas kerja adalah membantu auditor dalam
memberikan keyakinan bahwa audit yang memadai telah dilaksanakan sesuai dengan
norma
pemeriksaan. Secara lebih khusus lagi, kertas kerja yang
menyangkut
audit
tahun berjalan, menjadi dasar bagi perencanaan audit, catatan mengenai bukti yang
dikumpulkan dan
hasil dari
pengujian,
data
untuk
menetapkan jenis
laporan
audit
yang tepat, dan dasar bagi peninjauan oleh para pengawas dan sekutu. (Arens and K
Loebbecke, 2000)
Tujuan
penyusunan
KKA
adalah
1)
Pendukung
Laporan
Audit;
2)Dokumentasi
Informasi;
3)
Identifikasi
dan
dokumentasi
temuan
Audit;
4)Pendukung 
Pembahasan; 
5) 
Media 
reviu 
pengawas; 
6) 
Bahan 
Pembuktian;
7)Referensi;
8)
Membantu
auditor
ekstern;
9)
Sarana
Pengendalian
Mutu.
(Pusdiklatwas BPKP : 2005)
Untuk
mencapai
tujuan-tujuan
di
atas, kertas kerja harus direncanakan dan
dipergunakan untuk meningkatkan pelaksanaan penugasan audit seefisien dan
seekonomis mungkin. Kertas kerja harus berisi catatan mengenai prosedur audit yang
  
23
memadai
dan
lengkap
yang
dilakukan
dalam pemeriksaan
laporan
keuangan
serta
kesimpulan yang dicapai. Kuantitas, bentuk, dan isi kertas kerja untuk penugasan
khusus akan berlainan tergantung pada keadaan
masing-masing penugasan
tersebut.
(hardijma.wordpress.com, 2008)
KKA memiliki
manfaat sebagai
berikut
:1) sebagai dasar perencanaan audit
tahun
selanjutnya,
2)
sebagai
catatan
bahan
bukti
dan hasil
pengujian
yang
telah
dilakukan, 3) sebagai dasar untuk menentukan jenis laporan audit yang pantas, dan 4)
sebagai dasar untuk supervisi audit oleh supervisor dan partner. (Rai,  2008 : 170)
KKA yang disusun oleh auditor adalah bukan merupakan kumpulan dari
dokumen-dokumen
yang dianggap
penting
oleh auditor.
Namun,
ada
beberapa
hal
yang perlu diperhatikan oleh auditor sehingga KKA yang disusun memberikan hasil
yang optimal. Berikut ini adalah karakteristik
yang
harus dipenuhi dalam menyusun
KKA yaitu 1) Lengkap dan akurat, 2) Mempunyai tujuan yang jelas, 3) Jelas dan
singkat, 4) Mendukung simpulan audit, 5) Mudah dipersiapkan, 6) mudah dimengerti
dan berurutan, 7) Relevan, 8) Terstruktur, 9) Mudah diakses, dan 10) Mudah direviu.
(Rai,  2008 : 171)
Terdapat beberapa
prinsip
umum dalam penyusunan
KKA,
yaitu
mencakup
hal-hal sebagai berikut : 1) KKA harus memiliki tujuan, 2) Mengindari pekerjaan
menyalin,
3)
Memuat
prosedur
audit
yang
dijalankan,
4
)
Tidak meninggalkan
pertanyaan dalam keadaan tidak terjawab. (Rai, 2008 : 172)
  
24
2.3.2 Isi Dokumentasi Audit
Paragraf  5  SPAP SA Seksi 339 menjelaskan mengenai Isi Kertas Kerja.
Kuantitas, tipe, dan isi kertas kerja bervariasi dengan keadaan yang dihadapi oleh
auditor,
namun
harus cukup memperlihatkan bahwa catatan akuntansi cocok dengan
laporan  keuangan  atau  informasi  lain 
yang  dilaporkan  serta  standar  pekerjaan
lapangan yang dapat diterapkan telah diamati. Kertas kerja biasanya harus berisi
dokumentasi yang memperlihatkan :
1.   Pekerjaan telah direncanakan dan disupervisi dengan baik
2. Pemahaman
memadai
atas
pengendalian
intern
telah
diperoleh
untuk
merencanakan
audit dan
menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang
telah dilakukan.
3. 
Bukti
audit yang
telah
diperoleh,
prosedur audit
yang telah
ditetapkan,
dan
pengujian yang telah dilaksanakan, memberikan bukti kompeten yang cukup
sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan
auditan.
2.3.3 Format Dokumentasi Audit
Setiap instansi pengawasan memiliki format KKA masing-masing, tetapi
secara
umum informasi atau
isinya sama. Format dokumentasi audit biasanya terdiri
dari tiga karakteristik umum: ( Pusdiklatwas BPKP : 2005)
1.   Judul
harus
memasukkan
nama
klien,
judul kertas
kerja, dan
tanggal
akhir
tahun klien.
2.   Pemberian Indeks dan Referensi Silang. Dokumen audit harus diorganisasikan
sehingga anggota tim audit dapat menemukan bukti audit yang relevan.
3.   Tanda
Kutip.
Tanda
kutip
adalah
notasi
sederhana
yang
dibuat
auditor
di
dekat, atau di samping, suatu hal atau jumlah dalam dokumen audit.
2.3.4 Dokumen Pendukung
Dokumen pendukung lembar KKA utama digunakan untuk mendukung hasil
audit
yang
dituangkan
dalam lembar
KKA.
Jika
diperlukan,
dalam
dokumen
pendukung
dapat digunakan
cross
reference
untuk
menunjukan
dari
dan
ke
mana
  
25
lembaran
kertas kerja
tersebut
diambil
atau
dipindahkan. Auditor
juga
dapat
menggunakan
simbol-simbol
audit
(tick
mark)
yang
diperlukan
pada kertas
kerja.
Apabila  auditor  menerima  catatan  dari  entitas  yang  diaudit,  harus  diberi  tanda
auditor’s copy” dan dibuatkan catatan tanggal diterima, sumber dan intisarinya.
(Pusdiklatwas BPKP, 2005)
2.3.5 Kepemilikan Dokumentasi Audit
Kertas kerja adalah milik instansi/organisasi pemeriksa, bukan milik auditan
atau
milik
pribadi
auditor.
Kertas
kerja harus diberi
indeks
untuk
memudahkan
pencarian
informasi
yang tercantum di dalamnya dan untuk
memudahkan pengaitan
informasi
dalam suatu
kertas kerja
dengan
informasi dalam kertas kerja
yang
lain.
(Sofa : 2008)
KKA merupakan hak milik instansi auditor dan auditan tidak mempunyai hak
atas KKA meskipun berisi data/informasi tentang auditan. Auditor harus menyimpan
dokumen audit
untuk suatu periode yang wajar dalam rangka
memenuhi kebutuhan
praktiknya dan kewajiban hukum atas penyimpanan catatan. Meskipun auditor
memiliki dokumen audit, dokumen tersebut tidak boleh diperlihatkan, kecuali dalam
kondisi tertentu, kepada orang lain tanpa persetujuan auditan. (Pusdiklatwas BPKP :
2005)
2.3.6 Pengarsipan dan Penyimpanan Dokumen Audit
Sarbanes dan standar PCAOB (SA Seksi 3) mensyaratkan bahwa dokumentasi
audit
disimpan
selama
tujuh
tahun dari tanggal selesainya
perikatan,
sebagaimana
ditunjukkan oleh tanggal laporan auditor, kecuali periode waktu yang lebih panjang
yang diharuskan oleh hukum. SA3 juga mensyaratkan bahwa dokumen yang dibuat,
  
26
dikirim,  dimasukkan  dalam  berkas  audit  untuk  semua  hal  yang  signifikan  untuk
memfasilitasi investigasinya setelahnya, hasil investigasi, dan litigasi.
2.4 Tujuan dan Manfaat Reviu KKA
Reviu 
KKA 
pada 
intinya 
dilaksanakan 
dengan 
tujuan 
untuk 
memenuhi
persyaratan Standar Audit APIP
yaitu : (Pusdiklatwas BPKP, 2003)
1.   Memenuhi standar audit.
Reviu merupakan kegiatan yang ditujkan untuk memenuhi standar mutu
profesional. Reviu
adalah
proses
untuk menjaga tingkat mutu jasa audit yang
tinggi yang dijalankan oleh anggota profesi kepada masyarakat pemakai jasa
audit. Pemenuhan
standar audit tersebut meliputi standar umum, standar
pelaksanaan dan standar pelaporan.
2.   Menjaga mutu pelaksanaan audit.
Mereviu proses pelaksanaan kegiatan audit dimulai dari tahap perencanaan audit,
pengorganisasian kegiatan aduit, prosedur aduit
yang digunakan, kelengkapan
dokumentasi   yang   dikumpulkan,   supervisi   kegiatan   audit,   hingga   proses
pelaporan hasil audit.
3.   Menjaga mutu hasil audit.
Menilai ketepatan, kecermatan, kewajaran simpulan, temuan, dan rekomendasi
serta kelengkapan dokumentasi pendukungnya.
4.   Mengurangi risiko audit.
Dalam proses
reviu
KKA, ketidak
cermatan dan kesalahan dalam pelaksanaan
audit dapat diminimalkan/dihindarkan.
5.   Meningkatkan efisiensi kerja..
Dengan proses reviu, pekerjaan audit dapat lebih terarah, dapat dihindarkan
pekerjaan yang tidak diperlukan atau kurang penting/material.
  
27
Manfaat
dari
pelaksanaan
reviu
KKA
adalah
sebagai
berikut
:
(Pusdiklatwas
BPKP, 2003)
1.   Alat pengendalian kegiatan audit.
Melalui kegiatan reviu ketua tim dapat melakukan :
a.   Pengendalian kegiatan audit.
b.   Pengawasan  kegiatan  yang  telah,  belum,  sedang,  dan  yang  akan/harus
dikerjakan dalam audit selanjutnya.
c.   Penghindaran
masalah
dikemudian
hari
tentang
kesalahan,
kurang
lengkapnya data/temuan.
d.   Pengendalian waktu, biaya, sarana dan staf audit.
2.
Alat untuk melakukan bimbingan kepada asisten auditor
Melalui
kegiatan
reviu, ketua tim
membantu auditor
yang
masih yunior dalam
hal:
a.   Persiapan penyusunan PKA.
b.   Penerapan dan pelaksanaan PKA, serta pengerjaan KKA.
c.   Cara-cara mengumpulkan, meminta dan memperoleh data.
d.   Melakukan analisis, pembuatan simpulan dan lain-lain.
3.   Sarana komunikasi antara sesama anggota tim.
Melalui kegiatan reviu akan terjadi komunikasi dan diskusi permasalahan
yang
dihadapi dalam:
a.   Pelaksanaan audit.
b.   Penyusunan temuan audit.
c.   Menghubungkan data/informasi yang telah diperoleh anggota atau dengan
lainnya.
d.   Rekomendasi.
4.   Sarana untuk mendeteksi jaminan kualitas audit.
Melalui reviu KKA maka proses pengendalian mutu kegiatan audit dilaksanakan
oleh petugas yang terlibat, yaitu sejak dari proses perencanaan, penggunaan staf
audit, pelaksanaan audit,
hingga proses pelaporan
hasil audit. Dengan demikian
maka suatu reviu KKA akan memberikan jaminan yang memadai atas mutu hasil
audit.
5.   Sarana untuk meminimalkan risiko audit.
Melalui proses perencanaan dan supervisi yang memadai yang dijalankan dengan
reviu
berjenjang,
maka
kegiatan
audit dapat
meminimalkan
risiko
kesalahan,
kekuranglengkapan, kekurangcermatan yang fatal, secara dini
dan tidak akan
berkelanjutan sehingga dapat meminimalkan risiko audit.
  
28
6.   Sarana untuk meningkatkan kepercayaan pengguna jasa.
Kegiatan
reviu
berjenjang
atas pelaksanaan
kegiatan audit
yang
menghasilkan
mutu
hasil
audit
yang
lebih baik
dalam bentuk
temuan
audit
dan
rekomendasi
yang berbobot akan memberikan kepuasan kepada pengguna jasa audit, sehingga
akan
meningkatkan kepercayaan
mereka kepada auditor. Kepercayaan pengguna
jasa yang tinggi akan meningkatkan penerimaan mereka atas kehadiran auditor
dan mengurangi bahkan menghilangkan sikap penolakan pihak auditan.