BAB II LANDASAN
TEORI
II.1
Tinjauan Umum Laporan Keuangan
Laporan
keuangan
merupakan
salah
satu sarana
untuk
memperoleh
informasi
mengenai kondisi, posisi, serta arus kas perusahaan pada periode tertentu. Pengertian
laporan keuangan menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2007, p2)
adalah:
“Laporan
keuangan
merupakan
bagian dari
proses
pelaporan
keuangan.
Laporan keuangan yang
lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi,
laporan  perubahan  posisi  keuangan  (yang  dapat  disajikan  dalam  berbagai
cara, misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan
laporan lain serta
materi
penjelasan yang
merupakan
bagian
integral
dari
laporan keuangan.”
Komponen laporan keuangan yang
lengkap menurut Ikatan Akuntan Indonesia
dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2007, p2) terdiri dari:
1.
Neraca,  merupakan  gambaran  dari  posisi  keuangan  perusahaan  pada  tanggal
tertentu yang meliputi harta, utang dan modal.
2.
Laporan
Laba
Rugi,
merupakan
laporan
keuangan
yang
menyajikan pendapatan
dan beban suatu perusahaan pada periode tertentu.
3.
Laporan Perubahan Ekuitas, merupakan laporan yang menggambarkan perubahan
ekuitas perusahaan selama suatu periode tertentu.
4. 
Laporan Arus Kas, merupakan laporan yang menggambarkan arus kas masuk dan
arus kas keluar selama periode tertentu
9
  
10
5. Catatan
atas
Laporan
Keuangan,
merupakan
laporan
yang
menginformasikan
kebijakan akuntansi yang mempengaruhi posisi keuangan dari hasil keuangan
perusahaan.
Lebih
lanjut,
menurut
Ikatan Akuntan
Indonesia (2007,
p9),
laporan
keuangan
terbagi
menjadi
dua
unsur
menurut
karakteristik
ekonominya,
yaitu unsur yang
berkaitan
secara
langsung
dengan pengukuran
posisi
keuangan
(meliputi
aset,
kewajiban, dan ekuitas) dan unsur yang berkaitan dengan pengukuran kinerja dalam
laporan laba rugi (meliputi pendapatan dan beban).
Menurut
Sulistyanto
dalam bukunya
Manajemen
Laba
(2008,
p12)
laporan
keuangan   berguna   bagi   pihak-pihak   yang   berkepentingan   untuk   mengambil
keputusan dan bagi manajemen untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber
daya perusahaan yang dipercayakan kepadanya. Oleh karenanya, laporan ini haruslah
relevan dan akurat. Pihak-pihak yang berkepentingan di sini dapat dibedakan menjadi
dua pihak,
yaitu pihak
intern seperti pemilik, pemegang saham,
manajer, karyawan
dan pihak ekstern seperti kreditur, investor, pemerintah, serikat buruh, konsumen dan
pemasok.
II.2
Tinjauan Umum Laba
Wild,
Subramanyam, dan
Halsey
dalam bukunya
Financial Statement
Analysis
(2007, p297) menyatakan bahwa: “An earnings (also referred as income) is the net of
revenues and gains less expenses and losses. It is determined using accrual basis of
accounting and annually reported into income statement.”
  
11
Apabila diterjemahkan adalah sebagai berikut:
“Laba adalah pendapatan bersih dan keuntungan dikurangi dengan beban-beban dan
kerugian. Laba tersebut ditentukan dengan menggunakan dasar akrual dan secara
tahunan dilaporkan dalam laporan laba rugi.”
Laba meringkas aktivitas operasi bisnis perusahaan. Wild, et
al 
(2007, p298)
berkomentar bahwa laba merupakan informasi perusahaan yang paling diinginkan
dalam  pasar  keuangan.  Laba  memberikan  baik  pengukuran  terhadap  perubahan
ekuitas perusahaan pada suatu periode maupun estimasi kekuatan laba perusahaan di
masa mendatang.
Schroeder, Clark, dan Myrtle dalam bukunya yang berjudul Financial Accounting
Theory
and
Analysis (2005,
p126)
menyatakan bahwa
Income statement
does
aid
economic  society  in  variety  ways.” Schroeder, et al menguraikan kegunaan laba
adalah sebagai berikut:
1.
Sebagai salah satu dasar penentuan besarnya pengenaan pajak
2.
Sebagai alat ukur kesuksesan operasi perusahaan
3.
Sebagai kriteria untuk menentukan pembagian dividen
4.
Sebagai alat bagi otoritas pengatur tarif
untuk menentukan apakah tarif telah
dikenakan dengan adil dan wajar
5.
Sebagai panduan bagi manajemen perusahaan dalam melaksanakan tugasnya
II.3    
Akuntansi Akrual
II.3.1 
Pengertian dan Klasifikasi Akrual
Laporan keuangan biasanya disajikan dengan
menggunakan basis akrual.
Hal ini
dikarenakan basis akrual lebih baik daripada basis kas dalam mengukur kinerja dan
kondisi keuangan perusahaan.
Statement of Financial Accounting Concepts No. 1 (2006 , p3) menyatakan bahwa:
  
12
information   about   enterprise   earnings   based   on   accrual   accounting
generally provides a better indication of enterprises’ present and continuing
ability to generate cash flows that information limited to the financial aspects
of cash receipts and payments.”
Apabila diterjemahkan adalah sebagai berikut:
“Informasi mengenai laba perusahaan yang didasarkan pada azas akrual secara
umum lebih
memberikan
indikasi
yang
lebih
baik
mengenai
kemampuan
perusahaan saat ini dan kelangsungannya untuk menghasilkan arus kas dimana
biasanya informasi terbatas pada penerimaan kas dan pengeluaran kas.”
Menurut  Sulistyanto  (2008,  p22)  prinsip  akuntansi  telah  dibuat  dengan
sebaik-baiknya, namun prinsip ini memiliki keterbatasan yang dikarenakan
fleksibitas yang diperbolehkannya. Laporan keuangan dengan basis akrual
meliputi  banyak  estimasi  dan  pertimbangan.  Menurut  Teoh,  Wong,  dan  Rao
dalam Workingpaper
(1997,
p33),
ada
dua
konsekuensi
bagi
akuntansi
akrual
dengan diperbolehkannya pertimbangan
manajemen dalam pelaporan
laba, yaitu
manajer bisa menggunakan pertimbangan
tersebut
untuk
meningkatkan
informativeness
laporan keuangan atau
menggunakannya
secara opportunistic
untuk keuntungan pribadinya atau perusahaan.
Suharli dalam jurnal Balance
(2005, pp44-45) membagi tipe akrual menjadi
dua, yaitu:
1.
Discretionary
accrual
yaitu pengakuan
akrual
laba
atau
beban
yang
bebas,
tidak diatur dan merupakan pilihan kebijakan manajemen
2.  Nondiscretionary accrual yaitu  pengakuan  akrual  laba  yang  wajar,  yang
didasarkan pada prinsip akuntansi yang berlaku umum
  
