Home Start Back Next End
  
12
Sumber
ajaran
kepemimpinan
Astabrata
ini
adalah
kitab
Manawadharmasastra
IX.303-
311 (Pudja & Sudharta, 2002:607-609) dan bukan Ramayana karya Walmiki. Demikian
pula  Gajah Mada disebutkan mampu tampil sebagai Dewa Asmara yang tampan dan
cemerlang (37.3-5). Partini  Sarjono Pradotokusumo (1986:59) menyimpulkan
penggambaran tokoh Gajah Mada dalam KGM
adalah sebagai berikut: (1)
Tokoh
yang
pada mulanya ‘datar’ sesuai dengan the epic divine hero, namun dapat membuat kejutan
dengan
memperlihatkan
sifat-sifat
yang tidak terpuji,
misalnya dalam menghadapi Kebo
Wawira;
(2)
Jaya
secara lahiriah,
ialah
sebagai
pencetus
gagasan-gagasan
yang
dapat
mengantarkannya mencapai kedudukan yang
tinggi sebagai mahapatih kerajaan
Majapahit;
(3)
Kejayaan
dalam pemikirannya
didapat
berkat
keturunannya
yang
agung
dan juga karena bakti, ketaatan dan kesetiaannya pada
mereka
yang diabdinya, terutama
raja;
(4)
kejayaan
batin
didapatnya
berkat
sifat-sifat
tersebut
di
atas
pada
guru
agama
dan
pada
ajaran-ajaran  yang
terdapat
dalam kitab
agama
sebagai
persiapan
menuju
kelepasan.  Muhamad  Yamin  (Partini,  1986:1253)  menyatakan   secara  meyakinkan
bahwa 
Gajah   Mada   adalah   seorang-orang   Indonesia   berdarah   rakyat,   meskipun
ditulisnya juga bahwa kepercayaan orang
Bali, Gajah
Mada
adalah
penjelmaan
Sang
Hyang Narayana ke atas dunia. Pandangan Mohamad
Yamin
tersebut
tidaklah
salah,
karena
di
dalam Agama
Hindu,
sifat-sifat
kepemimpinan
yang
menonjol
umumnya
diambil dari sifat Dewa Wisnu atau Narayana, yang tampak dari penjelmaan awatara-
awatara-Nya dalam setiap zaman.
2)     Tokoh  protagonis  lainnya  adalah  Sri  Kepakisan  dan  istrinya  yang  ditampilkan
dalam mitos kelahiran dua anak, pria dan
wanita, dari batu
yang dipuja
yang
merupakan
penjelmaan  dari  pandita  Sura  Dharma  dan 
istrinya  (43.1-9).  Anak 
itu  dinamai  Sri
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter