19
puluh enam tahun kemudian, kata dokumenter kembali
digunakan
oleh
pembuat
film dan
kritikus
film asal
Inggris
John
Grierson
untuk film
Moana (1926) karya Robert Flaherty.
Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif
merepresentasikan realitas (Susan Hayward, Key Concept in
Cinema
Studies, 1996, hal 72). Sekalipun Grierson mendapat
tentangan dari berbagai pihak, pendapatnya tetap relevan sampai
saat ini. Film
dokumenter menyajikan realita melalui berbagai
cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus
diakui,
film dokumenter
tak
pernah
lepas
dari
tujuan
penyebaran
informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok
tertentu.
Intinya,
film
dokumenter tetap
berpijak
pada
hal-hal
senyata mungkin. Seiring dengan
perjalanan
waktu,
muncul
berbagai
aliran
dari
film documenter
misalnya
dokudrama
(docudrama). Dalam dokudrama, terjadi reduksi realita demi
tujuantujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih
menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil
yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam
dokudrama, realita tetap menjadi pegangan. Kini dokumenter
menjadi
sebuah
tren
tersendiri
dalam perfilman
dunia.
Para
pembuat
film bisa
bereksperimen
dan
belajar
tentang
banyak
hal
ketika
terlibat
dalam
produksi
film
dokumenter.
Tak
hanya
itu,
film
dokumenter
juga
dapat
membawa
keuntungan
dalam jumlah
yang cukup
memuaskan. Ini bisa dilihat dari banyaknya
film
|