Start Back Next End
  
7
Tahun 1975 mulai muncul Kelompok Sinema Delapan yang dimotori
Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus
mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan
sebagai media ekspresi kesenian. Hingga di tahun 1984 munculnya hubungan
internasional diantaranya dengan para filmmaker Eropa terutama dengan
Festival Film Pendek Oberhausen. Hal itu, membuat film pendek mulai berani
unjuk gigi dimuka dunia. Keadaan ini memancing munculnya Forum Film
Pendek di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan
penikmat film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun
networking yang baik di kalangan pemerhati film.
Tapi, tetap saja hal itu tidak berlangsung lama karena Forum Film
Pendek hanya bertahan selama dua tahun saja. Secara garis besar, keadaan film
pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Karena film pendek
Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara luas
karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri. Tetapi di sisi lain, di dunia
internasional film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari
sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin
Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi.
2.4 Film Fantasi
Film dengan tema fantasi biasanya melibatkan hal-hal magis,
supernatural, makhluk khayalan, ataupun dunia khayalan. Genre
ini dikatakan
berbeda dengan film bertemakan fiksi-ilmiah ataupun film horror. Film fantasi
memiliki elemen magis, mitos, dan hal-hal tak terbayangkan yang merupakan
khayalan.
2.4.1 Sejarah Film Fantasi
1900-1920an
Di era film bisu, film fantasi pertama di buat oleh orang Perancis,
Georges Méliès tahun 1903. Film paling terkenal di era ini adalah film
A Trip to the Moon, The Thief of Bagdad (1924) karya Douglas
Fairbanks, dan Die Nibelungen (1924) dan Destiny (1921) karya Fritz
Lang.
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter