19
daerah bisa menyatukan rakyat sangat erat, lebih erat dari rantai besi
sekalipun.
Hingga hujan reda, dan Bung Karno mengakhiri pidatonya, tak satu pun orang
bergeser dari tempatnya berdiri. Salah seorang pengikut Bung Karno
berkomentar, Ini adalah suatu kejadian yang tidak dapat dilakukan oleh orang
semata-mata. Bakat yang demikian itu terletak antara Bung dan alam.
Kali berikutnya, Bung Karno berpidato di Solo, di mana putri-putri keraton
yang cantik- cantik keluar dari pingitan hanya untuk mendengarkan pidatonya.
Bahkan salah seorang yang sedang hamil tua menepuk-nepuk perutnya
berkali-kali sambil menggumamkan kata, Saya ingin seorang anak seperti
Sukarno. Di tengah pidato, mendadak muncul ide dadakan Sukarno. Ia
melepas pecinya, dan menyerahkan kepada salah satu putri keraton untuk
berkeliling mengumpulkan uang untuk pergerakan.
Tidak berhenti sampai di situ. Kisah lain lebih bernuansa tragi-komedi, ya
tragis, ya komedis. Kisah terjadi di Gresik, Jawa Timur. Di tengah
kerumuman massa, tampak seorang pejabat kolonial yang kebetulan
keturunan pribumi. Ia harus memantau kegiatan pidato Sukarno, dan harus
membuat laporan tertulis kepada pemerintah Hindia Belanda.
Pejabat kolonial keturunan pribumi yang disebut patih oleh Sukarno itu,
tampak tekun dan khidmat mengikuti orasi Bung Karno. Ekspresinya sangat
serius, seperti menyimak kata demi kata dengan hati. Dan, manakala meledak
tempik-sorak massa, ia pun spontan bersorak dan bertepuk tangan penuh
semangat, lupa akan baju seragam kolonial yang dipakainya.
|