surat kabar-surat kabar terbitan Indonesia mulai berkembang. Isi dari surat kabar terbitan
anak bangsa ini umumnya bersifat perjuangan.
Pada saat itu berkembang juga surat kabar-surat kabar terbitan warga Indonesia
keturunan Tionghoa. Surat kabar-surat kabar tersebut menggunakan bahasa Tionghoa
Melayu
dan
menjadi
sarana
efektif
untuk menyebarluaskan
berita
perjuangan
nasionalisme. Harian Sin Tit Po,
Harian Matahari, dan Harian
Sin Po,
merupakan surat
kabar-surat kabar yang memuat berita perjuangan nasionalisme. Pada tahun pertama
setelah
proklamasi
kemerdekaan
1945,
pers Indonesia
menunjukkan
jati
dirinya
sebagai
pers perjuangan. Akan tetapi pada tahun 1950, pers Indonesia mulai tergoda dan hanyut
dalam dunia politik praktis. Pers
Indonesia terjebak diantara partai politik
yang ada pada
saat itu dan pers tidak lagi mengabdi kepada
kebenaran
untuk
rakyat, melainkan untuk
kemenangan para pejabat partai.
Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers
nasional mengalami
masa suram. Setiap
perusahaan
penerbitan
pers
diwajibkan
memiliki
surat
izin
terbit
(SIT).
Pada
tanggal
1
Oktober
1958,
Penguasa
Darurat
Perang
Daerah
(Paperda)
Jakarta
Raya
menetapkan
batas akhir pendaftaran bagi seluruh penerbitan pers untuk memperoleh surat izin
terbit(SIT).
Setelah terjadinya G30S/PKI tahun 1965 terjadi perubahan besar pada bangsa
Indonesia, khususnya terjadi perubahan pada
warga
Indonesia keturunan
Tionghoa. Pada
tahun 1966 rezim
militer Orde Baru mengeluarkan larangan perayaan ritual kepercayaan,
tradisi dan adat-istiadat Tionghoa
di luar rumah. Kemudian
dikeluarkan
anjuran
agar
nama-nama
Tionghoa diganti menjadi nama-nama
Indonesia.
Selanjutnya
diumumkan
larangan
mengimpor
dan
mengedarkan
barang-barang
cetakan
dalam
bahasa
Tionghoa.
|