24
luas wilayah perkebunan dan populasi binatang
luwak. Potensi kopi
luwak di
Indonesia
tersebar
di
beberapa
wilayah
yang
memiliki
perkebunan
kopi
cukup
luas
dan
perkebunan kopi tersebut biasanya berada
di
pinggir
hutan
yang
merupakan
habitat
binatang luwak. Dengan kata lain produksi kopi luwak sangat bergantung dengan alam
sehingga
sulit
untuk
memprediksikan
jumlah
produksinya. Menurut Ir Cahya Ismayadi
MSc, peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember, biji kopi masih
terbungkus kulit ari
yang keras sehingga tak
hancur dalam pencernaan
luwak dan keluar
utuh bersama feses. Bentuk itulah yang dikumpulkan pemetik kopi untuk dicuci lalu
dijemur selama 20 hari. Kemudian kulit tanduk dikupas dengan mesin pengupas
sehingga dihasilkan green bean-biji kopi kering
yang
telah dikupas kulit tanduknya dan
belum disangrai-siap
jual.
Ujung-ujungnya
jadilah
kopi
luwak.
Riset
Prof
Massimo
Marcone dari Universitas Guelph, Kanada, menyebutkan fermentasi pada pencernaan
luwak meningkatkan kualitas kopi. Kopi luwak tak sepahit kopi biasa karena kandungan
proteinnya rendah. Komponen yang menguap pun berbeda antara kopi luwak dan kopi
biasa.
Terbukti aroma dan citarasa kopi
luwak sangat khas.
Proses fermentasi tak lazim
oleh
luwak
boleh
jadi
membuat
sebagian orang
enggan
mengkonsumsinya
karena
jijik
atau takut. Namun, sebagian lagi justru rela membayar mahal untuk mencicip kopi unik
itu. Di Eropa secangkir
civet coffee-sebutan kopi luwak-dibanderol sampai 30 euro
setara
Rp450.000.
Sekitar
100
tahun
lalu
saat
era
politik
tanam
paksa
diterapkan
pemerintah
kolonial
Belanda,
rakyat
wajib menyetor
semua
panen
kopi
ke
pemerintah.
Petani tak boleh mengambil hasil panen segar untuk konsumsi sendiri. Beberapa orang
menemukan biji-biji kopi
utuh pada kotoran
luwak.
Itulah
yang
mereka coba olah
untuk
minum
sehari-hari.
Kebiasaan
itu
lalu
terdengar
para
pejabat
Belanda
yang
kemudian
|