Home Start Back Next End
  
Tionghoa
memang
mendominasi perdagangan eceran di Jawa sejak zaman Tanam Paksa
sampai dasawarsa awal abad ke-20. Bakat dagang dan kelihaian orang Tionghoa dalam
bernegosiasi menimbulkan rasa ketidakpercayaan dan rasa permusuhan di kalangan
penduduk pribumi yang lebih sering melakukan negosiasi bisnis dengan orang Tionghoa.
Dalam era
1870-an,
orang
Tionghoa-lah
yang
berani
menyuarakan
pendapat
mereka tentang berbagai masalah yang terjadi melalui pers. Hal ini dapat dilihat
dari
keluhan-keluhan
yang
ditulis
dalam sepucuk
surat
oleh
orang
Tionghoa
asal
Kupang
dalam Hindia-Nederland
edisi
8
dan
12
Januari
1881
dan
kemudian
dikutip
Bintang
Timor.   Sepucuksurat   tersebut   berisikan   ”Ketidakbahagian”   orang   Tionghoa   atas
kebijakan Belanda pada orang Tionghoa. Hal ini terus menggema dalam sejumlah surat
kabar
yang
lebih
populer
di
Batavia,
Semarang
dan
Surabaya
sampai
menjelang
akhir
abad ke-19.
Surat
kabar
tidak
hanya
menyediakan
orang
Tionghoa
sebuah
forum untuk
membeberkan
pandangan
mereka
dan
menguji kebolehan
mereka
menulis
syair
dalam
ragam Melayu
rendah.
Surat
kabar
juga
merupakan
media
untuk
saling
mencerca
dalam
perseteruan pribadi, bahkan dengan sesama anggota komunitas
mereka. Namun, kecaman
terhadap sesama orang
Tionghoa bersifat konstruktif.
Melalui
pers, orang Tionghoa bisa
membahas berbagai persoalan dalam komunitas
mereka. Pada abad- 19, tampak beberapa
bentuk
kesadaran
budaya
dipromosikan
oleh
pembaca
Tionghoa
peranakan
dalam pers
berbahasa Melayu.
Dengan adanya krisis ekonomi 1884, menyebabkan jatuhnya harga gula dan kopi
di pasar dunia, mendorong beberapa pengusaha Tionghoa mencoba peruntungan mereka
dalam  bisnis  percetakan.  Pada  6  April  1886,  Bintang  Timor,  surat  kabar  berbahasa
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter