Home Start Back Next End
  
5
dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum
menceritakan perpindahan suku
Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam
tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai
dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-
1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian
masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat
pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar
tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam
tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar
dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai,
masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang
Amandit, Labuan Amas
dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang
Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah
seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat
menurut orang Dayak
adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-
Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari
Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa
tercatat mulai
datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf hanzi
disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa
dan Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi
tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan
Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa
mulai
menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736. 
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan
penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama
dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak.
Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung
Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan
Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa,
Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang
Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga
barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan
guci.
2.2.3 Pembagian Etnis
Dayak
merupakan salah satu dari ribuan suku yang terdapat di Indonesia. Dayak ini dikenal
sebagai salah satu suku asli di Kalimantan. Mereka merupakan salah satu penduduk mayoritas di
provinsi tersebut. Kata Dayak dalam bahasa lokal Kalimantan berarti orang yang tinggal di hulu
sungai. Hal ini mengacu kepada tempat tinggal mereka yang berada di hulu sungai-sungai besar.
Agak berbeda dengan kebudayaan Indonesia lainnya yang pada umumnya bermula di
daerah pantai, masyarakat suku Dayak menjalani sebagian besar hidupnya di sekitar daerah aliran
sungai pedalaman Kalimantan.
Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu jenis. Padahal sebenarnya mereka
terbagi ke dalam banyak sub-sub suku. Menurut J.U. Lontaan, terdapat sekitar 405 sub suku Dayak
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter