BAB II
LATAR
BELAKANG PERUSAHAAN
2.1
SEJARAH INDUSTRI ROKOK DI TANAH AIR
Dari catatan sejarah umumnya disimpulkan bahwa yang memperkenalkan
tembakau pertama kali ke Tanah Indonesia adalah Belanda, tepatnya ketika ekspedisi
pimpinan Cournelis de Houtman
mencapai Banten pada tahun 1596. Pada
masa itu
merokok adalah aktivitas yang popular di kalangan elit Banten. Salah satu bukti awal
yang menunjukkan bahwa tembakau telah dikonsumsi di pulau Jawa dapat ditemukan
di Kartasura, dimana Raja Amangkurat I (1646-1677) biasa menikmati rokok dengan
pipa. Dalam catatan Thomas Stamford Raffles, disebutkan bahwa pada tahun 1600-an
merokok telah menjadi kebutuhan hidup kaum pribumi Indonesia khususnya Jawa,
meskipun tembakau bukan tanaman asli Jawa. Naskah Jawa, Babad Ing Sangkala
(1601-1602)
menyuratkan
bahwa
tembakau
telah masuk ke Pulau Jawa bersama
dengan wafatnya Panembahan Senapati, pendiri Dinasti Mataram.
Jika dikaji dari asal-usul bahasanya, terminologi “rokok” sebenarnya berasal
dari bahasa Belanda “roken”
yang
artinya “to smoke”
(mengeluarkan asap). Tapi
terminologi “tembakau” ternyata lebih dekat dengan bahasa Portugis “tobaco”
ketimbang dengan bahasa Belanda tabak.” Karena itulah sejarahwan lebih sepakat
menyebut 
Portugis 
yang 
memperkenalkan 
tembakau 
ke 
Indonesia, 
sedangkan
Belanda  adalah  yang  memulai  penanaman  tembakau  secara  masal  di  Jawa  dan
Sumatera.
13
  
14
Perkebunan tembakau komersial pertama didirikan pada tahun 1863 oleh
seorang
petani
Belanda,
Jacobus Neinhuys, di Deli, Sumatera
Utara.
Waktu
itu
tembakau ditujukan untuk eksport sebagai bahan pembuatan cerutu. Namun mulai
abad
20,
petani
lokal
mulai
mengembangkannya
untuk konsumsi di dalam negeri
dengan cara menjual hasil panen mereka kepada perusahaan lokal.
Produk rokok pertama di Indonesia
lahir pada awal abad ke-17 hadir dengan
nama  Bungkus.  Ia  dibuat  dari  tembakau  lokal  berwarna  coklat  yang  dibungkus
dengan kulit jagung atau daun pisang dan diikat dengan tali. Karena proses
pembuatannya
yang
masih
manual,
rokok saat
itu
sering
disebut
dengan
tingwe
(singkatan dari bahasa Jawa ngelinting dewe atau “menggulung sendiri”). Penghasil
tembakau utama saat itu adalah Sumatera, Bali, Lombok, dan Jawa         (khususnya
Temanggung) dengan lahan siap panen lebih dari 250 ribu hektar.
Kelahiran
rokok
kretek
berasal
dari Kudus.
Sebagai
kebiasaan
masyarakat
Kudus yang mengoleskan minyak cengkih di dada kala merasakan gangguan
pernafasan, hal ini tidak terkecuali dilakukan Haji Jamahri yang waktu itu menderita
asma, untuk mengurangi rasa sakitnya dia mencoba untuk membawa minyak cengkih
tersebut
lebih dekat ke pusat dadanya yaitu dengan
mencampurkan
minyak cengkih
dengan rokok tembakau, dibakar, dan dihisapnya, efek kesembuhan mulai terasa dan
lebih manjur. Dari cerita mulut ke mulut Jamahri mulai menjual produk obat asma
versinya ke masyarakat Kudus. Ia menyebutnya “rokok cengkih” (clove cigarette).
Penyebutan nama “Kretek” lahir beberapa waktu kemudian karena terinspirasi bunyi
cengkih
yang
terbakar
api.
Satu
decade
setelah
kematian
Jamahri
(1890)
industri
rokok
kretek
menjadi
industri
skala
luas. Dari
tiga
unsur pembentuk
rokok
kretek
  
15
cengkih, tembakau, saus. Dua unsur pertama (cengkih dan tembakau) yang menjadi
komoditi
yang krusial bagi
hidup
matinya
perusahaan
rokok kretek.
Jika
tembakau
relatif tumbuh normal dengan stok yang selalu tersedia, namun cengkih menampilkan
konfigurasi yang berbeda disebabkan kuatnya kepentingan politik dan ekonomi
atasnya.
Rokok sebagai simbol sosial yang menyentuh semua segmen, dapat menjadi
simbol sosial bagi kalangan ningrat dan sebagaimana rokok juga dapat menjadi
pemuas waktu senggang kaum pekerja. Rokok juga bisa memberikan rasa ketenangan
batin bagi orang tua dan memberikan rasa kebanggaan diri bagi kaum muda. Dalam
ranah sosial, kretek
ternyata juga
memiliki dimensi komunikatif yang kental. Dalam
pola hubungan sosial masyarakat Indonesia, rokok sering kali menajdi simbol dari
sapaan 
awal 
antara 
dua 
orang. 
Menawarkan 
rokok 
kepada  orang  orang 
lain
merupakan
tradisi
umum dalam
suatu
perjumpaan,
dan
menolaknya
kadang
menyebabkan seseorang tersinggung dan akan terasing dari komunitasnya. Bisa
dikatakan, sejarah kretek adalah sejarah rokok di Indonesia. Rokok kretek ditemukan
hampir
di
semua
tempat
dimanapun
kita
berada
tiap
lapak
maupun
kios.
Kretek
adalah produk yang tumbuh, berkembang, dan menyatukan bumi Nusantara dalam
suatu ikatan kultural yang kental.
  
16
2.2
INDUSTRI ROKOK NASIONAL ERA 1900-AN
Dari yang awalnya hanya industri rumah tangga, kini berkembang
menjadi
industri skala luas. Kombinasi antara permintaan yang terus meningkat dan teknologi
produksi yang muktahir, ditambah dengan teknik pemasaran yang canggih, berhasil
mengantar rokok ke dalam babak baru dunia perindustrian. Perusahaan – perusahaan
baru  berskala  lokal  maupun  nasional  pun  hadir  karena  tergiur  oleh  kesuksesan
mereka
yang
lebih
dulu
hadir.
Dalam
bisnis
rokok,
hukum
pasar
akan
memihak
kepada produk
yang mampu
menghadirkan kualitas dalam rasa. Artinya perusahaan
yang  mampu  memberikan  tembakau  kualitas  terbaik  dan  saus  yang  gurih  yang
mampu
bertahan, dari
sekitar
600
perusahaan
rokok
yang
tumbuh
di
Indonesia
di
awal proses industrialisasi, banyak dari mereka yang tidak dapat bertahan hingga saat
ini. Selain pada produk, persaingan antar
perusahaan
juga
merembet
pada
isu
primodial.
Karena
identitas
politik
pada
saat
itu
masih
dalam tahap
pembentukan,
hubungan sosial antar warga masih diwarnai sektarianisme
yang rawan perpecahan.
Dalam industri
rokok,
hal
tersebut
termanifestasi
pada
dua
isu
besar,
yakni
pertentangan antara perusahaan milik China versus Bumiputera, dan perusahaan lokal
versus asing.
Era tahun 1900an merupakan periode emas pertumbuhan perusahaan rokok di
Indonesia. Sebagian dari mereka masih bertahan hingga sekarang dan sebagian yang
lainnya menjadi raja di kelasnya. HM Sampoerna termasuk yang lahir pada masa-
masa awal
periode ini. Jumlah Penjualan tiap daerah dapat dilihat
pada Tabel 1.1.
Jumlah produksi rokok dari keresidenan dapt dilihat pada Gambar 1.1. Berikut
ini
  
17
adalah
beberapa  perusahaan  yang  lahir  dan  menjadi  pemain  utama  pada  periode
tersebut :
Tabel 1.1 Jumlah Penjualan Rokok Tiap Daerah
(Sumber : 4-G Marketing, p.17, 2005 )
Kota / Propinsi
1934
1961
Jepara, Rembang, Kudus
5300
5755
Kediri
3715
3148
Semarang
510
2116
Surabaya
359
1427
Kedu
400
306
Pekalongan
317
277
Yogyakarta dan Solo
310
893
Madiun
208
1340
Bojonegoro
125
204
Malang
105
3020
Sumatera Timur
?
630
Bali dan Lombok
?
979
1.   NV Bal Tiga Nitisemito (1908).
Beberapa tahun sepeninggalan Haji Jamahri, seorang warga Kudus berpikir
untuk
memasarkan
rokok
kretek
secara
masal.
Nitisemito muncul
dengan
ide
Kodok
Mangan
Ulo.
Karena
tidak direspon
positif
oleh
pasar,
ia
kemudian
mencoba  nama  Bulatan Tiga,  sebelum  menggantinya  lagi  dengan  nama  Tiga
  
