BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
A. Kepemimpinan (Leadership)
1.
Pengertian Kepemimpinan
Matondang menjelaskan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang diinginkan sesuai dengan yang diinginkan. Sementara kepemimpinan
adalah suatu proses
yang dilakukan oleh pemimpin dalam mempengaruhi orang
lain
agar mau atau tidak melakukan sesuatu yang diinginkan. Terkait dengan hal tersebut
gaya kepemimpinan adalah pola sikap dan perilaku yang ditampilkan dalam
proses
mempengaruhi orang lain (Matondang, 2008,
h.5). Hollander menyampaikan bahwa
terdapat
tiga
elemen
dalam kepemimpinan,
yaitu
:
(1) leader;
(2)
follower,
(3)
situation
yang ketiganya berinteraksi dalam suatu
proses
(dalam Matondang, 2008,
h.5).
Sementara
itu
Ivancevich
dkk.
menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah
sebuah proses
mempengaruhi
orang
lain
agar memudahkan pencapaian tujuan dari
sebuah organisasi (Ivancevich dkk., 2005, h. 492).
Bennis menjelaskan bahwa terdapat empat karakteristik pemimpin dari sebuah
kelompok yang efektif, yaitu (dalam Ivancevich dkk., 2005, h. 492):
9
  
10
a.   Memberikan pengarahan dan penjelasan kepada bawahan, maksudnya adalah
selalu mengingatkan bawahannya mengenai apa yang penting dan apa yang
mereka lakukan akan membuat perbedaan.
b.   Membangun kepercayaan.
c.   Memberikan dukungan dan pengambilan resiko, artinya bersikap proaktif dan
bersedia untuk gagal dalam upaya meraih kesuksesan.
d.   Pemberi motivasi, baik yang bersifat nyata ataupun simbolis
mereka mampu
meyakinkan bahwa kesuksesan akan diraih.
Harvard  Business  Essentials  mendefinisikan  pemimpin  sebagai  seseorang
yang menampilkan sebuah visi masa depan dan kemudian mengembangkan strategi-
strategi logis dalam upaya merealisasikannya, serta memotivasi orang yang dipimpin
untuk
mengejar
dan
mencapai
visi
tersebut
bahkan
dalam
menghadapi rintangan
(Harvard Business Essentials, 2003, h. 46).
2.Situational Leadership (Fiedler’s Contingency Model)
Fred
Fiedler
mengungkapkan
dalam
teori Fiedler’s contingency model
membagi dua tipe pemimpin
:
(1) relationship-oriented,
yaitu para
pemimpin
yang
mengutamakan hubungan baik di dalam kelompok dalam proses mencapai tujuan; (2)
task-oriented, yaitu para pemimpin yang mengutamakan tercapainya
(terselesaikannya)
sebuah pekerjaan
dalam proses
mencapai
tujuan
/
target (
  
11
Lebih
lanjut
lagi
dalam bukunya
Ivancevich
menjelaskan
bahwa
Fiedler’s
Contingency Leadership Model menjelaskan bahwa pengkategorian kedua tipe
kepemimpinan
tersebut
dipengaruhi
oleh
tiga
faktor
yaitu
:
(1) Leader-member
relations, kaitannya dengan tingkat keyakinan, kepercayaan dan rasa hormat bawahan
terhadap
atasan (baik—buruk);
(2). Task
structure, penjelasan
mengenai
apa
yang
harus dikerjakan oleh bawahan, bagaimana mereka mengerjakannya, kapan dan pada
kondisi seperti apa harus dilakukan, serta pilihan apa
yang mereka
miliki (tinggi—
rendah);
(3). Position power,
kekuatan
yang
melekat
pada
posisi
kepemimpinan
(kuat—lemah); untuk kemudian dikaitkan dengan situasi yang dialami oleh posisi
pemimpin tersebut apakah bersifat menguntungkan atau tidak (Ivancevich dkk., 2005,
h. 498).
Situational Characteristics
Situation
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Leader-
member
relations
Good
Good
Good
Good
Poor
Poor
Poor
Poor
Task
structure
High
High
Low
Low
High
High
Low
Low
Position
power
Strong
Weak
Strong
Weak
Strong
Weak
Strong
Weak
Preferred
leadership
styles
Task-Oriented
Relationship-Oriented
Task-
Oriented
Very
favorable
situation
Very
unfavorable
situation
Gambar 2.1 Ringkasan Fiedler’s Situational Variables and Their Preferred
Leadership styles (Ivancevich dkk., h. 499)
  
12
Berdasarkan
hal
tersebut
Ivancevich
dalam bukunya
berpendapat
bahwa
efektifitas
pemimpin
dalam Fiedler’s
contingency
model
ditentukan
oleh
interaksi
antara lingkungan (faktor eksternal) dengan faktor kepribadian. Serta kualitas
kepemimpinannya
adalah
harus
memiliki
kemampuan
untuk
merancang
pekerjaan
agar sesuai dengan tipe kepemimpinan (task-oriented atau relationship-oriented)
(Ivancevich dkk., 2005, h. 498-499).
3.
Transformational Leadership
Ivancevich
dkk.
menjelaskan
bahwa
transformational
leadership adalah
kepemimpinan dimana
seorang pemimpin
mampu
memberikan
motivasi
bagi
bawahannya
untuk bekerja
berdasarkan
tujuan organisasi
bukan
hanya kepentingan
pribadi dan
untuk
mencapai
prestasi dan aktualisasi diri bukan hanya sekadar rasa
aman (Ivancevich dkk., 2005, h. 511).
Berdasarkan  sudut  pandang 
transformational  leadership,  dengan
mengutarakan visinya seorang pemimpin mampu
menstimulasi
bawahannya
untuk
bekerja keras agar mencapai tujuan dari visi tersebut. Selain itu para pemimpin juga
melakukan perubahan besar dalam organisasinya mulai dari misi, cara bekerja hingga
manajemen sumber daya manusia dalam upaya
mencapai visi yang telah diutarakan;
seorang  pemimpin  yang  transformasional  akan  merombak  filosofi,  sistem  yang
berlaku serta budaya organisasi secara menyeluruh (Ivancevich dkk., 2005, h. 512).
Bass
mengidentifikasikan bahwa
terdapat
lima
faktor
yang
menggambarkan
pemimpin yang transformasional, yaitu (dalam Ivancevich dkk., 2005, h. 512)  :
  
