4
Survei yang dilakukan oleh Plan Indonesia dan Semai Jiwa Amini
(SEJIWA) pada tahun 2008, membuktikan bahwa tindak pembulian pernah
terjadi di sekolah. Survei ini melibatkan 1.500 siswa SMP dan SMA di tiga kota
besar di Indonesia yakni Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, yang mencatat
terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67.9 persen di tingkat SMA dan 66,1 persen
di tingkat SMP. Kekerasan yang dilakukan sesama
siswa, atau pembulian,
tercatat sebesar 43,7 persen untuk tingkat SMA dan 41,2 persen untuk tingkat
SMP, dengan kategori tertinggi pembulian secara psikologis berupa pengucilan.
Peringkat kedua ditempati pembulian secara
verbal berupa ejekan, dan terakhir
pembulian secara fisik berupa pukulan. Dengan gambaran pembulian di Jakarta
sebesar 61,1 persen (Young Hearts, 2010).
Sejak tahun 2005 lalu, kasus pembulian muncul secara perlahan di ranah
pendidikan Indonesia, dimulai dengan kasus ditemukannya seorang siswi SMP
yang menggantungkan dirinya di kamar mandi, karena tidak tahan diejek sebagai
anak tukang bubur (Sejiwa, 2008). Dilanjutkan dengan beberapa kasus lainnya.
Di Jakarta sendiri, kasus pembulian mulai menjadi perhatian ketika pada
tanggal 15 Mei 2007, Blasius Adi Saputra (18 tahun) yang tercatat sebagai siswa
kelas 1 SMA Pangudi Luhur Jakarta Selatan, melaporkan penganiayaan yang
dialaminya ke pihak berwajib. Adi mengalami tindak kekerasan hingga babak
belur dikeroyok, dipukuli dengan botol, dan diintimidasi oleh seniornya pada April
2007 silam. Kemudian, disusul oleh Muhammad Fadhil yang (16 tahun) siswa
SMA 34 Pondok Labu Jakarta Selatan, yang menjadi kekerasan geng Gazper
pada pertengah Agustus 2007 lalu, karena ia tidak dapat menarik uang setoran
dari angkatannya untuk diserahkan kepada kakak kelasnya.
Disusul oleh kasus seorang siswa SMA 26 Jakarta yang mengalami
tindak kekerasan dan pelecehan seksual oleh kakak kelasnya pada
|