 Total Produksi Jepara, Rembang, Semarang Kedu Yogyakarta dan Solo Bojonegoro Sumatera Timur
18
Bola, dan akhirnya memutuskan
untuk  memakai  nama 
Bal  Tiga. Produksi
pertama  dimulai  pada  tahun  1906  dengan  kategori  rokok  terbatas  pada  jenis
klobot kretek. Perusahaannya didaftarkan pada tahun 1908 dengan nama NV Bal
Tiga Nitisemito.
Grafik 1 : Produksi kretek dari keresidenan-
keresidenan tahun 1934 dan 1961 (juta batang)
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Keresidenan
Gambar 1.1 Produksi Rokok dari Keresidenan
(Sumber : 4-G Marketing, p.17, 2005)
Nama
Nitisemito
terkenal
bukan hanya
disebabkan
ia
adalah
pelopor
komersialisasi rokok kretek di Indonesia, namun karena strategi pemasarannya yang
kreatif
,
yang
dipercaya
mengilhami
banyak
perusahaan sejenis
hingga
sekarang.
Beberapa strategi kreatif tersebut adalah penawaran free gift dan special offer kepada
konsumen setia, pemberian hadiah kepada konsumen yang mengembalikan bungkus
rokok   Bal   Tiga;   promosi   berjalan   menggunakan   bus   dan   pesawat   terbang,
mensponsori theater keliling; membuat aksesoris silver cases dan korek berlogo Bal
  
19
Tiga.
Oleh
sejarahwan
dan
pengamat
rokok
Nitisemito
dianugerahi
gelar
“Bapak
Kretek Indonesia”.
2.   Goenoeng & Klapa (1913)
Goenoeng & Klapa sebuah pabrik rokok di kudus yang didirikan oleh
Mohamed Atmowijoyo. Sampai kini Goenoeng & Klapa masih memproduksi
rokok
klobot
dan
masih
menggunakan
tali pengikat
sebagai
pembungkus,jauh
tertinggal
dengan
rokok-rokok lain.
Yang
kontroversial
adalah
resep
saus
dari
rokok
ini dipajang
di
papan
tulis pada dinding
pabrik.
Satu-satunya
yang
sama
antara perusahaan ini dengan HM.Sampoerna adalah sama-sama dipimpin oleh
oleh generasi ke empat dari pendirinya.
3.   Bentoel (1931)
Ong Hok
Liong mendapatkan nama Bentoel
setelah suatu
malam di
Gunung
Kawi.setelah
diluncurkan
di
Malang
merek
ini
mendapat
sambutan
yang
luar
biasa.
Semenjak
tiba di Malang
tahun 1910,
Ong
memang
langsung
terjun
di
bisnis tembakau dan rokok. Bentoel adalah perusahaan yang pertama kali
menjalankan  peraturan  pemerintah  untuk  memberikan  kursi  bagi  pelintingnya
yang semula hanya duduk di lantai. Pada tahun 1974 perusahaan ini juga menjadi
perusahaan kretek pertama yang menggunkan full-automated rolling machines di
Indonesia. Kemudian baru lahirlah Bentoel International yang kini dikenal dengan
nama  Bentoel Biru rokok lokal pertama yang dipromosikan secara nasional.
  
20
4.   Nojorono (1932)
Perusahaan ini lah yang memproduksi
merek
terkenal
Minak
Djinggo
dan
akhir-akhir
ini
melahirkan Class
Mild di
kelas
rokok mild.
Berbeda
dengan
perusahaan rokok lainnya yang umumnya dikuasai oleh satu keluarga secara turun
temurun,
Nojorono
dikendalikan
oleh
lima keluarga
sekaligus.
Awalnya
adalah
Tjoa Kay
Hang,
yang
pernah
bekerja
di Nitisemito,
mengajak
saudaranya
Tan
Tjiep Siang dan Tan Kong Ping untuk mendirikan Trio. Setelah itu Kang Hay
mencari partner baru di kudus, yakni Ko Dji Siong dan Tan Djing Dhay, untuk
mendirikan
Nojorono.
Inovasi
terbesar
Nojorono
selama
ini adalah
rokok
tahan
air dimana ia juga memiliki hak paten atas temuannya ini sehingga sangat popular
di kalangan pelaut dan nelayan.
5.   Djambu Bol (1937)
Pabrik
rokok Djambu
Bol sempat terhenti ketika Jepang
masuk pada
tahun
1942. Perusahaan ini menemukan pijakannya kembali pada tahun 1949 dengan
memproduksi
rokok
kretek paper-wrapped,s
ebagai
pengganti
klobot.
Berbeda
dengan
perusahaan
lain
yang
dimiliki
warga keturunan, Djambu
Bol
adalah
perusahaan
pribumi
terbesar
di
Indonesia
yang
pernah
tercatat
dalam sejarah.
Pendirinya adalah seorang warga kudus bernama Haji
Roesydi Ma’roef. Djambu
Bol berkonsentrasi pada pasar luar jawa, terutama sumatera utara yang mencapai
95% dari pangsa pasarnya.
  
21
6.   Djarum (1951)
Nama
aslinya
adalah
Djarum Gramophon.
Oleh
Oei
Wie
Gwan
nama
ini
diubah  menjadi  Djarum  pada  tahun  1951.  Berbeda  dengan  perusahaan  lain
Djarum   bukanlah   perusahaan   keluarga,   pemilik   sekarang   tidak   memiliki
hubungan darah dengan pendirinya. Dua merek pertama perusahaan ini diberi
nama
Djarum
dan
Kotak
Ajaib.
Awalnya hanya
dipasarkan
di
Kudus,
namun
setelah  kedatangan  Wie  Gwan  diekspansi  ke  wilayah  Jawa  Barat  dan  Jawa
Tengah.
Setelah
sempat
menjadi
yang
terbesar pada tahun 1967, Djarum mulai
menjajal pasar luar negeri pada tahun 1972. langkah ini mengantarnya menjadi
salah satu perusahaan kretek yang popular di luar negeri.
7.   Gudang Garam (1958)
Dilihat dari tahun kelahirannya Gudang
Garam
memang
termasuk
yang
paling muda. Namun dari segi volume produksi, perusahaan ini dianggap sebagai
yang teratas. Bahkan untuk klobot kretek, Gudang Garam adalah pemimpin
padarnya sampai sekarang. Gudang Garam didirikan oleh Tjoa Ing Hwie (Surya
Wonowidjojo).  Mirip  dengan 
Bentoel  nama  Gudang  Garam 
juga 
memiliki
dimensi mistis, dimana suatu malam Ing Hwie bermimpi melihat sebuah gudang
diseberang pabrik cap 93.
Gudang
Garam
kini
dipimpin
oleh
anak
tertua
Ing
Hwie, Rachman Halim.
8.   Perusahaan Asing
Selain perusahaan lokal di Indonesia berdiri pula perusahaan rokok asing,
yakni PT. BAT (British American Tobacco), Philip Morris Indonesia, dan PT
Rothmans of Pall Mall Indonesia.
  
22
2.3    KELAHIRAN SAMPOERNA (1913)
Sampoerna hadir memberi warna tersendiri bagi
industri rokok di Indonesia.
Melalui inovasi dan strategi pemasaran yang canggih, perusahan ini bukan hanya
mampu mempertahankan umur usahanya sampai generasi ke empat, namun juga
berhasil menjadi pemain utama di industri rokok nasional.
Generasi I, perkenalan
Liem Seng Tee pada dunia rokok dimulai pada
tahun
yang sama dengan pernikahannya, yakni pada saat bekerja sebagai pengolah dan
pelinting rokok kecil di Lamongan. Tidak butuh waktu lama bagi Seng Tee untuk
memulai bisnisnya menjual tembakau hasil olahannya sendiri.
Dari suksesnya ini Seng Tee mendirikan perusahaan rokok sendiri. Ia
mendirikan venture
dengan
nama Handel
Maatschapij
Liem Seng
Tee pada
tahun
1913. nama ini kemudian diubah menjadi Handel Maatschapij Sampoerna. Pasca
perang dunia II nama ini kemudian diubah menjadi Hanjaya Mandala Sampoerna
(selanjutnya disebut
Sampoerna).
Pemilihan
nama
Sampoerna
sebagai
nama
perusahaan  ini  bukanlah  tanpa  alasan.  Mirip  dengan  kisah  Bentoel  dan  Gudang
Garam, terdapat makna filosofis yang esensial diBalik nama Sampoerna. Pertama,
Sampoerna adalah ejaan lama dari sempurna (perfect). Kedua, di dalamnya
terdapat
sembilan huruf yang dianggap sebagai angka keberuntungan . dalam hal ini angka 9
memiliki proprietary dari kaisar Cina masa lalu. Terlihat kalau Seng Tee memiliki
cita-cita besar dari perusahaan yang didirikannya ini, ia menginginkan perusahaannya
menjadi “King of Kretek” di Indonesia.
  
23
Seng Tee memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk membawa bisnis
rokoknya ke level yang lebih tinggi: motivasi, inovasi, produk, inventori tembakau,
saus rahasia khasnya. Seng Tee
mulai
mulai menancapkan pijakan bisnis rokoknya.
Ia
memulainya
pada kategori SKT
(sigaret kretek tangan). Dengan
melahirkan
Dji
Sam Soe
hingga
sekarang
Dji
Sam Soe
dianggap
sebagai
King
of
Kretek.”
Kesuksesan
sebuah
merek
memang
terletak pada
rasa sehingga
membuat
Dji
Sam
Soe menjadi pemimpin pasar untuk kategori SKT. Untuk mempertahankan
kekhasannya, setelah lebih dari 81 tahun kemasan Dji Sam Soe tetap dipertahankan
seperti semula.
Dji Sam Soe dipandang sebagai representasi paripurna dari
generasi
pertama
Sampoerna.
Begitu
kuatnya
asosiasi ini hingga merek tersebut mewakili
corporate
brand
secara
keseluruhan,
setidaknya
sampai
keluarga
“A”
diluncurkan
oleh generasi berikut.
Taman Sampoerna selain sebagai tempat produksi juga sebagai tempat untuk
melakukan berbagai kegiatan publik. Dalam hal ini tempo dulu Sampoerna juga telah
melakukan corporate responsibility. Pada tahun 1940 produksi Sampoerna mencapai
3
juta batang seminggu. Dji Sam Soe
mendominasi angka
tersebut,
meski demikian
agen sering menunggu sampai dua
minggu untuk mendapatkan produk itu. Invasi
Jepang menghancurkan semua usahanya. Seng Tee dipenjara untuk beberapa saat,
seluruh hartanya ludes dirampas penjajah Jepang. Untunglah Swie Hwa dan Aga
Sampoerna berhasil meloloskan diri dari kejaran tentara Jepang. Setelah dibebaskan
Seng Tee segera bergabung dengan keluarganya dan dengan sedikit modal
melanjutkan
usahanya lagi dengan Dji Sam Soe sebagai
modal utama. Pada tahun
  
24
1956
di
usianya
63
tahun
Seng
Tee
meninggal
dunia
menyusul
kepergian
istrinya
pada tahun 1955. Ia meninggalkan dua warisan yaitu Dji Sam Soe dan Sampoerna.
Generasi II, setelah kepergian ayahnya
Aga
Sampoerna
mendapat
mandat
untuk  meneruskan  perusahaan  keluarga.  Aga  melihat  Dji  Sam  Soe    adalah  satu
satunya harapan Sampoerna untuk kemBali ke tempatnya semula. Aga memindahkan
bisnisnya ke Bali beserta semua keluarganya termasuk Putera Sampoerna, tidak lama
setelah
itu
keluarga
Aga
Sampoerna dipindahkan
ke
Hong
Kong
untuk
mendapat
pendidikan yang lebih baik dan lalu ke Melbourne, Australia dan terakhir ke Amerika
untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya di perguruan tinggi. Aga berkonsentrasi
pada perusahaan nya PT. Panamas dengan produknya yang kini masih ada dalam
portofolio  Sampoerna  yaitu  Panamas  Kuning.  Seperginya  sang  pendiri  membuat
bisnis menjadi kacau, hubungan antara penyalur dan agen setia mulai terkikis,
kepercayaan
yang telah hilang
membuat agen dan penyalur
membuat bisnis sendiri
atau berafiliasi dengan perusahaan lain. Akibatnya harga Sampoerna di pasaran
menjadi
sangat
berfluktuatif
dan
ketersediannya
sangat
tidak
terkontrol.
Pada
saat
saat seperti ini lah Dji Sam Soe keluar sebagai pemecah masalah. Solusi tiga tangan
yaitu, hubungan dengan pedagang, strategi pemasaran kepada konsumen, dan
management
internal perusahaan. Selain itu beberapa hal yang dilakukan Aga
Sampoerna adalah Rejuvenasi Dji Sam Soe atau peremajaan merek. Selain itu untuk
mengukuhkan hadirnya generasi II pada Sampoerna keluarlah Sampoerna hijau
dengan logo “A” yang merupakan inisial nama dari Aga Sampoerna.
Generasi III, Putera Sampoerna, di era ini Sampoerna memasuki babak baru
organisasi  dari  tradisional  ke  modern  di  bawah  kepemimpinan  Chief Executive
  
25
Officer (CEO) yang sangat visioner. Di era
ini Sampoerna mulai membenahi proses
bisnisnya secara rapi, menggunakan pendekatan marketing dan
branding
secara
konseptual
dan
sistematis,
membangun
manajemen
sistem informasi 
yang
canggih,
mengembangkan
core competence yang
solid,
membangun
human
capital,
dan
sebagainya.
Dibawah
Putera
Sampoerna
perusahaan
dipacu
dalam kecepatan
tinggi
tanpa mengenal lelah. Hasilnya sangat menakjubkan, selama kurun waktu ini
Sampoerna memasuki “Hypergrowth era” dengan pertumbuhan usaha yang sangat
tinggi  selama 
kurun 
waktu  1990-2000.  Sampoerna 
menikmati 
peningkatan
pendapatan (net
sales)
mencapai
38
kali
lipat
hanya
dalam
kurun
waktu
sepuluh
tahun. Kinerja ini berasal dari organic growth, yaitu hasil aktivitas operasi bukan dari
akuisisi
atau
merger.
Sepak
terjang
generasi
ke
tiga
ini
dimulai
dari
tahun
1969
setelah Putera menyelesaikan pendidikannya di University of Houston, Texas,
Amerika Serikat.
Dan pada akhirnya pada bulan Oktober 2005 Putera Sampoerna memutuskan
untuk
menjual
kepemilikan
sahamnya kepada PT.
Philip Morris Indonesia dengan
harga premium untuk Brand dan Control atas Sampoerna, sehingga kepemilikan PT.
Philip  Morris  Indonesia  atas  saham  HM  Sampoerna  adalah  sebesar  97.5%.  hal
tersebut
tejadi
tanpa
sepengetahuan
publik
untuk
menghindari
terjadinya insider
trading, tapi pada saat itu harga saham Sampoerna memang sudah merangkak naik.
  
26
2.4
Perjalanan HM. Sampoerna 1918-2006
Tahun 2006 ini HM. Sampoerna memasuki usianya yang ke- 93 tahun dan
selama  kurun  waktu  yang  panjang  itu,  HM.  Sampoerna  mampu  sustainable  dan
secara konsisten menjadi pemimpin pasar yang tak tertandingi oleh pesaing manapun.
Disamping
itu,
HM.
Sampoerna
juga
mengalami
pasang
dan
surut
selama
kurun
waktu yang ada dan tetap
survive sampai sekarang karena HM. Sampoerna
mempunyai strategi yang andal untuk diterapkan dalam proses operasinya.
HM. Sampoerna pada dasarnya
merupakan Manufacturing company berubah
menjadi
Market
Driven company
yang
mampu
mencapai
ekspansi
besar-besaran
melalui penerapan strategi pemasaran yang tepat yaitu :
1.   Langkah awal HM. Sampoerna ditinjau dari segi teknikal
a.   Salah satu langkah terpenting untuk menjaga perusahaan tetap sustain adalah
meniadakan semua agen dari
rantai distribusi
HM. Sampoerna dalam rangka
mengembangkan sistem distribusi mandiri.
b.   Memindahkan operasi pabrik rokok Panamas dari Bali ke Malang, sehingga
pembelian bahan-bahan untuk kedua pabrik Panamas dan Sampoerna menjadi
lebih efisien dan ekonomis dimana keputusan
diambil
karena
adanya
keyakinan penuh bahwa masa depan bisnis rokoknya ada di Jawa bukan Bali.
Oleh karena itu, kantor pusat Sampoerna yang ada di Taman Sampoerna
pindah ke kawasan industri Rungkut di bagian timur Surabaya. Pemindahan
fasilitas  produksi  seperti  pengolahan  cengkih,  percetakan,  dan  pelintingan
  
27
pada  tahun  1982  karena  fasilitas  produksi  di  Taman  Sampoerna  memang
sudah tak memadai lagi.
c.   Seiring dengan semakin berkembang pesatnya perusahaan, diputuskan untuk
membuat
fasilitas produksi
baru pada lahan seluas
153
hektar
di
Sukarejo,
Jawa Timur yang dirancang untuk menjadi gudang bahan baku tembakau dan
akan  diarahkan 
untuk 
memproduksi 
rokok  kretek 
terbaik  di 
Indonesia.
Dengan
adanya   fasilitas   ini   HM.   Sampoerna   mampu  
mengantisipasi
permintaan pasar yang begitu cepat dalam tahun-tahun berikutnya
d.   Langkah  selanjutnya  adalah  membenahi  sistem  pembelian  tembakau  dari
petani  dimana  HM.  Sampoerna  membeli  sendiri  tembakau  langsung  dari
petani dan mendirikan stasiun pembelian milik perusahaan sendiri.
2.   Langkah selanjutnya dari HM. Sampoerna yang diterapkan sampai sekarang :
Langkah  kedepan  adalah 
memperluas  portofolio  produknya  dipasar 
melalui
inovasi
dan
pengembangan produk
baru di
luar
Dji
Sam
Soe.
Adapun
produk
yang dikeluarkan adalah Sampoerna Exclusive dan “A” Mild.
Selain itu, mendorong upaya-upaya pemasaran dengan melakukan kampanye
promosi baik di media cetak, radio, maupun televisi. Dengan menjadi market-driven
company maka HM. Sampoerna mulai menempatkan aktivitas membangun merek
pada  posisi 
sentral 
dalam 
keseluruhan 
strategi 
perusahaan. 
Kalau 
sebelumnya
aktivitas
pemasaran
hanya
sebatas
untuk
menjamin
ketersediaan
produk
di
pasar,
maka dengan pendekatan baru ini pemasaran mulai diarahkan kepada upaya-upaya
untuk 
membangun 
diferensiasi  produk 
yang 
mampu 
memfokuskan 
diri 
untuk
  
28
memperkuat
dan
men-leverage
produk unggulannya Dji Sam Soe.
Disamping
itu,
dalam kurun waktu ini HM. Sampoerna juga mulai agresif meluncurkan merek-merek
baru untuk merespon kebutuhan pasar seperti A Mild dan Sampoerna Exclusive.
Secara organisasi, portofolio merek yang dikelola perusahaan juga dikelola
dengan menggunakan konsep manajemen merek modern. Setiap merek dikelola oleh
brand manager yang khusus
mengelola merek-merek tersebut. Manajer 
merek kini
bertanggung
jawab
terhadap
riset
pasar, penyusunana
konsep
strategi
merek,
implementasi strategi seperti menjalankan kampanye iklan, sponsorship atau
peluncuran produk baru, hingga melakukan evaluasi kinerja merek. Perusahaan juga
mulai
memperkenalkan field
marketing
organization
agar
HM.
Sampoerna
dapat
mengetahui
setiap
perkembangan
yang
terjadi
di
pasar di berbagai
area
distribusi
yang ada. Data pasar yang dikumpulkan
oleh
jaringan
field
marketing
staff
yang
digabungkan dengan data-data retail audit dari pihak ketifa dan data-data
hasil riset
khusus akan
keluar
ide-ide
mengenai
program
sponsorship
dan
kampanye promosi,
program
peluncuran
produk
baru,
bentuk
merchandising
di
outlet
atau
kampanye
iklan di TV, radio maupun koran.
Agar
suatu perusahaan bisa bertahan secara terus
menerus dalam era
global
ini,
ada
9
aspek
pemasaran
yaitu
:
segmentasi,
targeting, positioning, diferensiasi,
marketing mix, selling, brand, servis
dan
proses.
HM.
Sampoerna
bisa
melakukan
semuanya dengan tepat dan benar.
Sampoerna melakukan strategi 
pemasaran above the line : iklan, promosi di
TV,  radio  dan  sebagainya  dan  strategi  below the line
lewat  program  green
  
29
community, melakukan pendektan langsung ke masyarakat, event  marketing  dan
sinetron.
Suatu produk
yang ada di pasar pada suatu titik tertentu akan berada dalam
posisi mature, yang bila dilanjutkan dipasarkan secara terus menerus, yang terjadi
adalah sales
yang
menurun.
Untuk
mengantisipasi
produk
yang
sudah mature,
diperlukan inovasi dan differensiasi secara terus
menerus agar produk
yang tadinya
sudah
dalam
tahap
mature
berubah
menjadi growing
position yang
mampu
mendongrak sales dan meningkatkan keuntungan perusahaan.
Setiap
produk
Sampoerna
mempunyai cara
marketing
sendiri untuk
mempertahankan
posisinya
dalam
pasar.
Contohnya
:
Dji
Sam Soe
tetap
mempertahankan
kualitas
dari
cengkih
dan
telah
diluncurkan
Dji
Sam Soe
Filter.
Sampoerna
hijau
melalui
rejuvenasi
produk,
A
mild
terus
berinovasi lewat strategi
above the line untuk menciptakan trend setter dan brand awareness.
Sampoerna
juga
menjual
produknya
sampai ke luar negeri yang diharapkan
dapat memasuki pasar internasional. Sampoerna
memiliki transferable assets berupa
kemampuan membuat dan memasarkan rokok di pasar Indonesia, dan kemampuan itu
coba “dipindahkan” ke pasar-pasar baru di negara tetangga, untuk kemudian juga di
pasar-pasar lain di seluruh
dunia
seperti
:Malaysia,
Myanmar,
Vietnam,
Brasil,
Filipina, dan Taiwan.
  
30
2.5
THE SAMPOERNA WAY
”Kami
Memang
Beda”merupakan tagline
di
Sampoerna.
“Di
Sampoerna,
upaya
mencari
kesempurnaan
sudah
menjadi
gaya
hidup kami;
suatu
usaha keras,
yang   secara   integral   terjalin   di   dalam   semua   aspek   Kelompok   Perusahaan
Sampoerna” begitulah kalimat menarik yang tertulis di Buku Kredo Sampoerna
Anggarda Paramita.
Selain
itu,
HM. Sampoerna juga
memiliki
satu
kata kunci
yaitu
“belajar”,
yang menandai bahwa perusahaan bukanlah benda mati yang akan berhenti pada titik
tertentu
tetapi
harus
terus
belajar
dan belajar
menghadapi
situasi
lingkungan bisnis
yang terus berubah.
Berikut
adalah sembilan
langkah
yang
menjadi
gaya
hidup setiap
orang di
HM. Sampoerna dalam usahanya mencapai kesempurnaan:
1.   Kepemipinan dan manajemen profesional
2.   Objektif dan tidak memihak
3.   Kerjasama kelompok dan tanggung jawab
4.   Mengaktualisasikan seluruh potensi
5.   “Tiga Tangan”
6.   Bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan para pemegang saham
7.   Warga masyarakat dan warga usaha yang baik
8.   Bertekad membangun bangsa
9.   Berwawasan ke depan
  
31
Sejak pertama kali kehadirannya, Sampoerna selalu memegang teguh falssfah
diferensiasi. Di kalangan internal Sampoerna, falsafah diferensiasi lebih dikenal
dengan
ungkapan
“Kami
memang
beda”.
Jikalau dilihat dari segi historis, “Kami
memang beda” merupakan suatu nilai yang secara sadar atau tidak, tertulis ataupun
tidak telah menjadi filosofi dasar bagi setiap kebijakan yang diterapkan oleh HM.
Sampoerna.
Nilai-nilai dasar yang dipegang teguh dan diyakini oleh setiap orang di dalam
organisasi HM. Sampoerna inilah yang
terbukti
menjadi
tulang
punggung
dan
keunggulan
perusahaan
dalam
menghadapi
persaingan
bisnis.
Dalam Kredo
Sampoerna,
secara
gamblang
dituliskan
“Tidak seperti
kelompok
perusahaan
lain,
salah satu pendorong utama KPS (Kelompok Perusahaan Sampoerna) adalah
falsafahnya, bukan kebijakannya”
Selain “Kami
memang beda”, terdapat satu
filosofi
lainnya
yang
terbukti
mendukung Sampoerna dalam
mencapai kesuksesannya
sampai saat ini.
Why not
memancing setiap indiviu untuk dapat berpikir “out of the box” dan pada akhirnya
mampu menghasilkan sesuatu yang berbeda.
Budaya perusahaanlah yang pada akhirnya akan membedakan perusahaan satu
dengan lainnya. Budaya menjadi tatanan hidup masing-masing perusahaan yang tidak
mungkin dan tidak layak untuk ditiru oleh siapapun.
  
32
2.6
FILOSOFI BISNIS HM. SAMPOERNA
Logo 
tiga   tangan   merupakan   filosofi   bisnis   HM.   Sampoerna.   Simbol
dilukiskan dengan gambar tiga tangan yang
menghadap ke arah yang berbeda, yang
artinya mewakili tiga pihak yang berbeda, yakni produsen, pedagang dan konsumen.
Maksudnya adalah, untuk mencapai kesuksesan, perusahaan harus bisa menjamin
bahwa ketiganya sama-sama berbagi keuntungan.
Filosofi bisnis sampoerna digunakan untuk men-deliver credibility, leadership
dan loyalty kepada stakeholder-nya. Berikut ini akan dibahas isi dari logo tiga tangan:
1.   Produsen
Produsen adalah
salah satu
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
”Tiga
Tangan”
HM. Sampoerna. Produsen di sini berarti perusahaan secara keseluruhan. Tujuan
dari semua produsen adalah
mendapatkan laba yang
memuaskan, demikian juga
dengan HM. Sampoerna sebagai produsen rokok kretek yang ternama.
2.   Pedagang
Pedagang adalah kunci untuk menjamin ketersediaan produk HM. Sampoerna di
pasar sehingga konsumen selalu mendapatkan produk HM. Sampoerna.
3.   Konsumen
Konsumen HM. Sampoerna berarti pemakai produk HM. Sampoerna baik berupa
Dji
Sam Soe,
A
Mild,
Sampoerna
Hijau
dan
lainnya.
Oleh
karena
itu,
HM.
Sampoerna harus menjadi corporate brand. HM. Sampoerna hatus menyakini
bahwa
konsumen
secara
konsisten melihat
nama
HM.
Sampoerna
membawa
atribut-atribut  produk  positif  dan  atribut
image
yang  terkuat  di  antara  semua
  
33
brand Indonesia.
Konsumen
tahu
bahwa
Sampoerna berarti kualiatas tembakau
terbaik, dan citra premium. Hal itu berarti konsumen ”membeli” nama perusahaan
bersama produk. Oleh karena itu, HM. Sampoerna berusaha untuk
mempertahankan dan meningkatkan program quality assurance sebagai
jaminan
agar produk yang dihasilkan sesuai dengan yang dijanjikan. Dengan demikian
konsumen akan memperoleh produk istimewa dengan harga yang wajar.