13
a.
Charisma,  pemimpimampu
menanamkan  nilai,  rasa  hormat,  dan
kebanggaan serta mampu mengartikulasikan visinya.
b. Individual
attention,
pemimpin 
memperhatikan 
kebutuhan-kebutuhan
bawahannya dan memberikan pekerjaan yang berarti sehingga bawahan dapat
berkembang.
c.   Intellectual stimulation,  pemimpin  membantu  bawahannya  untuk  berpikir
secara
rasional
lebih mendalam
bagaimana
menelaah
sebuah
situasi—
mendorong bawahan untuk kreatif.
d.   Contingent reward,  pemimpin  memberitahukan  apa  yang  harus  dilakukan
oleh bawahan agar mereka dapat menerima reward yang mereka inginkan.
e.
Management by exception, para pemimpin memberikan keleluasaan bagi
bawahan untuk mengerjakan pekerjaannya tanpa ada campur tangan, kecuali
pekerjaan tersebut tidak selesai sampai dengan batas waktu yang ditentukan.
4.
Gaya Kepemimpinan (Path-goal Leadership Model)
Soekarso dkk. menjelaskan bahwa hakekat dari teori ini yaitu tugas utama
pemimpin  adalah  membantu  bawahan  agar  mampu  mencapai  tujuan  serta
memberikan dukungan dan pengarahan yang dianggap perlu guna memastikan tujuan
mereka sesuai dengan sasaran atau tujuan organisasi (Soekarso dkk., 2010, h. 143).
Lebih lanjut Soekarso dkk. menjelaskan terdapat empat gaya kepemimpinan
berdasarkan path-goal leadership model, yaitu (Soekarso dkk., 2010, h. 144) :
a.   Gaya direktif (pengarah),
memfokuskan pada tugas (task centered). Sub-
aspeknya terdiri dari :
  
14
Pemimpin   menjelaskan   mengenai   apa   yang   diharapkan   dari
bawahannya.
Memberikan pedoman yang jelas dan terperinci.
Meminta
bawahan
agar
mengikuti
peraturan dan
sistem prosedur
organisasi.
Mengkoordinir waktu pekerjaan bawahan.
b.   Gaya suportif (pendukung),
memfokuskan pada
hubungan
interpersonal.
Sub-aspeknya terdiri dari :
Memperhatikan kebutuhan bawahan
Menunjukkan
perhatian
terhadap
kesejahteraan
bawahan
dengan
memberi imbalan yang bersifat positif.
Menciptakan suasana kerja yang nyaman dan bersahabat.
c.   Gaya partisipatif (peran serta),
memfokuskan pada partisipasi bawahan.
Sub-aspeknya terdiri dari :
Melakukan        konsultasi        (melibatkan        bawahan)        dan
mempertimbangkan saran-saran dari bawahan.
Bawahan  merasa  lebih  puas  karena  dilibatkan  dalam  berbagai
kegiatan termasuk pengambilan keputusan, sehingga merasa
bertanggung jawab untuk mencapai tujuan.
Dengan
melibatkan bawahan berarti dapat
meningkatkan sense of
belonging bawahan.
  
15
d.   Gaya orientasi prestasi, memfokuskan pada orientasi “keberhasilan”, serta
yakin
dan
percaya
bahwa bawahan
mampu
mencapainya. Sub-aspeknya
terdiri dari :
Merancang dan menetapkan tugas atau tujuan yang menantang.
Mengupayakan
perbaikan-perbaikan
dan
mengutamakan
keunggulan kinerja.
Memiliki  keyakinan  bahwa 
bawahan  akan 
mampu 
mencapai
standar yang tinggi.
B. Manajemen Strategis (Strategic Management)
1.
Pengertian Manajemen Strategi
David
mengungkapkan
bahwa
manajemen strategi adalah seni dan
pengetahuan tentang merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi kinerja
dari tiap-tiap divisi
yang memungkinkan
sebuah organisasi dapat mencapai
tujuan /
target  (David,  2009).  Lebih  lanjut  dijelaskan  bawa  tujuan  daripada  manajemen
strategi adalah untuk mengusahakan dan menciptakan kesempatan yang baru dan
berbeda di masa mendatang (David, 2009).
Dalam 
kenyataannya 
penerapan 
manajemen 
strategi 
jelas 
membutuhkan
pelaku
atau
tokoh
sentral
pada
sebuah organisasi
yang
memungkinkan
proses
penerapan
manajemen
strategi
tersebut dapat
terlaksana
dengan
baik,
David
menjelaskan
bahwa
tokoh
sentral tersebut disebut sebagai strategist
atau ahli
strategi—seseorang 
yang 
paling  bertanggung  jawab 
mengenai 
kesuksesan 
atau
  
16
kegagalan dari sebuah organisasi (David, 2009). Mereka membantu perusahaan untuk
mengumpulkan, menganalisis dan menyusun informasi-informasi yang dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan analisis peramalan model dan skenariobisnis,
mengevaluasi kinerja korporat maupun
divisi,
melihat
peluang
pasar
yang
menjanjikan,
mengidentifikasi
ancaman serta
mengembangkan
rencana
kerja
yang
kreatif (David, 2009).
Menurut David selain strategist
ada tujuh
istilah kunci
yang juga berkaitan
dengan manajemen strategi yaitu (David, 2009) :
a).
Vision
and
mission statements
adalah
pernyataan
mengenai
apa
sesungguhnya
keinginan
sebuah
organisasi
tersebut serta
pernyataan
mengenai
penjabaran
ruang lingkup serta tujuan dan perbedaan yang dimiliki oleh sebuah perusahaan
dibandingkan dengan pesaingnya.
b).
External  opportunities  and  threats  adalah ancaman yang berkaitan dengan
ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, pemerintah,
teknologi
serta    kecenderungan    pola    persaingan    yang    akan    menjadi
menguntungkan atau merugikan organisasi tersebut.
c).
Internal strengths and weaknesses adalah kegiatan-kegiatan
yang dilakukan di
dalam sebuah organisasi yang dapat dikontrol, apakah performanya sangat baik
atau sebaliknya.
d)
Long-term objective sadalah
hasil
spesifik
yang
ingin
dicapai
oleh
sebuah
organisasi
yang
berkaitan
dengan
misi
organisasi
tersebut
dalam waktu
yang
lama.
  
17
e).
Strategies  adalah sarana yang diupayakan agar long-term  objectives  dapat
tercapai. Bentuk-bentuknya dapat berupa geographic expansion, diversification,
acquisitionproduct 
development,
market 
penetration,
retrenchment,
divestiture, liquidation dan joint venture.
f).
Annual objectives adalah
langkah-langkah atau tahapan-tahapan jangka pendek
dari
sebuah
organisasi
yang
harus
dicapai
dalam rangka
mencapai
rencana
jangka panjang.
g).
Policies adalah sarana penunjang yang dapat digunakan untuk mencapai annual
objectives,
bentuknya
dapat
meliputi panduan, peraturan,
dan
prosedur.
Atau
dengan kata lain Policies adalah pedoman-pedoman untuk pengambilan
keputusan dan mengatasi situasi berulang atau rutin
Penerapan manajemen strategis oleh sebuah organisasi dapat memberikan dua
keuntungan bagi organisasi tersebut, yaitu (David, 2009) :
a).
Keuntungan 
Finansial,  dari 
sejumlah 
penelitian 
mengindikasikan  bahwa
perusahaan
yang
menerapkan
konsep
manajemen
strategi
lebih
untung
(profit)
dan sukses dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menerapkan manajemen
strategis.
b). Keuntungan Non-finansial, dengan menerapkan manajemen strategis sebuah
perusahaan akan dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap kekuatan-kekuatan
yang berasal dari luar perusahaan tersebut, seperti ancaman yang akan muncul,
pemahaman 
yang 
lebih 
mendalam 
mengenai 
strategi 
yang 
dilakukan 
oleh
pesaing,
meningkatkan
produktifitas
karyawan, mengurangi resistensi terhadap
perubahan.
  
18
2. 
Penerapan
Manajemen
Strategis
di
Organisasi
Pemerintahan dan Non-Profit
David dalam bukunya
menjelaskan bahwa penerapan manajemen strategis
tidak
hanya
pada SBU atau
perusahaan-perusahaan swasta yang berorientasi profit
tetapi juga pada organisasi-organisasi
non-profit
bahkan
pemerintahan,
sperti
pendidikan, pelayanan kesehatan, kementrian-kementrian dan lembaga-lembaga
pemerintah
dengan
tujuan
untuk
menjadikan
organisasi
tersebut
lebih
efektif dan
efisien (David, 2009).
Pedoman-pedoman penerapan manajemen strategis pada organisasi
pemerintahan (David, 2009) :
a.   Strategi-strategi harus dirundingkan terlebih dahulu.
b.   Pihak luar harus dilibatkan dalam proses penerapan manajemen strategis.
c.   Isu-isu 
yang 
berkaitan 
dengan 
permasalahan  sosial-politik 
harus  diatasi
dengan tepat.
d.   Strategi-strategi yang diterapkan harus memainkan peranan yang penting dan
besar.
e.   Proses  penerapan  harus  fleksibel  untuk  menghindari  birokrasi  yang  tidak
perlu.
f.
Strategi tidak selalu bisa dirahasiakan.
  
19
2.1. Matriks
TOWS
(Threats-Opportunities-Weaknesses-
Strengths)
Sebuah
tool
analisis
yang utama bagi seorang manajer yang dapat
membantu mengembangkan penerapan strategi-strategi dengan memperhatikan
faktor-faktor   baik   internal   (Strengths  dan   Weaknesses)   maupun   eksternal
(Threats dan Opportunities) (David, 2009). Selanjutnya menurut David Terdapat
empat  strategi  yang  dapat  dikembangkan  oleh  seorang  manajer  dari  TOWS
matrix ini, yaitu (David, 2009) :
a.   Strategi  SO  (Strengths-Opportunities),  menggunakan  kekuatan  internal
yang dimiliki sebuah perusahaan untuk menfaatkan peluang yang berasal
dari eksternal perusahaan.
b. 
Strategi WO (Weaknesses-Opportunities), bertujuan
untuk
memperbaiki
kelemahan yang dimiliki dengan melihat adanya peluang yang berasal dari
eksternal perusahaan.
c.   Strategi  ST  (Strengths-Threats),  menggunakan  kekuatan  yang  dimiliki
oleh   perusahaan   untuk   menghindari 
atau   mengurangi   dampak   dari
ancaman yang berasal dari eksternal perusahaan.
d.   Strategi  WT  (Weaknesses-Threats),  tindakan  preventif  yang  bertujuan
untuk mengurangi kelemahan yang dimiliki perusahaan dan menghindari
ancaman dari luar perusahaan.
  
