Home Start Back Next End
  
13
Kapakisan oleh Gajah Mada (44.8).  Terjadinya perkawinan incest atau kembar dampit
(kembar   buncing)   di   kalangan   para   bangsawan   dianggap   sangat   utama   karena
penjelmaan
manusia
utama, sedang bila
itu terjadi di kalangan orang kebanyakan (orang
jaba
atau
di
luar
tri
wangsa)
dianggap aib
yang
dapat
menyengsarakan
masyarakat.
Perkawinan tersebut disebut
Asupundung dan Alangkahi Karanghulu.
Tentang kelahiran
buncing
dan
perkawinan
di
atas, pada tanggal 12 Juli 1951 Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Bali memutuskan dua buah keputusan penting berkaitan dengan hal tersebut,
yakni Keputusan Nomor 10 Tentang penghapusan adat yang berkaitan dengan seseorang
yang
melahirkan
anak
kembar
buncing
(kembar
laki-laki
dan
perempuan),
dan
Nomor
11 Tentang penghapusan perkawinan Asupundung dan Anglangkahi Karanghulu, yakni
perkawinan
antara
laki-laki
dari
Sudrawangsa
dengan
istri
dari Brahmanawangsa
dan
antara laki-laki dari Sudrawangsa dengan istri dari Ksatriyawangsa. Keputusan DPRD
Bali ini mencabut Paswara tahun 1910 yang diubah dengan beslit Residen Bali dan
Lombok tertanggal 11 April 1927 No.352 Jl.C.2 tentang Asupundung dan Anglangkahi
Karanghulu. Keputusan DPRD Bali tahun 1951 baru mendapat pengukuhan kembali dari
Parisada
Hindu
Dharma
Indonesia
Pusat,
melalui
Bhisama
Sabha
Pandita
Nomor
3
Tahun 2002 tanggal 20 Oktober 2002 Tentang Pengamalan Catur Warna sesuai dengan
kitab suci Veda dan susastra Hindu (Dana, 2005:149).
3)    Tokoh antagonis dalam KGM
yang pertama disebutkan adalah Raja Masula-Masuli
yang
lahir
atas
perkenan
Dewa
Indra.
Ia
disebut
sebagai
keturunan
raksasa
yang
buas
dan tamak, musuh dari orang-orang saleh. Ia
adalah ayah dari Gajah Waktra (Gajah
Wahana) 
yang 
kemudian 
disebut 
Bedhahulu. 
Tokoh 
antagonis 
umumnya 
selalu
dikaitkan dengan kelahiran dari keturunan orang jahat atau raksasa.
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter