5
Di dalam penelitian ini penulis tidak akan menjelaskan semua kata-kata tersebut.
Diantara kumpulan kata dan ekspresi khas Jepang umum yang telah dikatakan Doi
dalam Johnson tersebut, penulis hanya akan memfokuskan penjelasan kepada kata
Higaisha-ishiki, Futekusareru, dan Tereru.
2.1.1 Tereru
Doi (1992, hal. 25) menjelaskan bahwa seseorang yang kelihatan tereru, atau kikuk,
memiliki kemiripan dengan seseorang yang kodawaru. Kemiripan ini terletak pada
ketidakmampuan mereka untuk menyatakan hasrat mereka untuk amaeru secara terbuka.
Akan tetapi terdapat perbedaan antara kodawaru dan tereru. Perbedaan antara seseorang
yang tereru dengan seseorang yang kodawaru terletak pada alasan dari ketidakmampuan
mereka untuk melakukan amaeru. Bagi seseorang yang kodawaru alasan tersebut adalah
karena rasa khawatir akan penolakan, sedangkan pada seseorang yang tereru
alasannya
adalah karena rasa malu untuk memperagakan sikap amaeru kepada orang lain.
Johnson (1993) memberikan penjelasan lain mengenai tereru.
In describing a superficial denial of amae, the word tereru stands for excessive
shyness or social awkwardness, which becomes so severe as to thwart the individuals
ability to amaeru. This occurs in intensely bashful people who are inept in
interpersonal relation, and hence unable to transact their dependency needs with other
people. (hal. 171)
Terjemahan:
Dalam mendeskripsikan penolakan amae
yang superfisial, kata tereru
menunjuk pada
rasa malu yang berlebihan atau kecanggungan sosial, yang menjadi sangat parah
hingga menggagalkan kemampuan seorang individu untuk melakukan amaeru. Ini
terjadi pada orang-orang yang merasa sangat segan yang tidak mahir dalam melakukan
hubungan yang interpersonal, membuatnya tidak dapat menunjukkan keinginan untuk
bergantung kepada orang lain.
|