20
Gambar 2.2 TOWS Matrix (Sumber: David, 2009)
2.2. Matriks QSPM
Quantitative
Strategic Planning
Matrix (QSPM)
merupakan
teknik
yang
secara
obyektif
dapat
menetapkan
strategi alternatif yang diprioritaskan
berdasarkan data kuantitatif. Sebagai
suatu
teknik,
QSPM
memerlukan good
intuitive judgement (David, 2009).
2009) :
Langkah-langkah dalam menyusun QSPM adalah sebagai berikut (David,
a.  Buatlah  daftar  faktor  eksternal  (kesempatan/ancaman)  dan  faktor  internal
(kekuatan/kelemahan) di sebelah kiri dari kolom matrik QSPM.
b.   Berilah bobot untuk setiap faktor eksternal dan internal.
c.   Analisis
matrik
yang sesuai dari
langkah kedua dengan
mengidentifikasikan
strategi alternatif yang harus diimplementasikan.
d.   Berikan skor alternatif (SA) dengan rentang skor sebagai berikut :
1 = tidak memiliki daya tarik
  
21
2 = daya tariknya rendah
3 = daya tariknya sedang
4
= daya tariknya tinggi
-
= tidak memiliki dampak terhadap strategi alternatif
e.
Kalikan bobot dengan SA pada masing-masing faktor eksternal / internal pada
setiap strategi.
f.  Jumlahkan seluruh skor SA
Keterangan:
SA
: Skor Atraktif
TSA
: Total Skor Atraktif
Skoring
:
•  Faktor Internal
:
1
=
kelemahan
utama;
2
=
kelemahan
minor;
3
=
kekuatan kecil; 4 = kekuatan utama.
• 
Faktor Eksternal         : 1 = respon perusahaan lemah; 2 = respon perusahaan
cukup; 3 = respon perusahaan di atas rata-rata; 4 = respon perusahaan sangat
baik.
2.3.
Matriks Strategi Besar (Grand Strategy Matrix)
Loren  W.  Kuzuhara  &  Ramon  J.  Aldag  menjelaskan  bahwa  grand
strategy adalah susunan rencana luas dan menyeluruh yang dijadikan panduan
bagi sebuah organisasi dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi (Kuzuhara
  
22
&
Aldag, 2005). Selanjutnya Kuzuhara dkk. membagi tiga bentuk grand strategy
yang  dapat  diimplementasikan  oleh  seorang  pemimpin,  yaitu  (Kuzuhara  &
Aldag, 2005) :
a)
Growth  strategy, biasanya digunakan oleh seorang pemimpin organisasi
yang baru masuk ke dalam pasar / industri dengan tujuan untuk mendapatkan
profit
yang
tinggi
dan
memperoleh
peluang yang lebih besar di industri
tersebut.
b)
Stability 
strategy,
biasanya 
digunakan 
oleh 
seorang 
pemimpin 
ketika
menghadapi sebuah kondisi dimana harus menjaga stabilitas market
share
perusahaan yang dipimpin.
c)
Retrenchment    strategy,   biasanya   digunakan   oleh   pemimpin   ketika
perusahaan yang dipimpin mengalami penurunan performanya dikarenakan
oleh 
kelemahan 
yang  berasal  dari 
dalam  perusahaan 
sendiri  ataupun
ancaman yang datang dari luar perusahaan.
David menjelaskan bahwa grand strategy matrix menggunakan dua buah
dimensi
evaluasi
sebagai dasar
analisis
strategi
yaitu competitive
position
dan
market growth (David, 2009). Selanjutnya berdasarkan dua dimensi evaluasi
tersebut  terdapat 
empat 
quadrant 
pengelompokan 
yang 
dilengkapi 
dengan
pilihan
strategi
yang
dapat
diterapkan
berdasarkan
masing-masing quadrant
tersebut, seperti (David, 2009):
  
23
a) 
Quadrant  I, institusi yang berada pada posisi ini adalah institusi yang
memiliki posisi strategis yang sempurna, karena berada dalam industri yang
berkembang dengan cepat serta kemampuan bersaing yang dimilki oleh
institusi
tersebut
kuat.
Alternatif pilihan
strategi
yang
tepat
antara
lain
:
pengembangan pasar,
penetrasi pasar, pengembangan produk,
diversifikasi
usaha terpusat, dan sebagainya.
b) 
Quadrant II, institusi yang berada dalam posisi ini perlu mengevaluasi cara
mereka
melakukan
pendekatan terhadap kondisi
pasar,
karena
walaupun
industri 
mengalami  peningkatan 
tetapi 
institusi 
tersebut 
tidak 
mampu
bersaing
dengan baik
di
dalam
industri,
sehingga
institusi-institusi
tersebut
harus meninjau ulang pendekatan yang dilakukan untuk dapat meningkatkan
daya saing mereka. Alternatif pilihan strateginya antara lain : yang menjadi
pertimbangan
utama
adalah
menyusun strategi
intensif
untuk
bersaing,
kemudian pengembangan pasar, penetrasi pasar, pengembangan produk,
divestasi, likuidasi, dan sebagainya.
c) 
Quadrant III,
institusi
yang berada dalam posisi
ini bersaing dalam
sebuah
industri yang bergerak dengan lambat dan memiliki posisi bersaing yang
lemah,
yang
harus
dilakukan
oleh
institusi
yang
berada
dalam quadran
ini
adalah
merubah
secara
drastis
dan
cepat
untuk
menghindari
kebangkrutan
dan kemungkinan buruk
lainnya. Alternatif pilihan strateginya antara
lain
:
pengurangan, diversifikasi terpusat, diversifikasi konglomerasi, divestasi,
likuidasi, dan sebagainya.
  
24
d) 
Quadrant  IV,
institusi 
yang  berada  pada  quadran 
ini 
memiliki  posisi
bersaing
yang
kuat
namun
mereka
berada
dalam industri
yang
lambat
berkembang. Mereka memiliki kemampuan untuk mencetuskan upaya
diversifikasi
di
area
yang
menjanjikan untuk berkembang, biasanya
karakteristik
institusi
yang
berada di
quadran ini adalah tingkat cash flow
yang  tinggi  serta 
kebutuhan 
berkembang 
dari 
internal 
yang 
terbatas.
Alternatif pilihan strateginya antara lain : diversifikasi terpusat, diversifikasi
konglomerasi, joint ventures. Ringkasannya terdapat dalam bagan di bawah
ini :
Gambar 2.3 Grand Strategy Matrix (Sumber: David, 2009)
  
25
C. Manajemen Perubahan (Change Management)
1.
Pengertian Manajemen Perubahan
Manajemen perubahan adalah sebuah proses sistematis mengenai penerapan
pengetahuan, sarana dan sumber
daya yang diperlukan untuk mempengaruhi
perubahan pada orang yang akan terlibat dan mengalami dampak dari proses tersebut
(Wibowo, 2006, h. 37).
Selanjutnya
Wibowo
menjelaskan
bahwa terdapat tiga pendekatan dalam
manajemen perubahan
pertama,
mengidentifikasi subjek (orang) yang akan terkena
dampak dari
perubahan tersebut dan
yang mungkin menolak perubahan; kedua,
menelusuri sumber, tipe dan tingkat resistensi
yang
akan
muncul
terhadap
proses
perubahan
tersebut;
ketiga,
merancang
strategi
yang
efektif
dan
tepat
dalam upaya
mengurangi resistensi tersebut (Wibowo, 2006, h. 37).
Conner menjelaskan bahwa terdapat lima posisi dan peran yang terlibat dan
bertanggung
jawab
dalam manajemen
perubahan,
yaitu
(1)
sponsor,
individu
atau
kelompok yang berwenang dan otoritas untuk memberi persetujuan atau legitimasi
perubahan tersebut; (2) agent, individu atau kelompok yang memiliki tanggung jawab
penuh
dalam proses
perubahan;
(3)
target,
individu
atau
kelompok
yang
harus
berubah; (4)
advocate, individu
atau
kelompok
yang
memiliki
gagasan
untuk
perubahan tetapi tidak memiliki wewenang untuk menyetujui atau bahkan tanggung
jawab
untuk
melakukan
perubahan;
(5) stakeholders,
sekelompok
individu
yang
terlibat
dalam proses
perubahan
termasuk
sponsor,
agen
perubahan,
target
dan
advocate (dalam Wibowo, 2006, h. 39).
  
26
2.
Tipe-tipe Perubahan
Harvard Business Essentials menjelaskan organisasi biasanya bereaksi
terhadap tantangan-tantangan yang berasal dari munculnya teknologi-teknologi baru,
pesaing
baru,
pasar
yang
baru,
serta
tuntutan untuk meningkatkan kinerja melalui
beberapa bentuk program rencana
(Harvard
Business
Essentials, 2003, h. 8).
Tiap-
tiap program rencana tersebut dirancang untuk
mengatasi
masalah
yang muncul dan
meningkatkan kinerja organisasi tersebut. Harvard Business Essentials membagi
program-program rencana tersebut menjadi sebagai berikut :
a. 
Structural
Change,
program rencana
ini
memperlakukan
organisasi sebagai
sebuah bagian fungsional. Selama proses program rencana ini berjalan jajaran
top management dibantu oleh konsultan berusaha untuk menyusun ulang
bagian-bagian fungsional tersebut untuk meningkatkan kinerja organisasi
secara keseluruhan.
b.   Cost Cutting, program rencana ini memfokuskan pada penghapusan kegiatan-
kegiatan yang tidak penting atau cara-cara lain yang dapat mengurangi biaya
operasional.
c.   Process Change, program rencana ini memfokuskan pada membuat alternatif-
alternatif yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan. Program
rencana  ini  biasanya  bertujuan  untuk  membuat  proses  kerja  lebih  cepat,
efektif, reliabel, dan/atau lebih irit biaya.
d.   Cultural Change, program rencana ini
memfokuskan pada sisi kemanusiaan
dari sebuah organisasi,
maksudnya adalah
merubah
cara
menjalin hubungan
  
27
antara manajemen dan karyawan dalam sebuah organisasi (Harvard Business
Essentials, 2003, h. 9).
3.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perubahan
Menurut
Ivancevich
dalam bukunya
Organizational
Behavior
and
Management mengungkapkan bahwa ada dua faktor besar yang menyebabkan
terjadinya perubahan, yaitu (Ivancevich, 2005, h. 590) :
1.   Eksternal
Kekuatan-kekuatan
yang
bersumber dari
lingkungan
luar
organisasi
yang
dapat
mempengaruhi kondisi di dalam organisasi. Sub-faktor yang paling besar
berpengaruh dari faktor eksternal adalah pertama kekuatan ekonomi, seperti
kondisi pasar, tingkat suku bunga, nilai tukar mata uang asing, dan strategi harga
pesaing. Kedua adalah
teknologi, perkembangan pengetahuan menghasilkan
teknologi-teknologi baru yang dapat diaplikasikan untuk hampir seluruh bidang
bisnis dan secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kerja bahkan kondisi
sosial.   Ketiga,   perubahan   kondisi   sosial   dan   politik,   maksudnya   adalah
keterkaitan antara pemerintah
dan
pelaku
bisnis
semakin
erat
dikarenakan
pemberlakuan peraturan-peraturan (ketat / tidak ketat).
2.   Internal
Kekuatan-kekuatan yang bersumber dari dalam organisasi tersebut sendiri,
biasanya berkaitan dengan permasalahan proses, seperti pengambilan keputusan
yang
tidak tepat, komunikasi
yang tidak berjalan dengan baik, tugas-tugas dan
  
28
tanggung
jawab
tidak
dilaksanakan;
dan
perilaku
di
dalam lingkungan
kerja,
seperti moral kerja, kehadiran dan turnover pekerja.
Sejalan  dengan  pendapat  sebelumnya  Wibowo  membagi  dua  faktor  besar
yang menjadi sumber terjadinya perubahan, yaitu (Wibowo, 2006, h. 47):
1.   Faktor Eksternal
Seluruh hal yang menjadi sumber dari terjadinya sebuah perubahan yang berasal
dari luar organisasi, sehingga sulit untuk dikendalikan—organisasi harus mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan
yang terjadi di luar organisasi,
yaitu
:
politik dunia, karakteristik demografis, kejutan ekonomi, peraturan pemerintah,
kecenderungan sosial, kemajuan teknologi, perubahan pasar, persaingan semakin
efektif, pelanggan semakin banyak tuntutan, privatisasi bisnis
milik
masyarakat
berlanjut, dan pemegang saham minta lebih banyak nilai.
2.   Faktor Internal
Hal-hal
yang berasal
dari
dalam organisasi
yang
dirasakan
menjadi kebutuhan
dan menjadi pendorong dari terjadinya perubahan dengan tujuan untuk
pengembangan organisasi, yaitu : perubahan ukuran dan struktur organisasi,
perubahan
dalam sistem administrasi,
pengenalan
teknologi
baru,
perubahan
dalam produk dan/atau jasa, sifat tenaga kerja, problem dan prospek SDM serta
perilaku dan keputusan manajerial.
3.1    Pendekatan Manajemen Perubahan
Menurut
Harvard Business
Essentials
terdapat dua pendekatan mengenai
perubahan 
yang 
terjadi  di 
sebuah  organisasi 
yang 
dibedakan 
berdasarkan
  
29
tujuannya, yaitu peningkatan ekonomi jangka pendek dan peningkatan
kemampuan organisasi. Kedua tujuan tersebut dapat diterjemahkan oleh Michael
Beer dan Nitin Nohria ke dalam teori yang
mereka sebut sebagai
Teori O dan
Teori E untuk menjabarkan mengenai dua tujuan utama tersebut (Harvard
Business Essentials, 2003, h. 10).
Perubahan dalam Teori E diartikan sebagai perubahan yang mengacu pada
upaya untuk meningkatkan nilai bagi pemegang saham, yang bertolak ukur pada
meningkatnya cash flow dan harga saham tersebut (Harvard Business Essentials,
2003, h. 10).
Sementara itu dalam Teori O perubahan diartikan sebagai perubahan yang
mengacu
pada perkembangan
budaya
organisasi yaitu budaya organisasi yang
mendukung  adanya  proses  belajar  dan  berdasarkan  kepada  kinerja  karyawan
yang baik (Harvard Business Essentials, 2003, h. 10).
4.
Kotter Eight Stage Change Process
John P. Kotter mengemukakan sebuah teori mengenai model perubahan yang
terdiri dari delapan tahapan proses perubahan, yaitu (dalam Wibowo, 2006, h. 92):
a) 
Establishing
A
Sense
of
Urgency (membangun/menumbuhkan
rasa urgensi),
melakukan
identifikasi terhadap
kondisi
dan
situasi
baik
internal
maupun
eksternal dengan mendiskusikan krisis atau potensi krisis atau peluang besar
sehingga dapat menyimpulkan diperlukannya sebuah perubahan.
b) Creating      the      Guiding      Coalition     
(menciptakan       koalisi
pembimbing/pengarahan), membentuk kelompok kerja yang dapat terdiri dari
  
30
lintas divisi, fungsi dan tingkatan
yang akan
memiliki kekuasaan
yang cukup
untuk memimpin perubahan. Fungsinya adalah untuk merumuskan kebijakan-
kebijakan yang dapat dijadikan arah bagi proses perubahan.
c) 
Developing   A   Vision   and   Strategy   (merumuskan/membangun  visi  dan
strategi), 
dengan 
menciptakan 
visi 
dan 
strategi 
yang 
jelas 
diharapkan
organisasi  dapat  mencapai  tujuan 
yang 
telah  ditetapkan.  Visi  berfungsi
sebagai
pengarah
dan
strategi
berfungsi
sebagai action
plan
dalam
proses
perubahan. Tentu saja syaratnya adalah visi dan strategi yang dirumuskan dan
ditetapkan tersebut
harus diketahui
dan
dijalankan
oleh seluruh
pihak yang
terlibat dalam proses perubahan.
d)
Communicating
The
Change
Vision (mengkomunikasikan
visi
perubahan),
mengkomunikasikan  visi  dan  strategi  perubahan  pada  pihak  yang  terlibat
dalam proses
perubahan secara
terus
menerus
dengan
menggunakan
setiap
kesempatan yang ada dengan tujuan agar visi perubahan tersebut dapat
dipahami
dan didukung oleh semua pihak dan dapat mempengaruhi sikap
karyawan untuk bersedia menyesuaikan diri terhadap perubahan.
e) 
Empowering Broad-Based Action (pemberdayaan pekerja untuk aksi secara
luas),
melakukan
perubahan
struktur,
sistem dan
mekanisme
agar
sesuai
dengan visi perubahan dengan tujuan untuk
menghilangkan
potensi-potensi
yang
dapat
menjadi
rintangan
perubahan. Memberikan dorongan kepada
pekerja untuk berani melakukan tindakan yang kreatif, mengambil resiko dan
melakukan tindakan non-konservatif.
  
31
f)
Generating  Short 
Term 
Wins 
(membangkitkan 
prestasi 
jangka 
pendek),
menyusun dan merancang rencana untuk meningkatkan kinerja sebagai hasil
dari perubahan/kemenangan yang dapat dilihat hasilnya dalam jangka pendek,
pekerja/individu 
yang 
memungkinkan  tercapainya  prestasi 
tersebut  perlu
diberi pengakuan dan penghargaan. Tujuannya adalah untuk meyakinkan
bahwa visi dan strategi yang telah ditetapkan dan dijalankan benar.
g) 
Consolidating Gains and Producing More Change (mengkonsolidasikan hasil
dan
menghasilkan perubahan
yang lebih besar), melakukan kegiatan-kegiatan
yang  dapat 
membuat  proses  perubahan 
tersebut 
menjadi  semakin  besar
dengan cara menggunakan peningkatan kredibilitas untuk mengubah semua
sistem, struktur dan kebijakan yang tidak cocok dan tidak sesuai dengan
perubahan.  Merekrut, 
mempromosikan  dan 
mengembangkan  orang-orang
yang
dinilai
mampu
mengimplementasikan visi
perubahan
dan
peremajaan
proses
perubahan
dengan
melaksanakan
proyek,
tema
dan
agen
perubahan
yang baru.
h)  Anchoring
New Approaches
In
The
Culture (menanamkan pendekatan baru
dalam budaya),
sebagai
tahap
akhir
dari
delapan
tahapan
perubahan
yang
artinya seluruh hasil dari proses perubahan yang telah dilakukan dijadikan
sebagai budaya kerja yang baru dengan menciptakan kinerja yang lebih baik
contohnya
dengan    berorientasi    pada    pelanggan    dan    produktivitas,
kepemimpinan
yang
lebih
baik,
serta manajemen yang lebih efektif,
memberikan  makna  hubungan  yang  lebih  baik  antara  perilaku  baru  dan
  
32
keberhasilan organisasi serta mengembangkan berbagai sarana dan cara untuk
memastikan perkembangan kepemimpinan dan suksesi.
5.
Agents Of Change
Cathy
Perme
berpendapat
bahwa
yang
seharusnya
dilakukan
oleh
seorang
agen  perubahan  pada  saat  proses  perubahan  sedang  berlangsung  adalah  (Perme,
1999):
a) 
Mampu
mengenali
situasi
yang dihadapi dan
mempunyai persepsi yang
jeli
serta mampu mempengaruhi situasi tersebut.
b)
Memiliki
keyakinan
dan
kepercayaan
terhadap
kemampuan
dirinya, jelas
mengenai nilai-nilai yang mereka miliki, mereka mengerti motivasi pribadi,
dan mereka tahu bagaimana membangun koalisi dan meminta bantuan.
c) Mampu
mengedepankan
tercapainya
tujuan
bersama
(organisasi)
dan
mengesampingkan ego pribadi.
d) 
Membangun energi, konsensus dan menjadi pemersatu bukan memecah belah
dan
mengalahkan.   Memfokuskan   pada   membangun   kepercayaan  
dan
membantu orang lain untuk menghilangkan persepsi-persepsi dan keyakinan-
keyakinan yang dapat membebani/membatasi masa depan mereka.
Wibowo  membagi  keterampilan  pemimpin  perubahan  menjadi  tiga,  yaitu
(Wibowo, 2006, h. 120):
a) 
Imajinasi  untuk  melakukan  inovasi,  untuk  mendorong  terciptanya  suasana
yang  inovatif  seorang  pemimpin 
harus 
mampu 
mengembangkan  konsep,
  
33
gagasan,
model,
dan
aplikasi
teknologi
yang
dapat
membedakan
organisasinya dengan organisasi yang lain.
b) Profesionalisme
untuk
mewujudkan
kinerja,
pemimpin
mengupayakan
kompetensi pribadi (bawahan) dan organisasional dengan cara mengadakan
pelatihan dan pengembangan tenaga kerja.
c)
Keterbukaan
untuk
berkolaborasi, menjalin
hubungan
dengan
mitra
yang
mampu
mendukung
perluasan pencapaian
organisasi,
meningkatkan
bargaining position, dan meningkatkan semangat kerja.
Ivancevich  menjelaskan  mengenai  change agent adalah  sebagai  seseorang
yang bertindak sebagai pencetus perubahan dan dapat berasal dari luar contohnya
konsultan (pihak ketiga) yang hanya ada di dalam organisasi selama proses perubahan
berlangsung
atau dalam organisasi
seperti
manajer
atau
individu
yang
mengetahui
tentang permasalahn yang dihadapi oleh organisasi dan diharapkan serta dianggap
mampu
untuk
membawa perubahan besar di dalam organisasi
(Ivancevich, 2005, h.
583).
Pemberdayaan   menurut   Wibowo   adalah   suatu   proses   dimana   pekerja
diberikan otoritas dan keleluasaan yang berlebih dalam hubungannya dengan
pekerjaan
mereka.Dengan
pemberdayaan dapat mewujudkan pergeseran kekuasaan
kepada sekelompok pekerja yang diperbolehkan untuk membuat keputusan sendiri
(Wibowo, 2006, h. 160).
  
34
6. 
Penolakan Perubahan (Resistance to Change)
Connor mengungkapkan bahwa proses perubahan pada sebuah organisasi
cenderung akan mengalami penolakan—terdapat
beberapa
hal
yang
mendasari
terjadinya hal tersebut, seperti (dalam Yukl, 2006):
a.   Lack of trust (kurang percaya)
Alasan
mendasar
terjadinya
penolakan terhadap perubahan adalah
tidak ada
rasa percaya
kepada pelaku perubahan tersebut
sendiri.
Rasa
tidak
percaya
dapat memperluas dampak terjadinya penolakan
yang bersumber dari
faktor-
faktor lain.
b.   Belief that change is not necessary (merasa bahwa tidak perlu ada perubahan)
Penolakan akan adanya perubahan pada sebuah organisasi akan semakin kuat
jika apa
yang berlaku atau diterapkan saat
ini terbukti berhasil di masa lalu
dan tidak ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa adanya permasalahan yang
serius dari hal tersebut sehingga diperlukan adanya perubahan yang mendasar.
c.   Belief that the change is not feasible (merasa  bahwa  perubahan  tidak
memungkinkan untuk dilakukan)
Perubahan yang diusulkan untuk menghadapi
permsalahan
yang
terjadi
di
sebuah
organisasi
dianggap
tidak memungkinkan
untuk
diterapkan
maka
biasanya akan terjadi penolakan.
d.   Economic threats (ancaman perekonomian)
Walaupun perubahan yang akan dilakukan dapat
menguntungkan perusahaan
secara 
menyeluruh 
tetapi 
jika 
dapat 
mengancam 
karir, 
keamanan 
dan
  
35
kenyamanan bekerja seperti komputerisasi (mengganti manusia dengan mesin/
teknologi) maka akan terjadi penolakan.
e.   Relative high cost (biaya yang tinggi)
Diperlukan
adanya
perhitungan
yang
tepat
dan
akurat
sehingga
perubahan
yang  tentu  saja  akan  menambah  biaya  tersebut  dapat  diimbangi  dengan
benefit yang akan diperoleh nantinya.
f.
Fear of personal failure (takut akan kegagalan pribadi)
Perubahan yang diusulkan akan cenderung diterima jika perubahan-perubahan
tersebut disertai dengan adanya bimbingan dan panduan demi
keberhasilan
secara menyeluruh.
g.   Loss of status and power (kehilangan status dan kekuasaan)
Perubahan yang terjadi di
sebuah organisasi tentu saja akan berdampak
terhadap berubahnya struktur organisasi, jabatan dan individu yang
menjabat—dapat menimbulkan penolakan.
h.   Threat to values and ideals (ancaman terhadap nilai dan idealisme)
Perubahan yang diterapkan akan mengalami
penolakan jika tidak sesuai
dengan nilai dan idealisme yang berlaku di organisasi tersebut, terlebih jika
nilai dan idealisme tersebut sudah menjadi sebuah kebudayaan.
i.
Resentment of interference (penolakan terhadap gangguan)
Adanya keengganan untuk menerima perintah atau diatur oleh orang lain.
  
36
D. Budaya Organisasi (Organizational Culture)
1.
Pengertian Budaya Organisasi
McShane dan Von Glinow menjelaskan bahwa budaya organisasi adalah pola
dasar mengenai nilai-nilai bersama dan asumsi
yang mengatur cara karyawan dalam
sebuah organisasi
berpikir dan bertindak dalam menghadapi
masalah
dan
peluang.
Lebih lanjut McShane dan Von Glinow menyebutkan bahwa budaya organisasi juga
menjelaskan
mengenai
hal-hal
yang
penting
dan
tidak
penting
di
dalam sebuah
organisasi dan akan mengarahkan setiap anggota organisasi untuk berlaku dengan
benar dalam mengerjakan pekerjaan (MsShane dan Von Glinow, 2008, h. 460).
2.
Elemen-elemen Budaya Organisasi
McShane dan Von Glinow menjelaskan bahwa budaya organisasi terdiri dari
sejumlah elemen-elemen baik yang dapat diamati maupun tidak. Artifacts, yaitu
simbol-simbol atau tanda-tanda yang dapat diamati dari sebuah budaya organisasi
yang berlaku yaitu terdiri dari, (1) cerita/kisah baik sukses maupun gagal dari
perjalanan sebuah organisasi, (2) ritual dan perayaan, ritual yaitu kegiatan sehari-hari
dalam
sebuah
organisasi
yang
terprogram yang
dapat
menampilkan
budaya
dari
organisasi tersebut, sementara
perayaan
adalah
kegiatan
terencana
yang
diadakan
khusus untuk memberikan penghargaan, (3) bahasa perusahaan, yaitu cara
berkomunikasi
di
dalam
sebuah
organisasi
baik
dalam menyapa
rekan
kerja,
pelanggan,
maupun
mengkomunikasikan budaya yang berlaku, (4) struktur fisik dan
simbol-simbol,
yaitu bentuk-bentuk,
ukuran, lokasi dan
usia
gedung atau bangunan
  
37
dan  isi  di  dalamnya  merefleksikan  dan  mempengaruhi  budaya  sebuah  organisasi
(MsShane dan Von Glinow, 2008, h. 463).
Nilai-nilai dan asumsi menurut McShane dan Von Glinow merupakan elemen
dari budaya organisasi yang tidak dapat diamati terdiri dari :
a)
Nilai-nilai bersama, terdiri dari
keyakinan-keyakinan yang disadari serta
evaluasi mengenai baik atau buruk dan benar atau salah.
b) 
Asumsi bersama, terdiri dari keyakinan-keyakinan dan persepsi-persepsi
yang
diyakini secara tidak sadar (MsShane dan Von Glinow, 2008, h. 460).
3.
Fungsi Budaya Organisasi
McShane dan Von Glinow menjelaskan dampak dari budaya organisasi adalah
tergantung
pada
kekuatan
dari
budaya
itu sendiri
maksudnya
adalah
seberapa
besar/kuat dan mendalamnya para anggota organisasi menanamkan nilai dan asumsi
dominan
yang berlaku
di
sebuah
organisasi (MsShane
dan
Von
Glinow,
2008,
h.
466). Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi dapat mempengaruhi
kesuksesan sebuah organisasi, hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh
McShane dan Von Glinow yang menjelaskan bahwa budaya organisasi memiliki tiga
fungsi penting, yaitu sebagai (MsShane dan Von Glinow, 2008, h. 466) :
a) 
Sistem kontrol, budaya organisasi adalah sebuah bentuk kontrol sosial
yang
tertanam dan
mampu
mempengaruhi keputusan
dan
perilaku
anggota
organisasi.
  
38
b)
Perekat sosial, budaya organisasi adalah perekat yang dapat menyatukan
anggota-anggota organisasi dan membuat mereka merasa sebagai bagian dari
perjalanan organisasi.
c) 
Menyadarkan, budaya organisasi membantu anggota organisasi dalam proses
menyadari dan memahami apa yang terjadi di dalam organisasi dan mengapa
hal tersebut terjadi, serta membantu anggota organisasi menyadari apa yang
diharapkan organisasi dari mereka.