BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan 
analisis 
pada 
bab 
sebelumnya, 
dapat 
ditarik 
beberapa
kesimpulan untuk menjawab
tujuan pembelajaran
studi kasus ini, yaitu
:
1. 
Mengenai
situasi
kompetisi
dalam
industri
layar
lebar
di
Indonesia,
kita
dapat
melihatnya
melalui
analisa 5 Forces Porter sebagai berikut
:
•  Situasi 
kompetisi 
industri 
bioskop 
di  Indonesia 
berada 
dalam 
tingkatan
sedang  karena  masih 
terkonsentrasi 
di  beberapa 
wilayah  saja.  Pemimpin
pasar
menguasai
pangsa
pasar
hampir
70%
dengan
jumlah
pemain
sedikit
dan 
jumlah 
penonton 
yang 
tidak 
sampai 
sepertiga 
populasi 
Indonesia,
sehingga struktur pasar menjadi differentiated
oligopoly.
Ancaman
Blitzmegaplex
sebagai pendatang
baru memiliki
derajat
sedang
karena
tingginya
entry dan exit barrier
dalam
industri
bioskop Indonesia.
• 
Ancaman
kekuatan
produk
pengganti
memiliki
derajat
tinggi
karena
barang
subtitusi
seperti VCD/DVD
dan televisi
merupakan
salah satu faktor
matinya
industri bioskop Indonesia
tahun
1995an.
•  Ancaman 
kekuatan  pemasok  memiliki 
derajat  agak  tinggi 
karena  adanya
organisasi
yang terstruktur
dan tidak adanya regulasi khusus
distribusi
film.
172
  
173
•  Ancaman  
kekuatan   pembeli  
memiliki  
derajat   sedang  
karena   jumlah
konsumen
terbatas
dan
pemain
di industri
ini
masih
sedikit
sehingga
konsumen
tidak memiliki
banyak pilihan.
2. 
Kompetitor
utama
Blitzmegaplex
adalah
21
Cineplex
sebagai
pemimpin
pasar.
Kompetitor
langsung
Blitzmegaplex
adalah
perusahaan
bioskop
lain
di area
geografi
yang sama
antara
lain MPX
dan
Surya
M2.
Kompetitor
tidak
langsung
Blitzmegaplex
adalah
barang
subtitusi
maupun
industri
lain
yang
menawarkan
pemenuhan
kebutuhan
konsumen
yang sama,
misalnya
home
entertainment
(DVD/VCD),
restaurant,
tempat
karaoke,
club, dan
lain-lain.
Tujuan
utama
kompetitor
tersebut
adalah
meningkatkan
pangsa
pasar
dan total
market
serta
meraih
keuntungan.
Kekuatan
21 Cineplex
sebagai
pemimpin
pasar
adalah
sumber
daya
yang
besar
dan
memadai,
jaringan
yang
luas,
pengalaman
dalam
industri
(experience),
share
of mind
yang
kuat
dalam
benak
konsumen.
Kelemahan
21 Cineplex
adalah
produk
mereka
telah
mencapai
siklus
dewasa
(mature)
sehingga
inovasi
yang
hendak
dilakukan
lebih
sulit daripada
inovasi
pada
produk
yang
masih
dalam
tahap
pertumbuhan.
Kelemahan
21
Cineplex
bila
dibandingkan
dengan
Blitzmegaplex
adalah
variasi
film yang
terbatas
kebanyakan
terdiri
dari
film
Hollywood
dan
film
nasional,
serta
jadwal
tayang
yang relatif sebentar karena antrian film lain untuk diputar.
3. 
Blitzmegaplex
sebagai
penantang
pasar
pada
awalnya
memasuki
pasar
dengan
strategi serang
flanking attack
karena bermain
dalam segmen
yang sama
dengan
Cinema
XXI
di
mana
pada
saat
itu
pemasukan
21
yang
berasal
dari
Cinema
  
