Home Start Back Next End
  
34
memiliki makna kesamaan, namun dalam ritus dan peraturannya
berbeda. 
4. Hindu
Dalam pandangan Hindu, sebagaimana tercantum dalam Kitab
Manusmriti, pernikahan bersifat religius karena ia adalah ibadah dan
sebuah kewajiban. Pernikahan dikaitkan dengan kewajiban seseorang
untuk mempunyai keturunan maupun untuk menebus dosa-dosa orang
tua dengan menurunkan seorang putra. Pernikahan, yang dikenal
dengan wiwaha, diidentikkan dengan samskara (mirip sakramen dalam
Katolik). Ia merupakan sesuatu yang religius, sehingga lembaga
pernikahan ditempatkan sebagai lembaga yang tidak terpisah dengan
hukum agama atau dharma. Pengesahan suatu pernikahan dalam
agama Hindu harus dilakukan oleh seorang Pedande yang memenuhi
syarat untuk itu. 
5. Budha
Dalam pandangan Biksu Prajnavira Mahasthavira, sesuai dengan
ajaran Buddha yang universal, perkawinan adalah sebuah dharma.
Yang paling diutamakan adalah agar perkawinan tidak lepas dari ajaran
moral. 
Konsep perkawinan dalam agama Budha tidak secara tegas
dibahas. Perjodohan atau pernikahan tidak begitu dipaksakan. Masalah
perjodohan dan perkawinan diserahkan kepada pribadi masing-masing.
Bagi pribadi yang mau melaksanakan perjodohan, pernikahan,
dipersilahkan dan bagi pribadi yang tidak mau, juga tidak ada paksaan.
Karena ada pandangan dalam agama Budha yang menyatakan bahwa
untuk memutus siklus reinkarnasi atau mempercepat hilangnya daur
samsara dalam kehidupan dunia, maka salah satunya adalah dengan
tidak menikah. Namun perkawinan dalam Budha dapat dirumuskan
sebagai hubungan suami-istri untuk memperoleh kesucian (vimakirti
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter