11
dan
tidak
berhubungan
dengan
sejarah.
Ia
tidak
mempersoalkan
benar
tidaknya
mitos
itu, sebab mitos itu seperti kepercayaan lainnya mungkin saja tidak benar, tetapi
mungkin juga benar karena itu sebuah mitos. Mitos itu dapat berubah sesuai dengan
kepentingan dan kerangka acuan masyarakatnya atau individu dalam masyarakat di
mana
mitos
itu
hidup
(Partini, 1986:11).
Menurut Nurgiyanto (Cika, 2006: 24) mitos
merupakan penerusan tradisi. Tradisi yang menguatkan disebut pengukuhan tradisi
(myth of concern), sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan (myth of
freedom).
Kedua
hal
ini
dikatakan
sebagai
sesuatu
yang
wajib
hadir
dalam penulisan
teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam
ketegangan antara konvensi dan inovasi. Demikian
dalam
KGM
tidak
hanya
mitos
tentang Gajah Mada yang ditampilkan, juga mitos-mitos lainnya sebagai tokoh antagonis
yang perlu dikaji dalam tulisan ini. Mitos-mitos tersebut antara lain:
1) Gajah Mada sebagai keturunan Dewa
Brahma (
..mahyun
mrakertang
Dhatrasuta
teher mahaknang guritnireka (KGM 1.2b: ingin memuji putra Dewa Brahma (Gajah
Mada)
kemudian
mengagungkannya
dalam bentuk
kakawin).
Dari
larik
di
atas,
oleh
penyair KGM Gajah Mada dijadikan sarana citra, keluarga serta keturunannya sebagai
anggota
yang
terhormat
dari
masyarakatnya. Penyair KGM menganggap Gajah Mada
seorang yang digjaya (a)nindyeng sarat (KGM 1.2c: yang jaya
tidak tercela di seluruh
dunia). Sebagai tokoh protagonis digambarkan kesempurnaan dirinya yang mampu
memasukan dewa-dewa kahyangan ke dalam tubuhnya (37.14-18), seperti ajaran
kepemimpinan
yang
populer
dengan
nama
Astabrata
yang
diungkap
dalam kakawin
Ramayana.
|