Meski kecewa, Affandi menurut. Untuk menghilangkan kesedihannya
tersebut ia semakin giat melukis. Melukis dirinya di depan cermin, atau
melukis ibunya. Semua ini merupakan model yang murah dan praktis. Di
samping itu, latihan teknik semakin dipertajam seperti anatomi, perspektif,
tata warna, dan garis-garis.
Awal Karir Profesional
Salah seorang saudaranya yang bernama
Sabur, berjasa untuk
membiayai sekolah dan mengharapkan agar Affandi melanjutnya sekolahnya
ke
Technishe Hooge School
(THS) sekarang ITB di Bandung supaya
menjadi Insinyur. Bakat melukis yang dimiliki Affandi terlihat jelas saat
duduk di Algemene Middlebare School (AMS) setingkat- SMA.
Ia sering membuat potret, yang kemudian digantung di kamar. Namun
cita-cita menjadi seorang insinyur tidak kesampaian gara-gara Affandi jatuh
dalam ujian akhir ketika masih duduk di bangku AMS-B, dan tak mau
mengulang setahun lagi, sedangkan panggilan jiwanya semakin menggelora
ingin menjadi seorang pelukis. Saat itu dia memutuskan untuk berhenti
sekolah, dan membulatkan tekad untuk hidup sendiri dengan bermodalkan
bakat melukis yang dia miliki. Pada awalnya dia memulai karier sebagai guru
Sekolah Dasar. Di sana pulalah bertemu dengan Maryati salah seorang murid
kesayangannya yang kemudian dijadikan sebagai isterinya. Tak lama
kemudian dia berhenti sebagai guru HIS (SD) karena dia menerima tawaran
bekerja di sebuah perusahaan iklan. Pekerjaan itu memberikan kepuasan bagi
Affandi, karena bisa mengembangkan bakat menggambarnya. Sementara itu
lahirlah anaknya yang pertama, Kartika Affandi, yang ternyata menjadi anak
tunggal mereka, tepatnya tanggal, 27 November 1934. Kartika mewarisi
bakat sang ayah dan dikenal pula sebagai seorang pelukis.
Meskipun pekerjaan di perusahaan iklan dapat mengembangkan bakat
dan keterampilan menggambarnya namun disadarinya bahwa hampir tidak
punya waktu untuk melukis kecuali pada hari Minggu. Maka, ketika dia
mendapat tawaran bekerja sebagai pelukis poster bioskop di Bandung maka
dia pindah ke sana. Pelukis pribumi yang terkenal pada waktu itu hanya
sedikit saja dan bisa dihitung jari, di antaranya Wakidi, Pirngadie, Abdullah
Sr. Mereka pada umumnya pelukis pemandangan yang melukis secara
|