12
Malaka pindah ke rumah pasangan Gerrit van Der Mij Jacobijnestraat dengan kondisi
kamar
yang
lebih
baik
setelah
mendapat pinjaman
pendidik
1.550
gulden
dari
(NIOS)
Dana Pendidikan dan Studi Hindia
Belanda.
Pondokan di Jacobijnestraat adalah
tempat
berseminya pemahaman politik Tan Malaka. Dia sering berdiskusi dengan teman satu
kosnya
Herman
Wouters
seorang
pengungsi
dari
Belgia
yang
lari
dari
serangan
Jerman
ke negaranya dan Van Der Mij, dari situ
Tan mulai mengenal kata-kata baru yang
menjadi
subyek
misterius
:
Revolusi.
Namun
ia
tak
langsung
menjadi
partisipan
aktif,
pada
awalnya
ia
hanya
mengamati
,
mendengar
dan
ikut-ikutan
membaca De
Telegraf
koran
langganan
milik
mij,
sebuah
surat
kabar
anti
Jerman
dan
Het
Volk
media
yang
sering
dibaca
Wouters.
Koran-koran
“kiri” yang
ia
baca
dan
perang
yang
berkecamuk
mempengaruhi pemikirannya. Ia pun mulai lapar informasi-informasi politik. Ia juga
membaca buku karya Friedrich Nietszche
yang populer pada
masa
itu seperti Thus Spoke
Zarathustra, Will
to
Power,
dan
buku
yang
mengenalkan
dia
dengan
semboyan
liberte,
egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan) yaitu The French
Revolution
karya
Thomas
Carlyle.
Ia
pun
merasa
berada
dalam
paham
dan
semangat
yang lazim dinamai revolusioner.
1916-
Tan meninggalkan Haarlem dan pindah ke Bussum dan tinggal bersama
keluarga Koopmans. Kepindahannya ini membuat ia tersadar, dia merasakan
perbedaan
gaya hidup yang mencolok antara gaya hidup mewah keluarga Koopmans yang borjuis
dan keluarga Van Der Mij tempat ia tinggal dulu yang proletar.
1917-
Terjadi
Revolusi
Komunis
yang
meledak
di
Rusia
pada
Oktober
1917,
memberi keyakinan pada Tan bahwa dunia sedang bergerak kearah sosialisme. Muncul
berbagai
gagasan
tentang
bagaimana
seharusnya
bangsa
Indonesia
dibangun
pada
diri
|