21
juga
pada
umat
manusia
yang
belum
terkena
pengaruh
individualisme
(Suryohadiprojo,
1989:42)
Sebagai bangsa
yang
hidup
di kepulauan,
rakyat
Jepang
di
masa
purbakala
kurang
mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain. Akibatnya sesuatu
yang datang dari luar dianggap sebagai ancaman yang membahayakan dirinya. Mereka
pada dasarnya konservatif, yaitu suatu bangsa yang berusaha memelihara dan
meneruskan nilai-nilainya sendiri. Tetapi di
lain pihak, sifat rakyat Jepang
menunjukkan
naluri yang amat kuat untuk kelangsungan hidupnya. Karena itu ia didorong untuk
menerima
atau
bahkan
mengambil
hal-hal
baru
dari
luar,
jikalau
hal
itu dirasakan
bermanfaatuntuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Sebelum Perang
Dunia II keadaan
sosial
masyarakat
Jepang dapat dikategorikan sebagai
bangsa
yang
belum sejahtera.
Ini
dikarenakan
mayoritas
masyarakat
Jepang
mata
pencahariannya adalah petani, buruh dan nelayan yang hidupnya susah. Selain itu
terdapat tingkatan dalam masyarakat.
Sebelum
restorasi Meiji ada penggolongan bagi
kaum bangsawan, samurai, petani dan pedagang yang merupakan ranking golongan
dalam masyarakat.
Sesudah
restorasi
Meiji
ranking antara
golongan
itu
secara
formal
dihapuskan.
Peranan
wanita
Jepang
dibandingkan
dengan
kaum pria
belumlah
seluas
seperti negara-negara lainnya,
yang
masih
sangat
menyolok
antara
pria
dan
wanita
terutama dalam pekerjaan. Dan itulah sebabnya mengapa para orang tua yang memiliki
anak gadis, umumnya
anak gadisnya diserahkan ke rumah geisha dengan tujuan
mendapatkan
pelatihan
agar
bisa
bekerja
sebagai
geisha.
Karena
pada
mulanya
gadis
yang menjadi geisha adalah anak yang kurang mampu hidupnya.
(Suryohadibrojo,1992:165).
|