174
XXI
bukan
merupakan
pemasukan
terbesar.
Strategi
ini
cukup
berhasil
karena
mampu   merebut   pangsa   pasar   kompetitor  
hingga   50%   di   lokasi  
yang
berdekatan 
yaitu 
Blitzmegaplex 
PVJ 
Bandung 
dengan 
Cinema 
21 
Ciwalk.
Namun
pada
perkembangannya,
21 Cineplex
melakukan
strategi
pertahanan
blocking 
di  Jakarta 
yaitu  dengan 
mengubah 
beberapa  Cinema
21 
menjadi
Cinema
XXI dan mendirikan
bioskop
baru dengan brand
Cinema
XXI sehingga
otomatis 
kedua  perusahaan 
kini 
bermain  di  segmen 
yang 
sama 
dan 
kedua
segmen tersebut
merupakan
pemasukan
terbesar.
Pertahanan
blocking ini
mengakibatkan
Blitzmegaplex
terpaksa
menghadapi
frontal
attack dan
pertumbuhan
pasar
serta
perolehan
pangsa
pasar
di Jakarta
tidak
sebaik
di
Bandung.
4. 
Dalam 
menghadapi 
strategi 
pertahanan 
21 
Cineplex, 
Blitzmegaplex 
terus
berupaya
menelurkan
ide-ide
kreatif
untuk
membentuk
competitive
advantage,
di
mana
strategi
ini
termasuk
dalam
delapan
aturan
menghadapi
frontal
attack.
Delapan
aturan
main
tersebut
antara
lain berfokus
pada satu segmen,
satu
kompetitor 
dan  satu 
kelemahannya, 
memiliki 
competitive 
advantage,
melakukan
kejutan
(surprise),
bergerak
cepat
(speed),
meninggalkan
rute untuk
mengalah,
dan
menilai
apakah
suatu
segmen
benar-benar
berharga.
Persaingan
di Jakarta
sangat
sengit,
sehingga
pada
akhirnya
muncul
isu
tuduhan
silent
embargo
yang
dilakukan
21 Cineplex
terhadap
Blitzmegaplex.
Dari 8 aturan
menghadapi
frontal
attack
tersebut,
beberapa
yang
dilakukan
Blitz antara
lain
fokus
dan
competitive advantage.
Fokus
yaitu dengan
membuka
bioskop
hanya
  
175
di lokasi
kunci,
di mana
terdapat
pasar
potensial.
Salah
satu indikator
adanya
lokasi
kunci
tersebut
adalah
besarnya
admisi
21
Cineplex,
sehingga
indikator
ini 
dapat  
dimanfaatkan   Blitz   sebagai   salah   satu   cara   berorientasi  
pada
kompetitor.
5. 
Strategi
inovasi
yang
dilakukan
oleh
Blitzmegaplex
bervariasi.
Strategi
inovasi
ini
merupakan
salah
satu
strategi
yang
dilakukan
Blitz
dalam
melaksanakan
8
aturan
dalam
menghadapi
frontal
attack, yaitu strategi
inovasi
sebagai
competitive
advantage.
Jika
dikaitkan
dengan
konsep
one stop
entertainment
yang
diusung,
strategi
yang
dilakukan
Blitzmegaplex
sudah
tepat
karena
Blitz
tidak  
hanya  
menawarkan  
hiburan   menonton   film   saja.  
Untuk  
menjadi
perusahaan
yang
berorientasi
kepada
konsumen,
Blitzmegaplex
juga telah
melakukan
hal yang
tepat
dengan
memanfaatkan
situs
Facebook
utnuk
berinteraksi
dengan
konsumen
secara
langsung,
Blitz
juga aktif dalam
mendukung
komunitas
perfilman
Indonesia.
Dari berbagai
strategi
yang
dilakukan
oleh
Blitz,
beberapa
di antaranya
mudah
ditiru
oleh
kompetitor.
Strategi
yang
mudah
ditiru
misalnya
penawaran
velvet
room
dan
dining
cinema
di mana
strategi
tersebut
dapat
difasilitasi
oleh
merk
premium
kompetitor
yaitu
The
Premiere.
Strategi
yang
sulit ditiru
misalnya
penawaran
Satin
class
dan
Blitzcard.
Satin
class
sulit ditiru karena konsep
podium
seperti
layaknya
teater
lebih
sulit
diterapkan
di studio
XXI
yang
berkonsep
satu
studio
memiliki
jenis
kursi yang
sama.
Sedangkan
Blitzcard
meskipun
ditiru
oleh
M-Tix
yang
secara
konsep
hampir
sama,
tetapi
sangat
berbeda dalam
hal
utiliti
karena M-Tix
tidak
  
176
dapat
digunakan
sebagai
alat
pembayaran
promosi
21
lainnya
seperti
layaknya
Blitzcard
yang
dapat digunakan untuk pembayaran promo Blitz
lainnya.
5.2.
Lesson Learnt
Pembelajaran
yang dapat ditarik
dari studi kasus
ini antara
lain
:
Untuk  
menghadapi   kompetitor  
yang  
kuat,  
suatu   perusahaan  
tidak  
bisa
melakukan
frontal
attack
karena
berhadapan
dengan
sumber
daya yang
kuat.
Contohnya,
pertumbuhan
pangsa
pasar
Blitz
di Jakarta
meskipun
tinggi
tetap
belum   sebaik   Bandung   karena   di   Jakarta,   kompetitor   yang   merupakan
pemimpin
pasar
mengerahkan
sumber
daya mereka
untuk
menghambat
gerakan
Blitz.
Serangan 
frontal
bisa
mendorong 
kompetitor 
melakukan  berbagai  cara
yang
tidak
diperkirakan.
Contohnya
kompetisi
antara
Blitz
dengan
21 mulai
menyinggung
masalah
business
ethic yang
mengakibatkan
Blitz
melaporkan
21
ke KPPU.
Kedarangan
pendatang
baru
membuat
perusahaan
lama
lebih
mawas
diri
pada
eksistensi
mereka.
21
sebelum
kehadiran
Blitz
selama
lebih
dari 20
tahun
tidak
melakukan 
perubahan 
yang  signifikan, 
namun 
sejak  kehadiran 
Blitz 
hanya
dalam waktu 4
tahun begitu banyak
perubahan
terjadi
dalam 21.
  
177
5.3.
Rekomendasi
Berdasarkan
analisis bahwa
perolehan
pangsa pasar
Blitzmegaplex
di Jakarta
tidak 
sebagus 
Bandung, 
ada  beberapa 
rekomendasi 
yang 
diberikan 
agar
Blitzmegaplex ke
depannya dapat
lebih baik lagi :
Tetap
melakukan
delapan
aturan
menghadapi
frontal
attack
di
beberapa
wilayah
yang
memang
tidak
dapat
mundur
ke arah
flanking
attack
lagi,
misalnya
di
Jakarta dan
Bandung.
Mengacu
pada
delapan
aturan
menghadapi
frontal attack, ada beberapa
hal
yang
perlu
ditingkatkan,
yaitu
Fokus.
Fokus
terhadap
satu
segmen,
satu
kompetitor
dan  satu  kelemahannya. 
Blitzmegaplex 
memiliki 
keuntungan 
karena
penyebaran
gedung
bioskopnya
tidak
sebanyak
21
Cineplex,
hal ini dapat
mempermudah
penerapan
strategi
fokus
terhadap
kompetitor
langsung
di suatu
area.
Misalnya
di daerah
Senayan,
Blitzmegaplex
berfokus
terhadap
Plaza
Senayan,
di daerah
Thamrin
Blitzmegaplex
berfokus
terhadap
Studio
XXI
EX,
dan
di daerah
Gading
Blitzmegaplex
berfokus
terhadap
XXI
MKG.
Untuk
menemukan
kelemahan
kompetitor
yang
vital, Blitzmegaplex
dapat
membentuk
tim survey dan
melakukan investigasi.
Untuk
memasuki
area
baru
misalnya
di
Surabaya
atau
Makassar,
Blitz
dapat
menggunakan
strategi
menyerang
yang
lain. Blitz
pada
awalnya
menerapkan
strategi
Flanking
secara
geografi
yaitu
menyerang
daerah
di mana
21
kurang
mengerahkan
kekuatannya (Bandung).
Di daerah yang
baru
nanti, kemungkinan
21
Cineplex
telah
mengadakan
persiapan
untuk
antisipasi
terhadap
kehadiran
  
178
Blitzmegaplex.
Sebagai
contoh
pra kehadiran
Blitz di Surabaya,
21
telah
mengantisipasi
dengan
mendirikan
2
bioskop
Cinema
XXI
baru
di daerah
Surabaya
Barat
yaitu
di
Surabaya
Town
Square
dan
Landmarc.
Blitzmegaplex
dapat
menerapkan
strategi
lain seperti
encirclement
attack, yaitu
membidik
2
segmen sekaligus
yaitu segmen ekonomi
kelas A dan kelas B.
Kekuatan 
21 
Cineplex 
salah 
satunya 
adalah 
brand 
awareness 
konsumen
terhadap
merk
21,
terbukti
dari
persentase
share
of
mind
dan
share
of
heart
yang 
lebih 
tinggi 
dibanding 
Blitzmegaplex 
pada 
polling 
yang 
dilakukan
anggota
forum
kaskus
dan
kafegaul.
Untuk
menghadapi
hal
ini, Blitzmegaplex
perlu
memikirkan
solusi
untuk
meningkatkan
brand
awareness.
Blitzmegaplex
dapat
melakukan
beberapa
cara
misalnya
bekerja
sama
atau
bersinergi
dengan
perusahaan  
yang  
lebih  
besar  
untuk  
mengenalkan  
brand  
kepada  
calon
pelanggan,
sebagai
contoh
dengan
Bank
Mandiri.
Selama
ini 21
Cineplex
melakukan
kerja sama
dengan
BCA yang notabene
memiliki
jumlah
nasabah
terbesar  di  Indonesia,  sedangkan 
Blitzmegaplex 
bekerja  sama  dengan 
bank
yang target
pasarnya
kurang
sesuai dengan
target
pasar Blitzmegaplex
yaitu
kalangan
muda. Bekerja
sama dengan
perusahaan
yang memiliki
jumlah
pelanggan
besar
dapat
memperkenalkan
merk
Blitz
lebih
luas lagi. Cara
lain
misalnya
dengan
menerapkan
advestising
atau pemasaran
yang
interaktif
sehingga
pelanggan
tidak
hanya bersikap
pasif
menerima
tetapi
dapat
aktif
memberi respon.
  
179
Untuk 
memberikan 
apa 
yang 
dibutuhkan 
dan 
diinginkan 
konsumen 
dalam
rangka
menjadi
perusahaan
yang
consumer-oriented,
strategi
diferensiasi
yang
dilakukan  selain 
dengan 
diferensiasi 
produk,  bisa  juga  dengan  diferensiasi
proses. 
Blitzmegaplex 
perlu 
melakukan 
penelitian 
pasar 
untuk 
mengetahui
proses
yang
dilakukan
oleh kompetitor
kemudian
mengkaji
ulang
dengan
customer
needs and
wants, untuk
menghasilkan
strategi
diferensiasi
dalam
pengembangan  
proses,  
misalnya   ketepatan   proses,   kontrol   kualitas,   dan
kecepatan
waktu
yang
dibutuhkan
untuk
merespon
kebutuhan
konsumen.
Hal
ini bermanfaat
juga
untuk
meningkatkan
kepuasan
pelanggan
(consumer
satisfaction) terhadap
perusahaan dibanding
terhadap
kompetitor.
Setelah
melakukan
pelaporan
ke
KPPU,
Blitzmegaplex
sebaiknya
melakukan
brand
communication
untuk
menghindari
persepsi
negatif
pasar
yang
mungkin
timbul sebagai
efek samping
publikasi media
massa.