2
Benedict
dalam
Doi
(1992:45)
menyatakan
bahwa
salah
satu
perbedaan
psikologis
Jepang dengan
negara
lain adalah bahwa Jepang
memiliki
mentalitas yang berdasar pada
rasa
malu,
sedangkan
negara
barat
merupakan
negara
yang
bermentalitas rasa
dosa.
Berbagai
jurnal
internasional mengenai psikologi juga
banyak
membahas
mengenai
hal
ini, dalam
usaha
mencoba
mengenal bangsa Jepang
secara
lebih personal
lagi walaupun
beberapa di antaranya mengalami sanggahan langsung dari ahli psikologi Jepang. Hal
ini
membuat
saya
pun
bertanya-tanya tentang
apakah
dasar
psikologis
dibalik
individu-
individu negara sakura ini.
Bester dalam Doi (1992:ix), seorang penerjemah bahasa Jepang-Inggris asal Amerika
mengatakan suatu pendapat
yang
membuat saya semakin ingin
melihat dasar pemikirian
dari
tingkah
laku
masyarakat
Jepang.
Dia
menyatakan bahwa
hanya
mentalitas
yang
berakar
pada
Amae
saja
yang
dapat
menghasilkan
suatu
bangsa
yang
tidak
realistis,
tetapi
memiliki wawasan
yang
jelas
akan
kondisi
dasar
umat
manusia
dan
begitu
tenggang rasa
sekaligus cinta diri, begitu spiritual, begitu penurut dan
juga brutal. Suatu
bangsa
yang dari
sudut pandangnya sendiri
sangat
normal dan
manusiawi dalam segala
hal. Hal
ini diungkapkan
Bester
setelah
ia
menerjemahkan salah
satu buku
teori
psikologi karangan Takeo
Doi
pada tahun 1953.
Dalam kalimatnya, Bester seakan-akan
mengatakan bahwa
Amae
adalah
kunci
dari
setiap
perilaku
masyarakat
bangsa
Jepang.
Dalam
bukunya,
Doi
(1992:9)
menjelaskan
bahwa
Amae
merupakan
suatu
faktor
vital
dalam
memahami mentalitas
orang Jepang. Namun keanehan
yang
saya
rasakan adalah
walaupun berkali-kali Doi mengatakan bahwa Amae merupakan suatu hal
yang
universal
yang
sebenarnya dapat
ditemukan
di
hampir
seluruh
dunia,
namun
hingga
sekarang
ini
fakta
yang
saya
temukan
adalah
hanya
bahasa
Jepang
yang
memiliki
perbendaharaan
kata
yang
tepat
untuk
gejala
psikologis
ini.
Yushi
seorang
dekan
fakultas
kedokteran
|