melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias.
Sebagian
dari
mereka
berpegang
pada
adat
Tionghoa
(misalnya
penduduk
dalam
kota
dan Cina Benteng di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan
orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, misalnya: di sekitar Parung). Tempat
tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara. Keturunan
orang India -
orang Koja dan orang Bombay-
tidak begitu besar jumlahnya. Demikian
juga dengan orang
Arab, sampai orang
Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang
lebih
tahun
1840.
Banyak
diantara
mereka yang
bercampur
dengan
wanita
pribumi,
namun
tetap
berpegang
pada
ke-Arab-an
mereka.
Di
dalam kota,
orang
bukan
Belanda
yang
selamanya
merupakan
mayoritas
besar,
terdiri
dari
orang
Tionghoa,
orang
Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak
dari segala macam suku. Jumlah
budak pada saat itu kurang lebih setengah dari total penghuni Kota Batavia.
Orang
Jawa
dan
Banten
tidak
diperbolehkan
tinggal
menetap
di
dalam kota
setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota
Batavia
berjumlah
27.086
orang.
Terdiri
dari
2.740
orang
Belanda
dan
Indo,
5.362
orang Mardijker,
2.747
orang
Tionghoa,
1.339
orang
Jawa
dan Moor
(India),
981
orang
Bali
dan
611
orang
Melayu.
Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari
bermacam-macam suku dan bangsa. Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar
penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka
cepat
berubah
karena
banyak
yang
mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena
itu, jumlah
mereka
turun dengan
cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali
kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel
Jakarta. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang
|