BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1.
Modal Kerja
2.1.1.
Pengertian Modal Kerja
Modal kerja pada umumnya lebih dikenal dengan
istilah current asset, yaitu
aset
yang terdiri
atas
kas dan
atau
yang
mudah
di
konversikan
menjadi kas
dalam
jangka waktu yang singkat, kurang dari satu tahun (Salawu, 2007). Gitman (2009,
p638)
menjelaskan “Current assets, commonly called working capital, represent the
portion  of  investment  that  circulates  from  one  form  to  another  in  the  ordinary
conduct  of  business”.  Sedangkan  menurut  Keown,  Martin,  Petty,  dan  Scott,  Jr.
(p646),
the firm’s total investment in current assets that it expects to be converted
into cash within a year or less”.
Menurut
Horne
dan
Wachowicz
(2005,
p204)
terdapat
dua
definisi
modal
kerja, yaitu : “,,,net working capital, which is the dollar difference current assets and
current liabilities” yang artinya modal kerja bersih, merupakan perbedaan antara
current  assets  dan  current  liabilities,  dan  definisi  kedua  adalah  “gross  working
capital, the firm’s investment in current asset (like cash and marketable securities,
receivables, and inventory). Artinya adalah
modal kerja bruto, merupakan
investasi
perusahaan dalam aktiva lancar, seperti kas dan sekuritas, piutang, dan persediaan.
7
  
8
Modal kerja bersih menunjukkan investasi perusahaan di aset lancar dan
penggunaan
hutang
lancar
untuk membiayai
investasi
tersebut.
Investasi
di
modal
kerja bersih diperlukan untuk mendukung operasi perusahaan, dan tanpa investasi
yang
mencukupi tidak akan
mungkin dapat mendukung proses bisnis sehingga akan
menghambat pendapatan (revenue).
Perusahaan harus memastikan bahwa investasi telah digunakan secara efisien,
karena bila terjadi overinvestment pada modal kerja, akan menyebabkan menurunnya
nilai perusahaan. Bila perusahaan mampu untuk mengurangi investasi di modal kerja,
maka
modal
tersebut
bisa
ditanamkan pada
investasi
lain
sehingga
mampu
menghasilkan nilai bagi perusahaan. Namun perusahaan juga menghadapi masalah
likuiditas
bila
terjadi underinvestment
pada
modal
kerja.
Bila
terjadi
kekurangan
investasi pada kas, piutang dan persediaan, maka akan mengganggu proses bisnis
sehari-hari. Sebagai hasilnya, penjualan akan menurun yang akan menyebabkan
profitabilitas
menjadi
tidak
maksimal
(Lazaridis dan Tryfonidis, 2006). Karena itu
perusahaan
harus mampu
untuk berinvestasi pada
modal kerja se-minimal
mungkin,
namun tetap tidak mengganggu proses bisnisnya.
Gitman
(2009,
p48)
menjelaskan aset lancar sebagai “short-term
assets,
expected to be converted into cash within one year or less”, sedangkan hutang lancar
dijelaskan
sebagai
short-term liabilities,
expected
to
be paid
within
one
year
or
less”. Profitabilitas merupakan kemampuan perusahan untuk menghasilkan laba.
Menurut
Helfert
(2003),
profitability
is
the
effectiveness
with which
management
has
employed
both
the total
assets and
the net assets as recorded on the balance
sheet”.
  
9
Likuiditas dapat diartikan sebagai “,,,its ability to pay obligations expected to
become due within the next year or operating cycle (Kimmel, Weygandt, dan Kieso,
2010, p58). Likuiditas tidak hanya berkenaan dengan keadaan keseluruhan keuangan
perusahaan, tetapi juga berkaitan dengan
kemampuannya
untuk
mengubah
aktiva
lancar tertentu menjadi kas.
2.1.2.
Pentingnya Manajemen Modal Kerja
Aset
lancar
merupakan
pilar
utama
perusahaan
dalam
proses
bisnis
sehari-
hari,
sehingga
nilai
yang diinvestasikan
didalamnya
biasanya
memiliki
porsi
yang
lebih besar bila dibandingkan dengan komponen aset lainnya. Karena itu investasi di
aset lancar harus dilakukan seefisien mungkin. Investasi yang terlalu besar pada aset
lancar
akan
menurunkan resiko,
namun
juga akan menurunkan profitabilitas. Aset
lancar akan selalu berubah dengan cepat seiring perubahan yang terjadi atas penjualan
(Padachi, 2006 dikutip Falope dan Ajilore, 2009; Pradeep Singh, 2008).
Manajemen
modal
kerja
sangat
penting karena pengaruhnya terhadap
profitabilitas  dan  resiko  perusahaan  yang  akan  mempengaruhi  nilai  perusahaan
(Smith,
1980).
Manajemen
modal
kerja bertujuan
untuk
dapat
menyeimbangkan
komponen modal kerja sehingga dapat memaksimalkan laba dan arus kas. Perusahaan
harus
memastikan
memiliki
ketersediaan
kas untuk
mendukung
kegiatan
operasi
sehari-hari, seperti pembayaran dan kejadian yang tidak terduga. Untuk mengurangi
piutang usaha, perusahaan mungkin memiliki aturan yang ketat mengenai pemberian
  
10
piutang dan membatasi penjualan kredit kepada konsumennya. Hal ini akan
meningkatkan arus kas masuk. Namun dengan aturan yang ketat dan meminimalkan
penjualan kredit akan mengurangi tingkat penjualan yang akan mengakibatkan
menurunnya
laba. Meminimalkan persediaan akan memungkinakan perusahaan
kehilangan penjualan akibat persediaan yang tidak mencukupi.
Perusahaan harus
memastikan
mereka
memiliki
modal
kerja
yang
cukup.
Perusahaan tidak
akan
bertahan bila
memiliki
modal
kerja
yang
negatif
yang
menunjukkan perusahaan tidak mempunyai modal untuk membiayai operasi sehari-
hari.
2.1.3.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Modal Kerja
Setiap perusahaan memiliki tingkat modal kerja yang efektif. Untuk
menentukan
jumlah
modal
kerja
yang
diperlukan
oleh suatu
perusahaan
terdapat
sejumlah faktor yang perlu dianalisis.
Faktor-faktor
tersebut
menurut
Djarwanto
(2004, p91) adalah :
1.
Sifat umum atau tipe perusahaan
Modal  kerja  yang  dibutuhkan  perusahaan  jasa  (public  utility)  relatif  lebih
rendah
karena
investasi
dalam
persediaan
dan
piutang
pencairannya
menjadi
kas  relatif  cepat.  Perusahaan  industri  memerlukan  modal  kerja  yang  cukup
besar yakni untuk melakukan investasi dalam bahan baku, barang dalam proses,
dan barang jadi. Fluktuasi dalam pendapatan bersih pada perusahaan jasa juga
  
11
relatif kecil bila dibandingkan dengan perusahaan industri dan perusahaan
keuangan.
2.
Waktu yang diperlukan untuk memproduksi
Jumlah modal kerja berkaitan langsung dengan waktu yang dibutuhkan mulai
dari bahan baku atau barang jadi dibeli sampai barang dijual kepada pelanggan.
Makin panjang waktu
yang diperlukan untuk
memproduksi barang atau untuk
memperoleh barang, makin besar kebutuhan akan modal kerja.
3.
Syarat pembelian dan penjualan
Syarat  kredit  pembelian  barang  daganagan  atau  bahan  baku  akan
mempengaruhi besar kecilnya modal kerja. Disamping itu, modal kerja juga
dipengaruhi oleh syarat kredit penjualan barang.
4.
Tingkat perputaran persediaan
Semakin sering persediaan diganti (dibeli dan dijual kembali) maka kebutuhan
modal kerja yang ditanam dalam bentuk persediaan akan semakin rendah
5.
Tingkat perputaran piutang
Kebutuhan modal kerja juga tergantung pada periode waktu yang diperlukan
untuk mengubah piutang menjadi kas. Bila piutang terkumpul dalam waktu
pendek berarti kebuthan akan modal kerja menjadi semakin rendah/kecil.
6.
Pengaruh siklus bisnis
Pada
periode
makmur
(prosperity) aktifitas perusahaan meningkat dan
perusahaan cenderung membeli barang-barang
lebih
banyak
memanfaatkan
harga yang masih rendah. Ini berarti perusahaan memperbesar tingkat
persediaan.
Peningkatan
jumlah
persediaan
akan
membutuhkan
modal  kerja
  
12
yang lebih banyak. Sebaliknya pada periode depresi, volume perdagangan
menurun, perusahaan cepat-cepat berusaha menjual barang-barangnya dan
menarik
piutang-piutangnya,. Uang yang diperoleh
digunkana
untuk
membeli
surat-surat berharga, melunasi hutang-hutang untuk menutupi kerugian.
7.
Derajat resiko kemungkinan menurunnya harga jual aktiva jangka pendek
Menurunnya 
nilai  riil  dibandingkan  dengan 
harga 
buku 
dari 
surat-surat
berharga, persediaan barang, dan piutang akan menurunkan
modal kerja.
Bila
resiko
kerugian
ini
semakin
besar
berarti
diperlukan
tambahan
modal
kerja
untuk membayar bunga atau melunasi hutang jangka pendek yang sudah jatuh
tempo. Untuk melindungi diri dari hal-hal yang terduga dibutuhkan modal kerja
yang relatif besar dalam bentuk kas atau surat-surat berharga.
8.
Pengaruh musim
Banyak perusahaan dimana penjualannya hanya terpusat pada beberapa bulan
saja.   Perusahaan   yang   dipengaruhi   oleh   musim   membutuhkan   jumlah
maksimum modal kerja untuk periode yang relatif pendek
9.
Credit rating dari perusahaan
Jumlah
modal
kerja,
dalam bentuk
kas
termasuk
surat-surat
berharga,
yang
dibutuhkan perusahaan untuk membiayai operasinya tergantung pada
kebijaksanaan penyediaan uang kas. Penyediaan uang kas ini tergantung pada
credit rating
perusahaan
(kemmapuan
meminjam
uang dalam jangka
pendek,
perputaran persediaan dan piutang,
dan kesempatan mendapatkan potongan
harga dalam pembelian.
  
13
2.2.
Manajemen Modal Kerja
2.2.1.
Manajemen Kas
Tujuan
dari
manajemen
kas
adalah
utnuk
meminimalkan
jumlah
kas
yang
harus
dimiliki
oleh
perusahaan
guna
menjalankan aktivitas bisnis secara normal,
dimana pada waktu yang bersamaan perusahaan juga memiliki cukup kas.
Pada
dasarnya
terdapat
empat
motif
pokok
bagi
perusahaan
untuk
memiliki
kas dan surat berharga, yaitu
1.
Transaction Motives atau Motif Transaksi. Kas merupakan hal yang dibutuhkan
dalam   operasi   bisnis.   Pembayaran   maupun   penerimaan,   penjualan   dan
pembelian melibatkan saldo kas. Persediaan kas dibutuhkan untuk menjaga
likuiditas dan mengelola transfer pembayaran.
2.
Precautionary
Motives atau Motif Berjaga-jaga. Motif berjaga-jaga
berkaitan
dengan
fluktuasi
arus
kas
masuk
dan
keluar
yang tidak
dapat
diperkirakan.
Semakin mudah estimasi arus kas, semakin sedikit jumlah kas yang ditahan
untuk menghadapi keadaan tak terduga.
3.
Speculative  Motives  atau Motif Spekulasi. Saldo untuk berspekulasi adalah
saldo kas yang ditahan agar perusahaan dapat
memanfaatkan kesempatan
yang
akan datang.
4.
Compensation Motives atau Motif Kompensasi. Saldo kompensasi berupa saldo
minimum
yang diputuskan untuk
tetap berada di bank. Dengan adanya saldo
ini, bank dapat meminjamkan dana-dana tersebut pada pihak lain dengan jangka
  
14
waktu
yang lebih
lama.
Bank akan
memperoleh bunga
yang merupakan biaya
jasa tidak langsung yang harus dibayar oleh perusahaan pertama.
2.2.2.
Manajemen Piutang Usaha
Tujuan dari pemberian kredit adalah
untuk meningkatkan penjualan. Namun
terlalu 
royal 
dalam 
pemberian 
kredit 
ini 
juga 
dapat 
berdampak 
buruk 
bagi
perusahaan, seperti gagalnya hutang tersebut dilunasi konsumen sehingga akan terjadi
piutang tak tertagih. Bila nilai piutang tak tertagih terus bertambah hingga ke tingkat
berlebih maka arus kas akan menurun dan piutang tak tertagih akan mengurangi laba
atas penjualan.
Teknik yang digunakan untuk memberikan piutang atau tidak adalah dengan 5
C, yaitu :
1.
Character : Catatan hutang calon penerima piutang sebelumnya
2.
Capacity :
Kemampuan calon
penerima piutang
membayarkan
piutang
yang
akan diberikan
3.
Capital : Perbandingan hutang dan ekuitas calon penerima piutang
4.
Collateral : Aset yang dimiliki calon penerima piutang utnuk menjamin piutang
5.
Conditions : Kondisi ekonomi yang terjadi pada saat terjadinya transaksi
Setelah pemberian kredit,
maka
perusahaan
akan
memiliki
masalah
mengenai
pengumpulan  piutang  sehingga  perusahaan 
harus 
menetapkan 
kebijakan
pengumpulan  piutang  agar  dapat 
memonitor  piutang 
yang  dimiliki  perusahaan.
  
15
Caranya
adalah
dengan (1)
Average
Collection
Period,
dan
(2)
Aging
Schedule.
Average   Collection   Period   berguna   untuk   melihat   berapa   lam waktu   yang
dibutuhkan perusahaan untuk dapat
menerima
uang kas atas penjualan
kredit
yang
diberikannya. Aging
Schedule memecah
piutang
berdasarkan
usia
pinjamannya.
Dengan
menggunakan aging schedule perusahaan dapat melihat piutang yang akan
atau sudah jatuh tempo. Seberapa besar pelunasan atas piutang yang telah dibayar dan
belum dibayarkan
sehingga
dapat
memperkirakan
akan
kemungkinan
terjadinya
piutang tak tertagih.
2.2.3.
Manajemen Persediaan
Persediaan merupakan
salah satu komponen
utama
dari
aset
lancar
dan
dibutuhkan
investasi
yang
besar
(Pradeep
Singh,
2008).
Sangatlah
penting
untuk
dapat mengatur persediaan secara efisien agar tidak terjadi investasi yang akhirnya
akan menimbulkan kerugian. Perusahaan yang tidak dapat mengatur persediaan akan
menghadapi 
masalah 
serius 
terhadap 
profitabilitas 
dalam  jangka 
panjang  dan
mungkin akan menghadapi kegagalan.
Pada umumnya persediaan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu bahan mentah,
barang dalam proses, dan barang jadi. Tujuan dari manajemen persediaan adalah
menjaga perputaran persediaan secepat mungkin agar
tidak
mengganggu
penjualan
yang diakibatkan dari tidak tersedianya persediaan.
  
16
Bagi
manajemen
perusahaan
sendiri, terdapat perbedaan dalam menghadapi
persediaan.
Bagian
keuangan
menginginkan
agar
jumlah
persediaan tidak terlalu
banyak
untuk
memastikan bahwa
uang
perusahaan tidak digunakan untuk investasi
yang berlebih. Bagian penjualan menginginkan agar jumlah persediaan selalu tersedia
dalam jumlah besar
untuk
memastikan tidak terjadi stockout
yang dapat
menganggu
penjualan. Demikian pula dengan bagian produksi. Agar terhindar dari masalah
penundaan produksi, maka harus dipastikan persediaan barang mentah dalam jumlah
yang memadai.
Terdapat 
beberapa 
teknik 
yang 
dapat 
digunkaan 
dalam  manajemen
persediaan,
diantaranya
(1)
ABC
System,
(2)
EOQ
Model, (3) Just-in-Time
(JIT)
System,
dan
(4)
Material
Requirement
Planning (MRP).
ABC
System
membagi
persediaan
kedalam tiga
kelompok-A,
B,
dan
C,
secara
berurutan
sesuai
tingkat
kepentingan dan pemantauan, yang didasarkan pada nilai investasi.
EOQ Model
merupakan
teknik
yang
digunakan
untuk
menentukan
jumlah
permintaan 
yang  paling  optimal 
yang  dapat 
meminimalkan  carrying cost dan
ordering cost-nya.
Carrying cost
merupakan biaya penyimpanan persediaan (biaya
simpan, biaya asuransi, biaya pajak, biaya kerusakan, dan penyusutan), sedangkan
ordering
cost
adalah
biaya
pemesanan
persediaan (biaya
pesan,
biaya
penempatan,
dan biaya kerugian penjualan).
Just-in-time  (JIT)
System 
memungkinkan  perusahaan 
tidak 
memiliki
persediaan
yang
menumpuk. Karena dengan sistem ini, persediaan (barang
mentah)
muncul hanya ketika diperlukan untuk proses produksi. JIT lebih tepat digunakan
ketika
alur
produksi
tidak
memiliki
banyak
perubahan
yang
diulang
secara
terus
  
17
menerus,  seperti  pada  pabrik  otomotif.  Material Requirement Planning  (MRP)
System merupakan prosedur untuk membandingkan kebutuhan produksi dengan
ketersediaan persediaan.
2.3.    Profitabilitas
Profitabilitas
dapat
dijelaskan
sebagai kemampuan perusahaan untuk dapat
menghasilkan laba (profit). Profitabilitas sering digunakan untuk mengukur efisiensi
penggunaan modal kerja dalam suatu perusahaan dengan membandingkan antara laba
dengan 
modal 
yang 
digunakan 
dalam 
operasi.  Keuntungan 
yang 
besar  tidak
menjamin atau bukan merupakan ukuran bahwa
perushaan
profitable, karena bagi
manajemen atau pihak lain profitabilitas yang tinggi lebih penting daripada
keuntungan yang besar.
Profitabilitas dapat diukur dengan menggunakan rasio profitabilitas, yaitu :
Gross Profit Margin
Gross Profit Margin merupakan pengukuran efisiensi perusahaan selama proses
produksi terjadi.
Gross
profit
memberikan
gambaran
kepada
investor
mengenai
persentase pendapatan atas
penjualan
yang
tersisa
setelah
dikurangi
dengan
harga
pokok penjualan.
Gross Profit Margin =
Operating Profit Margin
  
18
Operating  Profit  Margin  digunakan  untuk  mengukur  trategi  harga  dan  efisiensi
operasi
perusahaan.
Operating margin
adalah
pengukuran
proporsi
pendapatan
perusahaan
yang
tersisa
setelah
melakukan pembayaran untuk biaya variabel-nya,
seperti upah, bahan mentah, dan sebagainya.
Operating Profit Margin =
Net Profit Margin
Net
profit
margin digunakan
untuk
melihat
berapa
besar laba/profit
yang
bisa
didapatkan dari setiap penjualan yang terjadi. Semakin besar NPM, maka kinerja
perusahaan akan semakin produktif, sehingga akan meningkatkan kepercayaan
investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan (Ina Rinati, 2009)
Net Profit Margin =
Return on Equity
Return on Equity merupakan ikuran kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
tingkat pengembalian perusahaan atau efektivitas perusahaan di dalam menghasilkan
keuntungan dengan memanfaatkan ekuitas (shareholder’s equity)
yang dimiliki oleh
perusahaan. Semakin tinggi nilai ROE menunjukkan semakin efisien perusahaan
menggunakan modal sendiri untuk menghasilkan laba (Brigham, 2001).
Return on Equity =
  
19
Average Total Equity =
Operating Return on Asset
Operating Return on Assets merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan  keuntungan  (return)  bagi  perusahaan  dengan  memanfaatkan  aktiva
yang
dimilikinya.
Semakin
besar
ROA
menunjukkan
kinerja
yang
semakin
baik.
Nilai  ROA  yang  semakin  tinggi  menunjukkan  suatu  perusahaan  semakin  efisien
dalam memanfaatkan
aktivanya
untuk
memperoleh
laba,
sehingga
nilai
perusahaan
meningkat (Brigham, 2001).
OROA =
Average Total Assets =
Analisa OROA paling sering digunakan dalam mengukur profitabilitas perusahaan
karena income yang digunakan untuk menghitung return on assets, yaitu operating
income yang paling sedikit dipengaruhi oleh discretionary items bila dibandingkan
dengan return on equity atau net profit margin (Bauwhede, 2009).
2.4.    Cash Conversion Cycle
2.4.1.
Definisi Cash Conversion Cycle
Cash
conversion
cycle
didefinisikan
sebagai
The amount
of
time a
firm’s
resources are tied up; calculated by subtracting the average payment period from the
  
20
operating  cycle (Gitman, 2009, p641). Siklus operasi
merupakan  waktu  dari
dimulainya proses produksi hingga penerimaan kas atas penjualan barang jadi.
Gambar 2.1 Siklus Operasi (Brealey, Myers, Stewart, 2000, p863)
Siklus operasi diawali dengan pembelian barang
mentah (raw material) yang
digunakan  untuk  melakukan  proses  produksi.  Barang  mentah  tersebut  kemudian
diolah
untuk
kemudian
menjadi
barang
jadi.
Dari
barang
jadi
tersebut
kemudian
dijual sehingga akan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan..
Cash  conversion  cycle  menggambarkan berapa lama kas tertahan selama
siklus operasi perusahaan. Ketika
melakukan
pembelian
barang
jadi
maka
akan
mengakibatkan munculnya hutang dagang.
Semakin pendek cash conversion cycle, maka secara umum perusahaan dalam
keadaan baik. Namun bila cash conversion cycle semakin panjang
maka perusahaan
mungkin
sedang
menghadapi
masalah
pada arus kas. Mengurangi periode
cash
conversion  cycle  dapat dilakukan dengan memperpendek waktu perputaran aset
lancar atau dengan meningkatkan waktu perputaran hutang.
  
21
2.4.2.
Pengukuran Cash Conversion Cycle
Cash conversion cycle
dihitung
dengan
mengurangi
rata-rata
periode
pembayaran sepanjang siklus operasi perusahaan. Siklus operasi meliputi dua elemen
utama
short-term
asset,
yaitu
piutang
dagang
dan persediaan.
Diukur
dengan
menjumlahkan 
periode 
konversi 
persediaan 
(inventory
conversion 
period)
dan
periode konversi piutang (accounts receivable conversion period).
Namun demikian, dalam proses produksi dan penjualan juga termasuk
pembelian atas input produksi (barang mentah) dimana dengan pembelian tersebut
akan
memungkinkan
munculnya
hutang.
Hutang
tersebut
akan
mengurangi
jumlah
hari  kas  tertahan  pada  siklus  operasi.  Waktu  yang  dibutuhkan  untuk  membayar
hutang
tersebut
disebut periode
penangguhan
hutang
(accounts
payable
defferal
period). Siklus operasi dikurangi dengan rata-rata pembayaran disebut dengan cash
conversion cycle. Brigham dan Houston (2004) merumuskan cash conversion cycle :
CCC  =  Inventory Conversion Period + Accounts Receivable Conversion
Period – Accounts Payable Defferal Period
Dimana :
1.
Periode  konversi  persediaan  adalah  rata-rata  waktu  yang  dibutuhkan  untuk
menkonversi bahan baku menjadi barang jadi, dihitung dengan rumus :
Periode konversi persediaan =
2.
Periode  penerimaan  piutang  adalah  rata-rata  waktu  yang  dibutuhkan  untuk
menkonversi piutang perusahaan menjadi kas, dihitung dengan rumus :
  
22
Periode penerimaan piutang =
3. Periode
penangguhan
hutang
adalah
rata-rata
waktu
yang
dibutuhkan
untuk
membeli
bahan
baku
dan
tenaga
kerja dan
pembayarannya,
dihitung dengan
rumus :
Periode penangguhan hutang =
Inventory period
Accounts Receivable period
Accounts Payable period
Cash Conversion Cycle
Raw materials
purchased
Payment for
raw materials
Sale of
finished goods
Cash collected
on sales
Gambar 2.2 Cash Conversion Cycle Model (Brealey, Myers, & Marcus)
2.5.
Penelitian Sebelumnya
Shin dan Soenen (1998) melakukan penelitian mengenai hubungan antara net-
trade
cycle dengan profitabilitas dengan menggunakan
sampel
58.985
perusahaan
periode
1975-1994.
Net-trade
cycle
merupakan
salah
satu
ukuran
efisiensi
modal
kerja selain cash conversion cycle. Formula dalam menghitung net-trade cycle adalah
(accounts receivables+inventories-acounts payable)*365/Sales. Hasil penelitian
tersebut
menunjukkan adanya hubungan negatif
yang kuat antara
lamanya net-trade
cycle perusahaan dengan profitabilitas. Hal ini
menunjukkan bahwa net-trade cycle
  
23
yang pendek
akan meningkatkan profitabilitas, karena berarti perusahaan semakin
efisien   dalam   mengatur   modal   kerjanya,   lebih   sedikit   kebutuhan   dana   dari
pembiayaan eksternal, dan semakin tinggi kinerja perusahaan.
Garcia-Teruel
dan
Martinez-Solano (2003)
melakukan
penelitian
mengenai
hubungan antara manajemen modal kerja dengan profitabilitas pada 8.872 perusahaan
kecil dan menengah di Spanyol periode 1996-2002. Variabel yang digunakan adalah
ROA, sebagai variabel tergantung, manajemen
modal
kerja,
yang
diukur
dengan
perputaran piutang, perputaran persediaan,
dan
perputaran
hutang,
serta cash
conversion cycle sebagai
variabel bebas. Selain
itu, digunakan juga variabel kontrol,
yaitu   ukuran   perusahaan,   pertumbuhan   penjualan, 
leverage dan  GDP.  Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara profitabilitas
dengan perputaran piutang dan perputaran persediaan. Manajemen dapat menciptakan
nilai
dengan
mengurangi
jumlah
perputaran piutang dan persediaan. Dengan
memperpendek Cash Conversion Cycle akan meningkatkan profitabilitas.
Zariyawati, Annuar, Taufiq, dan Abdul Rahim (2009) dalam penelitiannya
mengenai
hubungan
antara
manajemen
modal kerja
dan
profitabilitas
perusahaan
dengan menggunakan data 1628 perusahaan yang terdaftar di Bursa Malaysia periode
1996-2006. Dalam penelitian
tersebut
digunakan
tiga
jenis
variabel,
yaitu
variabel
bebas, variabel tergantung, dan variabel kontrol. Variabel tergantung adalah
profitabilitas yang diukur dengan (operating income + depreciation)/total asset.
Sedangkan
cash
conversion cycle dan
current ratio
sebagai
variabel bebas.
Untuk
variabel kontrol yang digunakan adalah pertumbuhan penjualan dan leverage (DR).
Penelitian   tersebut   menunjukkan   adanya   hubungan   yang   negatif   antara   cash
  
24
conversion cycle dengan profitabilitas. Namun current ratio memiliki hubungan yang
positif dengan profitabilitas. Dengan mengurangi periode cash conversion cycle akan
meningkatan profitabilitas. Kemampuan
perusahaan untuk terus beroperasi dalam
jangka waktu lama tergantung dari bagaimana mereka bisa memaksimalkan investasi
pada modal kerja.
Judiharto
dan
Warganegara
(2009)
dalam penelitiannya
mengenai
pengaruh
manajemen
modal
kerja
terhadap
arus
kas perusahaan yang bergerak di industri
consumer goods yang terdaftar bada Bursa Efek Indonesia. Tujuan dari penelitian
adalah untuk mengetahui pengaruh cash conversion cycle sebagai pengukur likuiditas
erhadap
cash
flow
yang
diukur
dengan Operating
Cash Flow
to Sales
Ration
(OCFSR),
dan
mengetahui
faktor
lain
yang
dapat
mempengaruhi cash
flow,
yaitu
profitabilitas dan ukuran perusahan. Hasil yang didapat bahwa terdapat pengaruh
antara variabel bebas (CCC, ROA, dan ukuran perusahaan) terhadap OCFSR. Namun
secara individu, hanya CCC dan ROA yang
memiliki pengaruh terhadap OCFSR,
walaupun CCC berpengaruh lemah. Sedangkan ukuran
perusahaan
tidak
memiliki
pengaruh terhadap OCFSR.