13
Gumanti
(2000),
Sulistyanto
(2003),
dan
Midiastuty
&
Machfoeds
(2003)
juga
menyetujui
bahwa discretionary
accrual
memberikan
manajer
fleksibilitas
untuk menentukan besarnya transaksi akrual, seperti penentuan pencadangan
piutang tak tertagih, biaya garansi, nilai persediaan, dan penentuan saat serta
jumlah
extraordinary
items.
Akibatnya,
discretionary
accruals ini
seringkali
digunakan
sebagai
proksi
dilakukannya manajemen
laba.
Sementara
itu,
nondiscretionary
accrual
meliputi
pemilihan metode
akuntansi
akrual
oleh
manajer
yang
diharapkan
akan
digunakan
secara
konsisten
dalam menyajikan
laporan keuangan. Contohnya adalah pemilihan metode depresiasi dan kebijakan
akuntansi untuk pengakuan pendapatan.
II.3.2 
Asimetri Informasi dan Akuntansi Akrual
Rahmawati dan Baridwan dalam Jurnal Akuntansi dan Bisnis (2007, p173)
menyatakan bahwa umumnya di dalam pasar terdapat suatu kelompok orang tertentu
(misalnya penjual) yang mengetahui sesuatu hal tentang aset yang hendak
diperjualbelikan, yang tidak diketahui oleh kelompok orang yang lainnya (misalnya
pembeli).  Jika  situasi  ini  terjadi,  maka  pasar  dikatakan  tidak  efisien  dan  terjadi
asimetri informasi yang berarti bahwa distribusi informasi tidak sama kepada semua
peserta
dalam
pasar.
Hal
yang
sama
juga
berlaku
dalam manajemen
laba, dimana
manajer
mengetahui
informasi
dalam perusahaan
yang
tidak
diketahui
para
stakeholders. Adanya
asimetri
informasi
ini
dan
fleksibilitas
yang
diberikan
oleh
akuntansi akrual kepada manajer menyebabkan dapat dilakukannya praktik
manajemen laba.
  
14
Richardson
dalam
Working
Paper
(1998)
dalam penelitiannya
terhadap
perusahaan
yang terdaftar di New York Stock Exchange (NYSE) periode 1988-1992
menemukan bahwa terdapat hubungan sistematis
antara
asimetri
informasi dengan
earnings management.
II.4
Manajemen Laba
II.4.1 
Pengertian Manajemen Laba
Beberapa ahli telah mencoba mengemukakan
pendapat
mereka
mengenai
manajemen laba, di antaranya adalah:
1.
Scott dalam Financial Accounting Theory (2006, p369),
yang
menyatakan bahwa
Earnings Management is the choice by manager of accounting policies so as to
achieve some specific objectives.” Definisi tersebut dibagi menjadi dua yaitu:
a. Earnings management dipandang sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimumkan
utilitasnya dalam menghadapi
kontrak kompensasi,
kontrak
hutang dan political costs (Oportunistic Earnings Management).
b.
Earnings
management
dipandang
sebagai efficient contracting, dimana
manajemen laba memberi manajer fleksibilitas untuk melindungi perusahaan
dalam
mengantisipasi  
kejadian-kejadian  
yang  
tak   terduga  
dan  
untuk
keuntungan
pihak-pihak
yang
terlibat dalam kontrak (Efficient
Earnings
Management).
2.
Wild, 
et  al 
(2007, 
p86) 
mengatakan  earnings
management 
sebagai  ”a
purposeful intervention by management in the earnings determination process,
usually to satisfy selfish objectives.”
  
15
Apabila diterjemahkan adalah sebagai berikut:
“Manajemen laba
merupakan
suatu
cara
bagi
manajemen
untuk
melakukan
intervensi dalam penentuan laba perusahaan. Manajemen laba biasa dilakukan
untuk tujuan pribadi manajemen”
3. Assih
dan
Gudono
dalam
Jurnal
Riset
Akuntansi
Indonesia
(2000,
p36),
manajemen
laba
adalah
suatu
proses yang dilakukan dengan
sengaja dalam
batasan
Generally
Accepted Accounting Principles
(GAAP) untuk
mengelola
pelaporan laba.
Dari definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen laba
adalah
penggunaan
pertimbangan
manajemen
dalam pemilihan
kebijakan
akuntansi perusahaan untuk pelaporan keuangan dalam batasan prinsip akuntansi
yang berlaku umum, untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya maupun nilai
perusahaan.
II.4.2 
Jenis Manajemen Laba
Menurut Suharli (2005, p46) manajemen laba terbagi menjadi dua, yaitu:
1.   Income Increasing Earnings Management
Jika laba masa kini relatif rendah dan diperkirakan laba masa depan tinggi,
manajer akan menggunakan pilihan prosedur akuntansi untuk meningkatkan
discretionary accruals masa kini.
2.   Income Decreasing Earnings Management
Jika  laba  masa  kini  relatif  tinggi  dan  diperkirakan  laba  masa  depan  rendah,
manajer
akan
menggunakan
pilihan prosedur
akuntansi
untuk
menurunkan
discretionary accruals masa kini.
  
16
II.4.3 
Motivasi Manajemen Laba
Menurut  Scott  (2006,  pp86-88)  terdapat  beberapa  motivasi  seseorang  untuk
melakukan manajemen laba:
1.   Bonus Purposes
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak
secara 
opportunistic  untuk
melakukan 
manajemen 
laba, 
untuk
memaksimalkan bonus mereka berdasarkan rencana bonus perusahaan.
2.   Political Motivation
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada
perusahaan besar yang aktivitasnya
mempengaruhi
banyak
pihak,
dengan
tujuan
untuk
mengurangi
tekanan
publik yang
mengakibatkan
pemerintah
menetapkan peraturan yang lebih ketat.
3.   Taxation Motivation
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling
nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan untuk tujuan penghematan pajak
pendapatan.
4.   Pergantian Chief Executive Officer (CEO)
CEO yang
mendekati
masa
pensiun akan
cenderung
menaikkan
pendapatan
untuk meningkatkan bonus mereka. Jika kinerja perusahaan buruk, mereka
akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5.   Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang
akan
go
public
belum
memiliki
nilai
pasar.
Hal
ini
meningkatkan    kemungkinan    manajer    perusahaan    tersebut    melakukan
  
17
manajemen
laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat
menaikkan
harga saham perusahaan.
6.   Untuk Memberikan Informasi kepada Investor
Manajer
memiliki
informasi
dalam
terbaik
mengenai
prospek
laba
perusahaan.  Jika  laba  yang  dilaporkan  dikelola  sedemikian  rupa  sehingga
mencerminkan
estimasi
terbaik
manajemen
atas kekuatan
laba perusahaan,
dan pasar
menyadari
hal
ini, harga saham akan dengan cepat
merefleksikan
informasi tersebut. Manajemen laba yang dapat mengungkap informasi dalam
perusahaan, dapat meningkatkan informativeness pelaporan keuangan.
Motivasi  dilakukannya  manajemen  laba  menurut  Wild,  et al (2007,  p94)
adalah sebagai berikut:
1.   Contracting Incentives
Banyak kontrak yang menggunakan dasar angka akuntansi, misalnya  kontrak
kompensasi
manajer
yang menawarkan bonus berdasarkan laba. Kontrak
ini
memiliki
batas atas
dan
batas
bawah.
Apabila
batas
bawah
tidak
tercapai,
maka 
manajer 
tidak 
akan 
mendapatkan 
bonus,  sebaliknya  apabila 
laba
melebihi
batas
atas
maka
manajer
tidak
akan
memperoleh tambahan bonus.
Hal
ini
menyebabkan
manajer
memiliki
insentif untuk
menaikkan
atau
menurunkan laba berkaitan dengan batas atas dan batas bawah. Manajer
mengatur 
angka 
yang 
digunakan 
dalam  kontrak 
(misalnya 
kontrak
kompensasi) untuk mempengaruhi kesejahteraan manajer.
  
18
2.   Stock Prices Effects
Earnings
management
dilakukan
untuk
mempengaruhi
harga
saham untuk
kepentingan pribadi seperti saat akan dilakukan merger, penawaran opsi atau
saham.
3.   Other Incentives
Earnings management dilakukan untuk mempengaruhi:
a Government favors
Manajemen laba dilakukan untuk mempengaruhi tindakan politik, yaitu
untuk   mengurangi   biaya   politis   dan   pengawasan   dari   pemerintah,
dilakukan dengan cara menurunkan laba; untuk memperoleh kemudahan
dan fasilitas dari pemerintah, misalnya subsidi dan perlindungan dari
pesaing 
luar 
negeri,  dilakukan  dengan 
cara  menurunkan 
laba;  serta
manajer berusaha menurunkan
laba untuk
mengurangi beban pajak yang
harus dibayar (taxation motivation).
b.   Permintaan tenaga kerja
Untuk
meminimalkan
tuntutan
serikat
buruh,
dilakukan dengan cara
menurunkan laba.
c.   Pergantian manajer
Manajer
yang
habis
masa
penugasannya atau
pensiun
akan
melakukan
strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya. Demikian
pula
dengan
manajer
yang
kinerjanya kurang baik, ia akan cenderung
memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya.
  
19
dInitial Public Offerings (IPO)
Saat
perusahaan
akan go
public,
informasi
keuangan
yang
ada
dalam
prospektus
merupakan sumber
informasi
yang
paling penting.
Informasi
ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai
perusahaan.   Untuk   mempengaruhi   keputusan   calon   investor,   maka
manajer berusaha menaikkan earnings yang dilaporkan.
e.   Debt Covenant
Semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang maka
manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat
“memindahkan”
laba
periode
mendatang ke periode berjalan sehingga
dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami
pelanggaran
kontrak.
II.4.4 
Faktor Penyebab Timbulnya Earnings Management
Salah satu penyebab earnings management
adalah adanya kompensasi
untuk
eksekutif perusahaan yang didasarkan pada pencapaian laba. Gumanti dalam Seminar
Nasional  Akuntansi  (2000,  p46)  menyatakan  terdapat  teori  maupun  bukti-bukti
empiris
yang
menunjukkan
bahwa earnings
atau laba telah dijadikan sebagai suatu
target 
dalam 
proses  penilaian 
prestasi 
usaha 
suatu 
departemen 
secara 
khusus
(manajer)
atau
perusahaan
(organisasi) secara
umum.
Keuntungan
atau
perolehan
secara akuntansi (accounting income) berperan penting dalam pembuatan keputusan
bagi banyak pihak, seperti investor, penyedia dana (kreditur),
manajer, pemilik atau
pemegang  saham,  dan  pemerintah.  Pentingnya  laba  ini  bagi  berbagai  pihak  dan
  
20
adanya
asimetri
informasi,
membuat
manajemen
berkesempatan
untuk
melakukan
manajemen laba.
II.4.5 
Mekanisme Manajemen Laba
Menurut Wild, et al (2007, p88), mekanisme dilakukannya earnings management
adalah:
1.   Income Shifting
Income Shifting yaitu proses earnings management dengan memindahkan income
dari satu periode ke periode lain. Income Shifting dilakukan dengan mempercepat
atau menunda pengakuan pendapatan atau beban. Contohnya mempercepat atau
menunda pengeluaran untuk penelitian
dan
pengembangan
sampai
periode
akuntansi berikutnya, mempercepat
atau
menunda
pengeluaran promosi
sampai
periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan,
mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah disepakati, dan lain sebagainya.
2.   Classificatory Earnings Management
Earnings management juga dapat dilakukan dengan
cara
mengklasifikasikan
pendapatan dan beban di bagian
tertentu dalam laporan
laba rugi. Bentuk paling
umum dari classificatory earnings management yaitu memindahkan beban ke
urutan bawah agar kurang diperhatikan.
II.4.6 
Strategi Manajemen Laba
Strategi dilakukannya
earnings
management, menurut Wild,
et al (2007, p87),
adalah sebagai berikut:
  
21
1.   Increasing Income
Increasing Income
dilakukan dengan mempercepat pencatatan pendapatan,
menunda beban,
dan
memindahkan
beban
ke periode lain untuk meningkatkan
laba.
2.   Big Bath
Strategi
ini
dilakukan
ketika
keadaan yang
tidak
menguntungkan
tidak
bisa
dihindari pada periode berjalan. Caranya adalah dengan mengakui beban dan
kerugian periode berjalan serta periode yang akan datang pada periode berjalan.
Biasanya
hal
ini
dilakukan
ketika perusahaan memiliki
performa
yang
buruk
(umumnya ketika terjadi resesi dimana kebanyakan perusahaan melaporkan laba
yang
rendah)
atau
ketika
terjadi
kejadian
yang
tidak biasa
seperti
pergantian
manajer, merger, atau restrukturisasi.
3.   Income Smoothing
Income
Smoothing
merupakan bentuk earnings management
yang paling
sering
dilakukan dan paling populer. Dengan strategi ini, manajer menurunkan atau
menaikkan
laba yang dilaporkan untuk mengurangi gejolak pelaporan laba
sehingga perusahaan terlihat stabil atau tidak berisiko tinggi.
II.4.7 
Faktor Perilaku Manajer
Rahmawati
dalam Jurnal
Riset
Akuntansi
Indonesia
(2007,
p71)
menyatakan
bahwa ada tiga faktor yang dikaitkan dengan perilaku manajer dalam pengaturan
tingkat keuntungan, yang dikenal dengan tiga hipotesa, yaitu:
  
22
1.   Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya,
yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang diberikan bonus besar
berdasarkan laba lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang
meningkatkan laba yang dilaporkan.
2.   Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kontrak kredit
cenderung
memilih
metode
akuntansi yang
memiliki
dampak
meningkatkan
laba.
3.   Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan
tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut
dikarenakan dengan laba yang tinggi, pemerintah akan segera mengambil
tindakan, misalnya menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.
II.4.8 
Permainan Manajerian dalam Manajemen Laba
Upaya penyelewengan informasi dilakukan dengan mempermainkan komponen-
komponen
dalam laporan
keuangan,
baik
dengan
mempermainkan
besar
kecilnya
maupun
menyembunyikan
atau menunda pengungkapan
komponen
tertentu.
Menariknya upaya ini dapat dilakukan tanpa harus melanggar standar akunansi yang
selama ini digunakan secara umum. Hanya dengan mengganti metode dan prosedur
akuntansi tertentu dengan metode dan prosedur akuntansi yang lain besar kecilnya
komponen laporan keuangan dapat diatur sesuai keinginan manajer perusahaan.
  
23
Selain itu
manajer
juga
dapat mempermainkan komponen-komponen laporan
keuangan dengan menentukan atau mengubah nilai estimasi yang dipakainya, dan
banyak pihak yang menyatakan bahwa upaya mempermainkan laporan keuangan ini
dapat
dilakukan
justru
karena
diakomodasi dan
difasilitasi
oleh prinsip
akuntansi
sendiri.
Menurut
Sulistyanto
dalam bukunya
Manajemen
Laba
(2008,
p33)
menyatakan
ada beberapa cara yang sering digunakan manajerial untuk memainkan besar kecilnya
laba, yaitu:
1.
Mengakui dan mencatat pendapatan terlalu cepat atau sebaliknya
2.
Mengakui dan mencatat pendapatan palsu
3.
Mengakui biaya periode berjalan menjadi biaya periode sebelum atau sesudahnya
4.
Tidak mengungkapkan semua kewajiban
5.
Mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode sebelumnya
6.
Mengakui pendapatan masa depan menjadi pendapatan periode berjalan.
II.4.9
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba
Telah banyak penelitian empiris terdahulu yang menguji faktor-faktor yang
mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba. Namun, temuan empiris yang
didapat masih menunjukkan bervariasinya kesimpulan mengenai berpengaruh atau
tidaknya beberapa faktor terhadap manajemen laba. Berikut disajikan penelitian-
penelitian  empiris  terdahulu  yang  meneliti  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  dan
tidak mempengaruhi manajemen laba.
  
24
II.4.9.1 Struktur Kepemilikan dan Manajemen Laba
Menurut
Tri
Widyastuti
dalam Jurnal
Maksi
(2009,
p33)
struktur
kepemilikan
adalah   susunan   kepemilikan   saham   perusahaan   oleh   berbagai   pihak.   Dalam
pandangan teoritis, beberapa peneliti berpendapat bahwa struktur
kepemilikan
perusahaan berpengaruh terhadap jalannya perusahaan. Veronica dan Utama dalam
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia (2006, p309) menyatakan bahwa tujuan perusahaan
sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan, motivasi dan pemegang surat utang,
corporate governance, dan proses insentif yang membentuk motivasi manajer.
Struktur kepemilikan
terbagi
menjadi
dua,
yaitu
kepemilikan
manajerial
(insider
ownership) dan kepemilikan institusional (institutional ownership). Kepemilikan
manajerial (insider ownership) dapat diartikan sebagai seberapa besar andil manajer
terhadap keseluruhan modal suatu perusahaan publik. Hal tersebut dapat dinyatakan
dengan
persentase
saham perusahaan
yang
dimiliki oleh
dewan
komisaris, direksi,
maupun manajer.
Jensen dan Meckling dalam Journal of Financial Economic (1996, p305) dengan
hipotesis pemusatan kepentingannya (convergence of interest hypothesis) menyatakan
kepemilikan manajerial dapat mengurangi praktik manajemen laba karena adanya
penyatuan tujuan atau kepentingan manajemen dengan tujuan para pemegang saham.
Rahmawati dalam
Jurnal Akuntansi
dan
Bisnis (2007, p175)
menyatakan bahwa
kepemilikan
institusional
(institutional
ownership)
adalah
besarnya kepemilikan
investor
di
luar
perusahaan
atau perusahaan
lain terhadap
keseluruhan
modal
suatu
perusahaan publik. Kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang
memonitor
perusahaan
dan
pencegahan terhadap
pemborosan
atau
penyelewengan
  
25
yang
mungkin
dilakukan
oleh
manajemen
(Veronica et
al,
2006).
Semakin
besar
kepemilikan  institusional,  maka  semakin  besar  peran  pihak  institusional  tersebut
dalam pengambilan
keputusan
perusahaan.
Hal
ini
menyebabkan
semakin
kecil
kemungkinan
dilakukannya
manajemen
laba oleh pihak manajemen karena adanya
pengawasan yang ketat oleh investor institusional.
II.4.9.2 Good Corporate Governance
Menurut   Forum   for   Corporate   Governance  
in   Indonesia  
(FCGI,   2002)
mendefinisikan corporate governance sebagai:
“seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham,
pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan
internal
dan
eksternal lainnya
sehubungan
dengan
hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban mereka.”
Tujuan corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua
pihak yang berkepentingan. Corporate governance merupakan suatu cara untuk
menjamin bahwa
manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan stakeholders
(Veronica et al,
2006).
Pelaksanaan good corporate governance menuntut
adanya
perlindungan yang kuat terhadap hak-hak pemegang saham,
terutama pemegang
saham minoritas.
Penerapan
good
corporate
governance dapat dilihat dari beberapa faktor, di
antaranya  proporsi  dewan  komisaris  independen  dan  keberadaan  komite  audit  di
dalam perusahaan.
Hubungan antara proporsi dewan komisaris independen dengan manajemen laba
tersirat
dari
fungsi
dewan komisaris
itu
sendiri
yaitu
untuk
memastikan
bahwa
perusahaan   telah   melakukan   tanggung   jawab   sosial   dan   mempertimbangkan
  
26
kepentingan berbagai
stakeholders
perusahaan
sebaik
memonitor
efektivitas
pelaksanaan good
corporate
governance
(FCGI,
2002).
Wedari
dalam
Simposium
Nasional Akuntansi VII (2004, P965) menyatakan bahwa masuknya dewan komisaris
yang  berasal  dari  luar  perusahaan  akan  meningkatkan  efektivitas  dewan  tersebut
dalam mengawasi manajemen untuk mencegah kecurangan dalam laporan keuangan.
Keberadaan
komite
audit
juga merupakan
salah
satu
bentuk
penerapan
good
corporate governance. Komite audit merupakan komite yang dibentuk oleh dewan
komisaris
yang
anggotanya
diangkat
dan diberhentikan
oleh
dewan
komisaris.
Menurut
Wedari
(2004,
p966)
tujuan
dibentuknya
komite
audit adalah untuk
membantu
dewan
komisaris
melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap
perlu
terhadap pelaksanaan tugas direksi dalam pengelolaan perusahaan. Sedangkan
tujuan dibentuknya komite audit menurut Veronica, et al (2006) meliputi aspek
pengawasan independen atas proses penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan
audit 
ekstern, 
proses 
pengelolaan 
risiko 
dan 
kontrol, 
dan  proses 
pelaksanaan
corporate governance. Dengan demikian, keberadaan komite audit dalam perusahaan
akan mengurangi praktik manajemen laba.
II.4.9.3 Financial Leverage dan Manajemen Laba
Menurut Veronica, et al (2006), financial leverage merupakan suatu ukuran yang
membandingkan jumlah hutang perusahaan dengan jumlah aktiva yang dimilikinya.
Hal ini bertujuan untuk melihat seberapa bagian aktiva yang digunakan untuk
menjamin hutang.
Hubungan antara manajemen laba dengan financial leverage dapat dilihat
dari
salah satu motivasi
manajemen
laba
yang dikemukakan oleh Tri Widyastuti (2009,
  
27
p39) yaitu debt convenant hypothesis,
yang
menyatakan
semakin
dekat
suatu
perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih
metode akuntansi yang dapat “memindahkan” laba periode mendatang ke periode
berjalan 
sehingga 
dapat 
mengurangi  kemungkinan  perusahaan 
mengalami
pelanggaran kontrak.
Menurut Midiastuty dan Machfoeds dalam Simposium Nasional Akuntansi VI
(2003, P179), perusahaan
yang
mempunyai rasio leverage tinggi diduga
melakukan
earnings management karena perusahan terancam default yaitu tidak dapat memenuhi
kewajiban pembayaran hutang pada waktunya. Perusahan akan berusaha
menghindarinya  dengan  membuat  kebijakan  yang  dapat  memberikan  perusahan
posisi
bargaining
yang
relatif
lebih
baik
dalam negosiasi
atau
penjadwalan
ulang
hutang dagang.
II.4.9.4 Ukuran Perusahaan dan Manajemen Laba
Ukuran perusahaan merupakan
cerminan
seberapa
besar
suatu
perusahaan
yang
dapat diukur dengan menggunakan total aktiva, penjualan (sales), dan market
capitalization (Rahmawati, 2007). Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi
manajemen laba dimana perusahan besar
menghadapi public demand atas
informasi
yang tinggi sehingga perusahan harus mengungkapkan lebih banyak informasi yang
berakibat  menurunnya 
asimetri 
informasi  antara 
manajemen 
dengan 
pemegang
saham. Menurunnya asimetri informasi ini berakibat pada mengecilnya kemampuan
manajemen untuk melakukan manajemen laba karena pemegang saham mengetahui
hampir semua informasi perusahaan.
  
28
II.4.9.5 Kualitas Audit dan Manajemen Laba
Nuraini
dan
Zain dalam Jurnal Maksi (2007,
p22)
menyatakan
bahwa
kualitas
audit dapat dilihat dalam dua dimensi:
1.
Auditor harus mampu mendeteksi salah saji materi
Kemampuan
untuk
mendeteksi
salah
saji materi sangat dipengaruhi oleh
kemampuan teknologi dari auditor, prosedur audit, dan jumlah sampling
yang
digunakan.
2.
Salah saji tersebut harus dilaporkan
Kemampuan untuk melaporkan salah saji material secara tepat tergantung pada
sikap independensi auditor, jika auditor berada pada tekanan personal, emosional,
dan keuangan maka auditor akan kehilangan independensi.
Lebih
lanjut
menurut
Nuraini, et al (2007, p22) audit yang berkualitas akan
mampu
mengurangi
faktor ketidakpastian yang berkaitan
dengan
laporan
keuangan
yang disajikan oleh pihak manajemen. Karena itu, wajar jika kemudian kualitas audit
menjadi topik yang selalu memperoleh perhatian mendalam dari profesi akuntan,
pemerintah, masyarakat serta investor. Bukti menunjukkan beberapa
indikasi bahwa
kualitas audit telah mengalami penurunan pada tahun 1990an berkaitan dengan kasus
Enron
dan
Worldcom.
Jatuhnya KAP
Arthur Andersen merupakan saat yang tepat
untuk mempertanyakan kualitas audit yang diberikan oleh KAP big International.
Kritik tersebut telah
melahirkan perubahan
terhadap
undang-undang di Amerika
Serikat dengan berlakunya Sarbanes-Oxley Act pada bulan Juni tahun 2002 diikuti
dengan
KMK
No.423/KMK-06/2002
di
Indonesia. Undang-undang tersebut
diantaranya  
mengatur  
tentang   rotasi  
wajib   bagi  
auditor  
serta  
KAP   tidak
  
29
diperbolehkan memberikan jasa non-audit disamping pemberian jasa audit pada klien
karena dapat mengganggu independensi auditor. Kualitas audit akan selalu diragukan
jika jasa-jasa lain yang diberikan
dianggap
membahayakan
keobjektifan
dan
independensi auditor.
Sehubungan  dengan  kualitas  audit  terhadap  manajemen  laba,  Krishnan  dan
Gopal dalam Accounting Horizon (2003, p1) menemukan bahwa kualitas audit
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, perusahaan dengan auditor non-big six
melaporkan discretionary accruals
yang secara
signifikan lebih
tinggi dibandingkan
dengan perusahaan auditor big six. Hal ini merefleksikan bahwa accounting flexibility
telah
diijinkan
oleh
auditor
non
big
six.
Krishnan
et
al
(2003)
juga
menemukan
bahwa auditor non-big six secara signifikan memiliki variasi yang lebih banyak dalam
discretionary accruals
dibandingkan dengan auditor big six.
II.4.10 Cara Mendeteksi Manajemen Laba
Menurut Sulistyanto (2008, p43) terdapat beberapa cara
mendeteksi
manajemen
laba yaitu:
1.
Manajemen tidak jujur
Munculnya  permasalahan  antara  manajer  dan  pemilik  perusahaan,  khususnya
untuk perusahaan yang kepemilikkannya menyebar disebabkan karena pada tipe
kepemilikan
seperti
ini
tidak
ada
pemegang
saham mayoritas
yang
dapat
mengintervensi 
wewenang 
manajer 
perusahaan.  Akibatnya 
adalah 
pemegang
saham kesulitan
dalam
mengawasi
dan
mengendalikan
manajer.
Manajer
mempunyai kekuasaan penuh untuk mengelola perusahaan sesuai dengan
kepentingannya.   Manajer   tidak   lagi   bekerja   untuk   untuk   kepentingan   dan
  
30
kesejahteraan
pemegang
saham tetapi
bekerja
untuk
kesejahteraannya
sendiri.
Lemahnya  posisi  pemegang  saham  pada  akhirnya  mengakibatkan  akses  dan
sumber
terhadap
informasi
mengenai keuangan,
manajemen,
dan
operasional
perusahaan menjadi sangat terbatas.
2.
Lingkungan pengendalian yang tidak mencukupi
Lingkungan pengendalian yang tidak memadai seperti lemahnya pengendalian
internal dan lemahnya
penerapan
Good Corporate Govarnance memberikan
peluang yang lebih besar kepada manajemen untuk melakukan manajemen laba.
3.
Perubahan auditor, konsultan hukum atau CFO
Perubahan
auditor,
konsultan
hukum ataupun
CFO
yang
bertugas
dalam suatu
perusahaan
mengindikasikan
ada
suatu
masalah
yang
terjadi
dalam perusahaan
tersebut.
4.
Perubahan prinsip akuntansi dan estimasi
Manajemen mempunyai kebebasan untuk mengubah atau mengganti metode
akuntansi
yang selama
ini dipakai dengan metode akuntansi lain. Hal
inilah
yang
mendorong 
seorang 
manajer 
untuk 
mengoptimalkan  kepentingan  dan
kesejahteraan pribadi. Seorang manajer hanya mau menggunakan suatu metode
akuntansi
tertentu
apabila
ada
manfaat
yang
bisa
diperoleh.
Metode
akuntansi
yang
tidak
memberi
manfaat
tidak
akan
digunakan atau
diganti
dengan
metode
lain.
5.
Defisit yang cukup besar dalam arus kas operasi relatif terhadap laba bersih
Baik buruknya kinerja suatu perusahaan tidak hanya dapat dilihat dari laba bersih
yang
dihasilkannya karena
meskipun
laba
yang
dihasilkan
suatu
perusahaan
itu
  
31
sangat besar belum tentu diikuti dengan penerimaan kas dari aktivitas operasinya.
Hal
ini disebakan karena adanya dasar akrual
yang
melandasi pembuatan laporan
laba rugi.
6.
Perbedaan subtansial antara pertumbuhan penjualan dan penerimaan
Besarnya pertumbuhan penjualan seharusnya juga diiringi
oleh
pertumbuhan
penerimaan
kasnya.
Jika
hal
ini
tidak terjadi
terdapat
kemungkinan
manajer
mencatat
pendapatan
palsu
sehingga
pendapatan ini tidak akan pernah terealisir
sampai kapanpun. Upaya ini mengakibatkan pendapatan periode berjalan
menjadi
lebih besar daripada pendapatan sesungguhnya sehingga laba priode berjalan juga
lebih besar daripada laba sesungguhnya.
7.
Kenaikan atau penurunan laba kotor yang besar
Kenaikan laba kotor yang sangat besar bisa dilakukan manajer dengan
mempercepat
pencatatan
pendapatan atau
menunda
beban
sehingga
kinerja
perusahaan terlihat optimal, sedangkan penurunan laba kotor yang besar juga bisa
dilakukan manajer untuk menghindari pajak atau bahkan agar kinerja tahun
berikutnya terlihat sangat baik.
8.
Mencatat pendapatan dari pembeli yang berisiko
Jika
penjualan
terjadi
dari
pembeli yang
berisiko
mengindikasikan
perusahaan
berusaha
untuk
meningkatkan
pendapatan perusahaan sehingga performa
perusahaan terlihat baik dan menarik perhatian investor.
9.
Keberadaan komitmen dan kontijensi
Komitmen
menunjukkan suatu
ikatan atau kontrak berupa janji
yang tidak dapat
dibatalkan secara sepihak. Sedangkan kontijensi menunjukkan suatu keadaan yang
  
32
diliputi ketidakpastian
mengenai kemungkinan diperolehnya
laba atau
rugi
oleh
suatu perusahaan yang baru akan terselesaikan dengan terjadi atau tidak terjadinya
satu atau lebih peristiwa di masa yang akan datang.  
Adanya komitmen dan
kontijensi  ini  jika  berjumlah  besar  dapat  mempengaruhi  posisi  keuangan  dan
kinerja perusahaan.
II.4.11 Implikasi Manajemen Laba bagi Pemakai Laporan Keuangan
Menurut Sulistyanto
(2008, p115) praktik manajemen laba
yang dilakukan oleh
manajemen suatu perusahaan membuat setiap pihak harus menanggung implikasinya.
Pihak-pihak yang terkait adalah sebagai berikut:
1.   Manajer perusahaan,
harus menanggung implikasi
manajemen
laba
yang berupa
kemungkinan kesulitan keuangan dan kebangkrutan di masa depan.
2.   Investor, harus menanggung implikasi berupa hilangnya kesempatan memperoleh
return dan kehilangan modal yang telah ditanamkannya.
3. 
Pemerintah, harus menanggung implikasi berupa kehilangan kesempatan untuk
memperoleh pajak.
4.   Regulator,   harus   menanggung   implikasi   berupa   hilangnya   integritas   dan
kredibilitas karena regulasinya mudah dipermainkan.
5.
Kreditur, harus menanggung implikasi berupa hilangnya kesempatan untuk
memperoleh return
dan
dana
yang
dipinjamkan kepada
perusahaan
yang
bersangkutan.
6.
Masyarakat, juga harus menanggung implikasi berupa hancurnya perekonomian.
  
33
II.4.12 Model Empiris Manajemen Laba
Model empiris bertujuan untuk mendeteksi manajemen laba. Menurut Sulistanto
(2008, p216) model empiris manajemen laba pertama kali dikembangkan oleh Healy
lalu dilanjutkan oleh De Angelo dan Jones.
a.
Model Healy
Model Healy
merupakan
model
pertama
yang
digunakan
untuk mendeteksi
manajemen
laba dengan
menghitung
nilai total akrual, yaitu dengan mengurangi
laba akuntansi yang diperoleh selama periode tertentu dengan arus kas operasi
periode bersangkutan. Untuk
menghitung nondiscretionary accruals model Healy
membagi rata-rata total akrual dengan total aktiva periode sebelumnya.
Kelemahan
dalam model
Healy
adalah
tidak
adanya
pemisahan
antara
discretionary accruals dan nondiscretionary accruals padahal non discretionary
accruals merupakan komponen total akrual
yang tidak bisa dikelola dan di atur
oleh 
manajemen. 
Pada 
model 
ini 
nilai 
nondiscretionary 
accruals  dianggap
konstan.
b.
Model De Angelo
Secara umum model De Angelo menghitung total akrual sebagai selisih antara
laba akuntansi yang diperoleh selama satu periode dengan arus kas periode
bersangkutan.
Model
ini
mengukur
manajemen
laba
dengan nondiscretionary
accruals
yang dihitung dengan menggunakan total akrual akhir periode yang
diskala dengan total aktiva periode sebelumnya. Sama sepeti model Healy, model
De
Angelo
juga
tidak
memisahkan
antara discretionary
accruals dan
nondiscretionary    accruals    padahal   nondiscretionary    accruals    merupakan
  
34
komponen total akrual yang tidak bisa dikelola dan di atur oleh manajemen. Pada
model ini nilai nondiscretionary accruals dianggap konstan.
c.
Model Jones Dimidifikasi
Model Jones tidak lagi menggunakan asumsi bahwa nondiscretionary accruals
adalah konstan. Model ini banyak digunakan dalam penelitian-penelitian akuntansi
karena dinilai
merupakan
model
yang paling
baik dalam mendeteksi
manajemen
laba.
Model
ini
memecah
komponen
akrual
menjadi
discretionary accruals dan
nondiscretionary accruals.
II.5. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode
pengolahan data secara elektronik (electronic data processing) dengan bantuan
software EViews 5.1. Kelebihan penggunaan software Eviews 5.1 adalah output dari
EViews 5.1 dapat menampilkan hasil dari pengolahan data dan pengujian hipotesis
secara
bersamaan.
Menurut
Winarno
dalam Analisis
Ekonometrika
dan
Statistika
dengan Eviews (2007) teknik pengolahan data dilakukan dengan :
1. Uji Statistik Deskriptif
Analisis ini berguna sebagai
alat untuk menganalisa data dengan cara
menggambarkan sampel yang telah ada tanpa maksud membuat kesimpulan yang
berlaku umum. Analisis ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik sampel
yang diujikan. Analisis ini menghitung nilai minimum, maksimum, mean, standar
deviasi, dan keterangan lainnya.
  
35
2. Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik
untuk menguji kelayakan penggunaan model regresi dan
kelayakan variabel bebas. Tujuan pengujian asumsi klasik adalah agar dapat
menghasilkan
nilai
parameter
yang
baik sehingga
hasil
penelitian
dapat
lebih
diandalkan. Menurut Winarno (2007, p51), pengujian asumsi klasik dalam
penelitian
ini,
yang
dilakukan
dengan bantuan
EViews
5, terdiri
dari tiga
jenis,
yaitu:
a. Uji Multikolinearitas
Uji
multikolinearitas
bertujuan
untuk menguji
apakah
pada
model
regresi
ditemukan adanya korelasi antara variabel independen, model regresi yang baik
seharusnya  tidak 
mengandung 
multikolinearitas.  Jika  korelasi  kuat  terjadi
antara
variabel independen maka terjadi masalah multikolinearitas. Dalam
penelitian ini uji multikolinearitas dilakukan dengan
correlation
matrix
test.
Suatu data dikatakan tidak mengalami atau bebas dari multikolinearitas jika
memiliki koefisien korelasi antarvariabel lebih kecil dari 0,5. Jika terjadi
multikolinearitas maka akan dibuat pemodelan khusus untuk setiap variabel
independen.
b. Uji Heterokedastisitas
Uji
heteroskedastisitas
bertujuan
untuk
menguji
apakah
dalam suatu
model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dan residual dari
suatu pengamatan ke
pengamatan lain. Jika
variance dan
residual
dari
suatu
pengamatan
ke
pengamatan yang
lain
tetap
maka disebut homoskedastisitas, dan jika berbeda
  
36
disebut heteroskedastisitas. Suatu model regresi yang baik adalah regresi
yang
tidak terjadi heteroskedastisitas.
Untuk
mendeteksi
terdapat
heteroskedastisitas pada model regresi dapat
dilakukan
uji white. Dasar
pengambilan
keputusan
dapat
dilihat
dari
nilai
probabilitas untuk Obs*R-squared, jika
nilai probabilitas lebih kecil
dari 0.05
maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut bersifat heteroskedastis.
c. Uji Autokorelasi
Pengujian
Autokorelasi
bertujuan
untuk
menguji
apakah
dalam suatu
model
regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pengganggu pada periode t-1. Jika terjadi korelasi maka dinamakan
ada   masalah   autokorelasi.   Autokorelasi   muncul   karena   observasi   yang
berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini timbul karena
residual (kesalahan
pengganggu)
tidak
bebas
dari
satu
pengamatan
ke
pengamatan lainnya.
Hal
ini sering
ditemukan
pada
data time
series
atau
urutan
waktu
karena
gangguan   pada   satu   individu   atau   kelompok   cenderung   mempengaruhi
gangguan pada individu atau kelompok yang sama pada periode berikutnya.
Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Panduan
yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi akan dipakai
besaran Durbin-Watson (D-W). Secara umum dapat diambil patokan :
1) angka D – W; 0 - 1,10 berarti ada autokorelasi yang positif
2) angka D-W; 1,54 - 2,46 berarti tidak ada autokorelasi
3) angka D-W; 2,90 – 4 berarti ada autokorelasi yang negatif
  
37
d. Uji Normalitas
Salah
satu
asumsi
dalam analisis
statistika
adalah
data
berdistribusi
normal.
Dalam analisis multivariat, para peneliti menggunakan pedoman kalau tiap
variabel terdiri dari 30 data, maka data sudah berdistribusi normal. Meskipun
demikian,
untuk
menguji
dengan
lebih
akurat, diperlukan alat
analisis
dan
Eviews
menggunakan dua cara,
yaitu
dengan
cara
melihat
koefisien
Jarque
Bera dan probabilitasnya:
1)  Bila  nilai  Jarque Bera tidak  signifikan  (lebih  kecil  dari  2),  maka  data
berdistribusi normal
2)  Bila probabilitas lebih besar dari 5%, maka dara berdistribusi normal
II.6 Hipotesis
Menyusun landasan teori merupakan langkah penting untuk membangun suatu
hipotesis. Landasan teori yang dipilih haruslah sesuai dengan ruang lingkup
permasalahan yang akan menjadi suatu asumsi dasar peneliti dan sangat berguna pada
saat menentukan suatu hipotesis penelitian.
Peneliti harus selalu bersikap terbuka terhadap fakta dan kesimpulan terdahulu
baik
yang
memperkuat
maupun
yang bertentangan dengan prediksinya. Jadi, dalam
hal
ini
telaah
teoritik
dan
temuan
penelitian yang relevan berfungsi
menjelaskan
permasalahan
dan
menegakkan
prediksi
akan
jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan penelitian.
Kesimpulan yang diambil adalah hipotesis penelitian dapat dirumuskan melalui
jalur:
  
38
1.   Membaca dan menelaah ulang (review) teori dan konsep-konsep yang membahas
variabel-variabel penelitian dan hubungannya dengan proses berfikir deduktif.
2.   Membaca dan menelaah ulang (review) temuan-temuan penelitian terdahulu yang
relevan dengan permasalahan penelitian lewat berfikir induktif.
Menurut Ghozali (2007, p84) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis
menyatakan
hubungan
apa
yang
dicari
atau
ingin dipelajari. Hipotesis adalah
keterangan  sementara  dari  hubungan  fenomena-fenomena  yang  kompleks.  Oleh
karena itu, perumusan hipotesis menjadi sangat penting dalam sebuah penelitian.
Menurut Ghozali (2007, p84) ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam
penelitian antara lain :
1.
Hipotesis kerja atau alternatif (Ha)
Hipotesis  kerja  menyatakan  adanya  hubungan  antara  variabel  X  dan  Y,  atau
adanya perbedaan antara dua kelompok.
2.
Hipotesis nol atau null hypotheses (Ho)
Hipotesis  ini  menyatakan  tidak  ada  perbedaan  antara  dua  variabel,  atau  tidak
adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y
II.6.1 Teknik Pengujian Hipotesis
Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang telah diperoleh adalah
analisis kuantitatif. Untuk
menguji
hipotesis digunakan alat uji analisa regresi
linier
berganda
dengan
model
interaksi
metode Least
Squares. Selanjutnya
dari
output
software Eviews 5.1, perlu diperhatikan nilai dari probabilitas dari setiap variabel
independen untuk
mengetahui apabila semua variabel independen
yang dimasukkan
  
39
ke dalam model
mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Dasar
pengambilan keputusannya adalah jika probabilitas > 0,05 maka Ha ditolak, jika
probabilitas < 0,05 maka Ha diterima.
Selain
melihat
nilai probabilitas di atas,
untuk
menentukan
apakah
suatu
model
sudah
baik
maka
perlu
diperhatikan
nilai
koefisien
determinasi
(adjusted R²
).
Koefisien
korelasi
(R) sendiri digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Nilai dari R berkisar dari 0 sampai dengan 1.
Jika R semakin mendekati 1 maka hubungan yang terjadi semakin kuat, tetapi jika R
semakin mendekati 0 maka hubungan yang terjadi semakin lemah. Hal tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai berikut:
1) 0,00 – 0,199 = sangat lemah
2)  0,20 – 0,399 = lemah
3)  0,40 – 0,599 = sedang
4) 0,60 – 0,799 = kuat
5)  0,80 – 1,000 = sangat kuat.
Analisis koefisien determinasi
(adjusted R²
) dilakukan untuk
mengetahui berapa
besar presentase dari variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen. Nilai
adjusted
R² yang
mendekati
seratus
persen
berarti
variabel-variabel
independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi
variabel dependen.