BAB 2
LANDASAN TEORI
2. 1
Coping
2. 1. 1 Definisi Coping
Coping
didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah
secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan/ atau internal tertentu yang
dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang (Lazarus & Folkman,
1984).
Coping
dapat
juga
dikatakan sebagai
bentuk
adaptasi
karena
coping
merupakan bagaimana cara
seseorang
bereaksi
terhadap
sebuah
stimulus
yang
didapat
dari
lingkungannya (Costa, Somerfield, &
McCrae,
1996 dalam Primaldhi
2006).
Sejalan dengan Lazarus dan Folkman, Pearling dan Schooler, 1978 (dalam
Ivancovich, 2004)
mendefinisikan
coping
sebagai tanggapan
terhadap ketegangan
hidup yang berfungsi untuk mencegah, menghindari, atau mengendalikan gangguan
emosi.
Coping
yang cukup baik ditandai dengan kemampuan seseorang untuk dapat
tetap
berdiri
sendiri dalam
menghadapi krisis hidup
dan mengendalikan stres
yang
muncul dari masa krisis tersebut (Pearling dan Schooler, 1978 dalam
Ivancovich,
2004).
|
2. 1. 2 Pembagian Coping
Lazarus
dan Folkman (1984),
membagi
coping
yang
dilihat
dari
fungsinya
menjadi
dua
bagian
yaitu
problem-focused coping
dan
emotion-focused coping.
Secara umum,
Lazarus
dan
Folkman (1984)
menjelaskan bahwa
emotion-focused
coping
muncul pada keadaan mengancam, berbahaya, dan menantang yang sudah
tidak
dapat
diubah
lagi
kondisinya.
Sedangkan
problem-focused
muncul
saat
kondisinya masih ada kemungkinan berubah dan dapat diperbaiki.
Problem-focused coping
mengarah
pada
penyelesaian
masalah,
seperti
mencari informasi mengenai suatu masalah, mengumpulkan solusi-solusi yang
dapat
dijadikan
alternatif,
mempertimbangkan alternatif
dari
segi
biaya
dan
manfaatnya, memilih
alternatif,
dan
menjalani
alternatif
yang
dipilih
(Lazarus
&
Folkman,
1984).
Jadi
dalam
problem-focused
tidak
hanya
berencana
sebanyak
mungkin, tapi segera melakukan rencana terbaik dari semua pilihan yang ada.
Emotion-focused coping
menurut
Lazarus
dan
Fokman
(1984),
merupakan
sekumpulan proses kognitif yang diarahkan untuk mengurangi penderitaan
emosional dan mencakup strategi seperti menghindari, meminimalisir, menjaga
jarak, selektif
memilih perhatian, perbandingan positif, dan mencari nilai positif dari
sebuah
peristiwa
negatif.
Orang
menggunakan
emotion-focused
untuk
mempertahankan harapan
dan
optimisme,
menyangkal
fakta
dan
implikasinya,
menolak
mengakui
hal
terburuk,
bertindak
seolah-olah
hal
yang
terjadi bukan
hal
yang penting,
dan lainnya di mana kesemua
proses tersebut
memberi
sebuah
|
penipuan
atau
distorsi
kenyataan pada
diri mereka
sendiri
(Lazarus
&
Folkman,
1984).
Vitaliano,
Russo, Carr, Maiuro,
dan
Becker (1985,
dalam
Primaldhi, 2006)
dalam alat ukurnya yang merevisi alat ukur
Ways of Coping
dari Lazarus & Folkman
(1984), membagi
emotion-focused coping
ke dalam tiga dimensi yaitu
1.
Self
blame
merupakan
cara
seseorang mengatasi
masalah dengan
mengakui
bahwa
masalah yang
ada
merupakan akibat dari
dirinya
sendiri,
2.
Avoidance
merupakan cara
seseorang mengatasi
masalah
dengan
menghindar atau melarikan diri dari masalahnya, dan
3.
Wishful
thinking
merupakan cara seseorang
meredam
masalahnya
dengan
membayangkan bahwa
masalahnya
tidak
ada
atau
sudah
selesai.
Pada umumnya pada situasi yang sangat stres
ful
atau tak terkendali individu
akan mengakui adanya sesuatu yang lebih berkuasa daripada dirinya (Pargament,
1997).
Pargament
(1997), mengemukakan
jenis
coping
yang berfokus
pada
religi
yaitu
cara seseorang menyelesaikan masalah dengan meningkatkan ritual
keagamaan
karena
percaya
Tuhan
akan
membantu
menyelesaikan masalah.
Manfredi
&
Picket
(1987,
dalam
Primaldhi 2006)
menemukan bahwa
sembahyang
adalah
coping
yang paling sering dipakai oleh orangtua. Kebanyakan orang
Indonesia
menggunakan strategi
coping
berfokus
religi
saat
menghadapi
stresor
tertentu (Dahlan, 2005).
|
Dinamika dan perubahan yang menjadi ciri c
oping
sebagai proses bukanlah
sesuatu
yang
acak,
mereka
adalah
fungsi
dari
penilaian
terus-menerus dan
perubahan dalam hubungan antara orang dan lingkungannya (Lazarus & Folkman,
1984).
Strategi
coping
dipilih
berdasarkan penilaian kognitif
terhadap stresor
dan
penilaian
pada
sumber daya,
kemudian
individu menetapkan strategi
coping
yang
dirasa efektif melalui identifikasi terhadap sumber daya yang dimilikinya (Lazarus &
Folkman, 1984).
2. 1. 3 Hubungan Coping dengan Anticipatory grief
Penelitian sebelumnya tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara
problem-focused coping
dengan depresi, kecemasan, stres, dan kesehatan
orangtua yang merupakan gejala dari
anticipatory grief
(Barrera, DAgostino, Gibson,
Gilbert, Weksberg, 2003). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lazarus
&
Folkman (1984) bahwa orang akan menggunakan
problem-focused coping
apabila
masalah yang dihadapi masih dapat diubah dan diperbaiki.
Penelitian menemukan adanya
hubungan
yang
positif
antara
emotion-
focused coping
dengan
stres
pada
orangtua yang memiliki
anak dengan
kanker.
Penelitian
yang
dilakukan Barrera, et.
al.
(2003)
menemukan
bahwa
penggunaan
emotion-focused coping
berkorelasi positif dengan
depresi,
kecemasan, stres,
dan
kesehatan orangtua yang kesemua itu merupakan simtom-simtom
anticipatory grief
.
Penggunaan
emotion-focused coping
lebih
banyak
ditemukan pada orangtua
yang
memiliki anak
dengan
kanker
dibandingkan dengan orangtua
yang
memiliki
anak
berpenyakit akut lainnya. Hal ini membuat tantangan tersendiri bagi orangtua yang
|
memiliki anak kanker untuk mengatur respon emosinya (Barrera et al., 2003).
Respon emosi sangat penting untuk dikendalikan
pada masa
anticipatory
grief
karena akan berdampak pada emosi anak
juga. Seperti yang ditemukan Spinetta,
Rigler & Karon, 1974 (dalam Rando, 1984), bahwa anak dapat merasakan
perbedaan emosional pada
orang
dewasa
di
sekitarnya
yang
pada
akhirnya
mempengaruhi
tingkah laku
anak
tersebut.
Orangtua
yang
memiliki
anak
dengan
penyakit kanker juga mengalami depresi lebih besar serta mendapat dukungan lebih
banyak daripada orangtua yang memiliki anak dengan penyakit akut lainnya (Barrera
et al., 2003).
2. 2
Anticipatory grief
2. 2. 1 Definisi
Menurut
Lebow
(1976
dalam
Rando,
1984)
anticipatory grief
merupakan
sekumpulan set kognitif, reaksi afektif, budaya, dan sosial mengenai kematian yang
dirasakan oleh
pasien
penyakit
terminal
dan
keluarganya, tetapi
kematian tesebut
belum terjadi. Proses dalam
anticipatory grief
meliputi hal-hal yang dilakukan oleh
keluarga pasien untuk membantu mereka beradaptasi dengan keadaan yang ada.
Eric
Lindemann
adalah
orang
pertama
yang
mengeluarkan konsep
anticipatory grief
pada tahun 1944. Eric Lindemann menggunakan konsep ini pada
saat
Perang
Dunia
kedua,
dimana
ia
membuat penelitian pada
keluarga
yang
ditinggalkan anggota
keluarganya
yang
pergi
ke
medan
perang.
Lindemann
menemukan keluarga yang ditinggalkan melewati masa berduka sebelum kematian
|
anggota
keluarganya
benar-benar
terjadi,
bahkan
menimbulkan masalah
saat
anggota keluarganya tersebut
kembali
ke
rumah dengan
selamat
karena
mereka
sudah menganggap anggotanya tersebut telah tiada
(Fulton &
Fulton, 1971
dalam
Lane, 2005).
Anticipatory grief
menurut Rando, 2000 (dalam Al-Gamal dan
Long, 2010),
merupakan fenomena
yang
meliputi
proses
berkabung,
coping
,
interaksi,
perencanaan, dan
reorganisasi
psikologis
yang
dirangsang
dan
dimulai
saat
menanggapi kehilangan orang yang dicintai pada masa mendatang dan pengakuan
kehilangan yang terkait di masa lalu, sekarang dan masa depan.
Worden,
2003
(dalam
Al-Gamal
dan
Long,
2010),
memberikan definisi
anticipatory grief
sebagai
proses
aktif
dari
masa
berduka
yang
muncul
sebelum
terjadi kehilangan yang sesungguhnya.
Marwit
&
Meuser (2004) dalam
alat
ukurnya
membagi
anticipatory
grief
ke
dalam tiga dimensi, yaitu
1.
Personal sacrifice burden
merupakan dimensi yang menggambarkan
pengorbanan seseorang
,
2.
Heartfelt
sadness
&
longing
merupakan
dimensi
yang
menggambarkan kesedihan seseorang, dan
3.
Worry & felt isolation
merupakan dimensi yang menggambarkan
kecemasan dan perasaan terisolasi.
|
2. 2. 2 Gejala
Gejala
yang terjadi saat
anticipatory grief
sama dengan gejala yang terjadi
saat masa berduka namun saat
anticipatory grief
kematian belumlah terjadi. Gejala
psikis
dan
fisik
yang
ditemukan saat
anticipatory grief,
seperti yang dikemukakan
Lindemann (1944
dalam
Rando,
1984)
antara
lain
adalah
gangguan
makan
dan
pencernaan,
susah tidur, menangis,
lemah,
lelah fisik yang luar biasa, merasa
kosong dan berat, merasa ada yang mengganjal di tenggorokan, kecemasan,
gugup,
kehilangan
atau
kelebihan
gairah
seksual,
berkurangnya energi
dan
kemunduran psikomotorik, gelisah dan mencari-cari kegiatan, serta bernapas cepat.
Fulton dan Fulton (1971 dalam Rando, 1984), menggambarkan empat aspek
dari
anticipatory grief
,
yaitu: depresi, peduli yang berlebihan kepada pasien, latihan
menjelang
kematian,
dan
berusaha
menyesuaikan diri
terhadap
konsekuensi
kematian.
Anticipatory grief
juga
meliputi:
menyerap
kenyataan
bahwa
kematian
merupakan
proses
kehilangan
selamanya,
menyelesaikan urusan
yang
belum
terselesaikan, mulai
mengubah
asumsi
mengenai
kehidupan
dan
identitas,
dan
membuat rencana masa depan sehingga mereka tidak akan merasa mengkhianati
kematian.
2. 2. 3 Dampak
Anticipatory grief
menurut
Rando
(1984)
dapat
memiliki
efek
positif,
yaitu
dapat
mempercepat pengasuh
membantu
pasien
dengan
penyakit
kronis
mengantisipasi masa berduka mereka sehingga saat kehilangan mendekat mereka
dapat lebih mempersiapkannya.
Fulton dan Fulton, 1971 (dalam Rando, 1984)
|
menambahkan bahwa
periode
antisipasi
dapat
mengurangi
kesedihan
yang
ditampilkan oleh
keluarga
yang
ditinggalkan
pada
masyarakat
umum
setelah
kematian benar-benar datang.
Selain
efek positif,
anticipatory grief
juga memiliki efek
negatif.
Fulton
dan
Fulton, 1971 (dalam Rando, 1984) menggambarkan empat aspek
anticipatory grief
,
yaitu
depresi,
perhatian terlalu
terfokus
pada
pasien,
dibayangi oleh
kematian,
berusaha
dan
menyesuaikan diri
pada
kematian.
Rando
(1984)
menambahkan
bahwa
terdapat
efek
yang
paling
utama
pada
anticipatory grief
yaitu
dukacita
mendalam,
depresi,
dan
kecemasan
yang
terus-menerus dirangsang
oleh
penderitaan sehari-hari, perubahan dan pemisahan fisik yang ditimbulkan penyakit.
Ketidakmampuan untuk
mengontrol
situasi
yang
kurang
menguntungkan
tersebut
dapat
menimbulkan
frustasi
hebat.
Seiring
berkembangnya rasa
cemas
dan
ketidakpastian, berkembang
pula
perasaan
negatif
serta
mengaktifkan
kembali
permasalahan
yang
belum
terselesaikan
baik
di
dalam
maupun
antar
keluarga
(Rando, 1984).
2. 3 Kanker
2. 3. 1 Definisi
Kanker
Sel-sel
dalam
tubuh
manusia
berkembangbiak secara
berurutan
dan
terkontrol.
Ketidakteraturan
dalam
hal
tersebut
dapat
membuat
pertumbuhan
sel
yang tidak terbatas dan biasanya membentuk tumor yang disebut neoplasma
(Tortora & Derrickson, 2006, dalam Sarafino, 2008). Menurut Sarafino (2008)
|
oncoogenes
mengatur pembelahan sel, tetapi proses genetik dan karsinogen dapat
merusak
mereka
sehingga
menyebabkan pertumbuhan
yang
tidak
terbatas.
Beberapa neoplasma tidak berbahaya, atau jinak, tapi yang
lainnya ganas. Kanker
adalah penyakit
sel
yang
dikarakteristikkan dengan
perkembangan sel
yang
tidak
terkontrol yang biasanya membentuk neoplasma ganas (Sarafino, 2008).
2. 3. 2 Kanker pada Anak
Kanker
pada
anak
secara
garis
besar
terus
mengalami peningkatan.
Diperkirakan ada 4100 kasus kanker baru yang ditemukan pada anak di
Indonesia
(Tehuteru,
2009).
Data
dari
Rumah
Sakit
Kanker
Dharmais pada
tahun
2006
menyatakan bahwa sekitar 50% pasien yang datang sudah dalam keadaan stadium
lanjut,
hal
ini
menurut
penelitian
disebabkan oleh
kurangnya
informasi
mengenai
kanker kepada orangtua pasien (Tehuteru, 2009).
Kanker pada anak secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
kanker cair (darah atau
leukemia) dan
padat. Kanker
padat
dapat ditemukan pada
hampir
seluruh
organ
tubuh
anak. Kanker
padat
ini
berupa
benjolan yang dapat
diraba
dan
biasanya
terdapat
di
daerah
mata, leher,
paru,
perut,
kelamin,
tangan,
kaki, dan otak (Tehuteru, 2009).
Data dari RSK Dharmais pada tahun 2010 menyebutkan kanker yang paling
banyak didapat pada
anak
adalah
leukemia
sebanyak 31
kasus,
lymphoma
sebanyak
9
kasus,
retinoblastoma
sebanyak
4
kasus,
wilms
tumor
sebanyak
3
kasus,
osteosarcoma
sebanyak
3
kasus,
rhabdomyosarcoma
sebanyak 2
kasus,
|
neuroblastoma
sebanyak 1
kasus,
nasopharingeal cancer
sebanyak 1
kasus, dan
lainnya sebanyak 9 kasus.
2. 3. 3 Pengobatan dan Efek Sampingnya
Menurut Laszlo, 1987 (dalam Sarafino, 2008) tujuan dari pengobatan kanker
adalah
merawat
penyakitnya
hingga
membebaskan pasien
dari
penyakitnya.
Hal
tersebut dapat terjadi jika semua neoplasma ditemukan dan dapat dihilangkan. Bila
tidak
semua
dapat
dihilangkan, maka
penyakit
tersebut
dapat
hilang
sementara
namun akan muncul lagi suatu saat.
Menurut
Sarafino
(2008),
terdapat
tiga
tipe
pengobatan kanker
yaitu
pembedahan, radiasi, dan kemoterapi (diberi obat dosis tinggi, baik diminum
maupun disuntik).
Dampak
kemoterapi
pada
anak
dapat menyebabkan rasa
sakit
yang lebih besar daripada yang dirasakan orang dewasa, seperti mual dan muntah.
Menurut
Spinetta
(1982)
kehilangan rambut
karena
proses
kemoterapi
dapat
menimbulkan trauma
hebat
dan
merupakan
pengalaman
yang
paling memalukan
bagi kebanyakan anak walaupun rambut itu dapat tumbuh kembali (dalam Sarafino,
2008). Menurut Sarafino (2008) efek yang dapat ditimbulkan dari pengobatan
anatara lain: mual, muntah, iritasi, rasa sakit seperti dibakar, rambut rontok, dan lain-
lain.
Laszlo
(1987,
dalam
Sarafino,
2008)
menerangkan bahwa
kanker
dapat
membunuh secara
tidak langsung dengan
dua
cara
yaitu penyakit
tersebut
yang
memperlemah
kondisi
pasien
dan
baik
penyakit
maupun
pengobatannya dapat
merusak nafsu makan pasien serta kemampuannya untuk melawan infeksi.
|