Home Start Back Next End
  
28
Dua
tahun
terakhir,
pemerintah
Bali
melarang
adanya
arak-arakan
ogoh-ogoh.
Sebab,
kadang-kadang memang
terjadi
kericuhan
ketika
membawa
ogoh-ogoh.
Sepertinya
larangan
itu berlebihan.
But, begitulah adanya. Sejak taun
lalu, tidak ada
lagi
pawai
ogoh-ogoh.
Sebagai
gantinya, pemkot
Denpasar
ngadain
lomba
itu
tadi.
Kali
ini
dalam rangka ultah Denpasar.
Karena lomba, bentuk ogoh-ogohnya pun tidak
lagi konvensional berupa raksasa
berwajah   jelek.   Kemarin   misalnya,   ada   ogoh-ogoh   yang   berwujud   perempuan
berpakaian minim
membawa
jarum
suntik
dan
minuman
keras.
Ada
tulisannya Dewi
Kenikmatan Penyakit Masyarakat.
Tiap
desa
adat
di
Denpasar
menampilkan ogoh-ogoh
berukuran besar. Ada
yang
bertugas
memikul,
memainkan musik,
menari,
atau
membawa
tulisan.
Dari
pukul
satu
siang sampai sembilan malam,
satu per satu ogoh-ogoh
itu diarak. Bukan
menang kalah
yang dicari. Tapi bagaimana bisa
membuat tradisi
itu tetap bertahan. Karena
inilah hidup
di Bali sangat menyenangkan. Tiap ritual selalu bernuansa seni.
Dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi, umat Hindu, khususnya yang ada di
Bali, mengadakan pawai Ogoh-Ogoh.
Pawai
ini berlangsung sehari sebelum
Hari Raya Nyepi. Dahulu pawai
ini diarak
antar
Banjar
pada
satu
tempat.
Berhubung
rawan
dengan
adanya
persinggungan
emosi
yg
mudah
meletup
antar
pemuda
Banjar,
maka
kebijakan tersebut
diubah
dengan
pengadakan parade pada tiap - tiap
Banjar. Tidak boleh
mengarak Ogoh-ogoh pada jalur
Banjar lain.
Ogoh-ogoh selalu digambarkan sebagai sosok-sosok yang jelek, wujud berbentuk
Kala, Buta,
monster dan
lain sebagainya. Penggambaran
ini sebagai
cerminan dari
sisi
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter