6
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Motif Konsumen  dalam
mengambil  keputusan suatu pembelian  Barang
Dalam pengambilan keputusan setiap individu
mempunyai pertimbangan
yang
berbeda-beda,
sehingga
mempengaruhi
seseorang mengambil
sikap.
Sering sekali
mendengar
penilaian
seseorang dari
sikap
yang dilakukan oleh
orang lain. Sikap
yang
diambil 
setiap  individu  berbeda-beda,  sikap 
diambil 
berdasarkan 
pengalaman-
pengalaman yang dialami
sebelumnya,
informasi yang
seseorang
dipercaya
dll.
Contoh
yang bisa
ambil adalah sikap kita pada
saat
melihat
anak
jalanan
pada
saat
mengemis
dilampu merah. Motif seseorang dalam mengambil sikap untuk memberi/tidak uang receh
berbeda-beda,
ada
yang
memberikan
karena belas
kasihan,
tidak
memberikan
karena
mengajarkan  kepada  anak  tersebut  untuk  meminta-minta  dll  yang  semuanya  mereka
dapat
dari pengalaman
dan
pengetahuan yang berbeda-beda
dan
memberikan
penilaian
yang berbeda-beda pada setiap individu yang melihatnya.
Sebagian
besar
peneliti
setuju
bahwa sikap
terdiri
dari
3
komponen
yaitu
:
pengaruh (affect), perilaku (behavior) dan kesadaran (cognition).  Pengaruh berhubungan
dengan
cara konsumen
merasakan
dari
suatu
sifat
objek,
Perilaku
melibatkan
motif
individu
untuk melakukan
sesuatu
berhubungan
dengan
sifat
objek
dan
Kesadaran
berhubungan dengan kepercayaan suatu konsumen akan sifat objek. Ketiga komponen ini
  
7
ini terkenal dengan sebutan ABC model of attitude. (Solomon : Consumer Behavior, hal
237).
Dalam 
model  empasis 
ini, 
berhubungan 
timbal 
balik  dengan 
pengetahuan,
perasaan dan perlakukan. Sikap konsumen
terhadap suatu produk tidak bisa diputuskan
indentifikasi dasar tentang produk itu, tetapi secara lebih spesifik. Yang terpenting dari 3
komponen dari
sikap ini
akan berubah-ubah berdasarkan tingkat
motivasi
berhubungan
dengan sifat objek tersebut, baik sering atau jarang objek itu digunakan.
Untuk
menjelaskan
akibat
dari
ketiga komponen
ini,
para peneliti
sikap
ini
mengembangkan  konsep  ini 
dengan  sebutan 
Hierarchy 
of
effect. 
Konsep  ini
dikembangkan berdasarkan dengan diagram dibawah ini.
Gambar 2.1 Hierarchies of Effect (Solomon : Consumer Behavior, hal 238)
  
8
Hirarki
Pembelajaran
Dasar
(The Standard
Learning
Hierarchy
)
diasumsikan
bahwa konsumen
mempunyai
petimbangan
besar
dalam
menentukan
pembelian
suatu
produk. Konsumen
tersebut termotivasi
mencari tahu banyak informasi,
mempetimbangkan
secara hati-hati
dan
membuat keputusan
sulit. Contohnya pada saat
seseorang akan membeli produk yang tidak dibeli ulang dalam jangka waktu lama.
Hirarki
Dengan Sedikit Pertimbangan (The
Low Involvement Hierarchy)
dimana
tidak
ada suatu
referensi kuat
dari
suatu
merk
dengan
merk
lainnya, sehingga dengan
sedikit  informasi  dari  produk  ini  sehingga  konsumen  baru  menilai  baik  /buruk  dari
produk tersebut setelah
membelinya sehingga memberi pembelajaran kepada konsumen
tersebut
untuk
lebih
berhati-hati
dalam
membeli
barang sejenisnya
pada
pembelian
berikutnya. Contohnya pada saat seseorang akan membeli produk yang tidak dibeli ulang
dalam jangka waktu singkat seperti makanan /minuman.
Hirarki berdasarkan Pengalaman (The Experiential
Hierarchy) dimana konsumen
berlaku
berdasarkan
dengan
reaksi
emosional.
Nilai-nilai
yang
memberikan
pengaruh
akan hirarki ini adalah hal-hal yang tidak bisa dinilai dari sifat produk itu, seperti desain
kemasan
dan
dengan
reaski
konsumer
terhadap
tambahan
stimuli,
seperti
advertising,
merk dan seting alami berdasarkan pengalaman yang teringat.
Hirarki
ini
didukung oleh
teori dari
Seorang Psikolog,
Daniel
Katz
(Solomon
:
Consumer Behavior, hal 235). Dia mengidentifikasi  fungsi sikap menjadi 4 bagian, salah
satunya Fungsi bernilai dari perasaan (Value-Expressive Function). Dalam teori ini Sikap
menampilkan
suatu
fungsi
yang bernilai
perasaan
itu
menggambarkan
Jati
diri
atau
penilaian diri dari seorang konsumen. Seseorang
menilai suatu produk tidak
hanya dari
fungsi dan kegunaannya, tetapi mempunyai
lebih
yang menggambarkan suatu
individu
  
9
dalam 
menggunakan 
produk 
tersebut. 
Contohnya, 
Ketika 
Blitzmegaplex 
hadir  di
Indonesia  dan  menawarkan  tata  ruang  lingkungan  diStudio  dan  ruang  tunggu  yang
berbeda
dengan
bioskop-bioskop
yang sudah
ada,
memberikan
suatu
experience
baru
kepada konsumennya sehingga memdapatkan kesan yang positif.
Dari
contoh
kasus
ini
berdasarkan
teori
The Progression
of Economic
Value,
bahwa
apa
yang ditawarkan
oleh
Blitzmegaplex
ini
adalah
bukan
hanya
sekedar
berdasarkan feature (karakteristik, sifat atau ciri-ciri) dan benefit (manfaat atau kegunaan)
namun
juga
nilai
lainnya,yang memberikan
diferensiasi
pada
produk
tersebut,
maka
dengan demikian mereka bisa menjual dengan harga premium berdasarkan nilai lainnya,
bukan
masuk
dalam
persaingan
harga pasar produk
lainnya.
(Pine
II &
Gilmore,The
Experience Economy Hal 22).
Gambar 2.2 Progression of Economic Value (Pine II & Gilmore,The Experience
Economy Hal 22)
  
10
Dari Diagram
The Progression of Economic Value diatas,
maka produk-produck
yang
hanya
menawarkan
feature (karakteristik, sifat atau ciri- ciri) dan benefit
(manfaat
atau
kegunaan)
hanya
menawarkan
sampai
tahap
Make Goods
saja
sehingga
produk-
produk tersebut bersaingan dengan harga yang ditawarkan. Untuk tahap Deliver Service,
adalah
nilai
lebih
dalam
bentuk
pelayanan
dalam
produk
tersebut.
Pada umumnnya,
Perusahaan –
perusahaan elektronik menggunakan pendekatan ini dengan menawarkan
sistem garansi pada setiap produknya.
Tahap
Stage
Experience adalah
tahap
cukup
kompleks
dan
masih
bisa
dikembangkan. Dasar dari pengembangan tahap ini adalah Experience Economy, dimana
Perusahaan
yang sudah
memahami
konsep
ini menyadari
bahwa
tahap
ini
mencegah
komoditas yang
dengan cepat
menurunkan
diferensiasi,
relevansi
dan
harga dari begitu
banyak produk dan jasa. Sehingga Produk dan jasa
itu harus memiliki
suatu
nilai lebih
dari
suatu
experience
yang diberikan
kepada
konsumennya.
Contoh
diatas
perbedaan
konsep yang
ditawarkan
oleh
Blitzmegaplex
ini
berbeda dan
lebih
fresh
dibandingkan
dengan bioskop-bioskop yang sudah ada sehingga memberikan experience yang baru.
II.2 Konsep dasar  dari
sebuah
Experience
Economic
Dahulu
saat
kita
memasarkan
suatu
produk
atau
jasa,
terkadang kita
cukup
mengandalkan
feature
(karakteristik,
sifat
atau
ciri-ciri) dan
benefit
(manfaat
atau
kegunaan) agar
produk atau jasa kita bisa
laku dan tetap dibeli konsumen kita. Namun
pada saat ini feature dan benefit saja terkadang tidak cukup agar kita tetap bertahan dalam
persaingan dipasar, karena ternyata Pesaing kita dapat meniru bahkan menyamai produk
  
11
yang kita
jual ke pasar
muncullah faktor-faktor lain seperti pelayanan atau service
agar
feature dan benefit
produk bisa mendapatkan nilai lebih dimata konsumen. Terkadang itu
masih belum cukup, mengingat semakin hari tingkat kompetisi semakin rumit dan
kompleks.
Untuk
itu
di
butuhkannya
faktor
lain
untuk
mempertahankan dan meningkatkan
market share
dan
profitabilitas
salah
satu
caranya
dengan
menyangkut
customer’s
memory. Pada saat seorang
consumer
membeli
sebuah experience, dia
akan
membayar
untuk
menghabiskan
waktu
untuk suatu pengalaman
yang
memorable
yang ditawarkan
yang melibatkan
dia
ke
dalam suatu
yang bersifat
personal.
(Pine
II,
& Gilmore,The
Experience Economy Hal 2).
Dikarenakan begitu banyak
contoh-contoh dari
langkah-langkah pendekatan
experience ini
datang
dari
dunia
hiburan,
namun perlu diingat bahwa dalam 
langkah-
alngkah pendekatan sebuah experience kepada konsumen, tidak hanya dalam menghibur
namun cara menyatukan dengan para consumer tersebut.berdasarkan konsep dari Pine II,
Joseph & James H. Gilmore dalam bukunya The Experience Economy, dijelaskan bahwa
dalam bidang experience ini terbagi menjadi 4 faktor sebagai berikut :
-
Entertaiment
(hiburan)
:
dalam
entertaiment
yang
dijabarkan kebanyakan
orang
sebagai suatu event/kegiatan yang tanpa ada kontak reaksi timbal balik (passive)
yang menggunakan panca indera (sense) contoh : membaca buku, mendengarkan
musik.
-
Educational 
(mendidik)
:
sepertinya
halnya
entertaiment,
yang
menyerap
suatu
event/kegiatan, namun dalam
hal ini consumer terlibat
langsung dalam kegiatan
  
12
tersebut  sehingga  ada  kesempatan  proses  timbal  balik  dan  kendali.  Contoh  :
mengikuti seminar/talkshow.
-
Esthetic
(estetika):
Konsumen
terlibat
lebih
dalam
dalam
proses
experience
ini
sehingga
menjiwai
tanpa bisa melakukan
kendali
kontak
reaksi
timbal
balik
(passive). Contoh : pergi ke cafe atau museum.
-
Escapist (khayalan): Konsumen terlibat
lebih dalam dalam proses experience
ini
sehingga menjiwai dan dalam
hal
ini consumer terlibat
langsung dalam kegiatan
tersebut
sehingga
ada kesempatan
proses
timbal
balik
dan
melakukan
kontak
kendali. Contoh : bermain paintball.
Berikut adalah diagram yang menggambarkan 4 faktor dalam bidang Experience
yang telah dijabarkan diatas :
Gambar 
2.3  The 
Experience 
Realms  (Pine  II, 
Gilmore,The 
Experience
Economy Hal 21)
  
13
Maka 
dari 
sini 
maka 
muncul 
istilah 
Experiential   Marketing, 
yaitu 
suatu
pendekatan
pemasaran
yang
mengupayakan
agar para konsumen
memiliki
suatu
pengalaman
yang tak
terlupakan ketika akan, sedang atau
telah membeli
suatu produk
atau jasa. Caranya adalah dengan menyentuh sisi emosional konsumen lebih dalam lagi,
bukan lagi sekadar sisi rasionalnya.
III.3 Konsep
Experiential
Marketing
Konsep Experiential Marketing mencakup dari 3 aspek dasar yaitu :
III.3.1 Strategy Experience Modules (SEMs)
III.3.2 Experience Providers (ExPro)
III.3.3 Customer Experience Management (CEM)
III.3.1 Strategy Experience Modules
Strategy
Experience Modules (SEMs) terdiri dari 5 elemen
yaitu
:
Sense, Feel,
Think, Act dan
Relate. Setiap modul
merepresentasikan
tipe pengalaman yang berbeda-
beda,
dimana mempunyai
prinsip
management
yang
berbeda.
Dalam
penerapan
model
SEM ini,
tidak semua modul dapat diserap sekaligus maupun secara berurutan,
namun
dalam penerapannya, sebaiknya
di serap secara
bertahap dengan berurutan sehingga
experience yang diserap lebih memoriable.
Urutan modul SEM di mulai oleh Sense.
Sense adalah bagaimana agar produk atau jasa kita bisa dirasakan panca indra kita
(mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit). Ini adalah unsur yang paling sederhana yang bisa
diterapkan.
Semakin
banyak
indra
yang bisa
merasakannya,
maka
semakin
besar
kemungkinan produk kita menjadi memorable. Mengapa? Karena setiap orang
memiliki
preferensi  yang  berbeda  dalam  menyampaikan  informasi  ke  otak  lewat  panca  indra.
  
14
Dalam
NLP
(Neuro
Linguistic Programming),  dikenal
ada
orang
yang
bertipe
visual
(lebih peduli pada apa yang dilihat), auditory (lebih peduli pada apa yang didengar), dan
kinestetik (lebih peduli pada apa yang mereka sentuh atau rasakan).
Dengan melibatkan
semakin banyak indra, semakin banyak orang yang bisa kita jangkau (untuk
masuk ke
memori mereka).
Feel
adalah
bagaimana
menciptakan
perasaan
enak
(feeling
good) bagi
para
konsumen,
yaitu dengan
melibatkan mood dan emosi secara lebih intens
lagi. Beberapa
acara  reality  show  di  televisi  seperti  Indonesian  Idol,  AFI,  atau  MamaMia  adalah
beberapa contoh produk yang sukses memanfaatkan emosi para penonton, agar
mereka
terus mengingat
dan
menontonnya
kembali. Sebagian dari
Pemirsanya
mungkin juga
pernah
mengirim
SMS
dukungan
ke salah satu
kontestan.
Padahal,
barangkali
mereka
tidak
mengenal
kontestan
itu,
hanya karena emosi
mereka bangkit
dan
menggerakkan
mereka.
Think adalah
upaya
yang
perlu
diciptakan
agar
konsumen
mau berpikir positif
kepada produk
atau
jasa,
setelah
konsumen
merasa lebih baik. Ini
dapat
menciptakan
customer satisfaction
yang lebih berjangka panjang. Dengan demikian, diharapkan akan
timbul word of mouth (promosi dari mulut ke mulut) baik bagi produk tersebut.
Act adalah
upaya
yang diarahkan bagi terciptanya pengalaman
melalui perilaku
tertentu dari konsumen, baik berupa tindakan individual maupun komunitas tertentu.
Relate
yaitu
bagaimana
sensasi,
feeling,
thinking &
action
seseorang
tadi,
di
perbesar lagi ke arah konteks sosial dan budaya. Jadi relate menghubungkan konsumen
secara individual dengan masyarakat atau budaya tertentu. Ini merupakan daya tarik yang
paling dalam bagi konsumen.
  
15
III.3.2 Experience Providers (ExPro’s)
Experience  Providers 
(ExPro’s) 
adalah 
sarana 
yang 
diperlukan 
untuk
memberikan
suatu
experience kepada
konsumen
melalui
kelima
modul
dari
Strategy
Experience Modules (SEMs) (Schmitt, The Experiential Marketing Hal 72 -93). ExPro’s
terdiri dari:
Komunikasi  (Communication)
:  Elemen  ini  mencakup  advertising,  baik  dari
dalam dan luar perusahaan dari berbagai media sebagai proses branding apa pesan
yang ingin ditangkap oleh target audience-nya.
Visual/Verbal Identity
:
Seperti
elemen
ExPro’s
lainnya,
Visual/Verbal Identity
digunakan
untuk
memicu 5
elemen dari
Strategy
Experience
Modules (SEMs).
Elemen
ini
menjadi
identitas
perusahaan.
Pada umumnya Elemen
ini
melambangkan nama dan logo.
Product  Presence 
:  Elemen  ini  terdiri  dari  desain  produk,  kemasan  produk,
Display produk dan karakter merk yang biasanya digunakan dari bagian kemasan
dan bahan dari nilai jual.
Co-Branding  :  Elemen  ini  terdiri  dari  kerjasama  kegiatan-kegiatan  marketing
salah
satu
contohnya penempatan
produk
dalam
suatu
film. Jam Omega, BMW
dan
telepon seluler Ericsson yang
digunakan
pada film
Agent
007 James
Bond
adalah contohnya.
Spatial  
Environment  
:  
Elemen  
ini  
adalah  
menggambarkan  
Lingkungan
mempunyai dampak atas suatu elemen Strategy Experience Modules (SEMs).
Bisa
diambil contoh
pada saat seseorang pergi
ke
tempat
seperti
Disneyland, Planet
Hollywoods yang menawarkan suatu dekorasi yang mempunyai ciri khas.
  
16
Website
&
Electonic  media  :  Kemajuan  teknologi  memberikan  dampak  pada
Strategy Experience Modules (SEMs), salah satu munculnya budaya transaksi jual
beli melalui internet.
People  :
Elemen
ini
bisa
menjadi
bagian
terpenting pada
Strategy
Experience
Modules (SEMs), karena elemen ini adalah representatif dari suatu perusahaan dan
merk. Bank-bank sangat menjaga kinerja pegawai dalam mepresentasikan kepada
konsumen dan calon konsumennya.
Gambar  2.4  Strategy  Experience  Modules  (SEMs)
(Schmitt,The  Experiential
Marketing Hal 73)
  
17
III.3.3 Customer Experience Management
Setelah 
konsumen 
mendapatkan 
experience 
dari 
suatu 
produk   yang 
telah
digunakan,
diperlukan suatu proses
untuk
menjaga
agar
experience
yang didapat
pada
produk tersebut tetap terjaga. Pada tahap ini disebut Customer Experience Management.
Tahapan Customer Experience Management terdiri dari :
1.   Menganalisa terhadap jenis-jenis experience yang terdapat pada benak konsumen.
2.   Membangun 
The 
Experience 
Platform   yang 
berupa 
pemilihan 
experiential
positioning dan penetapan value promise untuk konsumennya.
3.   Menciptakan Brand Experience sebagai implementasi platform.
4.   Pengembangan 
platform 
yang 
dilakukan 
terhadap 
customer 
interface   yang
bersifat dinamis dan interaktif.
5.   Pembenahan dan perbaikan internal secara terus menerus.
Customer
Experience
Management ini berkaitan
erat
dengan pengelolaan
suatu
brand/merk
sebagai simbol
akan keloyalan seseorang atas experience
yang
dialaminya.
Suatu Merk begitu kuat karena itu merepresentasikan dari pengunanya. Maka muncullah
istilah
Branded
Customer Experience.
Ada 2
cara
untuk
menciptakan
Brand
Customer
Experience
yaitu
Experiencing the
Brand
(mencoba
suatu
merk)
dan
Branding
the
experience (memberi isitlah pada suatu pengalaman).
Experiencing the
Brand
(mencoba suatu
merk)
pada
dasarnya
adalah
kesadaran
konsumen
atas
Branded
Customer Experience.
Ini
dimulai
dari
merk
dan
apa
yang
mewakili
dan
kemudian
dengan
sengaja
menciptakan
experience
yang diterima
ke
konsumen.
Experiencing
the Brand
(mencoba suatu
merk) dimulai dari
merk dan
nilai
  
18
kegunaan  yang  mengubahnya  menjadi  suatu  janji  untuk  konsumen  yang  dituju  dan
menyampaikan janji ini dengan cara dimana membuat merk ini dikenal.
Berikut adalah tahapan dari Experiencing the Brand (mencoba suatu merk) :
Gambar
2.5
tahapan
Experiencing
the
Brand  (Wheeler
dan
Smith,
Managing
the
Customer Experience , hal 12)
1.   Brand Essence (Intisari merk) : tahap ini adalah tahap perkenal dari merk dengan
cara melakukan komunikasi dari merk tersebut.
2.   Brand 
Promise 
Sebuah 
nilai 
dari  produk 
tersebut 
yang  ditawarkan 
dan
sampaikan ke konsumen.
3.   Branded  Customer
Experience
:
Menyampaikan
Brand
Promise
sehingga
bisa
berintraksi dengan konsumen dengan individu, produk dan proses.
Branding
the
experience (memberi
istilah
pada
suatu
pengalaman)
berkaitan
dengan mengedepankan
penciptaan experience
baru untuk konsumen
yang dituju dan
kemudian karena itu dilakukan branding. Branding the experience memiliki tahap sebagai
berikut :
  
19
Gambar  2.6  Branding  the  experience  (Wheeler  dan  Smith,  Managing  the  Customer
Experience , hal 15)
1. 
Branded
Customer Experience :
Menyampaikan
Brand
Promise sehingga
bisa
berintraksi
dengan konsumen dengan individu, produk dan proses
sehingga
membedakan dengan merk lainnya.
2.   Brand Value : Nilai yang diharapkan dan sandarakan dari konsumen.
3.   Brand Image : Pandangan terhadap merk tersebut dipasar.
Branded   Customer   Experience   adalah   pengarah   kuat   untuk   membangun
konsumen 
yang 
loyal. 
Menurut 
Michael 
Bates, 
Marketing 
Director   dari 
William
Morrison,
(Wheeler
dan
Smith, Managing Customer
Experience
hal
16)
Branded
Customer Experience terdefinisikan menjadi :
-
Consistent : Menyampaikan experience itu melewati batas ruang dan waktu
-
Intentional : Menyampaikan experience untuk mendukung merk
-
Diferentiated : Dari perbandingan dengan merk yang lainnya
-
Valuable :   Penawaran
proporsi konsumen terhadap kebutuhan konsumen
yang
dituju.
Cara  terbaik  untuk  melakukan  Branded  Customer  Experience  yaitu  membuat
suatu  yang  berlawanan  untuk  keluar  tahap  Random
Experience  (Pangalaman  secara
  
20
acak).
Beberapa
merk
besar
membuat
perubahan
pada
customer service.
Mereka
melakukan investasi dalam pelatihan pelayanan, standarisasi dan proses secara berulang
kali
untuk
mempertajam
experience konsumen
dan
membuat
mudah
terprediksi
dan
konsisten
dengan
merk
tersebut.
Pada
tahap
ini disebut
dengan
Predictable
Experience.
Contohnya
adalah
McDonald,
dimana
mempunyai
standard
yang
sama
dan
konsisten
yang ketika konsumennya datang, sudah ada dibenaknya apa akan dipesan seperti Panas
(Paket nasi), Big Mac dll.
Namun ini
semua belum cukup dikarenakan akan mudahnya di
gantikan dengan produk
yang ada sejenisnya sehingga perlu adanya diferensiasi sehingga produk
ini
mempunyai
nilai
atas
kebutuhan
konsumen
yang dituju
yang menjadi
Brand
Experience. Dengan
terciptanya
Brand
Experience ini
apabila
konsumen
sudah
merakannya
maka
akan
loyalitas pada konsumen tersebut.
Gambar  2.7  Tahapan  Brand  Customer  Experience  (Managing  the  Customer
Experience: Wheeler, Joe dan Shaun Smith, hal 17)
  
21
Setelah pada tahap loyal akan suatu merk, sering kali terjadi pemujaan atas merk
tersebut
yang disebut
Cult
Branding.
Pemujaan
ini
menimbulkan
berbagai
macam
fungsional
salahsatu
terciptanya
sebuah
komunitas.
Salah
satunya
yang
bisa dijadikan
contoh  adalah  merk  Harley
Davidson.  Ketika  motor-motor  buatan  Jepang  masuk  ke
dalam
pasar
Amerika
Serikat,
mengguncang
Harley Davidson.
CEO
Vaughn
Beals
menciptakan   Harley   Owner   Group   yaitu   suatu   komunitas   penggunanya   sebagai
konsepnya   pemasaran   gerilya   (Guerilla  
marketing).   Konsep   ini   berjalan   dalam
Komunitas tersebut dari promosi dipenjual dan mulut ke mulut dan dengan baik (Ragas,
Matthew  W  dan  Bolivar  J.  Bueno,The  Power  of  Cult  Branding  hal  80).   
Ketika
Komunitas konsumen berjalan dengan baik maka membuat Merk tersebut menjadi hidup.
Dalam   kasus   ini   Harley   Owner   Group   selain   menyelamatkan   perusahaan,   juga
kesempatan   besar   kepada   efisiensi   biaya   dibuat   dari   hubungan   konsumen   dan
peningkatan penjualan.
II.4 Konsep Cinematic  Experience
Seperti yang telah dibahas diBab I sebelumnya bahwa Perkembangan Bioskop itu
sendiri menghadapi banyak tantangan dari dalam berbagai segi aspek,
dari semakin
banyaknya
muncul
berbagai
macam
jenis
hiburan
yang baru.
Untuk
itu
kita
perlu
mengidentifikasi mengapa seseorang menonton di bioskop?
Walaupun
dengan
kemajuan
teknologi
yang bisa
“memindahkan
bioskop”
ke
rumah.
Namun
ada
sesuatu
yang tidak
bisa
didapatkan
yaitu
social experience. Social
experience itu
sendiri
adalah
pengalaman
yang dirasakan
dari
suatu
aktivitas
yang
dilakukan bersama-sama didalam suatu komunitas /kelompok. 
Pergi menonton bioskop
  
22
bukan
satu-satunya
yang menjadi
bagian
dari
social
experience,
melainkan
pengarah
sosiologikal saja. Berdasarkan penelitian di Jerman oleh European
Institute of Cinema di
Karlsruhe ada suatu komunitas yang
ingin
menonton bukan karena apa film
yang akan
ditayangkan, akan tetapi berdasarkan spontanitas/acara yang memungkinkan pada saat itu
(www.kinerma.uwaterloo.ca)  .  Jadi  perlu  digali  lagi  cara  mereka  mendapat  motivasi
untuk menonton di bioskop.
Dalam
hidup
disuatu komunitas, seseorang akan
melakukan
apa
saja
bisa tetap
eksis dalam komunitasnya tersebut, maka apabila seseorang ke bioskop untuk menonton
Starwars,
itu karena semua temen-teman
yang dikomunitasnya
ingin
menonton
film itu.
Ketakutan akan tidak sejalan dan tersisih menjadi salah satu motivasi menonton film ini
di bioskop. Ketakutan ini adalah sifat dari social experience.
Selain itu, kegiatan menonton bioskop sudah menjadi budaya pada saat ada waktu
luang sejak
lama. Itu yang menjadi
motivasi
utama dalam
menonton bioskop setelah
itu
baru
motivasi
menonton
di
bioskop
berdasarkan
film
yang tayang di
bioskop
tersebut.
Namun
dikarenakan
begitu
banyak
cara-cara lain
dalam
mengisi
waktu
luang.
Untuk
mengatasi krisis kebiasaan menonton film, perlu digali lebih dalam lagi.
Berdasarkan  Kompromi  Psikologikal  dasar,  ketika  seseorang  sudah  memiliki
suatu  film,  maka  dia  akan  sudah  tidak  mempunyai  experience
pada  film  itu  karena
merasa telah
memiliki.
Itu
yang sering
terjadi
pada
saat
kita
membeli/menyewa
film.
Ketika seseorang
membeli
film
untuk
menonton dirumah,
film
tersebut
tidak
menjadi
barang
yang istimewa karena
film
tersebut bisa ditonton
kapan
saja,
banyak gangguan
secara
tidak
langsung
pada saat
menonton sehingga penontonnya konsentrasi lebih dan
sulit menjiwai dari film tersebut.
  
23
Ketika menonton
Bioskop,
yang dijual
dari
bioskop
bukan
hanya
film
semata,
tetapi emosi dari konsumennya. Penonton tidak menonton film dengan sendirian, dimana
dikuimpulkan dalam 1 studio dengan suara dan layar yang
cukup
megah sehingga bisa
konsentrasi
penuh dalam
menonton film
tersebut. Selain itu hal-hal
seperti
menunggu
diruang tunggu, bermain video games dan membeli popcorn sebelum menonton menjadi
salah satu
faktor
mendukungnya. Ini bisa
memberikan persepsi emotional
yang berbeda
sehingga
menimbulkan
Cinematic
Experience.
Hal
inilah
yang
perlu
dikembangkan
kembali untuk menarik konsumen.
II.5 Penerapan SEM pada Cinematic
Experience
Dengan
banyaknya
tantangan
yang di
hadapi
oleh
biokop
diIndonesia,
maka
bioskop
harus
menjaga
suasana
tercipta
yang
bisa memberikan
experience
pada
konsumennya. Pada saat memasuki lingkungan bioskop banyak hal-hal membuat suasana
dan  persepsi  yang  berbeda-beda.  Dalam  konsep  Experiential  Marketing,  hal-hal  ini
disebut
Experience Providers
(ExPro’s)
yang
berfungsi
membuat
experience
konsumen
melalui modul SEMs. ExPro’s yang terdapat pada lingkungan bioskop antara lain :
-
Jadwal
bioskop
yang
terpampang
dikoran
dan
berbagai
jenis
promosi
sebagai
media komunikasi
-
Lambang dan Nama sebagai visual indentity
-
Poster dan sinopsis film sebagai Product Presence
-
Esklusifitas  sebuah 
film 
yang  hanya  tayang  di  bioskop  tertentu  (contohnya
Restless,
Chocolate dll)
dan
nonton
bareng
yang
diadakan
sebuah produk
Fast
Moving Customer Goods sebagai contoh product placement (Co-Branding)
  
24
-
Yang
mencakup
Environment adalah
fasilitas-fasilitas
diruang
tunggu  bioskop
dan Jenis auditorium/studio dalam bioskop
-
Bisa
mengetahui
jadwal
tayang
film
melalui
internet
dan
sms
(Website&Electronic Media)
-
Penjual tiket, penjaga pintu studio serta karyawan lainnya (People)
Pengalaman  terhadap  Experience  Providers  (ExPro’s)  berbeda-beda  dirasakan
oleh
setiap
individu
sehingga
memberikan
kesan
yang bervariasi, yaitu experience
yang baik
dan
buruk.
Hasil
experience
yang timbul
ini
merupakan reaksi
terhadap
Experience Providers
(ExPro’s)
tersebut
berupa
experience
hybrid,
yaitu
kombinasi
dari modul SEMs, contohnya :
a. 
Positive Experience : Blitzmegaplex mempunyai Studio dengan layar terbesar di
Indonesia
dan
Audio
yang begitu
kuat
sehingga
penonton
mendapatkan
kenyamanan  pada  panca  indera  mata  (sense)  dan  memberikan  kenyamanan
(feel)
sehingga timbul
berpikir
untuk
menonton disitu kembali
(think). Contoh
ini merupakan kombinasi feel, think dan sense.
b.  Negative Experience : Konsumen merasa kedinginan ketika
menonton diStudio
yang sepi (sense) dan tidak dapat menikmati film secara utuh (feel). Contoh ini
merupakan kombinasi sense dan feel
II.6 Sekilas Mengenai Blitzmegaplex
Blitzmegaplex lahir di Bandung, dibuka mulai tanggal 26 Oktober 2006, berlokasi
di
Parijs
van Java,
Bandung dengan
memiliki
9
Studio
dan
berisi
2.254
kursi.
Blitzmegaplex mempopulerkan istilah beyond movies dan one stop dikarenakan beberapa
  
25
hal.
Fasilitas
merokoknya
yang dibuat
nyaman,
mempunyai
cafe
dengan
variasi
menu,
aneka jajanan
dari
popcorn
rasa caramel,
hotdog
hingga Blitzbites
(Aneka
goreng-
gorengan). Hiburan diBlitz tidak hanya film karena digelar juga
live music yang sempat
menghadirkan Christian Bautista.
Setelah 
berjaya 
diBandung 
selama 
bulan,Blitzmegaplex 
buka  di 
Jakarta,
tepatnya di Grand Indonesia lantai 8 pada tanggal 21 maret 2007 dengan jumlah 11 studio
dan berisi
3.000
kursi.
Dengan kapasitas itu,
Blitzmegaplex
tercatat
sebagai
bioskop
terbesar di Indonesia.
Kelebihan
lain dari Blitzmegaplex adalah
film yang ditayangkan bisa
mencapai
20 judul,
hal ini karena ada pembagian jam
tayang bagi
film-film
tertentu. Harga
tiket
masuk
bervariasi
dari
Rp
25.000,-
sampai
dengan
Rp. 80.000,-
(untuk kelas
premium
dibalkon). Dan dalam sejarah perbioskopan, Blitzmegaplex telah mebuat
rekor dengan
Menayangan
suatu
film sebanyak
18 kali per
hari
(Pirates 
of The
Carribian 
:
At the
World End sejak 22 Mei 2007).
Film- 
film 
yang 
ditayangkan 
bukan 
hanya 
film-film 
Hollywood 
dan 
film
Indonesia saja,
namun
juga
Film-film
dari
Hongkong,
Korea,
Thailand
dan
Eropa.
Midnight
Show pun
tidak
hanya di adakan
pada
malam
minggu
saja,
tetapi
juga pada
malam sabtu.
Penataan ruang juga menjadi salah satu kelebihan yang mencolok, misalnya lobby
yang luas,
lapang dan
terang benderang hinggga
memberikan
rasa
nyaman
dan
betah
bersantai lama. Tidak heran jika pada 15 July 2007, Blitzmegaplex tercatat dalam MURI
dengan rekor 3 kategory yaitu : area terbesar, jumlah kursi dan jumlah layar.
  
26
Blitzmegaplex memperkenalkan pula Blitz Card, kartu prabayar yang dapat di isi
ulang sesuai
nilai uang yang disetor. Kartu ini selain
dapat di
gunakan
untuk memesan
tiket, juga dapat digunakan untuk membeli cemilan dan makanan di BlitzCafe.
Berbeda
dengan di
Bandung yang
menjadi
tempat
nongkrong
anak muda,
maka
Blitzmegaplex di Jakarta tampaknya menjadi tempat menonton kalangan eksekutif muda
dan
memang perintis
serta pendiri Blitzmegaplex adalah kalangan eksekutif muda yang
berasal dari Jakarta.
(100
tahun
Bioskop
di Indonesia(1900-2000): HM Johan Tjasmadi
hal 244)
Gambar 2.8 Foto-foto Blitzmegaplex (www.blitzmegaplex.com)