tampaknya
menjadi
cikal
bakal
Masyarakat Baduy
yang
sampai
sekarang
masih
mendiami
wilayah
hulu
Sungai
Ciujung
di
Gunung
Kendeng
tersebut
(Adimihardja, 2000).
Perbedaan
pendapat
tersebut
membawa
kepada
dugaan
bahwa
pada
masa
yang
lalu,
identitas
dan
kesejarahan mereka
sengaja
ditutup,
yang
mungkin
adalah
untuk
melindungi komunitas
Baduy
sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van
Tricht,
seorang
dokter
yang
pernah
melakukan riset
kesehatan
pada
tahun
1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang
Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang
mempunyai daya
tolak
kuat
terhadap
pengaruh
luar
(Garna,
1993b:
146).
Orang
Baduy
sendiri
pun
menolak jika dikatakan bahwa
mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran,
ibu
kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy
merupakan
penduduk
setempat
yang
dijadikan
mandala' (kawasan suci)
secara
resmi
oleh
raja,
karena
penduduknya berkewajiban memelihara
kabuyutan
(tempat
pemujaan
leluhur
atau
nenek
moyang),
bukan
agama
Hindu
atau
Budha.
Kebuyutan
di
daerah
ini
dikenal
dengan
kabuyutan
Jati
Sunda atau
'Sunda
Asli'
atau
Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal,
pokok, jati).
Oleh
karena
itulah agama asli
mereka pun diberi
nama Sunda Wiwitan. Raja
yang
menjadikan wilayah Baduy
sebagai
mandala
adalah
Rakeyan
Darmasiksa.
Ada
pula
yang
mempercayai
awal
kebedaraan
suku
Badui,
merupakan
sisa-sisa
pasukan
Pajajaran
yang
setia
pada
Prabu
Siliwangi.
Mereka
melarikan diri
dari kejaran
pasukan
Sultan
Banten
dan Cirebon.
Namun
pada akhirnya,
mereka
dilindungi
Kesultanan
Banten
dan
diberi
otonomi
khusus.
(zal/ken)
Mengenai
asal
usul
orang
Baduy, jawaban
yang
akan diperoleh adalah
mereka keturunan dari
Batara Cikal, salah satu dari
tujuh dewa atau batara
yang diutus ke
bumi.
Asal
usul
tersebut sering pula dihubungkan dengan
Nabi
Adam
sebagai
nenek
moyang
pertama.
Menurut
kepercayaan mereka,
Adam
dan
keturunannya,
termasuk
warga
Baduy
mempunyai
tugas
bertapa
atau
asketik
(mandita)
untuk
|